• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Produktivitas Padi Gogo

Peluang peningkatan produksi beras melalui pengembangan tanaman padi di lahan kering masih cukup besar. Potensi luas lahan kering untuk pengembangan padi gogo adalah 5.1 juta hektar dan tersebar di berbagai propinsi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1998). Kontribusi padi gogo terhadap produksi nasional masih relatif rendah, produktivitasnya mencapai 2.7 ton/ha (Deptan 2008). Rendahnya hasil di tingkat petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan, dan pengendalian penyakit blas (Toha 2007).

Lahan kering umumnya memiliki produktivitas rendah. Ketersediaan hara dalam tanah rendah, dicerminkan oleh komposisi mineral pasir, yang umumnya miskin cadangan mineral kecuali mineral resisten seperti kuarsa (Hidayat et al. 2000). Lahan kering di kawasan beriklim basah didominasi oleh jenis Ultisol dan Oksisol masam juga menunjukkan kondisi yang miskin hara, miskin bahan organik, tinggi kandungan besi dan mangan, dan sering mengandung alumunium yang melampaui batas toleransi tanaman. Keracunan aluminium pada padi dapat

menyebabkan terhambatnya pemanjangan akar (Rusdiansyah et al. 2001).

Syafruddin et al. (2006) menyatakan bahwa pengaruh utama alumunium ialah terhadap pertumbuhan akar, yang menyebabkan akar tampak pendek membengkak, tidak memiliki akar lateral yang sehat.

Pengembangan padi gogo juga diarahkan pada lahan-lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan. Pada kondisi ini intensitas cahaya rendah, bahkan defisit cahaya, dapat menyebabkan penurunan daya hasil 53 – 67 % (Sopandie et

al. 2003). Hal ini disebabkan karena penurunan intensitas cahaya dapat

menyebabkan terhambatnya transpirasi, respirasi, translokasi, sintesis protein, menghambat produksi hormon, pertumbuhan akar, dan penyerapan mineral.

Teknologi varietas unggul melalui kegiatan pemuliaan tanaman perlu dikembangkan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas. Hasil penelitian Toha (2007) menunjukkan bahwa introduksi varietas unggul padi gogo dapat meningkatkan hasil dan pendapatan petani pada agroekosistem lahan kering.

Lebih lanjut dikatakan bahwa varietas-varietas padi gogo seperti Batutegi, Limboto, dan Situ Patenggang sesuai untuk dikembangkan di lahan kering Lampung. Varietas-varietas padi gogo yang telah dilepas oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi antara tahun 2000 sampai sekarang memiliki potensi hasil 5.5 – 6 ton/ha dengan rata-rata hasil 3.4 – 4.6 ton/ha (Suprihatno et al. 2011).

Pemuliaan tanaman padi untuk daya hasil tinggi dilakukan dengan memadukan karakter-karakter yang mendukung peningkatan daya hasil. Peningkatan daya hasil dapat dicapai dengan perbaikan potensi hasil, peningkatan daya adaptasi, dan perbaikan lingkungan tumbuh. Ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi berdasarkan Vergara et al. (1973) adalah tinggi tanaman sedang (< 130 cm), daya merumpun sedang (11-15) tetapi produktif, umur genjah (110-135 hari), vigor awal besar, perakaran besar dan dalam, toleran terhadap hama dan penyakit utama, dan adaptabilitasnya tinggi.

Aplikasi Kultur Antera Pada Pemuliaan Padi Gogo

Salah satu prosedur alternatif yang dianjurkan dalam perakitan varietas baru adalah dengan terlebih dahulu membuat galur murni melalui induksi individu dihaploid spontan (spontaneous doubled haploid/dihaploid) atau dengan jalan menggandakan kromosom dari individu haploid. Galur-galur dihaploid spontan dan tanaman haploid dapat diperoleh melalui salah satu prosedur bioteknologi, yaitu teknik kultur in-vitro antera (Dewi et al. 2007).

Kultur antera adalah salah satu teknik kultur jaringan yang dapat diaplikasikan pada program pemuliaan tanaman dalam rangka mempercepat proses mendapatkan galur murni. Tanaman-tanaman dihaploid yang dihasilkan melalui kultur antera dan kultur mikrospora bersifat homozigot penuh. Tanaman homozigot atau galur murni dengan sifat-sifat yang unggul sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman. Tanaman homozigot yang dihasilkan pada turunan pertama akan memudahkan seleksi fenotipe bagi karakter-karakter yang bersifat kuantitatif tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif seperti pada tanaman heterozigot, sehingga siklus pemuliaan akan lebih singkat karena dapat menghilangkan sebagian besar dari kegiatan seleksi per generasi yang umum pada pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996).

Herawati et al. (2009) menyatakan bahwa regenerasi tanaman dalam kultur antera padi gogo dipengaruhi oleh faktor persilangan. Hasil penelitian ini memperkuat laporan terdahulu bahwa latar belakang genetik tetua mempengaruhi tanggap induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera tanaman padi (Dewi et al. 1994).

