• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Stasioneritas

Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengestimasi model adalah melakukan uji stasioneritas. Tahap pengujian ini sangat diperlukan untuk menghindari timbulnya masalah regresi semu (spurious regression). Pengujian akar unit atau stasioneritas dilakukan pada tingkat level dan first difference. Hal ini dilakukan karena pada umumnya data time series masih belum stasioner pada tingkat level sehingga pengujian stasioneritas harus dillakukan pada tingkat first

2 Negara-negara Asia Tenggara yang disertakan adalah seluruh negara anggota Asia Tenggara

kecuali Brunei Darusallam

95 72 109 20 138 5 76 132 112 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Filipina Indonesia Kamboja Malaysia Myanmar Singapura Thailand Timor Leste Vietnam

deifference. Asumsi yang digunakan pada pengujian stasioneritas dalam penelitian ini adalah Augmented Dickey-Fuller (ADF) Test.

Tabel 4: Uji Stasioneritas pada Level

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon Keterangan

1% 5% 10% INFL -2.570813 -3.615588 -2.941145 -2.609066 Tidak Stasioner LN_BONG KAR 0.934066 -2.627238 -1.949856 -1.611469 Tidak Stasioner LN_KA -4.639534 -4.211868 -3.529758 -3.196411 Stasioner LN_KONS -4.256101 -4.273277 -3.557759 -3.212361 Stasioner LN_MUAT -0.423137 -3.639407 -2.951125 -2.614300 Tidak Stasioner LN_PJ -0.607366 -4.211868 -3.529758 -3.196411 Tidak Stasioner

Cetak Tebal menadakan variabel terkait sudah stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% Sumber: Data Sekunder Diolah

Tabel 4 menjelaskan hasil uji stasioneritas pada tingkat level. Berdasarkan tabel 4, dapat disimpulkan bahwa variabel yang stasioner pada tingkat level hanya variabel KA dan MUAT. Sedangkan variabel lainnya, yaitu INFL, BONGKAR, KONS, dan PJ sehingga variabel-variabel ini harus melakukan uji stasioner pada tingkat first difference.

Tabel 5: Uji Stasioneritas pada First Difference

Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon Keterangan

1% 5% 10% INFL -4.797779 -3.661661 -2.960411 -2.619160 Stasioner LN_BONG KAR -2.847166 -2.627238 -1.949856 -1.611469 Stasioner LN_KA -5.795058 -4.336815 -3.536601 3.200320 Stasioner LN_KONS -3.378283 -4.219126 -3.533083 -3.198312 Stasioner LN_MUAT -2.886336 -3.639407 -2.951125 -2.614300 Stasioner LN_PJ -4.598417 -4.219126 -3.533083 -3.198312 Stasioner

Cetak Tebal menadakan variabel terkait sudah stasioner pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10% Sumber: Data Sekunder Diolah

Tabel 5 menunjukan bahwa pada first difference, semua variabel telah stasioner dan tidak mengandung akar unit. Uji stasioneritas dalam penelitian ini dilakukan pada taraf 1%, 5%, dan 10%. Untuk menentukan keberadaan akar unit pada masing- masing variabel, dapat dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai ADF-test dengan nilai kritis MacKinnon pada masing-masing taraf nyata (1%, 5%, dan 10%). Uji Lag Optimum

Besarnya lag dalam suatu sistem VAR menjadi poin yang sangat penting. Besarnya lag berguna baik dalam menentukan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya maupun pengurangan kemungkinan timbulnya masalah autokorelasi dalam suatu sistem VAR. Dalam menentukan besarnya lag optimum,

kriteria yang dapat digunakan antara lain: Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion

(SIC), Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Kriteria penentuan lag optimum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Schwarz Information Criterion (SIC). Besarnya lag yang mungkin digunakan untuk mengestimasi model VAR dalam penelitian ini adalah 1 dan 3. Dengan melakukan estimasi ulang menggunakan kemungkinan dua lag tersebut, kita dapat menentukan lag yang paling optimal dari kemungkinan dua lag tersebut dengan cara melihat besarnya nilai adjusted-R2. Dengan menggunakan lag 1, hasil estimasi VAR menunjukan besaran nilai adjusted-R2 lebih kecil daripada hasil estimasi VAR dengan menggunakan lag 3. Dari hasil uji ini, maka dapat disimpulkan bahwa lag yang akan digunkan dalam peneltian ini adalah sebesar 3.

