• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jagung

Jagung dapat dikelompokkan menurut umur panen dan bentuk biji. Berdasarkan umur, jagung dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 1) Berumur pendek (genjah): 75-90 hari, contoh: Genjah Warangan, Genjah Kertas, Abimanyu dan

Arjuna. 2) Berumur sedang (tengahan): 90-120 hari, contoh: Hibrida C 1, Hibrida CP 1 dan CPI 2, Hibrida IPB 4, Hibrida Pioneer 2, Malin, Metro dan Pandu.

3) Berumur panjang: lebih dari 120 hari, contoh: Kania Putih, Bastar, Kuning,

Bima dan Harapan.

Berdasarkan bentuk biji, jagung dibagi menjadi 7 golongan, yaitu: Dent Corn, Flint Corn, Sweet Corn, Pop Corn, Flour Corn, Pod Corn, Waxy Corn.

Jagung dengan varietas unggul mempunyai sifat-sifat seperti produksi tinggi, umur pendek, tahan serangan penyakit utama dan sifat-sifat lain yang menguntungkan. Varietas unggul ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: jagung hibrida dan varietas jagung bersari bebas (Prihatman 2000).

Di Indonesia ada beberapa jenis varietas jagung yang dikenal antara lain:

Abimanyu, Arjuna, Bromo, Bastar Kuning, Bima, Genjah Kertas, Harapan, Harapan Baru, Hibrida C 1 (Hibrida Cargil 1), Hibrida IPB 4, Kalingga, Kania Putih, Malin, Metro, Nakula, Pandu, Parikesit, Permadi, Sadewa, Wiyasa, Bogor Composite-2 (Prihatman 2000). Syuryawati et al. (2010) mengatakan jenis jagung yang disukai masyarakat sebagai pangan pokok adalah jagung putih varietas lokal, salah satunya yaitu jagung putih lokal varietas Pulut. Jagung putih lokal varietas Pulut berasal dari Sulawesi Selatan dan dikembangkan oleh Badan Penelitian Serealia Temanggung Jawa Tengah.

Setiap jenis varietas jagung memiliki perbedaan kandungan komponen penyusun, salah satunya kandungan amilosa dan amilopektin. Perbedaan (%) kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa jenis varietas jagung dapat dilihat seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan amilosa/amilopektin biji jagung dari beberapa varietas Varietas Amilosa (%) Amilopektin (%) Srikandi Putih -1

Srikandi Kuning -1 Anoman

Lokal non Pulut Takalar Lokal Pulut Takalar Sukmaraga 31.05 30.14 29.92 28.50 4.25 34.55 68.95 69.86 70.08 71.50 95.75 65.45 Sumber: Suarni dan Firmansyah (2005) dalam Suarni (2009)

Menurut the Ohio State University Extension (2010), kandungan amilopektin jagung pulut (waxy corn) mendekati 100% sedangkan jagung normal mengandung 75% amilopektin dan 25% amilosa. Berdasarkan kriteria tersebut maka jagung varietas lokal Pulut Takalar termasuk dalam waxy corn, sedangkan varietas lainnya yang tercantum pada Tabel 1 merupakan jagung normal. Amilopektin adalah bentuk pati yang terdiri dari sub unit glukosa bercabang sedangkan amilosa terdiri dari molekul glukosa tidak bercabang. Jagung pulut ditemukan di Cina pada tahun 1908 yang mempunyai sifat lilin (waxy) dan dikendalikan oleh gen resesif tunggal, gen wx. Menurut Fergason (1994) adanya gen tunggal waxy (wx) yang bersifat resesif epistasis pada kromosom sembilan akan mempengaruhi komposisi kimiawi pati, karena gen wx hanya memproduksi komponen amilopektin, dan tidak memiliki fraksi amilosa. Weatherwax (1922) menyatakan bahwa jagung pulut (waxy corn) memiliki endosperm yang keras seperti tipe flint corn.

