• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedagang Kaki Lima

HASIL DAN PEMBAHASAN

Desa Jatibarang Letak dan Wilayah

Kecamatan Jatibarang di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat memiliki sebuah desa yang namanya persis sama dengan nama kecamatannya, yang menjadi pusat keramaian dan kegiatan perekonomian Kecamatan Jatibarang. Desa Jatibarang mencakup luasan 144.079 Ha yang dibagi menjadi tujuh RW dan lima puluh enam RT. Dari luasan tanah tersebut dipergunakan untuk: pertokoan/perdagangan (termasuk pasar Jatibarang) luasnya 10.252 Ha, pemukiman/perumahan 6.144 Ha, tanah wakaf 1,5 Ha, sawah 75 Ha, pekarangan 0,175 Ha, perladangan 2.465 Ha dan lain 18 Ha. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Kebulen, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Jatibarang Baru. Di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Widasari dan disebelah timur dengan Desa Bulak. Jarak desa dari pusat kecamatan 1 km, kabupaten 17 km, provinsi 134 km dan dari ibukota negara 205 km (Monografi Desa, 2005).

Jatibarang merupakan jalur lintas pantura (pantai Utara Jawa), dimana jalur ini selalu ramai dilalui oleh berbagai macam kendaraan bermotor baik angkutan umum maupun angkutan pribadi. Pada hari pasar jalur ini selalu macet, bahkan sangat padat sebelum adanya pembagian kendaraan yang melalui jalur pantura ke Indramayu sejak tahun 2003. Sarana transportasi darat di Jatibarang umumnya mobil, motor, sepeda dan becak. Becak merupakan angkutan utama yang ada di desa tersebut dan dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian oleh sebagian penduduk disamping bertani.

Pemukiman penduduk di Desa Jatibarang terdiri dari pemukiman biasa dan pemukiman perumahan, pemukiman perumahan BTN merupakan satu-satunya pemukiman perumahan yang ada, luasnya 5,6 Ha yang terdiri dari 650 unit. Pemukiman biasa terdiri dari rumah

permanen yang berjumlah 225 buah, rumah semi permanen 799 dan rumah non permanen 772 buah (Monografi Desa, 2005).

Kependudukan

Jumlah penduduk Desa Jatibarang pada tahun 2005 berjumlah 7109 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 1536 KK. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3468 orang dan penduduk perempuan 3641 orang. Kepadatan penduduk berdasarkan jumlah penduduk dibagi dengan luas desa adalah 49 orang per km2.

Penduduk Desa Jatibarang tidak hanya penduduk asli tetapi ada juga yang berasal dari etnik lain seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali dan keturunan Cina. Mengenai jumlah dari setiap etnik tersebut secara pasti tidak ada data yang mendukung, namun demikian ciri-ciri sikap sosial dan pembawaan budaya dari setiap etnik ini tidak sulit dibedakan di lapangan.

Walaupun data tentang jumlah etnik di Jatibarang tidak tersedia karena memang tidak ada sensus kependudukan dengan kategori demikian. Gambaran tentang beragam etnik tersebut dapat diperoleh melalui pengakuan informan dari masing-masing etnik dan perkiraan dari aparat desa, serta pengamatan peneliti di lapangan. Menurut hasil wawancara dengan informan dan pengamatan peneliti di lapangan jumlah dari etnik Minangkabau sekitar 135 KK, Sunda 105 KK, Batak 24 KK, Jawa 53 KK, Bali 4 KK, keturunan Cina berjumlah 200 KK sedangkan penduduk asli sekitar 1236 KK.

Masyarakat Jatibarang mempunyai mata pecaharian yang berbeda- beda, sebanyak 574 orang sebagai karyawan pegawai negeri sipil, 23 orang prajurit TNI/POLRI dan 465 karyawan swasta. Mereka ini terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Sedangkan kegiatan berdagang pada umumnya didominasi oleh etnik Minangkabau, Cina yang berjumlah 500 orang. Hanya 25 orang yang tercatat sebagai petani dan buruh tani sebanyak 8 orang (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Jatibarang menurut mata pencarian, 2005

No Jenis Mata Pencarian Jumlah (orang)