Uji Stabilitas VAR

Langkah selanjutnya setelah melakukan uji lag optimum adalah uji stabilitas VAR. Uji ini sangat penting dilakukan karena jika hasil estimasi VAR yang dibuat tidak stabil, kondisi ini akan menyebabkan impulse respon function (IRF) dan

forecast error variance decomposition (FEVD) menjadi tidak valid. Menurut Arsana (2005) dalam Eviews Users’ Guide (2002), mengemukakan bahwa suatu sistem VAR tergolong sistem VAR yang stabil jika besarnya nilai modulus tidak lebih besar dariapada satu dan berada dalam unit circle-nya.

Tabel 6: Hasil Uji Stabilitas VAR

Root Modulus 0.965061 0.965061 0.883031 - 0.371103i 0.957842 0.883031 + 0.371103i 0.957842 0.726760 - 0.593955i 0.938596 0.726760 + 0.593955i 0.938596 0.830306 - 0.082986i 0.834443 0.830306 + 0.082986i 0.834443 0.345269 + 0.735567i 0.812570 0.345269 - 0.735567i 0.812570 -0.672556 - 0.105314i 0.680751 -0.672556 + 0.105314i 0.680751 0.388692 - 0.509877i 0.641137 0.388692 + 0.509877i 0.641137 -0.446408 - 0.334555i 0.557860 -0.446408 + 0.334555i 0.557860 -0.509213 0.509213 -0.167650 - 0.457845i 0.487574 -0.167650 + 0.457845i 0.487574

Sumber: Data Sekunder Diolah

Berdasarkan tabel 6 dapat disimpulkan bahwa, sistem VAR yang digunakan dalam penelitian ini sudah tergolong stabil. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai modulus yang tidak lebih besar daripada satu.

Uji Kointegrasi

Verbeek (2000) dalam Firdaus (2011), mengemukakan bahwa adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistemm tersebut terdapat error correction model, yng menggambarkan adanya dinamika jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Dengan kata lain, kointegrasi merepresentasikan hubungan jangka panjang. Hasil uji kointegrasi dalam penelitian ini disajikan oleh tabel 7.

Tabel 7: Hasil Uji Kointegrasi

Rank Trace Max Eigenalue

Rank = 0 95.75366 40.07757 Rank = 1 69.81889 33.87687 Rank = 2 47.85613 27.58434 Rank = 3 29.79707 21.13162 Rank = 4 15.49471 14.26460 Rank = 5 3.841466 3.841466

Cetak tebal menunjukan bahwa Trace dan Max-Eigen > 5% Sumber: Data Sekunder Diolah

Berdasarkan hasil pengujian kointegrasi di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 5 rank kointegrasi pada taraf nyata 5%. Hal ini menandakan bahwa secara multivariate terdapat lima persamaan jangka panjang yang dikandung di dalam model.

Hasil Estimasi VECM

Estimasi VECM menghasilkan output yang memungkinkan untuk melihat hubungan jangka panjang dan hubungan jangka pendek. Tabel 8 meringkas hasil estimasi model pada jangka panjang dan jangka pendek. Hasil estimasi VECM pada penelitian ini menghasilkan kombinasi antara variabel inflasi, konsumsi, infrstruktur darat, infrastruktur kereta api dan infrastruktur laut. Pada jangka panjang, selain infrastruktur kereta api, semua variabel berpengaruh signifikan terhadap kinerja inflasi di Indonesia.