Berdasarkan warna bulir jagung, jagung putih adalah biji jagung tanpa pewarnaan pigmen kuning. Poneleit (2001) menyatakan definisi lengkap jagung putih bahwa endosperm biji jagung putih tidak hanya harus putih murni, tanpa pigmen kuning sama sekali, tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Perbedaan warna jagung putih dan kuning juga dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan kandungan karotenoid jagung pipil kuning lebih tinggi dari jagung pipil putih. Lapisan aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan seragam, mempunyai specific gravity yang tinggi, biji tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).

Jagung putih dan kuning memiliki komposisi kimia yang cukup berbeda. Jagung putih memiliki kandungan kimia yang lebih tinggi, komposisi kimia beberapa tipe jagung dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering)

Komposisi kimia Jagung kuning pipilana) Jagung putih pipilanb)

Protein (% bk) 9.5 10.36 Lemak (% bk) 4.3 4.9 Serat (%bk) 9.5 11.2 Kalsium (% bk) 0.03 0.008 Besi (mg/100 g) 3 2.16 Karotenoid total (mg/kg) 30 - Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38 Sumber: a) Watson (1987) b)

Hasil pengolahan data asia maya.com (2009)

Tabel 3 Komposisi kimia (%) berbagai tipe jagung lokal Varietas Air Abu Protein Serat

Kasar Lemak Karbohidrat Srikandi Putih*) 10.08 1.81 9.99 2.99 5.05 73.07 Srikandi Kuning*) 11.03 1.85 9.95 2.97 5.10 72.07 Anoman*) 10.07 1.89 9.71 2.05 4.56 73.77 Lokal pulut*) 11.12 1.99 9.11 3.02 4.97 72.81

Lokal non pulut*) 10.09 2.01 8.78 3.12 4.92 74.20

Bisi 2**) 9.07 1.00 8.40 2.20 3.60 75.10

Lamuru**) 9.80 1.20 6.90 2.60 3.20 76.30

*) Suarni dan Firmansyah (2005) **) Suharyono et al. (2005)

Tepung Jagung

Pengolahan produk jagung pulut saat ini di Sulawesi Selatan baru sebatas pengganti makan pokok seperti binte, baro’bo, marning, jagung rebus dan jagung bakar (Syuryawati et al. 2010). Beberapa penduduk daerah lainnya di Indonesia (Madura dan Nusa Tenggara) menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga digunakan sebagai pakan ternak, diambil minyak dan patinya atau dibuat tepung.

Tepung jagung merupakan salah satu produk jagung yang diperoleh melalui proses penggilingan. Serna-Saldivar et al. (2001) membuat tepung jagung melalui proses penggilingan kering dengan ukuran partikel kurang dari 0.192 mm (ayakan US no 75). Syarat utama tepung jagung berdasarkan SNI nomor 01-3727-1995 adalah ukuran partikel tepung jagung minimal 99% lolos ayakan

60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. Persyaratan mutu lain yang harus dipenuhi tepung jagung yang dihasilkan di Indonesia harus berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 1.1 1.2 1.3 2 3 4 5 5.1 5.2 6 7 8 9 10 11 11.1 11.2 11.3 11.4 12 13 13.1 13.2 13.3 Keadaan Bau Rasa Warna Benda-benda asing

Serangga dalam bentuk stadia dan potongan-potongan

Jenis pati lain selain pati jagung Kehalusan

Lolos ayakan 80 mesh Lolos ayakan 60 mesh Air Abu Silikat Serat kasar Derajat asam Cemaran logam Timbal(Pb) Tembaga(Cu) Seng(Zn) Raksa(Hg) Cemaran arsen(As) Cemaran mikroba:

Angka lempeng total

E.coli Kapang - - - - - - % % % b/b %b/b % b/b %b/b ml.N.NaOH/100gr mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg koloni/gr APM/gr Koloni/gr Normal Normal Normal

