• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of yield stability and performance of upland rice lines obtained from anther culture

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of yield stability and performance of upland rice lines obtained from anther culture"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STABILITAS HASIL

DAN KERAGAAN GALUR GALUR PADI GOGO

HASIL KULTUR ANTERA

DENI DWIGUNA SULAEMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

ANALISIS STABILITAS HASIL DAN KERAGAAN GALUR GALUR PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

. Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

DENI DWIGUNA SULAEMAN. Analysis of Yield Stability and Performance of Upland Rice Lines Obtained from Anther Culture. Under direction of BAMBANG S PURWOKO as chairman, ISWARI S DEWI dan MUHAMAD SYUKUR as members of the advisory commitee.

The objectives of this research were to study the potential and yield stability of upland rice lines obtained from anther culture and their performance in the field. Ten upland rice doubled-haploid (DH) lines were tested for their potential yield in eight different locations (in Provinces of Lampung, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java - Indonesia) in the rainy season of 2010/2011 along with two check varieties (Way Rarem and Batutegi). In each location, the design was Randomized Complete Block Design with four replications. The results indicated that the line showing the most stable yield in different environment was I5-10-1-1 followed by WI-44, and IG-38. I5-10-1-1 produced 4.01 tons of dry grain per hectare. The line showing the highest yield was WI-44, and this line produced 4.72 tons of dry grain per hectare. Visualization with AMMI showed that IW-56 and IW-67 lines were specifically adapted in Purworejo, O18-b-1 was specifically adapted in Bogor, and IG-19 was specifically adapted in Malang.

(6)
(7)

RINGKASAN

DENI DWIGUNA SULAEMAN. Analisis Stabilitas Hasil dan Keragaan Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Di bawah bimbingan BAMBANG S PURWOKO, ISWARI S DEWI dan MUHAMAD SYUKUR.

Upaya pengembangan teknologi yang ditempuh untuk meningkatkan produksi padi di lahan kering adalah melalui program pemuliaan tanaman. Perakitan varietas secara konvensional memerlukan waktu yang panjang (lebih dari 5 tahun), apabila menggabungkan sifat yang diinginkan dari berbagai varietas atau tetua. Kultur antera dilaporkan dapat menghasilkan tanaman dihaploid atau galur murni dalam waktu singkat.

Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Pengujian stabilitas hasil melalui serangkaian uji multilokasi merupakan suatu tahapan penting sebelum varietas dilepas. Dari hasil uji multilokasi diharapkan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang dapat beradaptasi baik di lingkungan tertentu dan berdaya hasil stabil pada beberapa lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur padi gogo yang memiliki potensi hasil tinggi dan stabil pada lingkungan yang luas, serta memiliki keragaan tanaman yang ideal sebagai varietas padi gogo berdaya hasil tinggi. Pengujian stabilitas daya hasil padi gogo dilaksanakan di delapan lokasi pada musim hujan (MH) bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011. Lokasi pengujian tersebar di Jawa dan Sumatera, yaitu : Kebun Percobaan Taman Bogo – Lampung, Natar – Lampung, Kebun Percobaan Cikarawang Bogor – Jawa Barat, Sukabumi – Jawa Barat, Indramayu – Jawa Barat, Purworejo – Jawa Tengah, Wonosari – DI Yogyakarta, dan Malang – Jawa Timur.

Sebanyak 12 genotipe digunakan sebagai bahan pengujian, yang terdiri atas 10 galur harapan padi gogo hasil kultur antera dan dua varietas pembanding. Sepuluh galur harapan padi gogo hasil kultur antera tersebut adalah III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW 56, B13-2e. Dua varietas pembandingnya adalah Batutegi dan Way Rarem. Pelaksanaan pengujian di tiap lokasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak empat kali. Satuan percobaan berupa petakan lahan berukuran 4 m x 5 m, sehingga tiap lokasi terdiri atas 48 satuan percobaan. Pengujian stabilitas menggunakan empat metode yaitu Francis & Kanennberg, Finlay & Wilkinson, Eberhart & Russel, dan AMMI.

(8)

lokasi Purworejo, galur O18-b-1 spesifik untuk lokasi Bogor, dan galur IG-19 spesifik untuk lokasi Malang.

Diantara 10 galur yang diuji dalam penelitian ini, WI-44 dan IW-67 memiliki idiotipe tanaman yang potensial menjadi varietas unggul padi gogo berdaya hasil tinggi. Kedua galur ini memiliki jumlah anakan yang sangat banyak ( > 20 batang/rumpun) dengan persentase anakan produktif 75 – 76 % dari total anakannya. Tinggi tanaman kedua galur tergolong sedang yaitu 84 – 101 cm. Umur tanaman tergolong genjah dibanding varietas ceknya, yaitu antara 101 – 104 hari. Persentase gabah isi kedua galur ini cukup tinggi, antara 83.5 – 86.4 %. Bentuk gabah kedua galur ini panjang dan ramping dengan bobot rata-rata 1000 butir mencapai 27.98 – 28.31 gram.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB.

(10)
(11)

ANALISIS STABILITAS HASIL

DAN KERAGAAN GALUR GALUR PADI GOGO

HASIL KULTUR ANTERA

DENI DWIGUNA SULAEMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Stabilitas Hasil dan Keragaan Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera

Nama : Deni Dwiguna Sulaeman NIM : A253090101

Disetujui Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, M.Sc.

Dr. Ir. Iswari S Dewi

Anggota Anggota

Dr. Muhamad Syukur, SP., M.Si

Mengetahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Si.

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Judul tesis ini adalah Analisis Stabilitas Hasil dan Keragaan Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Tesis merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan terselesaikannya penulisan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, MSc, Dr. Ir. Iswari S Dewi dan Dr.

Muhamad Syukur SP, MSi, selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan tesis ini.

2. Program IMHERE atas pendanaan dan bantuan fasilitas dalam pelaksanaan

penelitian ini (Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, MSc sebagai ketua peneliti). 3. PT. Petrokimia Gresik sebagai institusi tempat saya bekerja, atas kesempatan

yang diberikan untuk melanjutkan dan membiayai studi ke jenjang S2. 4. Istri dan keluarga atas doa dan motivasi selama saya menempuh pendidikan.

5. Teman-teman S2 PBT angkatan 2009 atas kebersamaan dan kekompakan

selama ini.

6. Rekan-rekan sekerja, yang sama-sama menempuh studi lanjutan S2, M Ihwan

F SP., MSi, Junianto Simaremare SP., MSi, Eko Suroso SP., MM, M Trudo H SP., MM, dan Gita BN SSi., MSi atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan.

Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2012

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 4 Nopember 1982 sebagai anak kedua dari pasangan Ade Sulaeman Said dan Anna Roswati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar sampai Sekolah Menengah Atas di Sukabumi tahun 1988 sampai dengan 2000. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi.

(18)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN ……… 1

Latar Belakang ……….. 1

Tujuan ………... 4

Hipotesis ……… 4

TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

Peningkatan Produktivitas Padi Gogo ………..… 5

Aplikasi Kultur Antera Pada Pemuliaan Padi Gogo ……… 6

Interaksi Genotipe dan Lingkungan ………. 7

Metode Pengujian Stabilitas Hasil ………. 10

BAHAN DAN METODE ……….. 15

Waktu dan Tempat ………. 15

Bahan dan Alat ……… 15

Pelaksanaan ………... 15

Pengamatan ……… 16

Analisis Data ……….. 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 23

Kondisi Umum Penelitian ……….. 23

Analisis Stabilitas Hasil ……….………. 24

Analisis stabilitas Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell ……….. 29

Analisis stabilitas model AMMI ……….……… 34

Keragaan Karakter Agronomi ……… 38

Keragaan umum ……….. 38

Tinggi tanaman ……… 39

(19)

Umur berbunga dan umur panen ………. 46

Panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa… 49

Bobot 1000 butir ………. 56

KESIMPULAN DAN SARAN ……… 59

Kesimpulan ……… 59

Saran ……… 59

DAFTAR PUSTAKA ……….. 61

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986)…. 12

2 Sidik ragam tiap lokasi berdasarkan Singh dan Chaudary (1979)… 19

3 Sidik ragam gabungan dari 8 lokasi pengujian galur-galur

harapan padi gogo hasil kultur antera………..….. 20

4 Jumlah kuadrat, kuadrat tengah, dan nilai F galur pada karakter hasil gabah kering giling di 8 lokasi……… 24

5 Sidik ragam gabungan hasil gabah kering giling dari 8 lokasi Pengujian………. 25

6 Rata-rata hasil gabah kering giling (ton/ha) galur-galur padi gogo di tiap lokasi pengujian……….... 27

7 Parameter stabilitas hasil gabah kering giling padi gogo hasil kultur antera dari 8 lokasi pengujian……… 29

8 Analisis ragam AMMI galur-galur padi gogo hasil kultur antera di 8 lokasi pengujian………. 35

9 Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotype-genotipe yang diuji.. 37

