• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Kandidat Isolat Formula Kultur

Hasil identifikasi Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menunjukkan terdapat beberapa jenis mikroorganisme selama 72 jam fermentasi spontan grits jagung Anoman, antara lain: 5 jenis kapang, 3 spesies khamir, dan 3 spesis BAL. Isolat kapang yang diperoleh yaitu Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Aspergillus flavus dan Aspergillus niger. Spesies khamir yang diperoleh antara lain Candida famata, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua. Dari ke tiga jenis spesies tesebut hanya satu khamir yang bersifat amilolitik yaitu C. famata. Hasil isolasi BAL yang diperoleh antara lain Lactobasillus plantarum 1, Lactococcus lactis ssp lactis 1, dan Pediococcus pentosaceus 1. Uji amilolitik yang dilakukan pada ketiga jenis BAL menunjukktan tidak ada satupun isolat BAL yang bersifat amilolitik.

b. Penyusunan Formula Kultur Starter

Pemilihan isolat yang digunakan dalam formulasi kultur starter hanya jenis khamir amilolitik dan BAL yaitu C. famata dan Lactobacillus plantarum. Hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan antara lain 1) Isolat kapang hasil isolasi Rahmawati (Komunikasi personal 2012) belum teridentifikasi secara jelas spesiesnya dan masih tercampur dengan Aspergillus flavus; 2) Pada fermentasi spontan spesies khamir yang bersifat amilolitik hanya C. famata; 3) Pertumbuhan

L. plantarum pada kurva pertumbuhan BAL selama fermentasi spontan yang dilakukan Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menunjukkan terjadi peningkatan populasi selama fermentasi dari 2 log pada 4 jam fermentasi hingga 8,5 log pada 12 jam fermentasi, diikuti dengan pertumbuhan konstan hingga 72 jam fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu optimal untuk pertumbuhan L. plantarum berada pada 4-12 jam fermentasi; 4) Dengan adanya C. famata sebagai khamir amilolitik diharapkan dapat membantu pemecahan pati jagung menjadi lebih cepat, sehingga dapat dimanfaatkan oleh L. plantarum dan pertumbuhannya akan lebih cepat. Penyusunan formula kultur starter dari hasil seleksi isolat yang ada seperti terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Susunan formula kultur starter

Formulasi Mikroorganisme Waktu Inokulasi S1 S2 S3 L. plantarum L. plantarum + C. famata C. famata + L. plantarum Jam ke-0 Jam ke-0

Jam ke-0 (C. famata) dan Jam ke-12 (L. plantarum) c. Konfirmasi Isolat

Isolat yang digunakan pada formula kultur starter yaitu Lactobacillus plantarum dan C. famata dikonfirmasi ulang secara biokimiawi. Hasil konfirmasi isolat seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Karakteristik mikroorganisme yang digunakan pada formulasi

Mikroorganisme Karakteristik

Lactobacillus plantarum

1. Bentuk sel batang, Gram positif 2. Katalase negatif

3. Persen ID API CHL 50 : 99.9% 4. Pertumbuhan pada suhu 37 oC

selama 24 jam ±4.61x109 CFU/ml 5. Amilolitik negatif

Candda famata

1. Bentuk sel bercabang, memiliki

pseudohyphae dan blastoconidia

2. Persen ID API 20C AUX : 92,8% 3. Pertumbuhan pada suhu 25 oC

selama 4 hari ± 1.75x109 sel/ml. 4. Amilolitik positif

Olivier et al. (2008) mengatakan bahwa banyak yang salah mengidentifikasi antara Debaryomyces hansenii (C. famata) dan Pichia guilliermondii (C. guilliermondii). C. famata biasa ditemukan dalam berbagai jenis keju, sedangkan C. guliiermondii tersebar di alam dan biasa terdapat pada mikroflora manusia umumnya, namun kedua jenis spesies candida ini susah dibedakan secara fenotip. Menurut Wadsworth center (2008) C. famata dan C. guilliermondii dalam pembacaan API kit 20C AUX memiliki pembacaan

melezitose dan rafinosa yang hanya sebesar 60% sedangkan Candida guilliermondii sebesar 90%. Uji konfirmasi ulang yang dilakukan untuk khamir

C. famata dan BAL Lactobacillus plantarum menunjukkan keakuratan mencapai 92,8% untuk C. famata dan untuk Lactobasillus plantarum 99,9%. Data lengkap hasil uji API seperti terlampir pada Lampiran 1.