Tidak boleh ada Tidak boleh ada Tidak boleh ada Min.70 Min.99 Maks.10 Maks.1.5 Maks.0.1 Maks.1.5 Maks.4.0 Maks.1.0 Maks.10.0 Maks.40.0 Maks.0.05 Maks. 0.5 Maks. 5x106 Maks. 10 Maks. 104

Prinsip pengolahan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung jagung karena kandungan seratnya yang tinggi dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang dapat merusak warna tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi

tepung. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung Sumber: Eckhoff & Watson 2009

Suardi et al. (2002) menyatakan dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan dalam produksi tepung dan serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan, sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman. Richana dan Suarni (2005) melakukan proses pembuatan tepung jagung dengan metode basah, proses dilakukan dengan menggunakan jagung kering yang disosoh lalu direndam selama 4 jam, ditiriskan dan selanjutnya ditepungkan.

Untuk memperbaiki kualitas tepung, proses penepungan jagung juga dapat dilakukan dengan penambahan enzim maupun fermentasi dengan ragi tape. Tepung jagung yang diperoleh dengan cara seperti ini disebut tepung termodifikasi. Hal ini disebabkan karena tepung yang dihasilkan telah berubah sifat fisikokimia dan fungsionalnya, yaitu kadar amilosa dan derajat polimerisasi

menurun, sedangkan gula reduksi dan dekstrosa ekuivalen meningkat (BB-Pascapanen 2010). Selain itu tekstur tepung jagung termodifikasi lebih halus

dibanding tepung aslinya. Proses pembuatan tepung jagung termodifikasi yang telah dilakukan adalah dengan membuat beras jagung, yaitu jagung yang telah disosoh dan dikecilkan ukurannya. Kemudian beras jagung ditambah ragi tape (1 kg : 1 g) lalu direndam dalam air selama 2 hari. Beras jagung kemudian ditiriskan, dikeringkan, dibuat tepung, diayak, dan dikemas (BB-Pascapanen

2010). Pengolahan jagung menjadi produk olahan telah banyak dilakukan, diantaranya sebagai tepung komposit (terigu, ubi kayu dan jagung) dalam pembuatan mie (Yulmar et al. 1997), pengolahan jagung sebagai bahan baku dalam bentuk tepung komposit (Susila & Resmisari 2005) serta Suarni (2009) juga melakukan pengkajian terhadap prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies).

Fermentasi Spontan Pada Proses Pengolahan Tepung

Fermentasi adalah proses metabolik yang melepaskan energi dari gula atau molekul lain. Berbagai mikroorganisme dapat memfermentasi berbagai substrat dan produk akhir yang dihasilkan tergantung jenis mikroba yang tumbuh, substrat dan enzim yang berperan. Berdasarkan sumber mikroba yang berperan, proses fermentasi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu fermentasi spontan, back slopping, dan fermentasi terkendali. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dalam bentuk starter atau ragi, proses fermentasi yang terjadi tergantung mikroba yang terdapat pada bahan baku. Fermentasi back slopping adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menggunakan mikroba yang terdapat pada produk fermentasi sebelumnya dan fermentasi terkendali adalah fermentasi yang berlangsung dengan menambahkan mikroba dalam jumlah dan jenis tertentu secara langsung pada bahan baku yang akan difermentasi. Cara pertama dapat menghasilkan mutu produk yang tidak seragam karena jumlah dan jenis mikroba yang berperan belum tentu sama dalam setiap proses. Demikian juga dengan cara kedua, kemungkinan gagal karena mutu tidak seragam cukup besar. Sebaliknya, dengan fermentasi terkendali kemungkinan berhasil (mutu produk seragam untuk setiap kali ulangan) sangat besar karena jumlah dan jenis mikroba awal diketahui sehingga hasilnya pun dapat diprediksi ( Tortora et al. 2004)

