• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data observasi dan CHIRPS seluruh stasiun digabung dan diplotkan untuk mendapatkan faktor koreksi (FK). Nilai FK yang didapat berdasarkan data tersebut adalah 0.878. Nilai FK tersebut yang digunakan untuk mengoreksi data CHIRPS spasial (Indonesia) sebagai pengganti data observasi. Secara keseluruhan (24 stasiun) hasil nilai korelasinya cukup baik yakni nilai rataan korelasi dari 24 stasiun (Lampiran 1) sebesar 0.715. Berdasarkan Tabel 2 nilai korelasi berfluktuasi, terbesar pada stasiun Juanda dan terkecil pada stasiun Sultan hasanuddin. CHIRPS merupakan data presipitasi yang menggabungkan data iklim global dengan data observasi dan data topografi. Jika faktor masukan data observasi kurang, dari segi jumlah data maupun stasiun akan mempengaruhi kesesuaian CHIRPS dalam menduga curah hujan lokal. Stasiun Pangsuma memiliki nilai korelasi cukup kecil, karena dilihat dari jumlah ketersediaan data yang sedikit dan faktor stasiun sekitarnya yang berjarak sangat jauh satu sama lain. Perlu dilakukan koreksi data CHIRPS menggunakan FK per stasiun. Berikut adalah contoh hasil perbandingan data curah hujan antara data observasi dan CHIRPS yang dikoreksi menggunakan FK per masing-masing stasiun.

Gambar 4 Perbandingan plot data curah hujan bulanan CHIRPS (sebelum dan sesudah koreksi) dengan Observasi pada 8 stasiun BMKG

9 Tabel 2 Faktor koreksi dan Korelasi (Observasi dan CHIRPS) 8 stasiun BMKG

No Nama Stasiun FK Korelasi

1 Babullah_Ternate Maluku 0.87 0.58 2 Juanda Surabaya 1.18 0.85 3 Pangsuma P Kalimantan 1.30 0.64 4 Raden Inten_Lampung 0.87 0.69 5 Soetha Cengkareng 0.95 0.82 6 Sultan Hasanuddin 0.87 0.51 7 Sultan Thaha_Jambi 0.87 0.70 8 Tjilik Riwut 0.87 0.70

Penelitian ini mengasumsikan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki FK yang sama yakni 0.878. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam running

model menggunakan CPT. Tentunya cara ini memiliki kelemahan karena hanya akan menurunkan seluruh nilai curah hujan di setiap grid dengan persentase penurunan yang sama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian selanjutnya dimana sebaiknya masing-masing wilayah cluster dikoreksi menggunakan FK per cluster, karena setiap cluster memiliki nilai FK yang berbeda-beda. Setelah dilakukan koreksi nilai CHIRPS menjadi menurun seperti pada Gambar 5. Pola data CHIRPS terlihat mampu mengikuti data Observasi. Berdasarkan data 24 stasiun yang digunakan hasil pendugaan CHIRPS sudah cukup baik terlihat dari nilai rataan korelasi 24 stasiun 0.715 dan plot data yang mampu mengikuti pola data observasi.

Gambar 5 Perbandingan rataan curah hujan bulanan 24 Stasiun observasi dengan data CHIRPS sebelum dan sesudah koreksi periode tahun 1981-2010 Sebaran korelasi 24 stasiun ditunjukan Gambar 6, korelasi menunjukan nilai yang beragam yakni 7 stasiun menunjukan korelasi merah (0.41-0.62), 5 stasiun korelasi kuning (0.6-0.71), 6 stasiun korelasi hijau (0.71-0.82) dan 6 stasiun korelasi biru (0.8-0.9). Faktor yang mempengaruhi keragaman nilai korelasi tersebut adalah topografi wilayah dan jumlah ketersediaan data (kuantitas data maupun jumlah stasiun).

10

Statistical Downscaling

CCA merupakan salah satu metode analisis peubah ganda yang ditujukan untuk mengetahui keterkaitan antara dua kelompok peubah. Analisis tersebut digunakan dalam proses SD untuk memprediksi curah hujan. Proses tersebut menghasilkan parameter seperti: loadings, scores dan skill forecast.