Tabel 8: Hasil Estimasi Model VECM Hasil Estimasi Jangka Panjang

Variabel Koefisien t-statistic

INF(-1) 1.00000 LN_BONGKAR(-1) -5.864588 5.69593 LN_KA(-1) -0.509472 0.92815 LN_KONS(-1) -183.8373 36.4980 LN_MUAT(-1) -17.85045 13.9640 LN_PJ(-1) 130.1178 -17.4799 C 735.4933

Hasil Estimasi Jangka Pendek

Variabel Koefisien t-statistic

CointEq1 -0.122690 -10.3075 D(INF(-1)) -0.033044 4.99551 D(INF(-2)) -0.355815 5.10209 D(INF(-3)) -0.285780 1.74790 D(LN_BONGKAR(-1)) -2.612069 -1.72541 D(LN_BONGKAR(-2)) -8.598690 -1.03573 D(LN_BONGKAR(-2)) 37.35515 1.28270 D(LN_KA(-1)) -5.434741 0.12961 D(LN_KA(-2)) -2.497822 -1.56808 D(LN_KA(-3)) 2.741520 -0.82852 D(LN_KONS(-1)) 72.30336 3.06459 D(LN_KONS(-2)) 1.964074 4.30221 D(LN_KONS(-3)) -48.62747 2.23621 D(LN_MUAT(-1)) -44.75879 3.14323 D(LN_MUAT(-2)) -15.57124 -0.94416 D(LN_MUAT(-3)) 41.76631 0.31839 D(LN_PJ(-1)) -572.8685 -4.40150 D(LN_PJ(-2)) 2.568512 -8.57767 D(LN_PJ(-3)) 440.5889 -2.55802 C 1.368133 10.4630

Signifikan pada taraf nyata 5% Sumber: Data Sekunder Diolah

Berdasarkan hasil estimasi model VECM pada jangka pendek, dapat disimpulkan bahwa terbukti adanya hubungan penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yang ditunjukan dengan kointegrasi koefisien kesalahan sebesar - 0.122690. Reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya dinilai pada taraf nyata 5ipersen.

Faktor-faktor Penyebab Tingginya Inflasi di Indonesia

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada kasus-kasus di beberapa negara, inflasi disebabkan oleh banyak hal, seperti: depresiasi nilai tukar, peningkatan harga bahan bakar serta harga pangan dunia, guncangan politik rendahnya kredibilitas bank sentral dalam mengontrol tingkat inflasi, dan lain-lain. Tidak hanya itu, inflasi pun dapat dipicu baik oleh demand side (demand pull inflation) maupun supply side (cost push inflation). Pada penelitian ini, konsumsi diduga memicu munculnya demand pull inflation sedangkan kualitas infrastruktur yang buruk akan mendorong timbulnya cost push inflation di Indonesia.

Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Inflasi

Berdasarkan gambar 18, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, inflasi akan memberikan respon yang positif jika terjadi perubahan satu deviasi pada variabel inflasi.

Gambar 18: Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Variabel Inflasi

Sumber: Data Sekunder Diolah

Pada periode pertama contohnya, inflasi sendiri akan merespon positif guncangan tersebut sebesar 2.391495 persen. Respon tersebut kemudian semakin menguat hingga periode empat, inflasi akan memberikan dampak positif hingga sebesar 3.016102 persen. Menginjak periode ke-20, inflasi cenderung stabil dalam merespon guncangan yang dihasilkan oleh inflasi itu sendiri. Selama 40 titik periode, inflasi akan memberikan respon terlemah pada periode ke-16, yaitu hanya sebesar 0.840960 persen. Hingga akhir periode, inflasi selalu memberikan respon yang positif terhadap semua guncangan yang dihasilkan oleh dirinya sendiri. Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Infrastruktur