Dari hasil konfirmasi uji amilolitik yang dilakukan terhadap C. famata,

diketahui bahwa C. famata bersifat amilolitik, hal ini terlihat dengan adanya pembentukan zona bening di sekitar sel khamir saat ditetesi larutan gram-iodin seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pembentukan zona bening disekitar sel khamir C. famata Pada gambar terlihat adanya zona bening disekitar sel C. famata. Hal ini menunjukkan bahwa C. famata tersebut bersifat amilolitik. Karena sel mikroorganisme yang memiliki kemampuan amilolitik akan menghidrolisis pati pada media di sekeliling tempat tumbuhnya dan dalam zona degradasi tidak terbentuk warna biru, yang merupakan dasar deteksi dan seleksi. Zona bening akan tampak setelah beberapa saat ditambahkan larutan iodin.

Frazier dan Westhoff (1988) menjelaskan bahwa Lactobacillus plantarum

merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan temperatur optimal lebih rendah dari 37 oC. BAL bersifat Gram positif, katalase negatif, non motil, tidak membentuk spora, serta penghasil asam. BAL di temukan pada material yang kaya karbohidrat khususnya makanan fermentasi (Soomro et al. 2002 dalam Adebayo et al. 2010). Axelsson (1998) mengatakan bahwa L. plantarum tersebar di alam, dan banyak diaplikasikan dalan industri pangan. L. plantarum merupakan

BAL yang paling tahan asam. Hasil pengujian secara fisik terhadap L. plantarum

menunjukkan hal yang sama seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Identifikasi L. plantarum (A) Gram Positif, (B) Katalase Negatif), (C) Penampakan L. plantarum pada media yang mengandung CaCO3

0.5% ditandai dengan membentuk zona bening.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa L. plantarum bersifat Gram positif dan berbentuk batang dan uji katalase dengan menggunakan H2O2 menunjukkan

tidak ada gelembung gas yang menandakan bahwa L. plantarum bersifat katalase negatif. Kemampuan membentuk asam laktat ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni pada media DeMan Rogosa Sharpe (MRS) Agar yang di tambahkan 0.5% CaCO3. Gobel (2005) dalam Djide dan Elly (2008) menjelaskan

bahwa penambahan CaCO3 pada media dimaksudkan untuk menyeleksi BAL,

karena BAL yang tumbuh pada media ini akan memberikan zona bening disekitar koloni setelah inkubasi selama 2-3 hari. Hal ini dikarenakan BAL menghasilkan asam laktat yang akan bereaksi dengan CaCO3 membentuk Ca-laktat yang larut di

dalam media.

Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Starter Terhadap Aspergillus flavus dan Aflatoksin

a. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus flavus Selama Fermentasi Terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut

Penurunan jumlah Aspergillus flavus selama fermentasi grits jagung varietas Pulut dengan menggunakan formula kultur starter seperti disajikan pada Gambar 8. Penggunaan formula kultur mempengaruhi jumlah Aspergillus selama fermentasi. Formula S1 menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus sp BCC F0219 dengan waktu penghambatan paling cepat, yaitu 24 jam. Namun, besarnya

penghambatan Aspergillus flavus menggunakan formula S1 tidak berbeda dengan kontrol seperti terlihat pada Lampiran 3. Hal ini menunjukkan bahwa dengan fermentasi spontan grits jagung pertumbuhan Aspergillus flavus dapat terhambat. Sedangkan formula yang menggunakan formula kultur campuran (S2 dan S3) juga dapat menghambat, namun membutuhkan waktu yang lebih lama.

Gambar 8. Penurunan jumlah Aspergillus flavus pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.