Persentase (%) 1 Pegawai Negeri Sipil 574 26,5 2 Wiraswasta / Pedagang 500 23,1 3 Pensiunan 482 22,3 4 Pegawai Swasta 465 21,5 5 Pertukangan 87 4,0 6 Petani 25 1,2 7 TNI / POLRI 23 1,1 8 Buruh Tani 8 0,3 Jumlah 2164 100,0

Hampir setiap tahun di Jatibarang terjadi perpindahan penduduk, baik yang datang maupun yang keluar. Pada tahun 2005 tercatat jumlah orang yang datang ke Jatibarang berjumlah 35 orang laki-laki dan sebanyak 26 perempuan. Sedangkan penduduk yang pindah berjumlah 60 orang terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Data ini diperoleh karena pendatang dan yang pindah tersebut melaporkan diri, sedangkan yang tidak melaporkan diri jumlahnya mungkin lebih banyak.

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Pendapatan masyarakat Jatibarang dapat dilihat dari jenis usaha yang dikerjakannya. Pada bidang pertanian padi sekali panen produksinya dapat mencapai empat ton/ha yang bernilai empat juta rupiah. Pada bidang industri kecil seperti, industri kecap setiap minggu dapat menghasilkan satu koma delapan juta per kelompok. Pendapatan dari industri kerupuk setiap tiga hari mencapai delapan ratus ribu per kelompok, dan dari roti murni dapat mencapai dua setengah juta per kelompok setiap harinya. Jenis usaha industri kecil ini hanya empat

kelompok yang mengusahakan dengan menggunakan tenaga kerja sebanyak tiga puluh delapan orang. Usaha perdagangan meliputi PKL, pedagang toko dan usaha rumah makan, yang setiap minggunya mencapai omset penjualan dua belas juta sampai dengan ratusan juta per pedagang. Omset penjualan semakin bervariasi diwaktu atau musim- musim tertentu. Pendapatan pada bidang jasa seperti hotel, wartel dan bengkel las serta sebuah minimarket belum diketahui.

Sektor perdagangan menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat Jatibarang. Di desa Jatibarang terdapat sebuah pasar dengan dikelilingi oleh pertokoan yang tingkat penjualan atau transaksinya tinggi. Setiap hari pasar tidak pernah sepi pengunjung baik dari warga desa sendiri maupun dari luar desa. Pasar dan pertokoan merupakan sarana kehidupan ekonomi yang paling mencolok dalam kehidupan desa. Disamping itu terdapat sarana pendukung lain berupa stasiun kereta api dan terminal bis. Sarana dan prasarana ini berfungsi sebagai pendukung dan memperlancar kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat Jatibarang.

Sektor-sektor industri juga terdapat di desa ini, walaupun masih berskala kecil. Diantaranya adalah industri kecap, kerupuk dan roti. Sektor industri kecil ini umumnya diusahakan oleh penduduk asli Jatibarang. Sektor jasa yang dijumpai di desa ini meliputi, hotel, penginapan, bank, wartel, dan bengkel las.

Selain sektor-sektor di atas, sektor pertanian masih ditekuni oleh masyarakat Jatibarang, dengan jumlah dua puluh lima orang. Tanaman yang diusahakan adalah padi dan palawija. Tanaman palawija terdiri dari; ketimun, terong dan kacang panjang. Luas tanah pertanian di desa Jatibarang 98 hektar.

Sosial Budaya

Masyarakat Jatibarang merupakan keturunan Jawa dan Sunda. Heterogen. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Jawa Indramayu. Hampir seratus persen penduduk asli Jatibarang beragama Islam. Agama

Kristen, khatolik, Hindu, dan Budha, umumnya dianut oleh perantau dan warga keturunan Cina. Masyarakat asli Jatibarang mempunyai kebiasaan setiap malam Jumat mengadakan tahlilan dan marhaban yasin yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berdoa untuk arwah orang yang telah meninggal. Disamping itu masyarakat memiliki kebiasaan setiap bulan syura (bulan Muharam/ tahun baru Islam) untuk membuat bubur putih (bubur syura) dalam rangka menolak bala atau agar terhindar dari bahaya. Selain itu ada yang dinamakan bulan bala (sebelum bulan Ramadhan). Pada bulan itu masyarakat membuat kue apem, yang dimaksudkan untuk mempersatukan sesama masyarakat. Bagi masyarakat petani setiap panen raya diadakan pesta menyambut panen yang dikenal dengan ”mapag sri”, pesta ini dilakukan sehari sebelum pemanenan padi dengan mengadakan pertunjukan wayang kulit. Masyarakat Jatibarang masih mempercayai kekuatan dari sebuah benda seperti kekuatan keris dan jimat.