Gambar 19 menyajikan informasi terkait respon inflasi jika terjadi guncangan pada infrastruktur yang diwakili oleh infrastruktur laut, panjang jalan dan infrastruktur transportasi kereta api. Secara umum, inflasi akan memberikan respon yang negatif terhadap berbagai guncangan baik yang dihasilkan oleh variabel infrastruktur laut, panjang jalan dan infrastruktur transportasi kereta api. Artinya, jika salah satu dari ketiga variabel tersebut memberikan guncangan, inflasi akan menanggapi dengan arah sebaliknya. Pada periode pertama, perubahan pada volume barang yang diangkut melalui kereta api tidak akan memberikan dampak apapun pada inflasi. Menginjak periode kedua, inflasi meningkat sebesar 0.444613 persen jika volume barang yang diangkut oleh kereta api mengalami penurunan sebesar satu deviasi. Respon tertinggi diberikan pada periode ketiga, yaitu sekitar 0.754759 persen. Seiring berjalannya waktu, respon inflasi terhadap guncangan yang diberikan oleh variabel ini cenderung stabil. Hal serupa ditunjukan oleh volume barang yang dimuat di pelabuhan utama Indonesia dan panjang jalan. Kedua variabel ini pun memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi. Pada periode pertama, baik volume barang yang dimuat di pelabuhan utama Indonesia maupun panjang jalan, keduanya tidak menerima respon inflasi. menginjak periode kedua, inflasi mulai merespon setiap guncangan yang dihasilkan oleh kedua variabel ini. Saat volume barang yang dimuat di pelabuhan utama Indonesia meningkat satu deviasi, inflasi akan berkurang sebesar 0.813294 persen. Begitu pula jika terjadi penambahan panjang jalan, inflasi Indonesia akan berkurang hingga 1.171916 persen. Respon terbesar yang dihasilkan jika terjadi perubahan

-2 0 2 4

volume yang dimuat di pelabuhan utama Indonesia berada pada periode keempat yaitu sebesar 0.917908 persen. Sedangkan pada variabel panjang jalan, selam 40 titik periode, inflasi akan memberikan respon terbesar pada periode kedua dan cenderung menghilang pada periode-periode selanjutnya.

Gambar 19: Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Infrastruktur

Sumber: Data Sekunder Diolah

Berbeda dengan tiga variabel lainya, variabel volume barang yang dibongkar di pelabuhan utama memiliki hubungan yang positif dengan inflasi. artinya jika volume barang yang dibongkar di pelabuhan utama mengalami peningkatan maka inflasi pun akan meningkat. Meski pada periode pertama, inflasi tidak memberikan respon apapun terhadap setiap perubahan pada volume barang yang dibongkar di pelabuhan utama Indonesia, namun pada periode-periode selanjutnya, inflasi memberikan respon terhadap setiap deviasi perubahan pada volume barang yang dibongkar pada pelabuhan utama Indonesia. Pada periode ke- 4 contohnya, ketika volume barang yang dibongkar pada pelabuhan utama Indonesia mengalami peningkatan, hal ini akan mengakomodir peningkkatan inflasi sebesar 1.043091 persen. Bahkan pada periode ke-12, inflasi menunjukan respon tertinggi selama 40 titik periode estimasi. Secara keseluruhan respon inflasi terhadap perubahan variabel ini cenderung fluktuatif, namun semakin stabil sejak menginjak periode ke-13.

Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Konsumsi

Variabel terakhir yang diestimasi memiliki pengaruh terhadap kinerja inflasi di Indonesia adalah konsumsi masyarakat. Secara umum, variabel ini

-2 0 2 4

5 10 15 20 25 30 35 40

Res pons e of INFL to LN_PJ

-2 0 2 4

5 10 15 20 25 30 35 40

Res pons e of INFL to LN_KA

-2 0 2 4

5 10 15 20 25 30 35 40

Res pons e of INFL to LN_BONGKAR

-2 0 2 4

5 10 15 20 25 30 35 40

memiliki hubungan yang positif dengan kinerja inflasi di Indonesia. Artinya, jika konsumsi masyarakat mengalami peningkatan, hal ini akan mendorong tumbuhnya inflasi di Indonesia. Pada periode pertama estimasi, inflasi tidak memberikan respon terhadap perubahan yang terjadi pada variabel konsumsi. Namun, menginjak periode kedua, inflasi mulai merespon perubahan konsumsi sebesar 0.644355 persen. Respon ini semapat melemah di periode ke-6 dan berubah menjadi respon negatif pada peridode ke-7 sampai petiode ke-10. Hal serupa kembali terulang pada periode ke-15 sampai dengan periode ke-18. Respon terbesar yang diberikan oleh inflasi terhadap perubahan konsumsi masyarakat ditunjukan pada periode ketiga yaitu sebesar 0.785860 persen dan cenderung terus menghilang sejak periode ke- 20.