Purwijatiningsih et al. (2005) menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan Aspergillus flavus oleh kultur tunggal Candida sp1 secara

in vitro. Cerikcioglu (2003) menyatakan bahwa Candida termasuk salah satu yeast killer toxin yang dapat menghambat pertumbuhan kapang, bakteri dan protozoa dengan cara membentuk ikatan pada reseptor yang spesifik pada permukaan sel patogen. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan formula kultur campuran (S2 dan S3) tidak memberikan pengaruh karena jumlah penurunan A. flavus berbeda jauh dengan formula kultur tunggal S1 dan Kontrol. Hal ini diduga karena kondisi lingkungan yang tidak medukung

C. famata untuk berkembang dengan cepat karena adany persaingan mendapatkan nutrisi antar mikroorganisme yang ada menyebabkan khamir khususnya C. famata

tidak dapat menghambatan Aspergillus flavus sp BCC F0219. Randhawa et al. (2002) melakukan uji penghambatan secara in vitro terhadap Aspergillus fumigatus menggunakan kultur tunggal beberapa jenis spesies Candida

menunjukkan adanya kemampuan Candida dalam menghambat perkembangan kapang Aspergillus fumigatus.

1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 S1 S2 S3 Kontrol 3,09 3,51 3,96 3,07 <1,00 1,88 1,86 1,17 <1,00 <1,00 <1,00 <1,00 To tal A . fl av u s (Lo g k o lo n i/ m l)

Formula Kultur Starter

0 jam

48 jam

Penelitian secara in vitro pada BAL terhadap penghambatan pada kapang telah banyak dilakukan. Ghonaimy et al. (2007) menunjukkan kekuatan penghambatan dari sel bebas supernatan L. acidophilus ATCC 4495 dalam penghambatannya terhadap A. Flavus sebesar 11.5 mm dan A. Parasiticus sebesar 13 mm. Sedangkan L. acidophilus ATCC 20552 memiliki aktifitas penghambatan yang rendah. Selain itu dalam penelitian Onilude et al. (2005) disebutkan bahwa

L. Plantarum mampu menghambat pertumbuhan A. Flavus. Penghambatan germinasi spora A. flavus oleh L. plantarum juga dilaporkan oleh Khanafari et al.

(2007), spora kapang yang dikelilingi oleh sel L. plantarum mengalami degradasi. BAL memiliki respon yang baik dalam mengahadapi tekanan akibat penurunan pH lingkungan yang terjadi dengan cepat (Kajfasz & Quivey 2011). Selama fermentasi pH lingkungan menurun karena terjadi akumulasi asam organik terutama asam laktat. Namum pH dalam sitoplasma BAL tersebut lebih basa dibandingkan medium disekitar sel. Hal ini disebabkan karena sel dengan cepat mensekresikan asam laktat melalui media pembawa ke medium ektraseluler (Hutkins & Nannen 1993). Penghambatan Aspergillus flavus terjadi karena beberapa molekul asam laktat dapat berdisosiasi menjadi H+ dan anion yang dapat meningkatkan pergerakan proteo transmembran yang bergerak menuju sel, sehingga kapang membutuhkan energi lebih untuk menjaga keseimbangan sel dan kekurangan energi untuk pertumbuhan (Aryantha & Lunggani 2007). Lunggani (2007) juga menyatakan BAL mempunyai kemampuan untuk bereaksi lebih cepat untuk menghadapi stress asam sehingga aktivitas metabolismenya tidak terganggu. Sebaliknya bagi A. Flavus membutuhkan energi yang relatif lebih banyak untuk merespon lingkungannya yang asam disamping untuk proses metabolismenya

Selain kemampuan untuk bertahan pada kondisi asam, BAL dapat menghambat Aspergillus flavus dengan adanya hasil metabolit sekunder yang dihasilkannya selain asam laktat. Lavermicocca et al. (2000) dalam Adebayo dan Aderiye (2010) menyebutkan bahwa aktifitas antifungal yang dimiliki oleh L. plantarum isolat dari adonan asam berupa asam organik seperti asam phenyl lactic

dan 4-hydroxyl-phenyl-lactic acid. Proses pengahambatan yang dilakukan oleh BAL terjadi pada hari ke dua masa inkubasi (Adebayo et al. 2010).