Masyarakat asli Jatibarang sangat menjaga kesopanan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun di lingkungan keluarga. Hal ini dapat terlihat dengan penggunaan bahasa yang berbeda antara orang yang lebih tua dengan teman sebaya. Kalau berbicara denga orang yang lebih tua diharuskan menggunakan bahasa Jawa Indramayu yang halus. Namun berbicara dengan teman sebaya atau dengan orang yang lebih muda usianya biasanya menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa pergaulan). Kesenian utama yang terdapat didaerah ini adalah tarling dan wayang kulit. Kesenian ini biasanya dipertunjukkan pada upacara-upacara khusus seperti: pernikahan, pesta menyambut panen raya, pemilihan kepala desa (kuwu) dan khitanan.

Kelompok-kelompok Etnik

Masyarakat Jatibarang terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli adalah Jawa Indramayu yang telah ada dari dulu sebelum etnik lain datang. Sedangkan pendatang berasal dari beberapa kelompok etnik seperti Minangkabau, Batak, Sunda, Jawa, Bali, dan keturunan Cina.

Masing-masing dari etnik tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. Orang Minangkabau umumnya bekerja sebagai pedagang dan Orang Batak sebagai pegawai negeri, tentara, dan tukang kredit. Orang Sunda umumnya adalah pegawai negeri baik swasta maupun pemerintah. Orang Bali menjadi Polisi dan pendatang dari Jawa sebagai penjual jamu, bakso, dan pangsit meskipun ada juga yang menjadi pegawai negeri (guru). Sementara itu keturunan Cina umumnya bekerja sebagai pedagang.

Tempat tinggal masing-masing kelompok etnik ada yang berpencar dan ada juga yang berkelompok. Etnik yang tinggal berkelompok dapat terlihat dari etnik Jawa, Batak, Minangkabau dan keturunan Cina. Meskipun berkelompok mereka tidak membentuk perkampungan sendiri tetapi membaur dengan yang etnik lain. Mereka dikatakan hidup berkelompok karena sebagian besar kelompok etniknya berada disatu tempat. Etnik yang dikatakan hidup berpencar karena mereka tersebar dimana-mana atau tidak tinggal disatu tempat dimana jumlah mereka dominan.

Pada awal kedatangan ke Jatibarang etnik Minangkabau tinggal secara berpencar tergantung dimana ada kontrakan. Setelah dibangunnya pemukiman warga BTN Jatibarang tahap kedua pada tahun 1998, maka orang Minangkabau memilih tinggal di pemukiman tersebut. Sebelumnya sudah ada orang Minangkabau yang tinggal dipemukiman tersebut, yang jumlahnya sekitar sepuluh KK. Saat ini sekitar sembilan puluh satu KK tinggal dipemukiman BTN, sedangkan jumlah yang berada diluar BTN sekitar empat puluh empat KK. Orang Batak juga hidup berkelompok di BTN tetapi ada juga yang tinggal diluar BTN. Orang Jawa hidup berkelompok di Blok Pulo (RW 6). Di blok ini umumnya mereka masih mengontrak. Warga keturunan Cina terdapat di sepanjang Jalan Mayor Dasuki (lintas pantura), Jalan Siliwangi dan Jalan A. Yani, ada juga yang tinggal di BTN. Umumnya tempat tinggal mereka digabung dengan tempat berusaha. Sedangkan orang sunda tidak berkelompok disuatu tempat.

Keadaan ekonomi dari setiap kelompok etnik berbeda-beda. Warga keturunan Cina termasuk kedalam tingkat ekonomi atas atau paling baik.

Hal ini dapat terlihat dari usaha perdagangan yang mereka usahakan. Mereka mendominasi perdagangan di Desa Jatibarang, seperti toko mas, elektronik, pakaian jadi, perlengkapan rumah tangga, photo studio, dealer motor dan lain-lain. Selain itu juga kondisi rumah mereka tergolong mewah.

Kelompok etnik Minangkabau umumnya melakukan usaha perdagangan seperti berjualan pakaian jadi, tas, sepatu, jam dan usaha rumah makan. Mereka ada yang telah memiliki toko/kios dan sebagian besar berjualan di kaki lima. Kondisi ekonomi perantau Minangkabau tergolong cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari kondisi rumah dan fasilitas- fasilitas yang mereka miliki seperti mobil, motor dan lain-lain.

