Persentase Serangan (Kejadian Penyakit) P. noxius
Data pengamatan kejadian penyakit 10, 12 dan 14 minggu setelah inokulasi (msi) dan hasil analisis sidik ragam dapat dapat dilihat pada lampiran 3 sampai dengan 8. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol (C1) terhadap peubah amatan kejadian penyakit pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi.
Rataan dari kejadian penyakit pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Data pengamatan persentase serangan (kejadian penyakit) pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi
Perlakuan Rataan
10MSI 12 MSI 14 MSI
T0 (Kontrol) 11.11b 44.44b 77.78b
Jagung T1 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T2 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T3 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Beras T4 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T5 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T6 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Dedak T7 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T8 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T9 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak berganda duncan (DMRT).
Dari tabel 2 terlihat bahwa perlakuan pemberian jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol terhadap peubah amatan kejadian penyakit pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi. Tabel 2 menunjukkan bahwa kejadian penyakit hanya terdapat pada
perlakuan kontrol sedangkan pada perlakuan yang diaplikasikan jamur T. koningii tidak terjadi serangan (kejadian penyakit sama dengan nol). Hal ini sesuai dengan Khairul (2001) sifat antagonis jamur Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma sp. ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhkan di dalam petri. Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau parasitik terhadap jamur patogen tular tanah yang banyak menimbulkan kerugian pada tanaman pertanian. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa gejala penyakit pada penelitian timbul pada ± 10 msi.
Intensitas Penyakit (%) P. noxius
Data pengamatan intensitas penyakit 10, 12 dan 14 msi dan hasil analisis sidik ragam dapat dapat dilihat pada lampiran 9 sampai dengan 14. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol (C1) pada peubah amatan intensitas penyakit pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi.
Rataan dari intensitas penyakit pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Data pengamatan intensitas penyakit (%) pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi
Perlakuan Rataan
10 MSI 12 MSI 14 MSI
T0 (Kontrol) 8.33b 16.67b 19.44b
Jagung T1 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T2 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T3 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Beras T4 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T5 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T6 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Dedak T7 (15g) 0.00a 0.00a 0.00a
T8 (25g) 0.00a 0.00a 0.00a
T9 (35g) 0.00a 0.00a 0.00a
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak berganda duncan (DMRT).
Dari tabel 3 terlihat bahwa perlakuan pemberian jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol pada pengamatan 10, 12 dan 14 msi. Tabel 3 menunjukkan bahwa intensitas penyakit hanya terdapat pada perlakuan kontrol sedangkan pada perlakuan yang diaplikasikan jamur T. koningii tidak terjadi serangan (intensitas penyakit sama dengan nol). Hal ini sesuai dengan Khairul (2001) sifat antagonis jamur Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma sp. kedalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhkan di dalam petri. Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau parasitik terhadap jamur patogen tular tanah yang banyak menimbulkan kerugian pada tanaman pertanian.
Jumlah Konidia T. koningii Pada Media Organik
Tabel 4. Data penghitungan jumlah konidia T. koningii pada pengamatan 9, 17 dan 25 hsi pada media jagung, beras, dedak (x 108)
Ket: Angka-angka hasil penghitungan pada kolom diatas tidak diolah secara statistik.
Pada tabel 4 terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah konidia pada masing- masing hari pengamatan. Didapatkan hasil bahwa media yang paling baik untuk pertumbuhan T. koningii yaitu pada media jagung yakni dengan jumlah konidia tertinggi pada 25 hari setelah inokulasi (hsi) yakni 0,88 x 108 diikuti dedak 0,33 x 108 dan beras 0,2 x 108. Terlihat bahwa terjadi kenaikan jumlah konidia pada media jagung pada setiap waktu pengamatan, namun sebaliknya pada media beras dan dedak meski terjadi kenaikan jumlah konidia pada pengamatan 17 dan 25 hsi namun tidak begitu terlihat (hanya sedikit). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Syatrawati (2008) yaitu fase pertumbuhan mikroorganisme yang pada fase awal pertumbuhannya lamban disebut lag phase, kemudian diikuti oleh suatu periode pertumbuhan yang cepat disebut fase logaritmik atau fase eksponensial, kemudian mendatar (fase statis), dan akhirnya diikuti oleh suatu penurunan populasi sel-sel hidup (fase kematian atau fase penurunan). Terlihat bahwa terjadi perbedaan pertambahan jumlah konidia antara media jagung, beras, dedak pada 9, 17, 25 hsi. Hal itu kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya faktor penghambat pertumbuhan pada jagung sehingga produksi konidia yang bersifat viable tetap meningkat. Hal ini sesuai dengan Syatrawati
Media Jumlah konidia per ml (x 108)
9 HSI 17 HSI 25 HSI
Jagung 0,22 0,44 0,88
Beras 0,135 0,155 0,2
(2008) yang menyatakan keberadaan spora yang hidup pada suatu cendawan dengan media tempat tumbuhnya menentukan persentase jumlah spora hidup yang dihasilkan dan Howell (1991) yang menyatakan substrat atau media organik tempat tumbuh cendawan antagonis berpengaruh dalam menghasilkan berbagai bentuk spora, zat anti cendawan maupun anti bakteri. Kombinasi cendawan antagonis dan media organik yang tepat harus digunakan agar dapat menekan penyakit dengan baik.