10 Analisis ragam pengaruh genotipe (G), lokasi (E), dan interaksi G × E pada karakter agronomi padi gogo………. 39

11 Nilai rata-rata karakter agronomi galur-galur padi gogo di 8 lokasi……… 40

12 Rata-rata tinggi tanaman (cm) galur-galur padi gogo di tiap-tiap lokasi pengujian……….. 41

13 Rata-rata jumlah anakan total per rumpun galur-galur padi gogo di tiap lokasi pengujian……….. 43

14 Rata-rata jumlah anakan produktif per rumpun galur-galur padi gogo di tiap lokasi pengujian……….... 45

15 Rata-rata umur berbunga 50 % (hari)……….. 46

16 Rata-rata umur panen (hari)………. 47

17 Rata-rata tingkat efisiensi laju pembentukan hasil……….. 48

18 Rata-rata panjang malai (cm) galur-galur padi gogo di tiap lokasi pengujian………. 50

19 Rata-rata tingkat kerapatan malai……… 51

(21)

21 Rata-rata jumlah gabah hampa per malai galur-galur padi

gogo di tiap lokasi pengujian………. 55 22 Rata-rata bobot 1000 butir gabah galur-galur padi gogo

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kegiatan penelitian……… 4

2 Model skematis yang menggambarkan interaksi genotype dan

Lingkungan………..…. 10 3 Fluktuasi keragaan hasil GKG galur-galur padi gogo di 8 lokasi…… 26 4 Rata-rata kelebihan hasil galur-galur yang diuji terhadap

pembanding ……….. 28 5 Persentase kelebihan dan kekurangan hasil galur-galur

yang diuji terhadap varietas Batutegi dan Way Rarem………….…… 29 6 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong

tidak stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson………... 32 7 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong

stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson……….… 33

8 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG

galur-galur padi gogo hasil kultur antera……….…. 36 9 Keragaan galur-galur padi gogo dengan anakan sedikit (GI-7),

sedang (I5-10-1-1), dan banyak (WI-44)……….. 44 10 Kerapatan malai galur-galur padi gogo hasil kultur antera………..…. 51 11 Keragaan bentuk gabah galur-galur padi gogo hasil

kultur antera……….….. 52 12 Persentase rata-rata gabah isi dan hampa per malai dari

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Deskripsi varietas Batutegi……… 65

2 Deskripsi varietas Way Rarem……….. 66

3 Denah pelaksanaan uji stabilitas di berbagai lokasi………. 67

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketahanan pangan merupakan isu yang paling strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dilihat dari sisi kependudukan isu ini menjadi sangat penting karena laju pertambahan penduduk sebesar 1.3 % per tahun menuntut peningkatan penyediaan pangan baik dalam jumlah, mutu, dan waktu penyediaannya. Penyediaan pangan ini menjadi instrumen utama dalam pembangunan ekonomi masyarakat.

Padi masih memegang peranan paling penting dalam penyediaan pangan di Indonesia, karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk. Program Pemerintah dalam Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang dicanangkan tahun 2007 telah berhasil meningkatkan produksi gabah kering

giling (GKG) 4.47 % dari tahun sebelumnya (Deptan 2008). Secara bertahap

diharapkan setiap tahun terjadi peningkatan produksi padi sebesar 5 %.

Keberhasilan peningkatan produksi padi tersebut masih terfokus pada lahan sawah melalui kegiatan intensifikasi. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah penyempitan lahan sawah akibat konversi menjadi lahan non pertanian antara lain untuk perumahan dan kawasan industri. Konversi lahan sawah menjadi non sawah di Jawa terjadi sangat pesat selama 20 tahun terakhir, rata-rata mencapai 54716 ha/tahun. Sebagian besar lahan yang mengalami konversi tersebut adalah lahan beririgasi teknis atau setengah teknis dengan produktivitas yang tinggi.

(26)

Perluasan areal padi ke lahan kering menjadi salah satu potensi alternatif dalam upaya peningkatan produksi beras nasional dan peningkatan kesejahteraan petani setempat. Pengembangan potensi ini tidak berarti bebas dari kendala, tetapi dihadapkan juga pada permasalahan tingkat kesuburan tanah yang rendah, cekaman biotik (hama penyakit), dan cekaman abiotik sehingga perlu teknologi pendukung untuk meminimalkan kendala-kendala tersebut.

Upaya pengembangan teknologi yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan di atas adalah melalui program pemuliaan tanaman. Program yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan dapat diterima oleh petani. Perakitan varietas secara konvensional memerlukan waktu yang panjang (lebih dari 5 tahun), apabila menggabungkan sifat yang diinginkan dari berbagai varietas atau tetua. Kultur antera dilaporkan dapat menghasilkan tanaman dihaploid atau galur murni dalam waktu singkat (Herawati

et al. 2009). Teknik ini dapat menghasilkan tanaman dihaploid spontan melalui induksi embriogenesis dari pembelahan berulang mikrospora/polen tanaman donor antera yang berasal dari persilangan tetua yang memiliki karakter yang diinginkan.

Sejumlah galur dihaploid padi gogo dari persilangan beberapa varietas unggul telah diperoleh dari beberapa penelitian sebelumnya melalui kultur antera. Galur-galur IW-56, IW-67, IG-19, IG-38, GI-8 adalah galur-galur hasil kultur antera yang konsisten toleran terhadap naungan (Sasmita et al. 2006). Galur O18-b-1 dan B13-2e adalah galur-galur toleran alumunium hasil kultur antera (Bakhtiar et al. 2007; Purwoko 2007). Galur-galur tersebut diuji stabilitas daya hasilnya dalam penelitian ini.

(27)

Keragaman lingkungan tumbuh tersebut akan berpengaruh terhadap hasil persatuan luas.

Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena tanaman dalam pertumbuhannya merupakan fungsi dari genotipe dan lingkungan (Allard 1960). Penampilan tanaman tergantung kepada genotipe, lingkungan tempat tumbuh, serta interaksi antara genotipe dan lingkungan. Respon tanaman yang spesifik terhadap lingkungan yang beragam mengakibatkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G x E), pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi dari potensi genetik dalam penampilan akhir.

Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas dapat bersifat dinamis artinya selalu berubah pada kisaran tertentu pada lingkungan yang berbeda atau bersifat statis artinya kondisi dimana daya hasil suatu genotipe selalu tetap pada berbagai lingkungan. Mekanisme stabilitas lebih dikendalikan oleh kompensasi dari komponen hasil jika genotipe tersebut mampu mempertahankan hasil yang tinggi di lingkungan yang optimal. Pengujian stabilitas hasil melalui serangkaian uji multilokasi merupakan suatu tahapan penting sebelum varietas dilepas. Dari hasil uji multilokasi diharapkan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang dapat beradaptasi baik di lingkungan tertentu dan stabil pada beberapa lingkungan.

(28)

= 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

Metode yang digunakan untuk memvisualisasi dan menjelaskan respon genotipe terhadap lingkungan serta stabilitas daya hasilnya adalah metode

Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan faktorial dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Dalam penelitian ini akan diuji stabilitas daya hasil galur-galur harapan padi gogo hasil kultur antera dengan metode Francis & Kanennberg (1978), Finlay & Wilkinson (1963), Eberhart & Russell (1966), dan AMMI (Matjik, Sumertajaya, 2006). Secara skematis pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 1.

Sidik Ragam Lokasi 2 Sidik Ragam Lokasi 3, dst

Uji Stabilitas Daya Hasil

Visualisasi dgn AMMI

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian Analisis Gabungan Seluruh Lokasi

Homogen Karakterisasi Keragaan

Agronomi

Francis & Kannenberg (1978)

Eberhart & Russell (1966) Finlay & Wilkinson (1963) Uji Daya Hasil

Lokasi 1

Uji Daya Hasil Lokasi 2

Uji Daya Hasil Lokasi 3, dst

Sidik Ragam Lokasi 1

Uji Homogenitas Ragam

(29)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur padi gogo yang memiliki potensi hasil tinggi dan stabil pada berbagai lingkungan serta memiliki keragaan tanaman yang ideal sebagai varietas padi gogo berdaya hasil tinggi.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat galur padi gogo hasil kultur antera yang memiliki daya hasil lebih tinggi daripada varietas pembandingnya.