Metode seleksi yang tepat merupakan proses yang efektif untuk memperoleh sifat-sifat yang dianggap sangat penting dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Sasmita et al. (2006) telah mengevaluasi sejumlah galur padi gogo dihaploid untuk ketahanan terhadap naungan, dan diperoleh galur-galur padi gogo dihaploid GI-8, IG-19, dan IW-56 yang konsisten toleran terhadap naungan dan adaptif terhadap kondisi tumpang sari padi-jagung. Purwoko (2007) juga telah mengevaluasi galur-galur padi gogo hasil kultur antera, dan diperoleh galur O18- b-1 dan B13-2e yang merupakan galur-galur toleran alumunium.

Interaksi Genotipe dan Lingkungan

Informasi mengenai stabilitas suatu genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan sangat penting diketahui dalam menentukan varietas atau galur yang lebih tepat untuk ditanam di suatu lingkungan. Kedua parameter ini akan semakin penting jika varietas yang dievaluasi adalah varietas baru atau galur harapan yang dihasilkan dari suatu kegiatan pemuliaan tanaman. Pengujian stabilitas hasil melalui serangkaian uji mulitilokasi merupakan suatu tahapan penting sebelum varietas dilepas. Dari hasil uji multilokasi diharapkan dapat diperoleh genotipe- genotipe yang dapat beradaptasi baik dilingkungan tertentu dan stabil pada beberapa lingkungan.

Tanaman dalam pertumbuhannya merupakan fungsi dari genotipe dan lingkungan (Allard 1960). Penampilan tanaman tergantung kepada genotipe (G), lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh (E), dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (G × E). Fischer (1996) menyatakan bahwa keseragaman genotipe (G) terlihat lebih dominan dalam lingkungan sawah, sedangkan interaksi G × E lebih banyak berpengaruh pada keragaman di lingkungan tadah hujan. Masing- masing G, E, dan G × E memberikan kontribusi relatif pada keragaman fenotipik tanaman. Respon tanaman yang spesifik terhadap lingkungan yang beragam

mengakibatkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G × E), pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi faktor genetik dalam penampilan akhir. (Gomez dan Gomez 1984).

Interaksi G × E yang relatif besar untuk variasi genotipe, menyebabkan perlunya mengkuantifikasi pengaruh interaksi G × E. Hal ini bertujuan untuk membedakan interaksi karena heterogenitas varians genetik di antara lingkungan atau karena kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan. Cooper et al. (1996) menggambarkan interaksi genotipe dan lingkungan (G × E) dalam 4 model (Gambar 2).

Gambar 2 Model skematis yang menggambarkan interaksi genotipe dan lingkungan : (a) tidak ada interaksi G × E; (b) interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan tetapi tidak ada korelasi genetik di antara lingkungan; (c) interaksi G × E karena kurangnya korelasi genetik tetapi tidak ada heterogenitas ragam di antara lingkungan; (d) interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara

Gambar 2(a) menunjukkan tidak terdapatnya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G × E). Tidak adanya interaksi G × E seringkali menyebabkan

timbulnya interpertasi bahwa seluruh genotipe menunjukkan kestabilan mengikuti indeks rata-rata lingkungan. Pada Gambar 2(b) interaksi G × E terjadi karena heterogenitas ragam di antara lingkungan tetapi tidak ada korelasi genetik di antara lingkungan. Urutan peringkat genotipe sama di setiap lingkungan. Kedua model ini umumnya diistilahkan sebagai interaksi G × E kualitatif. Model G × E kualitatif ini memudahkan pemulia untuk memilih genotipe yang akan dilepas, karena di setiap lingkungan menunjukkan pola urutan peringkat genotipe sama. Pemilihan genotipe selanjutnya lebih diarahkan pada sisi agronomis, terutama dari potensi atau rata-rata hasil (Cooper et al. 1996).

Gambar 2(c) menunjukkan adanya interaksi G × E karena kurangnya korelasi genetik di tiap lingkungan tetapi tidak ada heterogenitas ragam di antara lingkungan. Adapun Gambar 2(d) menunjukkan adanya interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan. Kedua model ini perlu dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah interaksi terjadi secara signifikan. Perubahan lingkungan juga menyebabkan perubahan peringkat genotipe. Setiap lingkungan menunjukkan pola urutan peringkat genotipe yang berbeda. Kedua model ini umumnya diistilahkan sebagai interaksi G × E kuantitatif. Interaksi G × E kuantitatif ini ber potensi menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan (Cooper et al. 1996).

Menurut Baihaki (2000) pentingnya interaksi G × E bagi pemuliaan adalah dalam kaitannya untuk : (1) mengembangkan kultivar yang spesifik lingkungan mikro – tumpang sari, jarak tanam, jenis tanah, atau musim tanam; (2) mengembangkan kultivar spesifik wilayah; (3) alokasi sumberdaya yang efektif dalam pengujian genotipe dalam musim dan lokasi; (4) stabilitas penampilan hasil (karakter hasil).