Lain halnya dengan etnik Jawa. Umumnya mereka berjualan jamu, bakso, es dan pangsit. Mereka hidup berkelompok di Blok Pulo dengan mengontrak rumah yang sederhana.

Perkembangan ekonomi etnik Batak tidak seperti etnik keturunan Cina dan Minangkabau. Mereka umumnya tidak beregerak pada sektor perdagangan melainkan pada sektor jasa seperti tukang kredit baik barang maupun uang. Selain itu ada juga yang berprofesi sebagai pegawai negeri. Sedangkan etnik Bali jumlahnya relatif sedikit hanya sekitar empat KK, ada dua orang yang menikah dengan orang asli Jatibarang dan keturunan Cina. Orang Bali berprofesi sebagai Polisi dan pedagang.

Pasar Tradisional Jatibarang

Desa Jatibarang merupakan pusat kegiatan perekonomian masyarakat Kecamatan Jatibarang, dimana di desa tersebut terdapat sebuah pasar tradisional yang ramai dikunjungi oleh masyarakat Jatibarang dan masyarakat sekitarnya, bahkan banyak juga dikunjungi oleh penduduk daerah lainnya yang datang dari luar kecamatan Jatibarang. Disamping untuk berbelanja para pengunjung tersebut ada juga yang datang untuk berdagang dengan memasarkan barang dagangan yang mereka bawa masing-masing, ini menambah ramai dan

semaraknya pasar tradisional Jatibarang, terutama di hari-hari pasar (Rabu dan Minggu).

Pasar Jatibarang terdiri dari dua lantai yang memiliki enam ratus kios, seratus toko, sembilan puluh delapan buah warung dan sejumlah

lapak PKL. Disekitar pasar Jatibarang, di sepanjang jalan Mayor Dasuki yang merupakan jalan utama menuju pasar Jatibarang (jalur pantura), terdapat jajaran pertokoan. Toko-toko tersebut menjual berbagai kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan sekunder, primer maupun tersier. Toko, kios, warung dan lapak PKL dihuni oleh berbagai etnik, yaitu: Jawa Indramayu, Cina, Minangkabau, Sunda, Batak dan lain-lain. Jumlah pedagang di pasar Jatibarang berdasarkan etnik dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2 Jumlah pedagang pasar jatibarang menurut etnik (data pengelola pasar Jatibarang, 2006)

No Etnik Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Jawa Indramayu 1104 51,6 2 Cina 487 22,8 3 Minangkabau 214 10,0 4 Sunda 209 9,8 5 Batak 53 2,5 6 Lain-lain 71 3,3 Jumlah 2138 100,0

Berdasarkan data dari pengelola pasar Jatibarang terdapat empat ratus PKL, namun jumlah PKL di pasar Jatibarang tidak ada catatan yang resmi. Jumlah PKL akan berlipat ganda bila dilakukan pendataan di hari- hari pasar. Berdasarkan informasi dari informan, jumlah PKL di pasar Jatibarang pada hari-hari ramai seperti menjelang lebaran adalah sekitar seribu lima ratus pedagang.

Letak Geografis dan Sejarah Pasar Jatibarang

Sebelum pasar Jatibarang dibangun, masyarakat Jatibarang telah memiliki tempat untuk melakukan transaksi yang hampir mirip dengan pasar. Para pedagang memanfaatkan lapangan disamping stasiun kereta api untuk menjual kebutuhan sehari-hari. Barang yang diperjual belikan terbatas hanya pada kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, ikan dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Menurut penuturan informan pada saat itu sekitar tahun 80-an pedagang belum menjual pakaian. Baru pada tahun 1984 pemerintah daerah membangun pasar yang diberi nama pasar ”Inpres Jatibarang”. Pasar ini mulai beroperasi pada tahun 1989-an. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup manusia maka kebutuhan akan adanya sarana penyedia kebutuhan seperti pasar tak dapat dielakkan, maka pemerintah daerah membangun sebuah pasar diatas tanah seluas dua hektar. Pembangunan pasar dikerjakan oleh PT Ciso Bima Sundawa. Pasar tersebut terdiri dari dua lantai yang memiliki 600 kios, 100 toko, 98 warung dan 400 PKL. Lantai bawah (satu) diperuntukkan untuk toko sedangkan lantai atas (dua) untuk kios, sedangkan warung dan PKL banyak memanfaatkan area parkir, tangga, jalan umum dan rumah-rumah penduduk yang berdekatan dengan pasar.

