• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi Di Indonesia"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN PENGARUH KONSUMSI DAN KONDISI INFRASTRUKTUR TERHADAP INFLASI INDONESIA

ENING DWI JAWATY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi berjudul Ananlisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telaah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya ilmiah saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Ening Dwi Jawaty

(4)

ABSTRAK

ENING DWI JAWATY. Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR.

Penelitian ini menitikberatkan fokus pada perhitungan besarnya pengaruh konsumsi dan kondisi infrastruktur di Indonesia dalam menentukan variabilitas inflasi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melihat variabel yang paling berpengaruh dalam menyebabkan senjang antara inflasi aktual dan inflasi target, sehingga implikasi kebijakan yang dirumuskan dapat tepat mengatasi senjang tersebut. Semua data yang dihimpun merupakan data deret waktu dengan selang periode 2004-2013 dan dianalisis dengan menggunakan metode vector error correction model (VECM). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, variabel konsumsi terbukti signifikan, di sisi lain, salah satu komponen variabel infrastruktur yaitu infrastruktur kereta api terbukti tidak signifikan dalam memengaruhi kinerja inflasi. Tidak hanya itu, hasil analisis membuktikan bahwa infsrtruktur memiliki efek yang lebih besar daripada konsumsi dalam menentukan variabilitas kinerja inflasi di Indonesia.

Kata kunci: inflasi, infrastruktur, konsumsi, VECM

ABSTRACT

ENING DWI JAWATY. Comparative Analysis of Impacts of Consumption and Infrastructure on Inflation in Indonesia. Supervised by HERMANTO SIREGAR.

This study has focused on comparising impacts of consumption and infrastructure on Indonesia’s inflation. The aim of this study is to deciding the most influencing variables on causing inflation gap. This study used time series data 2004-2013 and analized using by the vector error correction model (VECM). Analitically, consumption has significant effect. Whereas, one of infrastructure components, i.e. railway infrastructure, has no significant effect on inflation. The result also show that the infrstructure has bigger effect than consumption on influencing inflation in Indonesia.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS PERBANDINGAN PENGARUH KONSUMSI DAN

KONDISI INFRASTRUKTUR TERHADAP KINERJA INFLASI

DI INDONESIA

ENING DWI JAWATY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia Nama : Ening Dwi Jawaty

NIM :H14110110

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr, Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec. Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

(8)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin. Puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang Maha Pengasih atas limpahan rahmat, berkah dan nikmat kepada penulis sejak memulai proses studi sarjana hingga proses penyelesaian skripsi yang berjudul Analisis Perbandingan Pengaruh Konsumsi dan Kondisi Infrastruktur Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia ini. Semua pencapaian selama proses-proses tersebut tentu tidak dapat dipisahkan dari ridho Allah Yang Maha Memiliki Ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan hidup, Nabi Muhammad Saw. Karya ilmiah ini sendiri memiliki tujuan untuk melihat besarnya pengaruh konsumsi dan kondisi infrastruktur dalam memengaruhi kinerja inflasi di Indonesia. Implikasi kebijakan yang dirumuskan pada skripsi ini, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan terkait inflasi dan menjadi bahan referensi bagi penelitian di masa mendatang.

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dalam penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini, terutama kepada:

1.Ibu, Bapak, Ayah, Mbak Fenny M. Sari, Ragil T. A. Handini, dan Adnan Al-Furqan yang telah menjadi muara dari semua resolusi. Terima kasih atas dukungan di tiap langkah, keringat di tiap usaha, air mata di tiap gagal, dan doa di tiap harap.

2. Ny. SMT Alfiana Ainurrahma, terima kasih atas tawa di tiap detik, semangat di tiap hari dan mimpi di tiap doa. Terima kasih telah menjadi rumah di tanah rantau.

3.Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec. selaku dosen pembimbing atas semua masukan, transfer ilmu dan inspirasi yang sangat berharga selama penyelesaian skripsi ini.

4.Dr. Sahara dan Dr. Eka Puspitawati selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini. 5. PT Bukit Asam (persero) Tbk. sebagai sponsor beasiswa penulis selama

menempuh pendidikan S1.

6.Rekan satu bimbingan (HER’s) atas semua semangat dan dukungan, atas kepal tangan dan senyuman.