2. Terdapat galur padi gogo hasil kultur antera yang memiliki stabilitas tinggi pada berbagai lingkungan.

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Peningkatan Produktivitas Padi Gogo

Peluang peningkatan produksi beras melalui pengembangan tanaman padi di lahan kering masih cukup besar. Potensi luas lahan kering untuk pengembangan padi gogo adalah 5.1 juta hektar dan tersebar di berbagai propinsi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1998). Kontribusi padi gogo terhadap produksi nasional masih relatif rendah, produktivitasnya mencapai 2.7 ton/ha (Deptan 2008). Rendahnya hasil di tingkat petani disebabkan oleh penerapan teknologi budidaya yang belum optimal, terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan, dan pengendalian penyakit blas (Toha 2007).

Lahan kering umumnya memiliki produktivitas rendah. Ketersediaan hara dalam tanah rendah, dicerminkan oleh komposisi mineral pasir, yang umumnya miskin cadangan mineral kecuali mineral resisten seperti kuarsa (Hidayat et al. 2000). Lahan kering di kawasan beriklim basah didominasi oleh jenis Ultisol dan Oksisol masam juga menunjukkan kondisi yang miskin hara, miskin bahan organik, tinggi kandungan besi dan mangan, dan sering mengandung alumunium yang melampaui batas toleransi tanaman. Keracunan aluminium pada padi dapat

menyebabkan terhambatnya pemanjangan akar (Rusdiansyah et al. 2001).

Syafruddin et al. (2006) menyatakan bahwa pengaruh utama alumunium ialah terhadap pertumbuhan akar, yang menyebabkan akar tampak pendek membengkak, tidak memiliki akar lateral yang sehat.

Pengembangan padi gogo juga diarahkan pada lahan-lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan. Pada kondisi ini intensitas cahaya rendah, bahkan defisit cahaya, dapat menyebabkan penurunan daya hasil 53 – 67 % (Sopandie et

al. 2003). Hal ini disebabkan karena penurunan intensitas cahaya dapat

menyebabkan terhambatnya transpirasi, respirasi, translokasi, sintesis protein, menghambat produksi hormon, pertumbuhan akar, dan penyerapan mineral.

(31)

Lebih lanjut dikatakan bahwa varietas-varietas padi gogo seperti Batutegi, Limboto, dan Situ Patenggang sesuai untuk dikembangkan di lahan kering Lampung. Varietas-varietas padi gogo yang telah dilepas oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi antara tahun 2000 sampai sekarang memiliki potensi hasil 5.5 – 6 ton/ha dengan rata-rata hasil 3.4 – 4.6 ton/ha (Suprihatno et al. 2011).

Pemuliaan tanaman padi untuk daya hasil tinggi dilakukan dengan memadukan karakter-karakter yang mendukung peningkatan daya hasil. Peningkatan daya hasil dapat dicapai dengan perbaikan potensi hasil, peningkatan daya adaptasi, dan perbaikan lingkungan tumbuh. Ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi berdasarkan Vergara et al. (1973) adalah tinggi tanaman sedang (< 130 cm), daya merumpun sedang (11-15) tetapi produktif, umur genjah (110-135 hari), vigor awal besar, perakaran besar dan dalam, toleran terhadap hama dan penyakit utama, dan adaptabilitasnya tinggi.

Aplikasi Kultur Antera Pada Pemuliaan Padi Gogo

Salah satu prosedur alternatif yang dianjurkan dalam perakitan varietas baru adalah dengan terlebih dahulu membuat galur murni melalui induksi individu dihaploid spontan (spontaneous doubled haploid/dihaploid) atau dengan jalan menggandakan kromosom dari individu haploid. Galur-galur dihaploid spontan dan tanaman haploid dapat diperoleh melalui salah satu prosedur bioteknologi, yaitu teknik kultur in-vitro antera (Dewi et al. 2007).

(32)

Herawati et al. (2009) menyatakan bahwa regenerasi tanaman dalam kultur antera padi gogo dipengaruhi oleh faktor persilangan. Hasil penelitian ini memperkuat laporan terdahulu bahwa latar belakang genetik tetua mempengaruhi tanggap induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera tanaman padi (Dewi et al. 1994).

Metode seleksi yang tepat merupakan proses yang efektif untuk memperoleh sifat-sifat yang dianggap sangat penting dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Sasmita et al. (2006) telah mengevaluasi sejumlah galur padi gogo dihaploid untuk ketahanan terhadap naungan, dan diperoleh galur-galur padi gogo dihaploid GI-8, IG-19, dan IW-56 yang konsisten toleran terhadap naungan dan adaptif terhadap kondisi tumpang sari padi-jagung. Purwoko (2007) juga telah mengevaluasi galur-galur padi gogo hasil kultur antera, dan diperoleh galur O18-b-1 dan B13-2e yang merupakan galur-galur toleran alumunium.

Interaksi Genotipe dan Lingkungan

Informasi mengenai stabilitas suatu genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan sangat penting diketahui dalam menentukan varietas atau galur yang lebih tepat untuk ditanam di suatu lingkungan. Kedua parameter ini akan semakin penting jika varietas yang dievaluasi adalah varietas baru atau galur harapan yang dihasilkan dari suatu kegiatan pemuliaan tanaman. Pengujian stabilitas hasil melalui serangkaian uji mulitilokasi merupakan suatu tahapan penting sebelum varietas dilepas. Dari hasil uji multilokasi diharapkan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang dapat beradaptasi baik dilingkungan tertentu dan stabil pada beberapa lingkungan.

(33)

mengakibatkan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G × E), pengaruh interaksi yang besar secara langsung akan mengurangi kontribusi faktor genetik dalam penampilan akhir. (Gomez dan Gomez 1984).

Interaksi G × E yang relatif besar untuk variasi genotipe, menyebabkan perlunya mengkuantifikasi pengaruh interaksi G × E. Hal ini bertujuan untuk membedakan interaksi karena heterogenitas varians genetik di antara lingkungan atau karena kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan. Cooper et al. (1996) menggambarkan interaksi genotipe dan lingkungan (G × E) dalam 4 model (Gambar 2).

Gambar 2 Model skematis yang menggambarkan interaksi genotipe dan lingkungan : (a) tidak ada interaksi G × E; (b) interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan tetapi tidak ada korelasi genetik di antara lingkungan; (c) interaksi G × E karena kurangnya korelasi genetik tetapi tidak ada heterogenitas ragam di antara lingkungan; (d) interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara

Gambar 2(a) menunjukkan tidak terdapatnya interaksi antara genotipe dan lingkungan (G × E). Tidak adanya interaksi G × E seringkali menyebabkan

[image:33.595.88.478.94.819.2]
(34)

timbulnya interpertasi bahwa seluruh genotipe menunjukkan kestabilan mengikuti indeks rata-rata lingkungan. Pada Gambar 2(b) interaksi G × E terjadi karena heterogenitas ragam di antara lingkungan tetapi tidak ada korelasi genetik di antara lingkungan. Urutan peringkat genotipe sama di setiap lingkungan. Kedua model ini umumnya diistilahkan sebagai interaksi G × E kualitatif. Model G × E kualitatif ini memudahkan pemulia untuk memilih genotipe yang akan dilepas, karena di setiap lingkungan menunjukkan pola urutan peringkat genotipe sama. Pemilihan genotipe selanjutnya lebih diarahkan pada sisi agronomis, terutama dari potensi atau rata-rata hasil (Cooper et al. 1996).

Gambar 2(c) menunjukkan adanya interaksi G × E karena kurangnya korelasi genetik di tiap lingkungan tetapi tidak ada heterogenitas ragam di antara lingkungan. Adapun Gambar 2(d) menunjukkan adanya interaksi G × E karena heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan. Kedua model ini perlu dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah interaksi terjadi secara signifikan. Perubahan lingkungan juga menyebabkan perubahan peringkat genotipe. Setiap lingkungan menunjukkan pola urutan peringkat genotipe yang berbeda. Kedua model ini umumnya diistilahkan sebagai interaksi G × E kuantitatif. Interaksi G × E kuantitatif ini ber potensi menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan (Cooper et al. 1996).