Komoditi Dagangan dan Kelompok Etnik Pedagang

Sebagaimana diketahui bahwa pasar merupakan tempat bertemunya antara penjual dan pembeli, dimana di pasar dijual berbagai macam kebutuhan manusia. Begitu juga dengan pasar Jatibarang yang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup masyarakat. Jenis barang yang dijual sangat beragam yang meliputi: pakaian yang terdiri dari pakaian jadi (dewasa, anak-anak, perlengkapan bayi, perlengkapan muslim, pakaian dalam) dan bahan tekstil. Selain itu, dijual pula berbagai barang elektronik (TV, tape, jam, kipas angin dan radio), sayur mayur, sembako, alat-alat

atau perlengkapan rumah tangga, kue, jajanan (bakso, somay, mie ayam, soto, nasi, dan lain-lain), ikan, daging, kaset, VCD, dan alat-alat kosmetik. Pengelola pasar telah mengatur tempat pedagang menjual barang dagangannya dengan kata lain ada blok-blok pedagang, di lantai bawah ada blok pedagang pakaian, barang kelontong dan makanan. Sedangkan dilantai atas ada blok pakaian, sayur-mayur, ikan dan daging. Blok-blok ini dibuat agar mempermudah pembeli dan menertibkan pedagang. Sedangkan PKL berada di pinggir-pinggir pasar, trotoar jalan raya, depan rumah penduduk dan di piggir bantaran kali yang dekat dengan pasar Jatibarang.

Dari jenis barang dagangan yang dijual di pasar tersebut dijual oleh suku yang berbeda. Pada umumnya penjual berasal dari etnis Cina, Jawa Indramayu (penduduk asli), Sunda, Jawa, Minangkabau). Menurut informasi dari petugas pasar, bahwa umumnya pedagang etnis cina menempati kios dan toko-toko yang strategis, mereka hampir menguasai seluruh sektor perdagangan dipasar tersebut. Etnis Jawa Indramayu banyak yang menempati kios dan ada juga yang menempati kaki lima. Sedangkan pedagang dari etnis Sunda pada umumnya menempati kios dan toko dan jarang yang di kaki lima. Pedagang dari etnis Jawa banyak menempati kios-kios dan kaki lima. Khusus untuk untuk pedagang etnis Minangkabau mereka lebih banyak yang menempati lokasi kaki lima dibandingkan dengan toko ataupun kios, kalaupun ada itu jumlahnya hanya 20 pedagang.

Berdasarkan daerah asalnya, orang Minangkabau di Jatibarang masing-masing memiliki kemampuan usaha tersendiri. Misalnya, orang Pariaman umumnya berdagang pakaian jadi baik anak-anak maupun dewasa. Orang ulakan umumnya memiliki toko di pasar Jatibarang dan ada juga yang mengusahakan rumah makan. Sedangkan orang Pesisir dan Solok umumnya menjual jam. Lain halnya dengan orang Bukittinggi mereka menjual tas dan sepatu.

Deskripsi Pedagang Kaki Limadi Pasar Jatibarang

Proses Kedatangan PKL

PKL perantau Minangkabau yang berada di Jatibarang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat diantaranya dari Pariaman, Solok, Tiku, Pesisir Selatan, Bukit Tinggi, Ulakan dan Taluak. Kedatangan mereka ke Jatibarang dimulai tahun 1985. Sebagai perintis adalah seorang pedagang yang bernama Bahar yang ketika itu berdagang di Cirebon. Bahar adalah orang Minangkabau pertama yang datang dan berdagang ke Jatibarang, dimana kegiatan berdagang di Jatibarang dijalaninya dengan pulang pergi dari Cirebon.