Loadings dan Scores

Loadings diplotkan secara spasial dan scores secara temporal. Loadings menunjukan bobot komponen pokok yang menggambarkan hubungan (korelasi) antara suatu variabel dengan suatu faktor dalam pendugaan forecast menggunakan metode CCA. Setiap mode CCA memiliki sebaran loading yang berbeda-beda. Semakin besar nilai bobot suatu wilayah spasial maka semakin besar nilai yang dipakai. Temporal scores menunjukan kesesuaian komponen model GCM (X) dan CHIRPS (Y) dari mode CCA secara time series yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Loadings spasial dan temporal score CCA mode 1 data model GCM (X) dan CHIRPS (Y). Model a) MRI , b) IPSL dan c) CNRM. CCA

mode 2 sampai 5 dilampirkan. a)

b)

11 Persentase keragaman (% variance) data ditunjukan pada Gambar 8. Mode

CCA yang digunakan adalah lima mode pertama. Kelima mode tersebut dianggap sudah mampu mewakili keragaman data (lebih dari 80 %), sedangkan sisanya semakin mendekati nol yang dianggap tidak penting lagi. Nilai mode CCA pertama merupakan nilai komponen utama yang mempunyai keragaman terbesar, sedangkan PC kedua memiliki keragaman terbesar kedua dan seterusnya.

a)

b)

c)

Gambar 8 Persentase keragaman 5 mode CCA yang dipakai dalam downscaling

model menggunakan CPT. Scree plot X adalah model GCM dan Y adalah CHIRPS. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM

12

Skill Forecast

Skill forecast adalah representasi skala kesalahan akurasi perkiraan curah hujan forecast model dalam menduga data curah hujan observasi. Peta skill forecast ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehandalan suatu sistem prakiraan musim dan memantau kualitas dari hasil prakiraan atau sejauh mana ketepatan prakiraan yang dibuat. Hasil ketiga model pada Gambar 7 memiliki nilai korelasi yang cukup baik, tidak ada wilayah yang berkorelasi negatif. Wilayah dengan pola hujan monsunal seperti Jawa dan Nusa Tenggara memiliki nilai korelasi yang paling baik, sedangkan untuk wilayah tipe hujan ekuatorial dan lokal terlihat lebih rendah. Hasil forecast model CNRM memiliki kecenderungan nilai korelasi terbesar dibandingkan model lainnya.

a)

b)

c)

Gambar 9 Skill forecast hasil downscaling menggunakan metode CCA. Model a) MRI, b) IPSL dan c) CNRM

Analisis Cluster

Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, pengaruh seperti letak posisi lintang, perairan, variasi topografi daratan serta pola angin menyebabkan perbedaan pola dan kuantitas hujan. Perlu dilakukan pemisahan wilayah

13 berdasarkan pola curah hujannya, dalam penelitian ini pemisahan wilayah dilakukan menggunakan Analisis Cluster. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian, curah hujan wilayah Indonesia dibedakan menjadi 5 wilayah

cluster yang didasarkan pada nilai similarity dan distance level.

Setiap cluster memiliki karakter pola curah hujan yang berbeda-beda seperti pada Gambar 10. Cluster 1 dan 4 masuk kategori pola hujan mosunal, terutama terlihat jelas pada cluster 4. Ciri utama pola monsunal ini adalah memiliki 1 puncak musim hujan dan 1 puncak musim kemarau. Kedua wilayah cluster ini lebih dominan dipengaruhi oleh angin monsun. Angin monsun yang berhembus dari arah Asia menuju Australia disebut monsun barat yang menyebabkan musim hujan dan sebaliknya angin monsun yang berhembus dari Australia menuju Asia disebut monsun timur yang menyebabkan musim kemarau. Sementara pada

cluster 3 dan 5 masuk kategori pola hujan ekuatorial, ciri utama dari pola ini adalah memiliki 2 puncak musim hujan dalam setahun. Faktor yang dominan mempengaruhinya adalah pergerakan semu matahari, yang melawati wilayah ekuator dua kali dalam setahun.