Proses fermentasi dapat dilakukan oleh BAL. Selama proses fermentasi, karbohidrat diuraikan menjadi asam laktat, setelah karbohidrat, protein dan lemak akan dihidrolisa. Ketiga komponen ini akan membentuk produk akhir berupa senyawa asam laktat dan senyawa lainnya (Fardiaz 1989). Selain BAL, kapang ataupun khamir juga dapat berperan dalam proses fermentasi. Kapang dapat bersifat amilolitik, proteolitik dan lipolitik. Kapang yang bersifat amilolitik akan

memecah pati menjadi gula-gula sederhana. Kapang yang bersifat proteolitik akan memecah protein menjadi asam amino dan kapang yang bersifat lipolitik akan memecah asam lemak san senyawa aromatik lainnya.

Nout et al. (1997) mengatakan bahwa mikroflora telah ada sejak tanaman jagung berada dalam masa pra-panen. Nout et al. (1997) juga mengatakan bahwa mikroflora baik berupa bakteri, kapang maupun khamir pada tanaman jagung pra-panen memegang peranan dalam menarik perhatian serangga dan juga interaksi terhadap pertumbuhan dan produksi mikotoksin oleh kapang. Jenis khamir yang lazim ditemukan meliputi Candida guilliermondii (55%) Candida zeylanoides (24%), Candida shehatae (11%), dan Debaryomyces hansenii (3%). Selain itu juga ditemukan Trichosporon cutaneum, Cryptococcus albidus var.

Aerius dan Pichia membranijaciens. Mayoritas khamir yang ditemukan pada jagung tidak dapat memfermentasi gula seperti sukrosa dan maltosa.

Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) melaporkan bahwa perendaman biji- bijian dalam air yang berlebihan akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti BAL, khamir, dan kapang. Selain itu fermentasi juga banyak dilakukan pada serealia dan umbi-umbian untuk memperbaiki mutu, terutama pada produk singkong dan jagung. Akinrele (1970) mengatakan jenis mikroorganisme yang terdapat selama fermentasi spontan maize di Afrika berupa kapang Cephalosporium, Fusarium, Aspergillus dan Penicillium. BAL yang dominan yaitu Lactobacillus plantarum dan juga beberapa khamir Candida mycoderma, Saccharomyces cerevisiae dan Rhodotorula.

Di Afrika proses fermentasi spontan secara luas telah banyak digunakan dalam pengolahan serealia dalam membuat berbagai jenis makanan. Fermentasi spontan memberikan kontribusi dalam pengembangan tekstur, rasa, meningkatkan keamanan pangan, dan meningkatkan nilai gizi (kualitas protein) pada pangan berbasiskan jagung serta mengurangi faktor anti nutrisi (Afoakwa et al. 2007).

Beberapa penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi Nama

produk

Perlakuan Karakteristik tepung Referensi Tepug

jagung dan singkong fermentasi

Perendaman dalam air pada suhu 20 atau 35 oC, 15 hari, dikeringkan sinar matahari 10-12 jam atau oven 40 oC 24 jam.

Selama fermentasi pH tepung jagung menurun lebih cepat dari tepung singkong. Tepung jagung memiliki kandungan asam yang lebih tinggi

namun tepung tidak mempunyai

kemampuan mengembang dalam

berbagai kondisi penelitian, diduga hal ini karena tingginya kandungan asam laktat yang dihasilkan.

Mestres et al. 2000

Tepung jagung

Fermentasi spontan pada wadah tertutup dengan perbandingan jangung: aquadest (3kg:6L) pada suhu 27 oC selama 72 jam

1. Jagung yang difermentasi

spontan sampai 36 jam,memiliki

ukuran partikel tepung yang

terdistribusi dengan baik dari ukuran partikel 75 µm-150 µm. Sedangkan fermentasi 48 jam partikel jagung yang berukuran paling halus ( kurang dari 75µm) meningkat.

2. Fermentasi spontan

menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH, Densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak pada tepung yang dihasilkan, sedangkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air meningkat.