Dalie et al. (2010) juga mengatakan bahwa filtrat kultur L. plantarum 21B menghasilkan senyawa antifungal yang memiliki aktifitas penghambatan terhadap

Penicillium corylophilum, Penicillium roqueforti, Penicillium expansum, Aspergilus niger, A. flavus, and Fusarium graminearum. Aktifitas antifungal tersebut dianggap berasal dari produksi asam phenyllactic dan 4-hydroxyl-phenyl- lactic dan jumlah antifungal yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kapang kurang dari 7.5 mg/ml phenyllactic.

Hasil penelitian Xu et al. (2003) menunjukkan bahwa pertumbuhan

A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999terhambat ketika spora ditambahkan pada kultur L. plantarum yang telah di inkubasi selama 24 jam dan juga ketika ditambahkan pada saat yang bersamaan. Penghambatan pertumbuhan A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 mungkin karena adanya inaktifasi viabilitas dari spora. Spora menjadi membengkak dengan adanya L. plantarum ATCC 8014, dan pada saat yang sama A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 mempengaruhi bentuk sel L. plantarum ATCC 8014 yang juga menjadi besar. Namun ketika L. plantarun ATCC 8014 ditambahkan pada A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999

yang telah berumur 3 hari tidak ada efek pada pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan.

b. Penurunan Aflatoksin B1 Selama Fermentasi Terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut

Kandungan Awal Aflatoksin Pada Grits Jagung. Jagung yang digunakan adalah jagung putih varietas Pulut dengan kadar air sekitar 10-13%. Jagung disimpan pada suhu ruang dalam kondisi baik. Selama penyimpanan tidak ada kerusakan kemasan plastik akibat hama gudang seperti tikus.

Sebelum dilakukan tahapan kontaminasi grits jagung varietas pulut, terlebih dahulu dilakukan tahapan ekstraksi aflatoksin dari kultur murni Aspergillus flavus

sp BCC F0219. Hasil ekstraksi aflatoksin dianalisis dengan menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) terhadap kandungan aflatoksin B1. Dari hasil analisis diketahui kandungan aflatoksin B1 pada ekstrak sebesar 1260 ppb.

Kontaminasi aflatoksin pada grits jagung dilakukan dengan menambahkan ekstrak ke dalam grits jagung dengan konsentrasi 69 ppb atau sebanyak 16 ml ekstrak aflatoksin ditambahkan kedalam setiap 200 gram grits jagung. Hasil

analisis dengan menggunakan TLC menunjukkan kandungan aflatoksin B1 yang terdapat pada grits jagung yang terkontaminasi sebesar 64.30 ppb dan jumlah kandungan aflatoksin ini murni berasal dari ekstrak aflatoksin, karena analisis jagung awal sebelum di kontaminasi tidak terdeteksi adanya kandungan aflatoksin pada jagung.

Penurunan kandungan aflatoksin B1 pada fermentasi grits jagung. Proses fermentasi menurunkan kandungan aflatoksin pada grits jagung kontaminasi. Besarnya penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung seperti terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung fermentasi dengan menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.

Dari Gambar 9 terlihat bahwa fermentasi dapat menurunkan kandungan aflatoksin pada grits jagung. Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung terlihat pada 48 jam fermentasi dengan besar reduksi aflatoksin berkisar antara 60-70% sedangkan pada fermentasi 72 jam persentase penurunan kandungan aflatoksin mencapai 87.83% dari jumlah aflatoksin awal 64.30 ppb, seperti terlihat pada Tabel 11. Hal ini bertolak belakang dengan Oluwafemi dan Ikeowa (2005) yang mengatakan bahwa reduksi aflatoksin pada fermentasi maize baru terjadi setelah 72 jam fermentasi sebesar 50%.