(35)

Metode Pengujian Stabilitas Hasil

Lin et al. (1986) mengelompokkan metode analisis stabilitas menjadi empat kelompok dengan tiga tipe konsep stabilitas (Tabel 1.). Pengelompokan metode analisis stabilitas ini didasarkan pada deviasi pengaruh rata-rata genotipe, pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan, serta pengaruh gabungan keduanya. Tabel 1 Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986)

Kelompok A mendasarkan metode analisisnya pada deviasi pengaruh rata-rata genotipe. Stabilitas diukur berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Koefisien keragaman suatu genotipe dapat diketahui dari jumlah kuadrat genotipe tersebut. Kelompok B mendasarkan

Grup Tipe Model Persamaan Penggagas

A

1 Francis &

Kannenberg

1

B

2 Plaisted & Peterson

2 Plaisted

2 Wrickle

2 Shukla

C

2 Finlay & Wilkinson

2 Perkins & Jinks

D

3 Eberhart & Russell

(36)

metode analisisnya pada pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan. Kelompok C dan D mendasarkan metode analisisnya pada pengaruh gabungan deviasi rata-rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan. Perbedaan kedua kelompok ini adalah penggunaan parameter ukur stabilitas, dimana kelompok C menggunakan koefisien regresi antara hasil rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian, sedangkan kelompok D menggunakan nilai parameter deviasi.

Lebih lanjut disebutkan oleh Lin et al. (1986) bahwa keempat metode analisis stabilitas ini dapat menjelaskan tiga tipe konsep stabilitas, dimana suatu genotipe dikatakan stabil jika : (1) memiliki koefisien keragaman yang kecil dalam lingkungannya (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan rata-rata respon seluruh genotipe yang diuji, atau sebanding dengan indeks lingkungannya (3) memiliki kuadrat tengah sisa yang kecil dari garis regresi indeks lingkungannya. Konsep stabilitas tipe 1 dan 3 bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Adapaun konsep stabilitas tipe 2 bersifat dinamis karena dapat menunjukan pola stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Berdasarkan konsep tersebut maka metode analisis stabilitas pada kelompok A dapat menjelaskan konsep stabilitas tipe 1, kelompok B menjelaskan konsep stabilitas tipe 2, kelompok D menjelaskan konsep stabilitas tipe 3, sedangkan kelompok C mampu menjelaskan konsep stabilitas tipe 1 dan 2.

Metode Francis & Kannenberg, Finlay & Wilkinson, dan Eberhart & Russell, cukup mewakili untuk menjelaskan ketiga konsep stabilitas dalam penelitian ini. Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Terbentuknya variasi ini didekati kuadrat tengah genotipe serta koefisien variasi genotipe. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa dengan semakin kecilnya nilai pengukuran, maka semakin stabil genotipe tersebut.

(37)

Genotipe-genotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

Eberhart dan Russell (1966) mengembangkan metode pengujian stabilitas yang didasarkan pada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil hanya bila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil. Nilai 2 (parameter deviasi) yang besar atau Ri2

Untuk menentukan berapa banyak sumbu komponen utama yang dipakai sebagai penduga digunakan dua metode yaitu metode postdictive success dan

predictive succes. Metode postdictive success berhubungan dengan kemampuan suatu model yang tereduksi untuk menduga data yang digunakan dalam

(koefisien determinasi) yang kecil menunjukkan bahwa model regresi yang diperoleh tidak menggambarkan data yang sebenarnya dan dengan sendirinya tidak dapat dipakai sebagai ukuran stabilitas.

Metode yang dapat digunakan dalam memvisualisasi dan menjelaskan respon genotipe terhadap lingkungan serta stabilitas daya hasilnya adalah metode

Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan faktorial dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

(38)

membangun model tersebut. Salah satu caranya adalah berdasarkan banyaknya

sumbu tersebut yang nyata pada uji F analisis ragam. Predictive success

berhubungan dengan kemampuan suatu model dugaan untuk memprediksi data lain yang sejenis tetapi tidak digunakan dalam membangun model tersebut (data

validasi). Penentuan jumlah sumbu komponen utama berdasarkan predictive

(39)
(40)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Pengujian stabilitas daya hasil padi gogo dilaksanakan di delapan lokasi pada musim hujan (MH) bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011. Lokasi pengujian tersebar di Jawa dan Sumatera, yaitu : Kebun Percobaan Taman Bogo – Lampung, Natar – Lampung, Kebun Percobaan Cikarawang Bogor – Jawa Barat, Sukabumi – Jawa Barat, Indramayu – Jawa Barat, Purworejo – Jawa Tengah, Wonosari – Gunung Kidul, dan Malang – Jawa Timur.

Bahan dan Alat

Sebanyak 12 genotipe digunakan sebagai bahan uji, yang terdiri atas 10 galur harapan padi gogo hasil kultur antera dan dua varietas pembanding. Sepuluh galur harapan padi gogo hasil kultur antera tersebut adalah III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-I5-10-1-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW 56, B13-2e. Dua varietas pembandingnya adalah Batutegi dan Way Rarem (Lampiran 1 dan 2). Alat yang digunakan adalah alat yang umum dipakai dalam penelitian pertanian, seperti traktor, cangkul, ember, tali, bambu, alat ukur dan alat tulis lainnya.

Pelaksanaan

Pelaksanaan pengujian di tiap lokasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak empat kali. Satuan percobaan berupa petakan berukuran 4 m x 5 m, sehingga tiap lokasi terdiri dari 48 satuan percobaan (Lampiran 3).

(41)

Dosis pupuk yang diberikan dalam pengujian ini adalah pupuk kandang 10 ton/ha, Urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Penyiangan dilakukan 3 kali selama masa tanam, adapun pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan secara intensif sesuai kebutuhan.

Pengamatan

Respon tanaman terhadap lingkungan tumbuh, diukur melalui keragaan hasil dan komponen hasil (karakter agronomi). Pengamatan dilakukan pada 5 rumpun tanaman sampel pada tiap petak yang ditentukan secara acak. Adapun peubah-peubah yang diamati adalah sebagai berikut :

1. Tinggi tanaman (cm); diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai

tertinggi. Pengukuran dilakukan menjelang panen.

2. Jumlah anakan vegetatif; jumlah anakan yang muncul pada rumpun. Jumlah

anakan vegetatif dihitung pada saat tanaman berumur 50 – 60 hari setelah tanam.

3. Jumlah anakan produktif; jumlah anakan yang mengeluarkan malai. Waktu

penghitungan dilakukan menjelang panen.

4. Panjang malai (cm); diukur dari leher malai sampai ujung malai. Pengukuran dilakukan saat panen.

5. Umur tanaman berbunga 50 % (hari); dihitung mulai benih ditanam sampai

tanaman keluar bunga ± 50 %.

6. Umur tanaman dapat dipanen (hari); dihitung dari mulai benih ditanam

sampai gabah masak 80%.

7. Jumlah gabah per malai; dihitung jumlah gabah isi dan gabah hampa per

malai dari 5 malai utama.

8. Persen gabah isi per malai (%); dihitung dengan cara membandingkan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah total per malai dikalikan 100 %, pembandingan dilakukan pada 5 malai utama.

(42)

nilai rata-rata dari 3 kali pengukuran kadar air gabah hasil panen (GKP). Setelah gabah dijemur dan dibersihkan, kemudian ditimbang gabah kering giling (GKG) tiap plotnya.

10. Bobot 1000 butir gabah (gram); ditimbang 1000 butir gabah bernas tiap plot dengan kadar air ± 14 %.

Analisis Data

1. Analisis ragam tiap lokasi

Model linear untuk RAK faktor tunggal adalah sebagai berikut :

Y

ij

= µ + τ

i

+ β

j

+

ij

;

i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4

Dimana

Y

ij : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, dan ulangan ke-j

µ

: nilai rata-rata umum

τ

i : pengaruh perlakuan ke-i

β

j : pengaruh ulangan ke-j ij

Sumber Keragaman

: pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Sidik ragam berdasarkan metode yang dipakai oleh Singh dan Chaudhary, 1979 (Tabel 2).