7.Eko, Ica, Jenal, Putri, Selva dan Shofiyanto yang telah menjadi peretas kebahagiaan di sela keras perjuangan.

8.Sendy W. Ilmy, Triana E. Lubis dan Umi Khasanah yang telah menjadi telinga untuk setiap keluh. Sahabat BEM FEM Kabinet Prioritas dan BEM FEM Kabinet Simfoni atas dua tahun yang berharga.

9.Carla S. Wulandari, Dian Rahmadhani, Iswahyuni, Zulva Azijah dan Keluarga Besar ESP 48 atas empat tahun sarat ilmu, empat tahun sarat perjuangan dan empat tahun sarat impian.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun percayalah, setiap dukungan sangat luar biasa berarti.

Bogor, Mei 2015

(9)

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Kebijakan Moneter dan Penargetan Inflasi 8

Inflasi 10

Demand Pull Inflation 10

Cost Push Inflation 13

Penelitian Terdahulu 14

Kerangka Pemikiran 19

Hipotesis Penelitian 20

METODE PENELITIAN 21

Jenis Data dan Sumber Data 21

Variabel dan Definisi Operasional 21

Metode Analisis dan Pengolahan Data 22

Pengujian Pra Estimasi 24

Uji Akar Unit 24

Penetapan Lag Optimal 25

Uji Kointegrasi 25

Impulse Response Function (IRF) 26

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) 26

Model Penelitian 27

GAMBARAN UMUM 27

Kondisi Makroekonomi Indonesia 27

Tingkat Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Masyarakat Di Indonesia 31

(10)

Pengujian Pra Estimasi 34

Uji Stasioneritas 34

Uji Lag Optimum 35

Uji Stabilitas VAR 36

Uji Kointegrasi 37

Hasil Estimasi VECM 37

Faktor-faktor Penyebab Tingginya Inflasi di Indonesia 38 Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Inflasi 38 Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Infrastruktur 39 Respon Dinamik Inflasi Terhadap Guncangan Konsumsi 40 Kontribusi Konsumsi dan Infrastruktur dalam Memengaruhi Kinerja Inflasi di

Indonesia 41

Implikasi Kebijakan 42

SIMPULAN DAN SARAN 45

Simpulan 45

Saran 45

(11)

DAFTAR TABEL

1 Tingkat Inflasi Pada Periode 1950-1965 2

2 Penelitian Terdahulu Terkait Inflasi 15

3 Jenis dan Sumber Data 21

4 Uji Stasioneritas pada Level 36

5 Uji Stasioneritas pada First difference 36

6 Hasil Uji Stabilitas VAR 37

7 Hasil Uji Kointegrasi 38

8 Hasil Estimasi Model VECM 38

9 Efek Guncangan Terhadap Kinerja Inflasi di Indonesia 43 DAFTAR GAMBAR

1 Tingkat Inflasi pada Periode 1995-Januari 2015 2 2 Tingkat Inflasi (%) dan Harga Minyak Dunia (Dolar/Barel) Periode

2005-Januari 2015

3 3 Inflasi Target dan Inflasi Aktual Periode 2001-Januari 2015 4 4 Kualitas Infrastruktur Indonesia Periode 2012-2015 6 5 Sepuluh Faktor Utama Penghambat Perkembangan Usaha di

Indonesia

7

6 Demand Pull Inflation 12

7 Cost Push Inflation 14

8 Kerangka Pemikiran 20

9 Inflasi Indonesia pada Periode 2001-Januari 2015 28 10 Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Periode

2001-2008

29 11 Cadangan Devisa Indonesia Periode 2004-2013 (US$) 30

12 Nilai Tukar Periode 2004-2013 (Rupiah) 31

13 Konsumsi dan Pendapatan Nasional Periode 2004-2013 (Miliar Rupiah)

32 14 Rata-rata Pengeluaran per Kapita Masyarakat Indonesia Sebulan

untuk Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan Periode 2004-2013 (Rupiah)

33

15 Panjang Jalan di Indonesia Periode 2004-2013 (Kilometer) 34 16 Volume Barang yang Diangkut Melalui Infrastruktur Kereta Api dan

Infrastruktur Laut Periode 2004-2013 (Ton)