Gambar 20: Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Konsumsi

Sumber: Data Sekunder Diolah

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik adalah baik konsumsi maupun infrastruktur, kedua variabel ini memberikan pengaruh terhadap variabilitas kinerja inflasi di Indonesia.

Kontribusi Konsumsi dan Infrastruktur dalam Memengaruhi Kinerja Inflasi di Indonesia

Setelah mengetahui bahwa konsumsi dan infrastruktur memiliki pengaruh terhadap kinerja inflasi di Indonesia. Analisis berikutnya akan melihat besarnya pengaruh kedua variabel tersebut. Konsumsi sendiri memiliki pengaruh yang signifikan dalam memicu terjadinya inflasi di Indonesia. Sedangkan kondisi infrastruktur masih tergolong signifikan meski salah satu komponen infrastruktur, yaitu daya dukung infrastruktur kereta api, terbukti tidak signifikan memengaruhi inflasi. Pada jangka pendek dan jangka panjang, buruknya kinerja inflasi lebih disebabkan oleh guncangan inflasi itu sendiri, yaitu berada pada kisaran angka 62.1% - 73.006%. Hal ini terjadi karena guncangan inflasi akan membentuk ekspektasi publik terhadap inflasi di masa mendatang sehingga berpengaruh besar pada kinerja inflasi periode selanjutnya. Pada jangka menengah, selain inflasi, variabel lain yang memiliki pengaruh besar terhadap kinerja inflasi adalah panjang jalan dan infrastrukur laut (yang diwakili oleh volume barang yang dibongkar dan dimuat pada pelabuhan utama Indonesia). Infrastruktur laut sendiri memiliki pengaruh yang terus membesar seiring berjalannya waktu. Hal berbeda ditunjukan

-2 0 2 4

oleh, panjang jalan dengan efek yang terus menghilang hingga periode 40. Berdasarkan hasil analisis, variabel konsumsi sendiri memiliki pengaruh yang sangat kecil dan semakin mengecil hingga periode terakhir. Pada jangka pendek, guncangan pada konsumsi hanya akan memberikan dampak pada inflasi sebesar 4.042408 persen. Pada jangka menengah-panjang, guncangan pada konsumsi tidak lebih dari 3 persen.

Tabel 9: Efek Guncangan Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia

Period

Guncangan (persen)

INFL LN_

BONGKAR LN_KA LN_KONS LN_MUAT LN_PJ

1 100 0 0 0 0 0 5 71.0582 5.9406 2.5478 4.0424 5.5930 10.8177 10 73.0063 7.1911 2.3437 3.4305 5.1757 8.8523 15 67.0712 14.1741 1.8954 2.5339 7.1757 7.1494 20 64.9741 14.9450 1.8538 2.2679 9.2873 6.6716 25 64.5346 16.0009 1.7566 1.9731 9.6246 6.1099 30 63.7266 16.7957 1.6942 1.7486 10.3039 5.7306 35 63.1911 17.3966 1.6488 1.5805 10.7631 5.4196 40 62.7130 17.9366 1.6045 1.4382 11.1386 5.1689

Sumber: Data Sekunder Diolah

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh guncangan konsumsi terhadap inflasi sangat kecil, yaitu hanya sebesar 4.042408 persen. Dengan demikian, infrastruktur dapat lebih efektif memengaruhi variabilitas kinerja inflasi di Indonesia daripada konsumsi. Sehingga untuk mengontrol inflasi, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui perbaikan infrastruktur secara komprehensif. Upaya ini tentu tidak hanya dapat mengontrol inflasi dari supply side

(cost push inflation), tetapi dapat meningkatkan daya dukung infrastruktur terhadap berbagai aspek perekonomian.