Tabel 2 Sidik ragam tiap lokasi berdasarkan Singh dan Chaudhary (1979)

db Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Nilai F

Ulangan r - 1 JK 3 M3=JK3/(r-1) M3/M1

Genotipe g - 1 JK 2 M2=JK2/(g-1) M2/M1

Galat (r-1)(g-1) JK 1 M1=JK1/(r-1)(g-1) -

2. Uji kehomogenan ragam

(43)

3. Analisis ragam gabungan

Analisis gabungan dari semua lokasi pengujian untuk RAK (Tabel 3) diduga dengan model linear seperti dikemukakan oleh Baihaki (2000) sebagai berikut :

Y

ijk

= µ + α

i

+ β

j/k

+ τ

k

+ (ατ)

ik

+

ijk

;

i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4 ; k = 1,2,3,……8

dimana

Y

ijk : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

µ

: nilai rata-rata umum

α

i : pengaruh perlakuan ke-i

β

j/k : pengaruh ulangan ke-j dalam lokasi ke-k

τ

k : pengaruh lokasi ke-k

ijk

Sumber Keragaman

: pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

Tabel 3 Sidik ragam gabungan dari 8 lokasi pengujian galur-galur harapan padi gogo hasil kultur antera

db Kuadrat

Tengah Nilai F Lingkungan (E) l-1 M5 M5/ M4

Ulangan/Lingkungan l(r-1) M4 - Genotipe (G) g-1 M3 M3/M

G x E

1

(l-1)(g-1) M2 M2/M

Galat

1

l(r-1)(g-1) M1 -

Keterangan : l (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe) 4. Analisis stabilitas

a. Francis dan Kannenberg (1978)

Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas menggunakan koefisien keragaman (% CVi) setiap genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Semakin kecil nilai koefisien keragaman genotipe-nya, semakin stabil genotipe tersebut.

CVi 100%

[image:43.595.71.487.24.818.2]
(44)

Dimana : Si2 adalah kuadrat tengah genotipe ke-i, Yi.

b. Finlay dan Wilkinson (1963)

adalah nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Genotipe-genotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

c. Eberhart dan Russell(1966)

Eberhart dan Russell menggunakan standar deviasi kuadrat tengah

terhadap koefisien regresi pada tiap genotipe sebagai penduga stabilitas.

1) 2

[

− −

]

−2 ( ) ( )

1

. 2 2

. b Y Y

Y Y

q ij i j

=

2) Ri2

− − ∑ j i j j i Y Yi Y Y b ) ( ) ( . . 2 =

Dimana 2

adalah ragam genotipe; q adalah banyaknya lingkungan pengujian; Yij adalah rata-rata nilai pengamatan pada genotipe ke-i dan lingkungan ke j; Yi. adalah nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan; Y.j adalah nilai rata-rata pengamatan lingkungan ke j pada seluruh genotipe; Y adalah nilai rata-rata total seluruh pengamatan; Ri2 adalah koefisien determinasi; bi2

d. Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). adalah slope regresi.

(45)

Model persamaannya sebagai berikut : Yge = µ + αg + βe + Σλn λgn δen+ ρge

Dimana :

Yge = Hasil genotipe ke – g pada lingkungan ke - e

µ = Rata-rata umum

αg = Simpangan genotipe ke - g terhadap rata-rata umum

βe = Simpangan lingkungan ke - e terhadap rata-rata umum

N = Jumlah sumbu AKU (Analisis Komponen Utama) dalam model λn = Nilai Singular untuk AKU sumbu ke - n

λgn = Nilai vektor ciri genotipe untuk AKU sumbu ke – n

δen = Nilai vektor ciri lingkungan untuk AKU Sumbu ke - n

(46)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Pengujian stabilitas daya hasil padi gogo dilaksanakan di delapan lokasi pada musim hujan (MH) bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011. Lokasi pengujian tersebar di Jawa dan Sumatera, yaitu : Kebun Percobaan Taman Bogo – Lampung, Natar – Lampung, Kebun Percobaan Cikarawang Bogor – Jawa Barat, Sukabumi – Jawa Barat, Indramayu – Jawa Barat, Purworejo – Jawa Tengah, Wonosari – Gunung Kidul, dan Malang – Jawa Timur.

Bahan dan Alat

Sebanyak 12 genotipe digunakan sebagai bahan uji, yang terdiri atas 10 galur harapan padi gogo hasil kultur antera dan dua varietas pembanding. Sepuluh galur harapan padi gogo hasil kultur antera tersebut adalah III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-I5-10-1-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW 56, B13-2e. Dua varietas pembandingnya adalah Batutegi dan Way Rarem (Lampiran 1 dan 2). Alat yang digunakan adalah alat yang umum dipakai dalam penelitian pertanian, seperti traktor, cangkul, ember, tali, bambu, alat ukur dan alat tulis lainnya.

Pelaksanaan

Pelaksanaan pengujian di tiap lokasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak empat kali. Satuan percobaan berupa petakan berukuran 4 m x 5 m, sehingga tiap lokasi terdiri dari 48 satuan percobaan (Lampiran 3).

(47)

Dosis pupuk yang diberikan dalam pengujian ini adalah pupuk kandang 10 ton/ha, Urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Penyiangan dilakukan 3 kali selama masa tanam, adapun pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan secara intensif sesuai kebutuhan.

Pengamatan

Respon tanaman terhadap lingkungan tumbuh, diukur melalui keragaan hasil dan komponen hasil (karakter agronomi). Pengamatan dilakukan pada 5 rumpun tanaman sampel pada tiap petak yang ditentukan secara acak. Adapun peubah-peubah yang diamati adalah sebagai berikut :

1. Tinggi tanaman (cm); diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai

tertinggi. Pengukuran dilakukan menjelang panen.

2. Jumlah anakan vegetatif; jumlah anakan yang muncul pada rumpun. Jumlah

anakan vegetatif dihitung pada saat tanaman berumur 50 – 60 hari setelah tanam.

3. Jumlah anakan produktif; jumlah anakan yang mengeluarkan malai. Waktu

penghitungan dilakukan menjelang panen.

4. Panjang malai (cm); diukur dari leher malai sampai ujung malai. Pengukuran dilakukan saat panen.

5. Umur tanaman berbunga 50 % (hari); dihitung mulai benih ditanam sampai

tanaman keluar bunga ± 50 %.

6. Umur tanaman dapat dipanen (hari); dihitung dari mulai benih ditanam

sampai gabah masak 80%.

7. Jumlah gabah per malai; dihitung jumlah gabah isi dan gabah hampa per

malai dari 5 malai utama.

8. Persen gabah isi per malai (%); dihitung dengan cara membandingkan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah total per malai dikalikan 100 %, pembandingan dilakukan pada 5 malai utama.

(48)

nilai rata-rata dari 3 kali pengukuran kadar air gabah hasil panen (GKP). Setelah gabah dijemur dan dibersihkan, kemudian ditimbang gabah kering giling (GKG) tiap plotnya.

10. Bobot 1000 butir gabah (gram); ditimbang 1000 butir gabah bernas tiap plot dengan kadar air ± 14 %.

Analisis Data

1. Analisis ragam tiap lokasi

Model linear untuk RAK faktor tunggal adalah sebagai berikut :

Y

ij

= µ + τ

i

+ β

j

+

ij

;

i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4

Dimana

Y

ij : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, dan ulangan ke-j

µ

: nilai rata-rata umum

τ

i : pengaruh perlakuan ke-i

β

j : pengaruh ulangan ke-j ij

Sumber Keragaman

: pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Sidik ragam berdasarkan metode yang dipakai oleh Singh dan Chaudhary, 1979 (Tabel 2).

Tabel 2 Sidik ragam tiap lokasi berdasarkan Singh dan Chaudhary (1979)

db Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah Nilai F

Ulangan r - 1 JK 3 M3=JK3/(r-1) M3/M1

Genotipe g - 1 JK 2 M2=JK2/(g-1) M2/M1

Galat (r-1)(g-1) JK 1 M1=JK1/(r-1)(g-1) -

2. Uji kehomogenan ragam

(49)

3. Analisis ragam gabungan

Analisis gabungan dari semua lokasi pengujian untuk RAK (Tabel 3) diduga dengan model linear seperti dikemukakan oleh Baihaki (2000) sebagai berikut :

Y

ijk

= µ + α

i

+ β

j/k

+ τ

k

+ (ατ)

ik

+

ijk

;

i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4 ; k = 1,2,3,……8

dimana

Y

ijk : nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

µ

: nilai rata-rata umum

α

i : pengaruh perlakuan ke-i

β

j/k : pengaruh ulangan ke-j dalam lokasi ke-k

τ

k : pengaruh lokasi ke-k

ijk

Sumber Keragaman

: pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

Tabel 3 Sidik ragam gabungan dari 8 lokasi pengujian galur-galur harapan padi gogo hasil kultur antera

db Kuadrat

Tengah Nilai F Lingkungan (E) l-1 M5 M5/ M4

Ulangan/Lingkungan l(r-1) M4 - Genotipe (G) g-1 M3 M3/M

G x E

1

(l-1)(g-1) M2 M2/M

Galat

1

l(r-1)(g-1) M1 -

Keterangan : l (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe) 4. Analisis stabilitas

a. Francis dan Kannenberg (1978)

Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas menggunakan koefisien keragaman (% CVi) setiap genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Semakin kecil nilai koefisien keragaman genotipe-nya, semakin stabil genotipe tersebut.