Reduksi aflatoksin pada grits jagung kontrol pada fermentasi 48 jam lebih besar dibandingkan dengan formula kultur. Hal ini dikarenakan pada fermentasi grits jagung kontrol semua mikroorganisme alami kapang, khamir, dan bakteri

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 S1 S2 S3 Kontrol 64,30 64,30 64,30 64,30 23,29 20,12 15,50 16,09 7,82 19,46 11,63 15,89 K and u n g an A fl ato ksi n (p p b )

Formula Kultur Starter

0 jam

48 jam

yang terdapat pada jagung dapat tumbuh pada awal fermentasi. Pertumbuhan kapang membantu proses penurunan aflatoksin. Misra et al. (2010) menyebutkan

Penicillium citrinum, Trichoderma viride dan Aspergilllus niger masing-masing dapat menghambat aflatoksin hingga 90.23; 90.15% dan 79.385. Dewanti- Hariyadi et al. (2008) menyatakan M. Rouxii mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 masing-masing sebesar 76.9%; 83.3%; 77.8% dan 81.8%. Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menyebutkan bahwa kapang jenis Penicillium dan

Aspergillus niger terdapat pada grits jagung selama fermentasi spontan. Keberadaan kapang ini selama fermentasi memungkinkan dalam membantu penurunan kandungan aflatoksin selama fermentasi.

Pengaruh penggunaan formula kultur starter baru terlihat setelah fermentasi selama 72 jam. Formula kultur starter yang dapat mereduksi aflatoksin paling besar adalah S1 yaitu kultur starter yang hanya menggunakan L. plantarum. Sedangkan penggunaan kultur starter campuran dan ko-kultur dengan menggunakan C. famata tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan kontrol. Matumba et al. (2009) mengatakan bahwa pada proses perendaman selama 24, 48 dan 72 jam pada pengolahan tepung jagung secara tradisional di Afrika dapat menurunkan kandungan aflatoksin sebesar 72.4, 75.4 dan 80.9% . Analisis statistik penggunaan formula kultur starter dalam mereduksi aflatoksin pada tiap jam fermentasi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (α>0.05), hal ini berarti bahwa jumlah reduksi aflatoksin dengan formula kultur sama dengan jumlah reduksi aflatoksin tanpa menggunakan formula (Kontrol). Namun jika dilihat dari segi keamanan pangan, kemampuan kultur starter S1 dalam mereduksi aflatoksin jauh lebih besar dibandingkan kontrol, sehingga jumlah aflatoksin di dalam jagung semakin sedikit semakin aman dikonsumsi. Selain itu tinggi rendahnya kandungan aflatoksin pada jagung juga berkaitan dengan batasan aflatoksin yang diizinkan pada tiap negara yang lebih rendah dibandingkan Indonesia 20 ppb. Negara-negara Eropa Union menetapkan standar aflatoksin B1 pada tepung jagung sebesar 5 ppb dan total aflatoksin 10 ppb (Official Journal of the European Union 2010), FDA menetapkan maksimum aflatoksin pada jagung dan produknya sebesar 20 ppb, dan Codex menetapkan maksimum aflatoksin sebesar 15 ppb. Beberapa negara menetapkan batas maksimum yang lebih rendah

terhadap kandungan aflatoksin dalam bahan pangan seperti Australia 5 ppb, Jerman 4 ppb (Wu 2004).

Tabel 11 Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung yang di fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.

Tahapan Fermentasi Kandungan AFB1 Jagung (ppb) Kandungan AFB1 air rendaman (ppb)

Total reduksi AFB1 Oleh Kultur Starter(ppb) Penurunan aflatoksin (%) Jagung Awal 0 TD TD TD Jagung + Aflatoksin 64.3 TD TD TD 48 Jam S1 23.29 2.03 38.98 60.62a S2 20.12 4.06 40.12 62.39a S3 15.50 4.06 44.75 69.59 a K1 16.09 2.03 46.18 71.83 a 72 Jam S1 7.83 0 56.48 87.83 a S2 19.46 0 44.84 69.74 a S3 11.63 0 52.68 81.92 a K1 15.89 0 48.41 75.28 a

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom penurunan aflatoksin pada setiap jam fermentasi menunjukkan reduksi aflatoksin yang tidak berbeda nyata (α = 0,05); TD= tidak dianalisis; angka 0= <0.5 ppb (batas limit deteksi alat).