34 17 Peringkat Kualitas Infrastruktur Negara-negara di Asia Tenggara pada

Tahun 2015

35 18 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Variabel Inflasi 36 19 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Infrastruktur 37 20 Respon Inflasi Terhadap Guncangan pada Konsumsi 38 21 Perbandingan Biaya Proyek yang Dilaksankan Oleh Pemerintah dan

Proyek Melalui Pendekatan PPP

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Stasioneritas Inflasi pada Level 51

2 Uji Stasioneritas pada First Difference 51

3 Uji Stasioneritas LN_BONGKAR pada Level 52

4 Uji Stasioneritas LN_BONGKAR pada First Difference 54

5 Uji Stasioneritas LN_KA pada Level 55

6 Uji Stasioneritas LN_KA pada First Difference 55

7 Uji Stasioneritas LN_KONS pada Level 56

8 Uji Stasioneritas LN_KONS pada First Difference 57

9 Uji Stasioneritas LN_MUAT pada Level 58

10 Uji Stasioneritas LN_MUAT pada First Difference 59

11 Uji Stasioneritas LN_PJ pada Level 60

12 Uji Stasioneritas LN_PJ pada First Difference 60

13 Uji Lag Optimum 62

14 Uji Stabilitas Sistem VAR 63

15 Uji Kointegrasi 63

16 Estimasi VECM 65

17 Impulse Response Function 70

18 Grafik Impulse Response Function 76

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang terus menjadi masalah pokok dan perdebatan para ekonom di setiap negara. Bank Indonesia secara sederhana mendefinisikan inflasi sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Menurut Friedman, inflasi merupakan sebuah fenomena moneter yang selalu terjadi dimana pun dan tidak dapat dihindari. Inflasi terjadi jika terdapat peningkatan harga yang berlangsung secara cepat dan terus-menerus. Pendapat ini disetujui oleh banyak ekonom dari aliran monetaris (Mishkin, 2004). Berdasarkan uraian berbagai definisi terkait inflasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa inflasi merupakan peningkatan harga-harga barang secara bersamaan dan berlangsung dalam waktu yang relatif cukup lama.

Inflasi tidak hanya merupakan sebuah fenomena ekonomi atau sekedar indikator makroekonomi, namun menjadi elemen perekonomian penting yang harus dijaga kestabilannya. Ketidakstabilan dan tingginya inflasi suatu negara tentu menimbulkan berbagai dampak, baik dampak ekonomi maupun dampak sosial. Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh inflasi antara lain adalah timbulnya ketidakpastian yang membuat para pelaku ekonomi sulit membuat keputusan ekonomi baik pilihan untuk berinvestasi maupun pilihan dalam produksi dan konsumsi. Ketidakpastian ini tentu akan memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak hanya itu, inflasi pun dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga standar hidup mengalami penurunan. Penurunan standar hidup ini tentu bukan merupakan dampak akhir dari inflasi namun dapat mengakomodir dampak negatif lain seperti meningkatkan kriminalitas di suatu negara. Inflasi menjadi salah satu poin yang sangat diperhatikan oleh investor asing dalam menanamkan modal yang mereka miliki di suatu negara. Seorang investor tentu kurang memercayai (unprudence) negara dengan tingkat inflasi yang tinggi karena produk domestik relatif lebih mahal terhadap produk luar negeri dan mengalami penurunan competitiveness di pasar internasional.

Menyadari besarnya dampak inflasi terhadap kesehatan fundamental makroekonomi, maka pemerintah membaca sinyal pentingnya melakukan pengontrolan inflasi melalui penetapan target inflasi sebagai salah satu kerangka kerja moneter yang tepat untuk menjaga kestabilan inflasi. Menurut Atmadja (1999), pengendalian inflasi dapat dilakukan tidak hanya dengan membuat kebijakan yang dapat mengantisipasi atau responsif terhadap kenaikan barang-barang luar negeri (imported inflation), namun juga dapat ditempuh melalui peningkatan cadangan devisa dan supply pangan dalam negeri, mengurangi defisit APBN serta memperbaiki struktur penawaran dalam negeri. Kebijakan penargetan inflasi ini merupakan salah satu bentuk forward looking policy, di mana kebijakan ini menjadi langkah antisipasif atas penetapan sasaran inflasi di masa mendatang.

Inflation targeting framework disusun untuk membentuk persepsi publik terkait inflasi sehingga dapat berdampak pada kestabilan harga-harga. Inflation targeting

(14)

memulihkan kondisi perekonomian. Manfaat dari penetapan target inflasi antara lain membuat target inflasi menjadi lebih jelas dan langkah-langkah kebijakan moneter menjadi semakin mudah diobservasi.