CVi 100%

[image:49.595.71.487.24.818.2]
(50)

Dimana : Si2 adalah kuadrat tengah genotipe ke-i, Yi.

b. Finlay dan Wilkinson (1963)

adalah nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Genotipe-genotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

c. Eberhart dan Russell(1966)

Eberhart dan Russell menggunakan standar deviasi kuadrat tengah

terhadap koefisien regresi pada tiap genotipe sebagai penduga stabilitas.

1) 2

[

− −

]

−2 ( ) ( )

1

. 2 2

. b Y Y

Y Y

q ij i j

=

2) Ri2

− − ∑ j i j j i Y Yi Y Y b ) ( ) ( . . 2 =

Dimana 2

adalah ragam genotipe; q adalah banyaknya lingkungan pengujian; Yij adalah rata-rata nilai pengamatan pada genotipe ke-i dan lingkungan ke j; Yi. adalah nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan; Y.j adalah nilai rata-rata pengamatan lingkungan ke j pada seluruh genotipe; Y adalah nilai rata-rata total seluruh pengamatan; Ri2 adalah koefisien determinasi; bi2

d. Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). adalah slope regresi.

(51)

Model persamaannya sebagai berikut :

Yge = µ + αg + βe + Σλn λgn δen+ ρge

Dimana :

Yge = Hasil genotipe ke – g pada lingkungan ke - e µ = Rata-rata umum

αg = Simpangan genotipe ke - g terhadap rata-rata umum

βe = Simpangan lingkungan ke - e terhadap rata-rata umum

N = Jumlah sumbu AKU (Analisis Komponen Utama) dalam model λn = Nilai Singular untuk AKU sumbu ke - n

λgn = Nilai vektor ciri genotipe untuk AKU sumbu ke – n

δen = Nilai vektor ciri lingkungan untuk AKU Sumbu ke - n

(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Penelitian

Pelaksanaan penelitian secara umum berjalan cukup baik. Pertumbuhan awal tanaman di beberapa lokasi relatif baik, kecuali di Taman Bogo Lampung dan Wonosari Gunung Kidul. Curah hujan yang cukup pada awal-awal pertumbuhan, khususnya di Sukabumi dan Bogor memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Kondisi serupa tidak terjadi di Indramayu yang sejak awal ketersediaan airnya kurang. Data iklim lingkungan uji disajikan pada Lampiran 4. Kondisi tanah di Taman Bogo pada ulangan I kejenuhan Al agak tinggi sehingga tanaman kurang tumbuh secara optimal.

Daya tumbuh benih genotipe III3-4-6-1 di Wonosari kurang dari 50 % karena serangan semut dan uret sehingga harus dilakukan tanam ulang. Hama uret, mentul, dan belalang pemakan daun muncul di Wonosari, tetapi serangannya tidak sampai menyebabkan kerugian hasil yang signifikan. Pada fase vegetatif terjadi serangan blas daun (Pyricularia grisea pv. oryzae) di Sukabumi. Lokasi penelitian di Sukabumi merupakan daerah endemik blas daun. Serangan ini masih dapat ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang besar.

Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman pada saat

muncul malai sampai bulir padi matang susu. Cairan bulir padi yang dihisap walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna. Serangan hama ini terjadi di Bogor secara sporadis. Serangan yang lebih luas hama ini tidak terjadi, dan masih dapat ditanggulangi dengan penggunaan insektisida. Serangan blas leher malai juga terjadi di Bogor. Serangan ini hanya terjadi di ulangan 4 karena berdekatan dengan genotipe-genotipe lain padi gogo yang rentan terhadap blas leher malai (di luar genotipe yang diujikan).

(53)

tertentu. Rata-rata kehilangan hasil akibat serangan burung di Malang mencapai 30 % untuk varietas berumur panjang.

Analisis Stabilitas Hasil

Sidik ragam pada karakter hasil GKG di delapan lokasi pengujian memperlihatkan bahwa seluruh lokasi menunjukkan adanya perbedaan respon yang nyata dan sangat nyata terhadap genotipe-genotipe yang diuji (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah kuadrat, kuadrat tengah, dan nilai F genotipe pada karakter hasil

gabah kering giling di 8 lokasi

Lokasi db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah Nilai F

Indramayu 11 13.09 1.19 2.69 *

Wonosari 11 22.81 2.07 3.51 **

Purworejo 11 103.52 9.41 10.81 **

Sukabumi 11 59.87 5.44 12.15 **

Bogor 11 60.57 5.51 7.00 **

Malang 11 31.69 2.88 13.57 **

Natar 11 36.99 3.36 18.33 **

Taman Bogo 11 25.87 2.35 2.23 *

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5 %, ** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1 %.

(54)

Suatu genotipe atau varietas kemungkinan tidak akan selalu menghasilkan hasil yang sama besar jika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang akan memberikan keragaman lingkungan tumbuh yang sangat besar pula (Satoto et al. 2009). Respon tersebut terutama ditunjukkan dengan adanya fluktuasi pada hasil gabah, sehingga menghasilkan pemeringkatan produktivitas yang berbeda dari genotipe-genotipe di setiap lokasi pengujian.

Tabel 5 Sidik ragam gabungan hasil gabah kering giling dari 8 lokasi pengujian

Sumber db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah Nilai F

Lokasi (E) 7 123.18 17.60 30.68**

Ulangan/Lokasi 24 66.29 2.76 4.82

Genotipe (G)

**

11 123.48 11.23 19.57

G × E

**

77 230.93 3.00 5.23

Galat

**

264 151.41 0.57

Total 383 695.30

Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1 %.

Fluktuasi hasil GKG genotipe-genotipe yang diuji serta varietas pembandingnya di delapan lokasi disajikan pada Gambar 3. Lokasi Purworejo, Sukabumi, dan Malang menunjukkan pola rata-rata produksi yang tinggi untuk seluruh genotipe, sedangkan Indramayu menunjukkan pola rata-rata produksi paling rendah. Setiap lokasi menunjukkan pola urutan peringkat genotipe yang berbeda. Hal ini yang digambarkan Cooper et al. (1996) sebagai interaksi G × E yang disebabkan oleh heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan.

(55)

Gambar 3 Fluktuasi keragaan hasil gabah kering giling genotipe-genotipe padi gogo di 8 lokasi

Pola urutan peringkat genotipe yang berbeda di setiap lingkungan menunjukkan interaksi G × E yang bersifat kuantitatif. Interaksi G × E kuantitatif yang mengakibatkan perubahan dalam peringkat genotipe ini menyebabkan tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam mengidentifikasi genotipe mana yang memiliki daya adaptasi luas. Pemilihan genotipe dilakukan berdasarkan performa genotipe-genotipe yang diuji dalam pengujian multi-lokasi, dan respon seleksi pada populasi target lingkungan yang diharapkan.

Kondisi tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam mengidentifikasi genotipe dan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan, berpotensi menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe mana yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan tertentu atau ditanam pada lingkungan yang lebih luas.

[image:55.595.43.484.97.359.2]
(56)
(57)

Rata-rata hasil GKG genotipe WI-44 mampu mengungguli genotipe dan varietas cek lain di dua lokasi pengujian, yaitu Bogor dan Malang. Secara signifikan, di Bogor dan Malang, genotipe ini berbeda nyata dengan varietas cek Way Rarem. Potensi hasil di dua lokasi ini adalah 5.40 ton/ha dam 5.98 ton/ha. Rata-rata hasil GKG genotipe IW-67 di Purworejo mencapai 6.94 ton/ha, mengungguli genotipe dan varietas cek lain. Genotipe IW-56 unggul di lokasi Wonosari dengan potensi hasil GKG 4.39 ton/ha. Rata-rata hasil GKG varietas Way Rarem lebih unggul dibanding genotipe-genotipe lain di tiga lokasi pengujian, yaitu Indramayu, Sukabumi, dan Lampung. Way Rarem unggul sangat signifikan di Sukabumi dengan potensi hasil GKG 6.95 ton/ha. Rata-rata hasil GKG varietas Batutegi lebih tinggi dibanding genotipe lain di Taman Bogo, tetapi uji DMRT tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan WI-44 dan Way Rarem. Hal ini menguatkan bahwa kegiatan seleksi dalam perakitan varietas Way Rarem dan Batutegi dilakukan di Lampung.