Gambar 10 Pola curah hujan masing-masing cluster (CHIRPS). Sumbu Y adalah CH (mm) dan sumbu X adalah bulan (1-12)

Cluster 1 dan 4 secara spesifik memiliki karakter pola yang berbeda, cluster

4 memiliki curah hujan yang jauh lebih kecil (kering) dari pada cluster 1, musim kemarau dan musim penghujan cluster 4 lebih kering dari cluster 1. Cluster 3 dan 5 juga berbeda, cluster 3 memiliki curah hujan yang lebih kecil walaupun polanya hampir serupa. Sementara cluster 2 memiliki pola hujan dengan karakter musim kering dan basah yang tidak berbeda jauh fluktuasinya (sepanjang musim hampir sama). Cluster 4 memiliki rataan curah hujan bulanan paling sedikit dibandingkan

cluster lain, dengan perbedaan curah hujan saat kemarau dan penghujan yang sangat besar. Berikut adalah perbandingan perubahan wilayah cluster antara

14 a) a) b) c) d) e)

Gambar 11 Perbandingan wilayah cluster antara a) CHIRPS, b) Model 1 (M1/MRI), c) Model 2 (M2/IPSL), d) Model 3 (M3/CNRM) dan e) Rataan 3 Model. CHIRPS adalah data historical (1981-2005) dan Model adalah hasil prediksi (2011-2035).

15 Hasil Analisis menunjukan wilayah Indonesia terbagi menjadi lima wilayah

Cluster seperti pada Gambar 10. Berdasarkan Pola curah hujan dan wilayah pola hujan (Gambar 1), pada CHIRPS cluster 3 dan 5 termasuk pola ekuatorial, kemudian cluster 1 dan 4 termasuk pola monsunal dan untuk cluster 2 polanya terlihat kurang jelas, secara wilayah sebagian masuk pola dan sebagian lagi masuk monsunal (lihat Gambar 1). Cluster 5 memiliki kuantitas rata-rata curah hujan tertinggi dan terendah pada cluster 4. Berdasarkan hasil wilayah cluster tersebut selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujannya per cluster.

Tabel 3 Perubahan persentase wilayah cluster pada masing-masing hasil prediksi

Cluster Persentase Wilayah (%)

CHIRPS M1 M2 M3 Rataan 1 10,1 17,1 16,4 16,2 16,8 2 18,2 26,6 27,7 27,9 26,8 3 26,5 12,6 12,0 13,0 12,4 4 19,4 19,4 19,2 20,0 19,7 5 25,9 24,4 24,7 22,9 24,4

Perubahan wilayah cluster yang dianalisis berdasarkan nilai rataan curah hujan bulanan 25 tahun terlihat pada Gambar 11. Ketiga hasil prediksi (M1, M2 dan M3) memiliki wilayah dan luasan cluster yang hampir sama (lihat Tabel 3). Antara CHIRPS dan Prediksi terlihat terjadi perubahan yang cukup signifikan yaitu pada cluster 3, 2 dan 1. Cluster 3 memiliki nilai perubahan luasan terbesar terutama pada wilayah Sumatra yang sebelumnya mendominasi berubah menyempit akibat perluasan cluster 2 dan 1. Pada wilayah Kalimantan cluster 3 justru menyempit akibat perluasan cluster 5 dan 2, tetapi cluster 1 mengalami perluasan yang mendesak cluster 5. Sementara pada cluster 4 dan 5 perubahan yang terjadi tidak signifikan. Berbeda dengan Sumatra dan Kalimantan, pulau Jawa, Sulawesi dan Papua tidak terjadi perubahan cluster yang berarti (hampir sama).

Analisis Klimatologi Curah Hujan

Analisis klimatologi dilakukan untuk melihat kondisi curah hujan secara spasial dan perubahannya secara temporal. Perubahan curah hujan Indonesia dari segi kuantitas maupun polanya dipengaruhi oleh faktor posisi lintang (ekuator), angin monsun dan topografi (faktor lokal). Ketiga faktor utama tersebut menyebabkan Indonesia memiliki tiga pola curah hujan (ekuatorial, monsunal dan lokal). Berikut ini adalah hasil klimatologi curah hujan Indonesia.

16 DJF MAM CHIRPS M1 M2 M3 Keterangan dalam (mm):

Gambar 12 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (DJF dan MAM) antara data CHIRPS, Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil prediksi.

17 JJA SON CHIRPS M1 M2 M3 Keterangan dalam (mm):

Gambar 13 Perbandingan klimatologi curah hujan rata-rata musiman Indonesia (JJA dan SON) antara data CHIRPS dan hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM). CHIRPS adalah data historical dan Model adalah hasil prediksi.