Langkah yang dipilih oleh suatu negara untuk mengendalikan inflasi tentu tidak dapat memberikan dampak yang tepat sama jika diterapkan di negara lain. Hal ini tentu disebabkan oleh perbedaan kondisi fundamental perekonomian dan perbedaan penyebab inflasi suatu negara dengan negara lain, sehingga sebelum menetapkan kebijakan yang digunakan untuk melakukan pengendalian inflasi, pemangku kebijakan ekonomi suatu negara harus dengan cermat mengenali penyebab inflasi di negara terkait. Inflasi di Indonesia sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pada tahun 1960-an, Indonesia pernah mengalami hyperinflation

karena pembiayaan defisit anggaran dilakukan oleh pencetakan uang. Hal ini dijelaskan oleh tabel 1 berikut. Pada periode tahun 1955-1958, inflasi berada pada level 26.6%, level ini meningkat dari periode tahun sebelumnya. Pada periode tahun selanjutnya, tingkat inflasi mencapai tiga digit, yaitu 162.9%.

Tabel 1: Tingkat Inflasi Indonesia Pada Periode 1950-1965 Periode Tingkat Inflasi Rata-rata

1950-1954 20.8

1955-1958 26.6

1959-1965 162.9

Sumber: Akhtar1, 2005

Tiga dasawarsa ke depan, tepatnya pada tahun 1997-1998, Indonesia kembali mengalami inflasi yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh gejolak krisis moneter yang memorak-porandakan perekonomian Indonesia.

Gambar 1: Tingkat Inflasi Indonesia pada Periode 1995-Januari 2015 (persen)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Indonesia pun sempat mengalami gejolak inflasi yang tinggi di tahun 2005-2013, di mana harga minyak dunia mengalami peningkatan sehingga dapat

1 Dikompilasi langsung oleh penulis dari berbagai sumber seperti: Arndt (1971), Thomson dan

Drysdale (1964), dan IMF, IFS Yearbook.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

J

a

n

(15)

dipastikan bahwa harga bahan bakar dalam negeri pun melambung tinggi. Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa peningkatan harga minyak dunia diikuti dengan peningkatan inflasi, artinya jika terjadi kenaikan harga minyak dunia, inflasi akan menyesuaikan. Puncak kenaikan harga minyak dunia selama satu dekade terakhir berada pada tahun 2008, di mana harga minyak dunia mencapai US$ 99.67/barel dan ditanggapi dengan kenaikan inflasi hingga level 11.06%. Peningkatan harga bahan bakar tentu akan mengakomodir kenaikan harga barang-barang lain mulai dari harga input-input produksi sampai dengan harga bahan makanan.

Gambar 2: Tingkat Inflasi Indonesia (persen) dan Harga Minyak Dunia (USD/Barel) Periode 2005-Januari 2015

Sumber: US Energy Information Administration, BPS, 2015 (diolah)

Fenomena lain ditunjukan oleh beberapa negara seperti, Afghanistan, Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan dan Nepal yang mengalami peningkatan inflasi sebagai akibat dari peningkatan harga pangan. Berdasarkan penelitian Wahyuni (2011), inflasi yang terjadi di suatu negara dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain: expected inflation, nilai tukar dan upah riil pekerja/buruh. Penelitian lainnya menunjukan bahwa peningkatan harga barang secara umum yang kemudian mendorong terjadinya inflasi lebih disebabkan karena rendahnya peran infrastruktur dalam mendukung berbagai aktivitas nasional, tidak hanya aktivitas perekonomian (tabel 2). Esrig (2010) menyatakan manajemen infrastruktur yang baik dapat membantu menjaga kestabilan inflasi dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Sedangkan Nur (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konsumsi dan inflasi, jika konsumsi mengalami penurunan, maka tingkat inflasi akan menurun.