Rata-rata kelebihan dan kekurangan hasil genotipe-genotipe yang diuji di delapan lokasi terhadap varietas Batutegi dan Way Rarem disajikan pada Gambar 4 dan 5. Rata-rata selisih hasil IW-67 dengan Batutegi adalah 0,177 ton/ha atau sekitar 4.03 %. Selisih hasil rata-rata antara WI-44 dengan Way Rarem adalah 0.1 ton/ha atau sekitar 2.17 % lebih tinggi dibanding Way Rarem. Selain WI-44 genotipe-genotipe lain yang diuji dalam penelitian ini tidak ada yang rata-rata hasil GKG-nya melebihi varietas Batutegi dan Way Rarem.

A B

(58)

Gambar 5 Persentase kelebihan dan kekurangan hasil genotipe-genotipe yang diuji terhadap varietas Batutegi dan Way Rarem

Analisis Stabilitas Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, dan Eberhart Russel

Parameter pengujian stabilitas hasil gabah kering giling padi gogo hasil kultur antera dari delapan lokasi pengujian disajikan pada Tabel 7. Lin et al.

(1986) mengemukakan tiga konsep stabilitas. Suatu genotipe dikatakan stabil jika (1) keragaman dalam lingkungannya kecil; (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan respon rata-rata seluruh genotipe yang diujikan; (3) kuadrat tengah sisa dari indeks regresi lingkungannya kecil.

Tabel 7 Parameter stabilitas hasil gabah kering giling padi gogo hasil kultur antera dari 8 lokasi pengujian

Genotipe Rata-rata (t/ha) SDi CVi bi 2 Ri

Yi pada Lingkungan

1 t/ha

2 Lingkungan Yi pada

6 t/ha

III3-4-6-1 2.95 1.09 32.51 0.64* 1.04 0.31 1.15 4.35 I5-10-1-1 4.01 0.74 19.74 1.10tn 0.73 0.64 0.91 6.42 WI-44 4.72 1.02 22.17 1.52* 1.25 0.43 0.44 8.05 GI-7 3.52 1.21 31.16 0.77* 1.40 0.29 1.37 5.20 O18-b-1 3.13 1.01 29.55 0.76* 0.98 0.37 1.00 4.79 IW-67 4.39 1.00 26.56 1.31* 1.58 0.32 0.71 7.26 IG-19 3.30 1.23 28.85 0.84tn 1.05 0.37 0.94 5.13 IG-38 3.28 1.10 25.70 1.02tn 0.82 0.47 0.40 5.52 IW-56 3.82 1.38 35.92 1.18tn 2.19 0.20 0.49 6.40 B13-2e 3.79 1.04 19.71 0.78* 0.65 0.67 1.59 5.50 Batutegi 4.22 1.20 27.98 1.17tn 1.75 0.29 0.92 6.78 Way Rarem 4.62 1.15 24.42 0.90tn 1.47 0.35 2.08 6.59 Rata-rata 3.81 1.00 1.00 6.00

Keterangan : SDi=Standar Deviasi Genotipe; CVi=Koefisien Keragaman Genotipe; bi=Koefisien regresi genotipe, * berbeda nyata dengan 1, tn tidak berbeda nyata dengan 1; 2=parameter deviasi;,

Ri 2

[image:58.595.110.510.73.787.2] [image:58.595.103.512.443.699.2]
(59)

Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas menggunakan koefisien keragaman (CVi

Konsep stabilitas Francis dan Kannenberg didasarkan pada keragamaan genotipe yang timbul akibat respon genotipe tersebut terhadap pengaruh lingkungan pengujian. Konsep stabilitas ini bersifat statis dan hanya melihat respon masing-masing individu genotipe terhadap lingkungannya, tanpa ada pembandingan langsung antar genotipe. Becker (1981) dalam Lin et al. (1986) mengkategorikan konsep stabilitas ini sebagai stabilitas biologi yang berbeda jauh dengan konsep stabil secara agronomi. Konsep stabilitas ini juga sangat tergantung pada rentang wilayah dan lokasi pengujian. Jika rentang wilayah lokasi pengujian semakin luas, yang menyebabkan kondisi lokasi pengujian semakin beragam, maka konsep stabilitas ini menjadi tidak berarti.

) setiap genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Semakin kecil nilai koefisien keragaman genotipenya, semakin stabil genotipe tersebut. Moedjiono dan Mejaya (1995) mengkategorikan nilai koefisien keragaman genotipe dalam empat kelompok, yaitu rendah ( < 25 %), agak rendah (25 -50 %), cukup tinggi (50 – 75 %), dan tinggi (75 – 100 %). Berdasarkan kategori tersebut maka genotipe-genotipe yang diuji dalam penelitian ini masuk dalam kategori rendah dan agak rendah. Genotipe I5-10-1-1, WI-44, B13-2e, dan Way Rarem memiliki koefisien keragaman genotipe rendah (Tabel 7) sehingga digolongkan stabil.

Stabil secara biologi ini juga tetap harus memperhatikan daya hasil dari genotipe yang diuji. Genotipe yang stabil tetapi rendah daya hasilnya menjadi tidak berarti untuk kepentingan produksi lebih lanjut. Dari genotipe-genotipe yang dikategorikan stabil secara biologi, genotipe I5-10-1-1, WI-44, dan Way Rarem memiliki daya hasil tinggi melebihi daya hasil rata-rata seluruh genotipe dari delapan lokasi pengujian. Jika dibandingkan dengan daya hasil rata-rata varietas pembandingnya, yaitu Batutegi dan Way Rarem, maka hanya genotipe WI-44 yang selalu terkategori stabil juga memiliki daya hasil paling tinggi diantara genotipe yang diuji.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) merupakan suatu metode pengukuran stabilitas yang didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil

(60)

lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Finlay dan Wilkinson mengelompokkan nilai bi

sebagai standar stabilitas dalam tiga kelompok, yaitu (1) stabilitas di bawah rata-rata, jika nilai bi > 1; (2) stabilitas setara rata-rata, jika nilai bi = 1; (3) stabilitas di

atas rata-rata, jika nilai bi

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat 6 genotipe yang memiliki nilai b

< 1.

i

yang tidak berbeda nyata dengan 1, yaitu I5-10-1-1, IG-19, IG-38, IW-56, Batutegi, dan Way Rarem (Tabel 7). Genotipe-genotipe ini dikategorikan sebagai genotipe yang stabil. Genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di bawah rata-rata adalah WI-44 dan IW-67 dengan nilai bi masing-masing 1.52 dan 1.31,

sedangkan genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di atas rata-rata adalah III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e dengan nilai bi

Stabilitas di bawah atau di atas rata-rata pada dasarnya menunjukkan pola adaptabilitas dari genotipe-genotipe tersebut. Genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di bawah rata-rata merupakan genotipe-genotipe yang peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable). Adapun genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di atas rata-rata umumnya mampu beradaptasi pada lingkungan yang marginal.

berturut-turut 0.64, 0.77, 0,76, dan 0.78.

Gambar 6 dan 7 menunjukkan pola linier produksi tiap-tiap genotipe pada indeks lingkungan tertentu. Pada lingkungan dengan indeks rata-rata hasil 1 ton/ha, genotipe-genotipe yang termasuk memiliki stabilitas di bawah rata-rata, yaitu WI-44 dan IW-67, hanya mampu berproduksi 0.44 ton/ha dan 0.71 ton/ha, sebaliknya pada lingkungan dengan indeks rata-rata hasil 6 ton/ha, genotipe tersebut mampu berproduksi melebihi indeks lingkungannya yaitu sebesar 8.05 ton/ha dan 7.26 ton/ha (Tabel 7).

Pada Gambar 6 terlihat bahwa grafik linier untuk genotipe WI-44 dan IW-67 tergolong curam (bi > 1). Pada kisaran indeks lingkungan 0 – 2 ton/ha genotipe

(61)

menunjukkan kepekaan kedua genotipe tersebut terhadap lingkungannya, pada lingkungan marginal produksinya di bawah rata-rata sedangkan pada lingkungan menguntungkan produksinya di atas rata-rata.

Gambar 6 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong tidak stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson.