Metode Pengujian Stabilitas Hasil

Lin et al. (1986) mengelompokkan metode analisis stabilitas menjadi empat kelompok dengan tiga tipe konsep stabilitas (Tabel 1.). Pengelompokan metode analisis stabilitas ini didasarkan pada deviasi pengaruh rata-rata genotipe, pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan, serta pengaruh gabungan keduanya. Tabel 1 Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986)

Kelompok A mendasarkan metode analisisnya pada deviasi pengaruh rata- rata genotipe. Stabilitas diukur berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Koefisien keragaman suatu genotipe dapat diketahui dari jumlah kuadrat genotipe tersebut. Kelompok B mendasarkan

Grup Tipe Model Persamaan Penggagas

A

1 Francis &

Kannenberg 1

B

2 Plaisted & Peterson

2 Plaisted

2 Wrickle

2 Shukla

C

2 Finlay & Wilkinson

2 Perkins & Jinks

D

3 Eberhart & Russell

metode analisisnya pada pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan. Kelompok C dan D mendasarkan metode analisisnya pada pengaruh gabungan deviasi rata- rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan. Perbedaan kedua kelompok ini adalah penggunaan parameter ukur stabilitas, dimana kelompok C menggunakan koefisien regresi antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata- rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian, sedangkan kelompok D menggunakan nilai parameter deviasi.

Lebih lanjut disebutkan oleh Lin et al. (1986) bahwa keempat metode analisis stabilitas ini dapat menjelaskan tiga tipe konsep stabilitas, dimana suatu genotipe dikatakan stabil jika : (1) memiliki koefisien keragaman yang kecil dalam lingkungannya (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan rata- rata respon seluruh genotipe yang diuji, atau sebanding dengan indeks lingkungannya (3) memiliki kuadrat tengah sisa yang kecil dari garis regresi indeks lingkungannya. Konsep stabilitas tipe 1 dan 3 bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Adapaun konsep stabilitas tipe 2 bersifat dinamis karena dapat menunjukan pola stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Berdasarkan konsep tersebut maka metode analisis stabilitas pada kelompok A dapat menjelaskan konsep stabilitas tipe 1, kelompok B menjelaskan konsep stabilitas tipe 2, kelompok D menjelaskan konsep stabilitas tipe 3, sedangkan kelompok C mampu menjelaskan konsep stabilitas tipe 1 dan 2.

Metode Francis & Kannenberg, Finlay & Wilkinson, dan Eberhart & Russell, cukup mewakili untuk menjelaskan ketiga konsep stabilitas dalam penelitian ini. Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Terbentuknya variasi ini didekati kuadrat tengah genotipe serta koefisien variasi genotipe. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa dengan semakin kecilnya nilai pengukuran, maka semakin stabil genotipe tersebut.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Genotipe-

genotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

Eberhart dan Russell (1966) mengembangkan metode pengujian stabilitas yang didasarkan pada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil hanya bila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil. Nilai 2 (parameter deviasi) yang besar atau Ri2

Untuk menentukan berapa banyak sumbu komponen utama yang dipakai sebagai penduga digunakan dua metode yaitu metode postdictive success dan

predictive succes. Metode postdictive success berhubungan dengan kemampuan suatu model yang tereduksi untuk menduga data yang digunakan dalam

(koefisien determinasi) yang kecil menunjukkan bahwa model regresi yang diperoleh tidak menggambarkan data yang sebenarnya dan dengan sendirinya tidak dapat dipakai sebagai ukuran stabilitas.

Metode yang dapat digunakan dalam memvisualisasi dan menjelaskan respon genotipe terhadap lingkungan serta stabilitas daya hasilnya adalah metode

Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan faktorial dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Penggunaan analisis AMMI memiliki tiga tujuan, yaitu : (1) sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat; (2) untuk menjelaskan interaksi galur x lingkungan (G × E); (3) meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi galur dan lingkungan. Tahapan analisis AMMI yang dilakukan adalah : (1) menyusun matriks pengaruh interaksi dalam bentuk matriks Ig × l (2) melakukan penguraian bilinear terhadap matriks Ig × l melalui SVD (singular value decomposition) (3) menentukan banyaknya Komponen Utama I (KUI) nyata melalui postdictive success (4) membuat biplot AMMI. Suatu galur dianggap stabil jika posisinya berada dekat dengan sumbu utama. Galur dianggap spesifik pada lokasi tertentu dapat dilihat melalui posisi masing-masing galur terhadap garis lokasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

membangun model tersebut. Salah satu caranya adalah berdasarkan banyaknya

sumbu tersebut yang nyata pada uji F analisis ragam. Predictive success

berhubungan dengan kemampuan suatu model dugaan untuk memprediksi data lain yang sejenis tetapi tidak digunakan dalam membangun model tersebut (data

validasi). Penentuan jumlah sumbu komponen utama berdasarkan predictive

success dilakukan dengan validasi silang, yaitu membagi data menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk membangun model dan kelompok lain digunakan untuk validasi (menentukan jumlah kuadrat sisaan). Hal ini dilakukan berulang- ulang pada setiap ulangan dibangun model dengan berbagai sumbu komponen utama. Jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa (Root Mean Square Predictive Different (RMSPD)) dari data validasi paling kecil (Mattjik 2005).

Dokumen terkait