Rumusan Masalah

Kebijakan Penargetan Inflasi telah resmi diberlakukan pada Juli 2005. Sejak penetapannya, kebijakan ini belum dapat berjalan sesuai target. Berbagai

0 20 40 60 80 100 120

2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 1 0 2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 J a n -1 5

(16)

kendala dalam penetapan kebijakan ini seperti rendahnya kredibilitas kebijakan moneter menjadi alasan besar atas ketidakefektifan penetapan target inflasi di suatu negara. Menurut Nuryati, et al. (2006), aspek kelembagaan Bank Indonesia masih belum efektif meskipun telah dilakukan penyempurnaan melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999. Ketidakefektifan ini ditunjukan oleh fungsi, tujuan, dan wewenang yang belum terkoordinasi dengan baik sehingga target-target yang ditetapkan sebelumnya tidak dapat tercapai. Sejak tahun 2003, inflasi ditargetkan oleh pemerintah dengan koefisien toleransi sebesar 1%.

Gambar 3: Inflasi Target dan Inflasi Aktual Periode 2001-Januari 2015

Sumber: Bank Indonesia, 2015 (diolah)

Berdasarkan data yang disajikan pada gambar 3, dapat disimpulkan bahwa dalam satu setengah dekade terakhir, sebagian besar inflasi yang terbentuk di Indonesia tidak sesuai dengan inflasi yang ditargetkan oleh Bank Indonesia dan pemangku kebijakan moneter lainnya. Sepanjang tahun 2001-Januari 2015, inflasi sempat melebar dari target hingga 10 poin, seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008. Pada tahun 2005, inflasi yang ditargetkan adalah sebesar 6 +1% dan inflasi aktual yang terbentuk adalah 17.11%. Sedangkan pada tahun 2008, inflasi yang ditargetkan adalah 5+1% dan inflasi aktual berada di titik 11.06%. Melihat kondisi ini maka efektivitas penetapan target inflasi sebagai kerangka kerja yang diharapkan dapat mengontrol tingkat inflasi di Indonesia menjadi dipertanyakan.

Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan matang bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah inflasi di Indonesia. Mengenali sumber dan penyebab terjadinya inflasi harus dilakukan oleh pemerintah agar kebijakan yang akan diimplementasikan dapat tepat guna dalam mengatasi masalah inflasi. Menurut Boediono (1994), berdasarkan sumbernya, inflasi dibedakan menjadi dua, yaitu demand pull inflation dan cost push inflation. Demand pull inflation merupakan inflasi yang timbul karena adanya peningkatan permintaan (demand) masyarakat terhadap berbagai komoditas baik barang maupun jasa. Rakhman (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di suatu negara. Semakin tinggi

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

(17)

produktivitas menunjukan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik. Dampak akhir dari proses ini adalah timbulnya demand pull inflation. Meski menurut Keynes, demand pull inflation

lebih didorong oleh pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran untuk pos peperangan, namun konsumsi masyarakat yang tinggi pun diprediksi memiliki andil dalam menyebabkan demand pull inflation.

Hal berbeda ditunjukan oleh cost push inflation. Cost push inflation

merupakan inflasi yang disebabkan oleh peningkatan harga-harga, terutama harga input produksi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi. Permana (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan berdampak pada inflasi. Faktor-faktor tersebut antara lain: tuntutan kenaikan upah, perilaku monopolis yang dapat bertindak sebagai price leader, kenaikan harga bahan baku, kebijakan pemerintah, faktor alam dan

imported inflation. Dalam penelitian yang sama pun dijelaskan bahwa inflasi dapat dipicu oleh nilai tukar yang terdepresiasi (sehingga menyebabkan produsen harus membayar imported production input lebih mahal) dan harga bahan bakar yang meningkat. Rakhman (2012) dalam penelitiannya terkait faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menambahkan kondisi infrastruktur sebagai salah satu pemicu cost push inflation. Besarnya pengaruh faktor terakhir ini tentu menarik untuk diteliti di Indonesia mengingat kondisi infrastruktur Indonesia yang masih terbatas dan kurang mampu mendukung berbagai aktivitas perekonomian.