Panjang Akar Tunggang
Data pengamatan panjang akar tunggang dan hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 15 dan 16. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol (C1).
Rataan dari panjang akar tunggang akibat pengaplikasian jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Data panjang akar tunggang akibat pengaplikasian jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak (cm)
Perlakuan Rataan T0 (Kontrol) 23.00b Jagung T1 (15g) 42.67a T2 (25g) 47.67a T3 (35g) 39.33a Beras T4 (15g) 39.89a T5 (25g) 38.22a T6 (35g) 39.89a Dedak T7 (15g) 45.33a T8 (25g) 44.44a T9 (35g) 43.22a
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji jarak berganda duncan (DMRT).
Dari tabel 5 terlihat bahwa perlakuan pemberian jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan akar tunggang terpanjang terdapat pada perlakuan (T2) 47,67 cm yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1, T3, T4, T5, T6, T7, T8, dan T9 dan yang terpendek terdapat pada perlakuan kontrol (T0) yaitu 23 cm yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan media organik mengandung komposisi seperti air, protein, lemak, abu yang dapat diuraikan oleh tumbuhan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan akar.
Derajat Kemasaman Tanah (pH tanah)
Data pengamatan pH tanah dan hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 17 dan 18. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi jamur T. koningii melalui media jagung, beras dan dedak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap parameter pH tanah.
Rataan dari pH tanah akibat dari pengaplikasian T. koningii dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Rataan pH tanah akibat pengaplikasian T. koningii
Perlakuan Rataan T0 (Kontrol) 7.00 Jagung T1 (15g) 6.73 T2 (25g) 6.56 T3 (35g) 6.66 Beras T4 (15g) 6.57 T5 (25g) 6.97 T6 (35g) 6.33 Dedak T7 (15g) 6.95 T8 (25g) 6.82 T9 (35g) 6.84
Dari tabel 6 terlihat bahwa perlakuan pemberian jamur T. koningii menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada parameter pH tanah. Pada tabel 6
terlihat bahwa terjadi penurunan pH yang tidak nyata dengan pemberian jamur T. koningii dimana pada perlakuan kontrol pH tanah menunjukkan skala 7 dan
setelah diaplikasikan jamur T. koningii terjadi penurunan pH yang secara statistik
penurunan tersebut tidak signifikan. Namun, walau begitu pemberian T. koningii pada perlakuan T1 sampai T9 membuat kondisi tanah lebih masam
daripada perlakuan T0 (kontrol) ini terjadi karena ada mekanisme antagonis pada perlakuan T1 sampai T9 seperti yang dinyatakan Anonimus (2009) bahwa Trichoderma menghasilkan enzim kitinase dan glukanase yang masing-masing mampu melisiskan dinding hifa jamur dari kelas basidiomycetes dan askomycetes serta tidak ada satupun dinding hifa jamur yang tahan terhadap kitinase Trichoderma khususnya jamur patogen yang berasal dari klas askomycetes dan basidiomycetes. Endokitinase dan eksokitinase (N-acetyl-β-D-glukosaminidase) dan ketobiosidase dari Trichoderma aktivitasnya 100 kali lebih aktif daripada kitinase tanaman. Hal ini berhubungan dengan aktivitas antagonis yang dilakukan Trichoderma sp., dengan dihasilkannya zat-zat berupa enzim dan toksin sebagai mekanisme antagonismenya maka akan mempengaruhi pH tanah dan hal ini berhubungan dengan pengamatan intensitas serangan dan kejadian penyakit yang menunjukkan bahwa pada perlakuan T0 (kontrol) terlihat adanya serangan penyakit namun hal itu tidak terjadi pada tanaman T1 sampai T9.