Dari Tabel 11 terlihat bahwa aflatoksin dalam jagung tidak berpindah ke dalam air. Hal ini terlihat dengan sedikitnya aflatoksin yang ada di dalam air pada 48 jam dan tidak adanya kandungan aflatoksin yang terkandung dalam air setelah 72 jam. Tidak adanya kandungan aflatoksin pada air rendaman jagung menunjukkan bahwa adanya peran mikroorganisme dalam mereduksi aflatoskin selama fermentasi.

Khanafari et al. (2007a) mengatakan bahwa reduksi aflatoksin dengan menggunakan BAL L. plantarum PTCC 1058 melibatkan pengikatan secara fisik toksin terhadap dinding sel/komponen penyusun dinding sel. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh dinding sel bakteri belum dapat di pahami dengan baik, namun diperkirakan bahwa ada keterlibatan komponen utama seluler seperti peptidoglikan, serta polisakarida dinding sel dan protein dalam mengikat aflatoksin dan interaksi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Mendoza

secara invitro terhadap kemampuan BAL mereduksi aflatoksin dalam medium cair menunjukkan adanya pengikatan Aflatoksin B1 pada pelet kultur setelah dilakukan proses pencucian/ memisahkan antara medium dan kultur. Selain itu Haskard et al. (2001) juga mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena aflatoksin B1 diikat oleh bakteri dengan cara melemahkan interaksi non kovalen seperti pada kantong hidropobik pada permukaan bakteri. Polisakarida dan peptidoglikan pada dinding sel merupakan unsur penting yang bertanggung jawab dalam pengikatan mutagen pada BAL. Adanya kondisi asam pada lingkungan dapat memutuskan ikatan glikosidik dalam polisakarida dan melepaskan monomer yang dapat berfragmentasi menjadi aldehid. Asam juga dapat memutuskan ikatan amida pada peptida atau protein yang menghasilkan akan komponen asam amino, sehingga asam dapat memecah struktur peptidoglikan pada BAL. Pemecahan struktur peptidoglikan dapat menyebabkan terjadinya penurunan ketebalan peptidoglikan, reduksi dalam cross-links dan atau terjadi peningkatan ukuran pori. Adanya gangguan pada dinding sel BAL ini memungkinkan terjadinya pengikatan aflatoksin B1 pada dinding sel dan membran plasma yang tidak tersedia ketika sel BAL dalam keadaan utuh. Dugaan ini dikuatkan juga dengan penelitian Khanafari

et al. (2007 b) yang menunjukkan bahwa sel BAL yang terlebih dahulu mendapat perlakuan autoclave tidak dapat mereduksi aflatoksin B1 dengan baik, dan dengan meningkatkan waktu inkubasi menyebabkan terjadinya penurunan jumlah reduksi. Selain itu Khanafari et al. (2007 b) juga menjelaskan bahwa terjadi perubahan bentuk sel pada BAL L. plantarum PTCC 1058 yang ditandai dengan perubahan bentuk batang sel menjadi lebih pendek dan sifat gram positifnya berubah menjadi gram negatif.

Penambahan C. famata didalam formula kultur selama fermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap reduksi aflatoksin selama fermentasi. Menurut Shetty dan Jespersen (2006) dari beberapa jenis khamir yang diamati kemampuannya dalam mengikat aflatoksin, tidak banyak khamir yang memiliki kemampuan yang besar dalam mengikat aflatoksin, hanya jenis khamir spesifik yang dapat mengikat aflatoksin. Jenis khamir dari strain Debaryomyces hansenii

yang mampu mengikat aflatoksin 15-39 % diketahui hanya ada satu jenis. Salah satu khamir yang diketahui dapat mengikat aflatoksin dengan baik adalah

Saccharomyces cereviceae. Jouany et al. (2005) mengatakan bahwa yang memegang peranan penting dari dinding sel khamir Saccharomyces cereviceae dalam interaksinya terhadap mikotoksin adalah komponen β-D-Glucans. Lemahnya ikatan hidrogen dan van der waals berkaitan dalam pembentukan kompleks kimia antara mikotoksin dan β-D-Glucans. Interaksi kimia yang terjadi antara mikotoksin dan β-D-Glucans lebih bersifat adsorbsi (penyerapan) dibandingkan dengan pengikatan. Dan ketidak mampuan C. famata dalam menyerap aflatoksin mungkin dikarenakan struktur dinding sel yang berbeda.