Genotipe-genotipe yang termasuk memiliki stabilitas di atas rata-rata yaitu III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e, nilai perkiraan produksi pada indeks lingkungan 1 ton/ha berkisar antara 1 – 1.59 ton/ha, sedangkan pada indeks lingkungan 6 ton/ha berkisar antara 4.35 – 5.5 ton/ha (Tabel 7). Pada Gambar 5 terlihat bahwa grafik linier untuk genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e tergolong landai (bi < 1). Pada kisaran indeks lingkungan 0 – 2 ton/ha genotipe

III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e memiliki potensi produksi yang lebih tinggi dibanding indeks lingkungannya. Pada indeks lingkungan 3 ton/ha dan seterusnya. dugaan potensi produksi genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e selalu lebih rendah dari indeks lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan kemampuan adaptabilitas dari genotipe-genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e pada lingkungan yang marginal. Angka indeks lingkungan 3 ton/ha dalam penelitian ini dapat dijadikan standar titik kritis untuk menentukan marginal atau tidaknya suatu lingkungan.

bi> 1

(62)

Berbeda halnya dengan varietas-varietas yang stabil seperti I5-10-1-1, IG-19, IG-38 dan IW-56 perkiraan kisaran produksinya hampir selalu mengikut i indeks rata-rata hasil lingkungannya (Gambar 7). Nilai bi = 1 pada

genotipe-genotipe yang tergolong stabil menunjukkan bahwa hampir tidak ada deviasi antara produksi dengan indeks rata-rata hasil lingkungannya. Genotipe I5-10-1-1 (bi = 1.1) pada indeks lingkungan 1 ton/ha nilai duga produksinya adalah 0.9

ton/ha, sedangkan pada indeks lingkungan 6 ton/ha nilai duga produksinya mencapai 6.42 ton/ha (Tabel 7).

Gambar 7 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson.

(63)

Analisis stabilitas Eberhart dan Russell (1966) merupakan pengukuran stabilitas yang didasarkan kepada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lingkungan. Suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah sisa dari garis regresinya adalah kecil. Parameter stabilitasnya dilihat dari nilai deviasi ( 2) dan koefisien determinasi (Ri) genotipe yang diuji. Model stabilitas suatu genotipe dikatakan baik jika memiliki nilai 2 kecil dan Ri

Berdasarkan parameter tersebut maka dari kedua-belas genotipe dan varietas yang diuji di delapan lokasi, dua genotipe yang memiliki nilai

besar (mendekati 1).

2 terkecil adalah B13-2e dan I5-10-1-1, yaitu 0.65 dan 0.73 (Tabel 7). Nilai koefisien determinasi (Ri

Analisis Stabilitas Model AMMI

) dari kedua genotipe tersebut juga merupakan nilai terbesar diantara genotipe dan varietas lainnya yaitu 0.67 dan 0.64. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi yang digunakan untuk memperkirakan kestabilan kedua genotipe tersebut lebih baik daripada model regresi genotipe-genotipe lainnya.

Analisis ragam gabungan untuk hasil gabah kering giling per ha menunjukkan bahwa pengaruh genotipe, lingkungan, dan interaksi keduanya (G × E) berbeda sangat nyata (Tabel 5). Kontribusi faktor genotipe terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling sebesar 17.76 %. Lokasi memberikan kontribusi sebesar 17.72 % terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling. Adapaun interaksi antara genotipe dan lokasi (G × E) memberikan kontribusi sebesar 33.21 % terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling. Adanya pengaruh interaksi (G × E) yang nyata memungkinkan untuk dilakukannya analisis AMMI dan mempolakan interaksi genotipe dan lingkungannya dengan biplot. Analisis AMMI merupakan suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

(64)
[image:64.595.105.513.208.427.2]

AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-7. Kontribusi ragam yang dapat diterangkan oleh masing-masing komponen utama interaksi (KUI) berturut-turut adalah 53.53%, 17.44%, 13.89%, 8.35%, 3.18%, 2.33%, dan 1.27%. Analisis ragam AMMI dari 12 genotipe di 8 lokasi pengujian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Analisis ragam AMMI genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera di 8 lokasi pengujian

Sumber

Keragaman Db JK KT F hit Nilai P

Kontribusi thd Keragaman (%) Kontribusi thd Keragaman

G × E (%) Lokasi 7 123.18 17.60 30.68 0.000 17.72

Ulangan/Lokasi 24 66.29 2.76 4.82 0.000 9.53 Genotipe 11 123.48 11.23 19.57 0.000 17.76 Genotipe × Lokasi 77 230.93 3.00 5.23 0.000 33.21

IAKU1 17 123.63 7.27 12.68 0.000 53.53 IAKU2 15 40.28 2.69 4.68 0.000 17.44 IAKU3 13 32.09 2.47 4.30 0.000 13.89 IAKU4 11 19.29 1.75 3.06 0.001 8.35 IAKU5 9 7.34 0.82 1.42 0.178 3.18 IAKU6 7 5.37 0.77 1.34 0.232 2.33 IAKU7 5 2.93 0.59 1.02 0.406 1.27 Galat 264 151.41 0.57 21.78

Total 383 695.30 100 100

Keterangan : db= derajat bebas, JK=Jumlah Kuadrat, KT=kuadrat Tengah, Nilai P=Peluang, IAKU=Interaksi Analisis Komponen Utama.

(65)

Model AMMI4 mampu menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 93.22 %. Namun karena keterbatasan visualisasi grafik yang hanya mampu menampilkan grafik dua dimensi, maka model yang digambarkan dalam tesis ini adalah AMMI2. Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera

Model AMMI2 hanya dapat menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 70.98%, ini berarti keragaman yang tidak diterangkan oleh model sebesar 29.02%. Menurut Mattjik (2005), model AMMI akan dapat meningkatkan akurasi dugaan respon interaksi genotipe dan lingkungan jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata. Sedikitnya komponen yang nyata sama artinya dengan menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya berupa galat sehingga dengan menghilangkan galat ini berarti mengakuratkan dugaan respon interaksi genotipe dan lingkungan.

(66)

tetapi berdekatan dengan garis lokasi, maka genotipe tersebut tergolong genotipe-genotipe yang spesifik lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka genotipe-genotipe-genotipe-genotipe yang stabil pada seluruh lokasi pengujian adalah I5-10-1-1, WI-44, IG-38, dan Way Rarem. Genotipe IW-56 dan IW-67 spesifik untuk lokasi Purworejo, Batutegi spesifik untuk lokasi Natar, genotipe IG-19 spesifik untuk lokasi Malang, sedangkan genotipe O18-b-1 dan GI-7 spesifik untuk lokasi Bogor.

Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji disajikan

dalam Tabel 9. Konsep stabilitas yang dikemukakan Lin et al. (1986)

menunjukkan bahwa metode Francis & Kannenberg dan Eberhart & Russell menunjukkan analisis stabilitas yang bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Metode Finlay & Wilkinson menunjukkan analisis stabilitas yang bersifat dinamis yang juga dapat menunjukan pola adaptabilitas suatu genotipe.

Tabel 9 Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji

Genotipe Rata-rata

(ton/ha) Analisis Stabilitas Francis - Kannenberg Finlay-Wilkinson

Eberhart-Russell AMMI

III3-4-6-1 2.95 - - - -

I5-10-1-1 4.01 Stabil Stabil Stabil

Gambar

Gambar 2 Model skematis yang menggambarkan interaksi genotipe dan
Tabel 3 Sidik ragam gabungan dari 8 lokasi pengujian galur-galur harapan
Tabel 3 Sidik ragam gabungan dari 8 lokasi pengujian galur-galur harapan
Gambar 3  Fluktuasi keragaan hasil gabah kering giling genotipe-genotipe padi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kami Guru Indonesia adalah insan pendidik Bangsa yang beriman dan taqwa.. pada Tuhan Yang

Untuk menyelesaikan pertidaksamaan nilai mutlak, dapat digunakan sifat berikut ini:.

Jumlah desa yang termasuk cluster I sebanyak 50 desa (10 diantaranya adalah desa pesisir) dengan karakteristik yaitu: akses terhadap kantor camat paling baik, jumlah

Dari titik ini, sangat terlihat bahwa kepentingan ideologis Baiquni dalam tafsir ilminya tetap lebih dominan dibanding hanya sekadar kebutuhan pragmatis, atau hanya pada

Akan tetapi, ada atau tidaknya hubungan antara hobi cosplay dengan konsep diri anggota Komunitas Cosplay Medan ini yang menjadi pertanyaan dan menimbulkan rasa ingin tahu

Untuk menganalisis dampak modal kerja terhadap produktivitas masyarakat desa di. Untuk menganalisis

Walaupun demikian, sistem ekonomi Indonesia yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab dapat memanfaatkan hikmah-hikmah yang terdapat

Lebih lanjut, ketika ditanya keinginan masyarakat terhadap SPM, ternyata sebanyak 203 orang (64,65%) responden sangat setuju bila model Standar Pelayanan Minimal yang disusun