Sebelum berdagang di Jatibarang dan Cirebon, Bahar berdagang di Jakarta. Jatibarang bukan tujuan Bahar untuk berdagang, namun kota Cirebon yang menjadi tujuan utamanya pindah dari Jakarta. Ketika masih berdagang di Cirebon, hampir setiap minggu Bahar melintasi dan melihat jumlah masyarakat Jatibarang yang banyak, bila pergi membeli barang dagangan ke Jakarta. Karena itu, Bahar berfikir bahwa daerah tersebut cukup memiliki potensi untuk berdagang. Seminggu sekali jika tidak berdagang di Cirebon, beliau mendatangi Jatibarang untuk berdagang yang saat itu belum ada pasar, hanya tempat berjualan yang mirip dengan pasar. Karena daya beli masyarakat yang cukup tinggi, akhirnya beliau memutuskan untuk berjualan tiap hari dan menetap di Jatibarang. Beliau juga mengajak keluarga dan sanak saudaranya untuk berjualan di sana.

Sekitar tahun 1990-an setelah pasar Jatibarang mulai dibangun, jumlah pedagang Minang semakin bertambah jumlahnya. Mereka mengetahui daerah Jatibarang diantaranya: (1) ketidaksengajaan mereka sewaktu melintasi daerah Jatibarang yang memang dilewati oleh jalur pantura. (2) diberitahu oleh kerabat yang sebelumnya sudah menetap terlebih dahulu di Jatibarang, (3) tergiur oleh informasi orang bahwa daya beli tinggi di Jatibarang. Pada awalnya orang Minangkabaukabau yang berdagang di Jatibarang adalah pindahan dari Jakarta. Namun beberapa waktu kemudian baru berdatangan dari berbagai daerah seperti daerah

asal Sumatera Barat, Medan, Pekan Baru dan Tanjung Pinang. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan (M).

“Orang Minangkabau yang sudah lama di Jatibarang ini semuanya pindahan dari Jakarta, karena berjualan di Jakarta butuh modal besar, tidak seperti disini berjualan sekantong plastik juga bisa hidup, makanya banyak yang pindah kesini. Sekarang saja banyak yang berdatangan dari kampung dan kota lain”

Jumlah pedagang Minangkabau yang datang ke Jatibarang semakin bertambah. Kondisi ini jelas terlihat setelah dibangunnya pasar tradisional Jatibarang pada tahun 1984 dan mulai aktif pada tahun 1989- an sebelum pasar ini dibangun jumlah perantau Minangkabau hanya lima kepala keluarga dan sekarang jumlah mereka mencapai seratus tiga puluh lima kepala keluarga.

Perkembangan ini terjadi karena daerah Jatibarang memiliki daya beli yang tinggi, biaya hidup murah, dan mudah untuk memperoleh tempat berdagang. Hal ini yang menyebabkan perantau Minangkabau baik yang berasal langsung dari Sumatra Barat maupun dari kota lainya, memilih Jatibarang sebagai tempat untuk berusaha.Perkembangan jumlah perantau Minangkabau di Jatibarang tidak dihitung berdasarkan jumlah kelahiran dan kematian, namun dilahat dari perkembangan kepala keluarga, karena tidak ada data yang mendukung.

Pada awal pasar dibangun perantau Minangkabau umumnya berdagang di kaki lima. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki modal untuk menyewa atau membeli kios. Yang menempati kios atau toko umumnya masyarakat asli dan etnik China. Masa sulit pernah juga dialami oleh PKL Minang. Penggusuran demi penggusuran tak jarang mereka temui. Namun berkat kegigihan dan ketekunan mereka tetap bertahan.

Sekitar tahun 1997–an, pengelola pasar mulai memberikan kelonggaran kepada pedagang kaki lima. Mereka diperbolehkan berdagang di emper-emper toko atau diruas jalan menuju pasar dengan syarat harus membayar iuran restribusi dan sumbangan lainnya. Setelah periode itu pedagang kaki lima mulai mendapat angin segar. Diantara

mereka tak jarang membuat tempat yang permanen di sepanjang ruas jalan menuju pasar.. Melihat aktivitas pedagang kaki lima yang semakin semarak, membuat masyarakat pribumi ikut pula terjun menjadi pedagang kaki lima. Mereka berbaur dengan PKL dari Minang. Awalnya masyarakat pribumi yang berdagang, berasal dari daerah sekitar pasar. Namun sekitar tahun 2004 setelah kaki lima mulai direlokalisasi maka banyak masyarakat pribumi dari luar wilayah Jatibarang berdatangan. Menurut data dari pengelola pasar jumlah PKL yang berdagang setiap hari pasar sekitar lima ratus orang yang terdiri dari orang Minang dan penduduk asli. Namun

Dokumen terkait