Implikasi Kebijakan

Senjang antara inflasi target dan inflasi aktual yang umum terjadi di Indonesia tentu akan memberikan dampak negatif baik pada aspek ekonomi maupun sosial, mulai dari meningkatnya ketidakpastian dalam berinvestasi, rendahnya daya saing Indonesia di pasar internasional sampai dengan meningkatnya tingkat kriminalitas di masyarakat. Kondisi ini tentu harus ditekan dan tidak dibiarkan berkelanjutan. Senjang antara inflasi aktual dan inflasi target yang seringkali terjadi di Indonesia, tidak hanya disebabkan oleh lemahnya pondasi makroekonomi Indonesia. Salah satu pendorong timbulnya senjang ini adalah rendahnya daya dukung infrastruktur terhadap berbagai aktivitas ekonomi sehingga untuk mengatasi tingginya inflasi, penetapan target inflasi saja masih dirasa belum mencukupi. Perbaikan sektoral dengan meningkatkan daya dukung infrastruktur sudah seharusnya dilakukan, karena sistem infrastruktur merupakan proses keterlibatan berbagai aspek, interdisiplin dan multisektoral (Kodoatie, 2005). Tidak hanya itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zhang, et al. (2013) dapat dilihat bahwa ternyata infrastruktur memiliki dampak yang sangat besar terhadap perekonomian China. Lebih dari 10 persen anggaran pemerintahan yang dihabiskan

untuk membangun infrastruktur terbukti dapat memperkuat fundamental perekonomian China saat krisis perekonomian melanda sebagian besar negara di dunia. Di Indonesia, pembangunan ini dapat bertujuan untuk mendukung berbagai aktivitas perekonomian, perbaikan ini diharapkan dapat menekan timbulnya cost push inflation yang akan memicu pelebaran senjang inflasi di Indonesia.

Dalam melakukan pembangunan infrastruktur, berbagai kendala dihadapi oleh pemerintah. Salah satu tantangan utama dalam perancangan sistem infrastruktur adalah mempertimbangkan bagaimana semua memberikan pengaruh pada lainnya, keterkaitan satu sama lain dan dampak-dampaknya (Grig dalam

Kodoatie, 2005). Untuk mencapai hal tersebut perlu keterpaduan tersistem, komitmen yang konsisten dari semua stakeholders, multi sektor dan terintegrasi. Selain itu, pembiayaan pengadaan infrastruktur pun menjadi kendala lain yang dihadapi saat sebuah negara memutuskan akan melakukan pembangunan infrastruktur. Terdapat beberapa skema pembiayaan pembangunan infrastruktur, antara lain: a) pembangunan infrastruktur dilakukan sepenuhnya oleh anggaran belanja negara tanpa melibatkan pihak swasta, b) pembangunan infrastruktur dilakukan atas kerja sama antara pemerintah negara terkait dengan pihak swasta melalui skema public private partnership. Ketika anggaran pemerintahan tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur secara menyeluruh, maka bentuk sinergis antara pemerintah dan swasta memang menjadi pilihan yang tepat untuk melakukan pembangunan infrastruktur (Moszoro dan Krsyzanowska, 2011)

Public private partnership merupakan keterkaitan sinergis dalam jangka panjang, antara pemerintah selaku regulator, konsorsium selaku penyandang dana dan swasta/kontraktor selaku pelaksana proyek mulai dari design, building, operational, dan maintenance. Dalam penelitiannya, Cernaianu dan Achitu (2010) mengungkapkan bahwa public private partnership merupakan cara untuk mengundang investasi pembangunan infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara dengan anggaran pembangunan infrastruktur yang minim. Sedangkan menurut Francoz (2010), public private partnership merupakan kerja sama antara pemerintah dan swasta di mana pada umumnya pemerintah akan merancang, membangun dan melaksanakan pembangunan proyek namun dalam skema ini baik perancangan maupun pelaksanaan pembangunan proyek dilaksanan oleh swasta, pemerintah hanya menetapkan sejumlah regulasi. Hal serupa pula diungkapkan oleh Islami (2015), menurutnya PPP merupakan bentuk kerja sama yang timbul antara pemrintah dan swasta karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah untuk mendanai berbagai proyek pembangunan infrastruktur. Keikutsertaan badan usaha ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur yang sebelumnya telah dirancang oleh pemerintah. Cara ini telah umum dilaksanakan di beberapa negara, seperti China, Filipina, India, dan sebagian besar negara di Eropa. Di India sendiri, pemerintah setempat telah mencoba berbagai macam skema PPP seperti viability gap financing (VGF) dan

special purpose vehicle (SPV) (Sinha, Arya, dan Singh, 2012).