Aini 2009 Tepung jagung fortifikasi kacang tanah Bambara Fermentasi dengan mencampur tepung jagung:kacang bambara 70:30 direndam dengan air perbandingan 1:1 selama 72 jam pada suhu 28oC (susu ruang)

Selama proses fermentasi mikroflora secara bertahap berubah dari bakteri enterik gram negative, kapang, BAL dan khamir berubah menjadi BAL dan khamir yang mendominasi. Dan mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti koliform dan kapang yang muncul di awal tereliminasi setelah 24 jam.

Mbata et al, 2009 Tepung jagung termodifik asi Grits jagung direndam dengan BAL dengan perbandingan 1 1kg grits: 1 gram L.brevis / L. casei direndam selama 1, 2, 3 hari.

Dengan penambahan BAL meningkatkan kualitas tepung dan produk roti yang dihasilkan. Berdasarkan komposisi kimia, sifat pati dan sifat tepung, perendaman terbaik adalah dengan L.casei selama 3 hari.

Richana et al, 2011

Aspergillus flavus dan Aflatoksin

Jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi sekitar 30%. Sauer (1986) mengatakan kadar air jagung yang melebihi 16% dengan kelembaban udara lebih dari 85% selama masa penyimpanan memberikan kesempatan pada Aspergillus flavus untuk berkembang dan menghasilkan aflatoksin. Hal ini di dukung dengan iklim hujan tropis di Indonesia yang menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH>80%) dengan suhu rata-rata 28-33 oC. Kondisi ini sesuai dengan syarat pertumbuhan dan perkembangan

A. flavus serta menghasilkan aflatoksin.

Aflatoksin telah lama dikenal sejak tahun 1960-an, lebih dari seratus ribu ternak kalkun mati di Inggris setelah memakan kacang yang diimpor dari Afrika dan Amerika Selatan. Dari pakan tersebut diisolasi Aspergillus flavus dan toksin yang dihasilkan oleh kapang ini yang dikenal dengan aflatoksin (Jay 2000).

Selain A. flavus, aflatoksin juga dihasilkan oleh A. paraciticus.

Aspergillus flavus menghasilkan Aflatoksin B1 (AFB1) dan Aflatoksin B2 (AFB2) dan A. parasiticus menghasilkan empat komponen utama aflatoksin yaitu aflatoksin B1, G1, B2 dan G2 (Jay 2000). Jenis lain yang juga diketahui

menghasilkan aflatoksin seperti A. nomius, A. bombycis, A. pseudotamartii dan

A. ochraceoroseus (Jay 2000). Aflatoksin bersifat mutagen dan karsinogen tarhadap manusia. Memakan makanan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan kanker liver pada manusia (Calvo 2004).

Kapang A. flavus dapat dibedakan dengan A. parasiticus berdasarkan karakteristik morfologinya. A. flavus memproduksi konidia dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, dinding sel konidia tipis dan teksturnya bervariasi dari halus hingga kasar. Sedangkan konidia yang diproduksi oleh A. parasiticus

berbentuk bulat, dinding sel konidia tebal dan bertekstur kasar. Selain itu vesikel pada A. flavus lebih besar dengan diameter > 50 µm, sedangkan A. parasiticus

jarang ditemukan lebih dari 30 µm (Pitt & Hocking 1997)

Aspergillus flavus memiliki hifa berseptum dan miselium bercabang, koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang, konidiofor muncul dari sel kaki, yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan yang dapat tumbuh pada suhu 12-48 oC

dengan aw paling rendah 0.8, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhan adalah

25-42 oC. Pertumbuhan kapang dan perkecambahan konidium ideal pada aw lebih

dari 0.9 dan akan terhambat jika aw kurang dari 0.7 (Bhatnagar et al. 2000).