Pertumbuhan Mikroflora Selama Fermentasi Grits Jagung Dengan Menggunakan Formula Kultur Starter

Prose fermentasi memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroflora yang ada selama fermentasi grits jagung. Pertumbuhan mikroflora selama fermentasi seperti terlihat pada Gambar 10. Tanpa adanya penambahan formula kultur starter, jumlah BAL dan khamir yang terdapat pada grits jagung cukup tinggi yaitu 5.37 log koloni/ml untuk BAL dan 5.22 log koloni/ml khamir. Hal ini disebabkan karena mikroflora telah ada sejak tanaman jagung berada dalam masa pra-panen. Nout et al. (1997) mengatakan mikroflora baik berupa bakteri, kapang maupun khamir pada tanaman jagung pra-panen memegang peranan dalam menarik perhatian serangga dan juga interaksi terhadap pertumbuhan dan produksi mikotoksin oleh kapang. Jenis khamir yang lazim ditemukan meliputi

Candida guilliermondii (55%) Candida zeylanoides (24 %), Candida shehatae

(11%), dan Debaryomyces hansenii (3%). Selain itu juga ditemukan Trichosporon cutaneum, Cryptococcus albidus var. Aerius dan Pichia membranijaciens. Selama fermentasi berlangsung, pertumbuhan BAL meningkat secara signifikan baik dengan penambahan kultur starter maupun kontrol, sedangkan khamir cenderung menurun. Fermentasi menggunakan formula kultur starter selama 48 jam menurunkan jumlah khamir dari jumlah awal fermentasi dan mengalami sedikit kenaikan pada fermentasi selama 72 jam sedangkan pada Kontrol pertumbuhan khamir menurun hingga fermentasi 72 jam.

Gambar 10. Pertumbuhan koloni BAL dan khamir pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1(A), Formula kultur Starter S2 (B), formula kultur starter S3 (C) dan kontrol (D) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.

Jumlah BAL pada formula kultur S2 lebih tinggi dari formula kultur yang lainnya khususnya S3 diduga karena seimbangnya antara kebutuhan nutrisi dan riboflavin (Vit B1) yang dibutuhkan oleh BAL. Menurut Phaff (2001) C. famata

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Bal kh ami r Bal kh ami r Bal kh am ir

0 Jam 48 jam 72 jam 7,01 5,07 9,26 3,92 9,16 5,19 Log K o lo n i/ m l

A

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 Bal kh ami r Bal kh ami r Bal kh ami r

0 Jam 48 jam 72 jam 7,13 5,83 10,34 4,57 10,07 4,97 Log K o lo n i/ m l

B

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Bal kh ami r Bal kh ami r Bal kh ami r

0 Jam 48 jam 72 jam 4,97 5,94 9,21 3,37 9,21 4,68 Log K o lo n i/ m l

C

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 B al kh ami r Bal kh ami r Bal kh ami r

0 Jam 48 jam 72 jam 5,37 5,22 9,27 4,54 9,13 2,47 Log ko lo n i/ m l

D

Lama waktufermentasi Lama waktufermentasi

memproduksi Vitamin B1(riboflavin). Pada formula kultur S3 persediaan nutrisi sebagian besar telah digunakan terlebih dahulu oleh C. famata sehingga pertumbuhan BALmenjadi lebih rendah.

BAL memberikan kondisi asam yang kondusif bagi khamir, sedangkan khamir memberikan vitamin dan faktor pertumbuhan lainnya untuk BAL. Adanya fermentasi meningkatkan jumlah log BAL yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jagung tanpa fermentasi (0 jam) (Nana 2003). Jumlah pertumbuhan BAL setelah fermentasi selama 48 dan 72 jam terlihat konstan. Hal ini menunjukkan

Dokumen terkait