Francoz (2015) menambahkan bahwa dalam proyek yang dilaksanakan dalam skema public investment, akan akan memungkinkan terjadinya penambahan utang pemerintah karena upaya pembiayaan pelaksanaan proyek. Namun dalam skema PPP, dalam proses konstruksi pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya karena semua biaya dalam proses tersebut akan diambil alih (over take) oleh pihak swasta.

Tidak hanya itu, rendahnya biaya yang akan dikeluarkan dalam skema PPP jika dibandingkan dengan skema public investment diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 21: Perbandingan Biaya Proyek yang Dilaksankan Oleh Pemerintah dan Proyek Melalui Pendekatan PPP

Sumber: Francoz, 2015

Dalam gambar 21 dapat dilihat bahwa melalui skema PPP biaya yang dikeluarkan jauh lebih kecil daripada biaya yang harus dikeluarkan melaui skema

public investment. Di sisi lain, pemerintah pun dapat memastikan rendahnya risiko dari pembangunan infrastruktur yang mungkin akan diterima. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah pun tidak perlu mengkhawatirkan adanya konflik kepentingan karena interfensi poltik yang terbatas. Berdasarkan sudut pandang swasta, PPP dapat memberikan manfaat salah satunya adalah perolehan dukungan dari pemerintah dan terciptanya hambatan bagi pesaing badan usaha terkait dan

Meski sangat membantu pemerintah dalam penyediaan infrastruktur, namun pada kenyataannya skema public private partnership masih memiliki banyak kendala. Salah satu kendala terbesar adalah tingginya risiko dari ketidakpuasan pengguna terhadap fasilitas yang diproduksi melalui skema ini. Tidak hanya itu benturan visi antara pemerintah dan swasta pun sangat umum terjadi. Pada dasarnya pemerintah selalu bermaksud meminimalisasi biaya dan mengharapkan pelayanan yang sangat maksimal, namun di sisi lain swasta selalu mengedepankan keuntungan. Kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya proyek yang terlambat dieksekusi karena mismatch antara pemerintah dan swasta akibat tidak terciptanya koordinasi serta terbatasnya investor yang berani mengambil resiko dari proyek- proyek yang akan dijalankan. Resiko yang akan dihadapi oleh swasta tentu tidak hanya resiko dari pinalti yang mungkin akan diterima karena proyek berada pada

underperformance, namun termasuk pula resiko dari pembengkakan biaya transaksi pelaksanaan pembangunan proyek dan rendahnya kemampuan tim. Beberapa negara yang berhasil menjalankan PPP umumnya mengatasi kendala ini degan menawarkan berbagai keistimewaan seperti memberikan dukungan dalam

Base Costs Satus Quo Hidden risk Gross Competitivene ss Advantages of PPP Original costs of PPP incl. Higher Funding Costs Net Advantage Rate of Return Risk Fee C OST Government Procurement PPP Approach

upaya pembebasan lahan, pemberian fasilitas pendukung, menjamin nilai tukar sampai dengan memberikan keringan atau pembebasan pajak (tax relief) bagi badan usaha terkait.

Seperti yang telah diulas sebelumnya, skema ini pun dapat digunakan oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia, mulai dari infrastruktur darat, perkeratapian, infrastruktur laut hingga infrastruktur udara. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur. Tidak hanya pada infrastruktur jalan yang akan menjamin konektivitas antardaerah di Indonesia, namun juga perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur transportasi laut, sebagai upaya penanggulangan jangka panjang buruknya kinerja inflasi di Indonesia. Peningkatan kualitas ini tentu dapat berdampak positif pada aliran distribusi berbagai produk ke berbagai pelosok daerah di Indonesia.

Dokumen terkait