Dewanti-Hariyadi et al. (2008) mengamati waktu optimum biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada media Potato Dextrose Broth (PDB) yang diinkubasi selama 10 hari pada suhu 28-30 oC. Jumlah aflatoksin B1 yang dihasilkan hampir mencapai 20 ppb, sedangkan dengan pengkayaan media menggunakan Malt Extract Broth (MEB) 50% dengan penambahan filtrat

Saccharomyces dan M rouxii dapat mempercepat biosintesis dan meningkatkan produksi aflatoksin 40-800 ppb. Purwijatiningsih et al. (2005) melaporkan dengan menggunakan spora A. flavus sebanyak 106 spora/ml, waktu optimum terbentuknya aflatoksin terjadi pada hari ke-9 selama inkubasi menggunakan

100 ml media PDB di suhu ruang dengan total aflatoksin berkisar 35000-42500 ppb. Menurut Marth dan Doyle (1979) A. flavus menghasilkan

aflatoksin dalam jumlah maksimal setelah 5 sampai 9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin akan menurun. Penurunan tersebut disebabkan karena aktifitas enzim P450 monooksigenase yang berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987).

Aspergillus parasiticus memiliki konidiofora yang muncul dari permukaan hifa dengan ukuran panjang 250-500 µm, tidak berwarna atau coklat muda dan berdinding halus. Vesikel berbentuk bulat dengan diameter 20-35 µm dan hanya ¾ bagian permukaan vesikel yang subur (fertile). Vesikel membentuk phialide

dengan panjang 7-11µm yang memproduksi konidia berbentuk bulat. Biasanya berdiameter 4-6 µm, dinding selnya bertekstur kasar dan biasanya akan membentuk kepala konidia yang bulat (Pitt & Hocking 1997). A. parasiticus

dapat tumbuh pada suhu antara 12-42 oC dengan suhu optimal pertumbuhan 32 oC. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0.82 pada suhu 25 oC, 0.81

pada suhu 30 oC dan 0.80 pada suhu 37 oC serta pH antara 2.4-10.5 pada ketiga suhu tersebut (Pitt & Hocking 1997).

Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu antara 7.5- 40 oC dengan suhu optimum 24-28 oC (Jay 2000). Sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin pada suhu antara 12-40 oC, aw 0.86 dan pH 3-8 (Pitt &

Hocking 1997). Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin tergantung pada beberapa faktor, yaitu potensi genetik kapang, persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu dan pH) serta lamanya kontak antara kapang dengan subtrat (Jay 2000).

Ada empat macam aflatoksin yang telah dikenal yaitu B1, B2, G1 dan G2. Istilah B dan G barasal dari warna biru (blue) dan hijau (green) sinar fluoresens dibawah lampu UV pada alat Kromatografi Lapis Tipis. Angka 1 dan 2 menunjukkan perbedaan antara senyawa utama dan minor (Pitt & Hocking 1997). Aflatoksin B2 merupakan derivat dari dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan derivat dari aflatoksin G1. Rumus struktur dari aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dapat dilihat seperti pada Gambar 2. Jika dilihat sepintas antara aflatoksin B1 dan B2, tidak nampak adanya perbedaan sama sekali, demikian halnya dengan aflatoksin G1 dan G2. Namun bila diperhatikan secara baik-baik terdapat perbedaan pada ikatan rangkapnya (Syarief et al. 2003)

Gambar 2. Rumus struktur aflatoksin

Aflatoksin bersifat sangat stabil, dengan beberapa perlakuan tidak dapat sepenuhnya mengurangi toksisitasnya. Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80 oC jumlah aflatoksin yang rusak tidak berarti dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100 oC. Usaha untuk menghindari aflatoksin adalah mencegah aflatoksin pada bahan pangan dengan menghambat atau mencegah pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin pada bahan pangan yang bersangkutan. Menurut Jay (2000) usaha pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan menurunkan

kelembaban relatif ruang simpan hingga dibawah 80% sehingga didapat aw sekitar

0.65-0.70 akibatnya kapang akan terhambat pertumbuhannya.

Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling toksik dan mendapat perhatian dalam dunia kesehatan karena bersifat hepatotoksik, mutagenik, teratogenik dan impulsif. Efek biologis dari aflatoksin dapat bersifat akut, kronis dan kerusakan dari ketahanan dan respon imun. Sifat akut dari aflatoksin dapat terjadi apabila toksin yang terkonsumsi dalam jumlah besar. Pada dasarnya target organ utama dari aflatosikosis ini adalah liver dan juga merupakan salah satu faktor penyebab penyakit sirosis hati (Cary et al. 2000; Kuniholm et al. 2008). Selain itu Tchana et al. (2010) menemukan adanya AFB1 dalam urin anak-anak yang kekurangan gizi. Hal ini dapat menyebabkan risiko penurunan potensi pertumbuhan selama perkembangan mereka karena aflatoksin menghambat sintesis protein. Kasus keracunan terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir terjadi pada 2004 dari 317 kasus dilaporkan 125 orang meninggal (Lewis et al.

2005).

Aflatoksin Pada Jagung

Aflatoksin merupakan salah satu senyawa karsinogen yang mengkontaminasi bahan pangan dan pakan. Aflatoksin sering mengkontaminasi jagung, kacang-kacangan, cotton, gandum, sorghum dan minyak dari biji-bijian. Dharmaputra (2002) mengatakan bahwa permasalahan aflatoksin merupakan masalah dunia, terutama masalah di negara berkembang. Dimana keamanan pangan dan sistem keamanan belum berkembang dengan baik untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman. Di negara maju, konsumen sudah lebih peduli terhadap isu keamanan seperti aflatoksin

Codex Alimentarius Commission merekomendasikan kandungan maksimum aflatoksin sebesar 15 ppb (B1+B2+G1+G2) pada kacang dan 0.05 ppb aflatoksin M1 pada susu (Jay 2000), sedangkan batas maksimum aflatoksin yang diperbolehkan dalam makanan dan pakan ternak oleh FDA di Amerika Serikat sebesar 20 ppb (Bhatnagar et al. 2000).

Tingginya kandungan aflatoksin merupakan masalah keamanan pada jagung yang ada di Indonesia. Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan SNI 7385: 2009 yang menyebutkan bahwa

batas maksimum kandungan aflatoksin B1 (AFB1) pada jagung dan produk olahannya adalah 20 ppb (BSN 2009).

Komoditi jagung di Indonesia mengandung aflatoksin dengan kadar relatif tinggi. Hal ini terlihat dari hasil mapping aflatoksin dibebepara daerah sentra produksi jagung seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kandungan aflatoksin pada jagung dan produknya di beberapa daerah di Indonesia

Sampel Kandungan Aflatoksin Daerah Sumber

Jagung 119 ng/g (maximum 487 ng/g) Indonesia Ali et al. (1998)

Jagung pakan 31.5 µg/kg Lampung Bahri et al.

(2005)

25 µg/kg Jawa Timur

Jagung pakan 19.1 µg/kg (max 79.3 µg/kg) Sumatera Utara

Budi

Tangendjaja et al. (2008) 26.0 µg/kg (maxz 164 µg/kg) Lampung

64.0 µg/kg (max 201 µg/kg Jawa barat 87.4 µg/kg (max 236 µg/kg) Jawa Tengah 72.6 µg/kg (max 197 µg/kg) Sulawesi Selatan Jagung tingkat petani 2.98 ppb Kabupaten Garut Suma (2008) Pedagang pengumpul 8.46 ppb Pedagang besar 36.71 ppb Jagung level petani

30% dari 84 sampel tercemar aflatoksin di atas 20 ppb, 10% di atas 100 ppb, dengan nilai tertinggi 470 ppb. Malang, Tuban, Kediri, Madura, dan Purbalingga Rahayu (2008) Jagung level pengepul dan pedagang

45% dari 55 sampel diatas 20 ppb dan 18% diatas 100 ppb.

Tepung jagung 38.8 ppb Bogor,

Boyolali,

Dokumen terkait