Perubahan curah hujan secara musiman (DJF, MAM, JJA dan SON) wilayah Indonesia terlihat jelas pada Gambar 12 dan 13. Secara umum nilai curah hujan tertinggi yakni berada pada musim DJF (penghujan) dan terendah pada musiim JJA (kemarau), sedangkan pada musim MAM dan SON merupakan musim peralihan. MAM mengalami penurunan curah hujan dari DJF dan SON mengalami kenaikan curah hujan dari JJA, namun pada wilayah Sulawesi, Jawa Timur dan Nusa Tenggara perubahannya sangat kecil. Indonesia berada di wilayah ekuator yang memiliki iklim tropis, curah hujannya sangat dipengaruhi

18

oleh pergerakaan semu matahari yang terlihat seperti pada Gambar 14. Pergerakan semu Matahari hanya melewati wilayah tropis (23.50LU-23.50LS), sehingga dibandingkan dengan wilayah iklim lainnya, tropis memiliki kuantitas curah hujan yang paling tinggi. Hal ini disebabkan radiasi matahari yang masuk ke bumi mempengaruhi suhu bumi dan suhu akan mempengaruhi tekanan. Wilayah tropis mendapat pancaran matahari tertinggi menjadi pusat tekanan rendah, menyebabkan munculnya pusat-pusat konvergensi yang menyebabkan timbulnya awan-awan konvektif, dimana jenis awan ini sangat potensial menjadi hujan. Pusat-pusat konvergensi inilah yang disebut dengan dengan Intertropical Convergence Zone (ITCZ) (Holton et al. 1971). Wilayah Indonesia yang dominan terkena dampak ITCZ ini memiliki pola hujan Ekuatorial. Wilayah Indonesia juga berada di antara dua benua dan dua samudra, sehingga pergerakan semu matahari ini menyebabkan terjadinya angin monsun yang melewati Indonesia dan wilayah yang dominan terkena dampak angin monsun memiliki pola hujan monsunal. Kemudian faktor topografi (pengaruh lokal) juga mempengaruhi curah hujan Indonesia, dan wilayah yang dominan terkena dampaknya memiliki pola hujan lokal.

(a) (b)

Gambar 14 Pergerakan semu Matahari (a) dan ITZC (b). Sumber : (Muhyiddin Khazin 2008 dan https://courseware.e-education.psu.edu/ courses/earth105new /content/lesson07/03.html).

Pada Gambar 12 dan 13 terlihat perubahan saat DJF sampai SON. Saat DJF terlihat sebagian besar wilayah memiliki curah hujan tinggi, tetapi Sumatra bagian utara (Aceh dan Sumatra Utara) dan Kalimantan Timur bagian utara curah hujannya rendah. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut masuk kategori cluster 3 dan 5 (ekuatorial). Kemudian saat MAM terjadi perubahan curah hujan yang cukup signifikan yakni pada wilayah sekitar Nusa Tenggara dan Jawa yang berkurang, karena wilayah ini masuk kategori cluster 4 (monsunal) yang mengalami musim peralihan (kemarau). Sebagian Sulawesi justru mengalami peningkatan, hal ini karena Sulawesi masuk kategori cluster 2 yang terlihat pada grafik (Gambar 10) mengalami peningkatan. Periode JJA (Juni, Juli dan Agustus) adalah musim kemarau hampir seluruh wilayah Indonesia (seluruh cluster) mengalami penurunan curah hujan yang sangat signifikan. Periode SON kembali mengalami peralihan ke musim penghujan.

Perbandingan curah hujan antara data CHIRPS (historical) dan hasil prediksi tahun 2011-2035 (Model 1, 2 dan 3), secara umum pada DJF hasil ketiga prediksi mengalami penurunan curah hujan, M3 mengalami penurunan yang paling besar. Begitu juga pada bulan MAM, ketiga prediksi mengalami penurunan curah hujan. Berbeda dengan bulan JJA yang justru mengalami pengingkatan

19 curah hujan dan pada bulan SON nilai curah hujan prediksi dari ketiga model tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Analisis Perubahan Pola Curah Hujan Perubahan Curah hujan per Cluster

Prediksi menunjukan terjadinya perubahan luasan wilayah cluster, selanjutnya akan dianalisis perubahan pola curah hujan per cluster dengan dua asumsi, yakni terjadi dan tidak terjadi perubahan luasan wilayah cluster.

Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5

Gambar 15 Perbandingan perubahan pola curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) per cluster antara data CHIRPS historical (baseline) dan tiga hasil prediksi berdasarkan model. Model 1 (M1/MRI), Model 2 (M2/IPSL) dan Model 3 (M3/CNRM).

0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

20

Perbandingan pola curah hujan CHIRPS dan hasil prediksi telihat pada Gambar 15, tidak hanya luasan wilayahnya yang berubah pola curah hujannya juga mengalami perubahan. Semua hasil prediksi tersebut menggambarkan perubahan yang signifikan. Pada semua cluster ketiga hasil prediksi menunjukan nilai yang hampir sama (berhimpit). Pada wilayah cluster 1 dan 4 hasil prediksinya hampir sama yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan kering (bulan 6-10) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami penurunan curah hujan. Hasil prediksi pada cluster 2 dan 5 hampir sama, terjadi perubahan yang signifikan yakni fluktuasi curah hujan menjadi sangat kecil (curah hujan antar musim hampir sama). Prediksi pada cluster 3 menunjukan perubahan yang berarti kecuali pada bulan 1, 3, 4 dan 10. Umumnya terjadi peningkatan curah hujan kecuali pada bulan 11 dan 12.

Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5

Gambar 16 Perbandingan perubahan pola curah hujan rataan bulanan (25 tahun) per cluster dengan asumsi jika wilayah cluster tidak berubah.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 0 50 100 150 200 250 300 350 400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

21 Perbandingan pola hujan CHIRPS dan tiga hasil prediksi dengan asumsi wilayah cluster tidak berubah (sama seperti CHIRPS) pada masing-masing cluster

terlihat hasilnya pada Gambar 16. Hasil tersebut sebagai pembanding dengan hasil sebelumnya (Gambar 15). Pada cluster 1 dan 4 hasilnya sama dengan hasil sebelumnya yakni menunjukan perubahan signifikan pada bulan kering (bulan 6-10) yang mengalami peningkatan dan bulan 12 yang mengalami penurunan curah hujan. Sementara pada cluster 2, 3 dan 5, hasil prediksinya cukup berbeda walaupun secara nilai rataan memiliki kecenderungan hasil prediksi yang masih sama. Perbedaan tersebut karena ketiga cluster mengalami perubahan luasan yang signifikan (lihat Gambar 11). Berdasarkan nilai rataan prediksi pada cluster 2, 3 dan 5 ini menunjukan hasil yang masih mirip dengan hasil sebelumnya (Gambar 15).

Perubahan Curah Hujan Indonesia

Setelah dibahas mengenai perubahan curah hujan pada masing-masing

cluster, selanjutnya akan dianalisis untuk seluruh wilayah Indonesia (rataan semua

cluster) untuk mengetahui secara umum perubahan pola curah hujan secara keseluruhan wilayah Indonesia. Data yang dibandingkan adalah data CHIRPS (base line tahun 1981-2005) dan tiga hasil prediksi model (tahun 2011-2035).

Gambar 17 Perbandingan data curah hujan rata-rata bulanan (25 tahun) antara data historical CHIRPS (base line) dan hasil prediksi berdasarkan model (M1, M2 dan M3) wilayah Indonesia

Gambar 17 menunjukan proyeksi perubahan curah hujan menggunakan tiga hasil prediksi model. Terlihat perubahan yang cukup signifikan pada bagian yang beri tanda panah yakni pada bulan 6 sampai 9 (kemarau) dan 2, 12 (penghujan). Berdasarkan prediksi tersebut memberi gambaran bahwa Indonesia untuk 30 tahun kedepan akan mengalami kenaikan rata-rata curah hujan saat musim kemarau sebaliknya saat musim hujan mengalami penurunan. Sementara pada bulan-bulan peralihan musim perubahannya kecil (berhimpit).

0 50 100 150 200 250 300 350 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 C ur ah huj am ( m m ) Bulan CHIPRS M1 M2 M3

22

Laporan Second National Communication (SNC; MoE 2010) berdasarkan skenario SRES A2 dan B1 (periode 2025 dan 2050) memproyeksikan bahwa saat DJF dan MAM, sebagian besar model sepakat akan terjadi penurunan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia kecuali wilayah monsunal (Jawa, Nusa Tenggara dan Papua). Kemudian saat JJA dan SON menunjukan akan terjadi peningkatan curah hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali wilayah monsunal.

Dokumen terkait