(18)

Gambar 4: Kualitas Infrastruktur Indonesia Periode 2012-2015

Sumber: World Economic Forum, 2015 (diolah)

Tidak hanya itu, kualitas infrastruktur yang masih rendah pun ditandai dengan terindikasinya keterbatasan infrastruktur sebagai salah satu pemicu lambannya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Berdasarkan gambar 5, dari sepuluh faktor utama penyebab lambannya pertumbuhan bisnis di Indonesia menurut World Economic Forum, rendahnya kualitas infrastruktur selalu menjadi tiga faktor utama dari tahun ke tahun. Rendahnya kualitas infrastruktur bahkan sempat menjadi faktor yang paling menyebabkan lambannya pertumbuhan bisnis di Indonesia pada tahun 2007. Infrastruktur tentu memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung aktivitas perekonomian di Indonesia dengan menjamin lancarnya proses penditribusian berbagai komoditas. Infrastruktur yang baik dan masif tentu membuat produsen mampu mendistribusikan hasil produksi mereka dengan cepat tanpa hambatan. Sebaliknya, kualitas infrastruktur yang rendah membuat proses pendistribusian menjadi sulit dilakukan terutama pada komoditas pertanian yang relatif tidak mampu bertahan lama dan mudah rusak. Tanpa infrastruktur yang memadai, dunia usaha seringkali terpaksa harus mengeluarkan investasi untuk mengadakan infrastruktur itu sendiri, umumnya dengan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah.

0 1 2 3 4 5 6 7

2012 2013 2014 2015

Kualitas Infrastruktur Kualitas Fasilitas Penyedia Listrik

Kualitas Transportasi Udara Kualitas Transportasi Laut

Kualitas Infrastruktur Kereta Api Kualitas Jalan

(19)

Gambar 5: Sepuluh Faktor Utama Penghambat Perkembangan Usaha di Indonesia

Sumber: World Economic Forum, 2015 (diolah)

Lemahnya infrastruktur dapat membawa pengaruh negatif kepada produktivitas rumah tangga. Rendahnya kualitas infrastruktur tentu membuat biaya produksi menjadi relatif lebih tinggi. Kenaikan biaya produksi ini tidak hanya memberatkan produsen namun juga konsumen karena konsumen akan menerima harga yang juga relatif lebih tinggi. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa kenaikan biaya produksi dapat mendorong terjadinya cost push inflation

maka rendahnya kualitas infrastruktur ini dikhawatirkan dapat memicu terjadinya

cost push inflation di kemudian hari. Mengingat kondisi konsumsi dan infrastruktur yang sangat berpengaruh terhadap inflasi baik dari sisi permintaan maupun penawaran maka penelitian ini akan memfokuskan studi pada poin-poin berikut:

0 5 10 15 20 25

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Terbatasnya Tenaga Kerja Berpendidikan Guncangan Pemerintahan

Inflasi Etos Kerja Rendah

Regulasi Buruh yang Ketat Instabiltas Kebijakan

Akses Keuangan Rendahnya Kualitas Infrastruktur

(20)

1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama tingginya inflasi di Indonesia?

2. Sejauh mana besarnya pengaruh tingkat konsumsi dan kondisi infrastruktur terhadap kinerja inflasi?

3. Langkah apa yang harus diambil untuk menjaga tingkat inflasi di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan cakupan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi penyebab utama tingginya

inflasi di Indonesia

2. Mengaji sejauh mana besarnya pengaruh tingkat konsumsi dan kondisi infrastruktur terhadap kinerja inflasi

3. Merumuskan langkah apa yang harus diambil untuk menjaga tingkat inflasi di Indonesia

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi setiap pengambil kebijakan khususnya Bank Indonesia dalam mengendalikan sasaran operasional pada kebijakan inflation targeting. Tulisan ini pun diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut dan menjadi bahan pertimbangan bagi penarikan kebijakan moneter di kemudian hari, khususnya kebijakan yang terkait dengan penargetan inflasi.

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Moneter dan Penargetan Inflasi

Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah atau otoritas moneter dengan menggunakan peubah jumlah uang beredar dan suku bunga. Jumlah uang beredar dan suku bunga merupakan peubah yang dapat dikendalikan oleh bank sentral dalam memengaruhi permintaan agregat untuk mengurangi ketidakstabilan perekonomian akibat adanya suatu guncangan (Nanga, 2001).

Yogi (2008) menyatakan, dalam merespon guncangan yang terjadi pada perekonomian, terdapat dua alternatif kebijakan moneter yang dapat dilakukan. Pertama, kebijakan moneter berdasarkan pola rules dan kedua adalah kebijakan moneter berdasarkan pola discretion. Rules adalah strategi kebijakan moneter yang otomatis, di mana bank sentral dalam mengeluarkan kebijakannya hanya membutuhkan sedikit atau bahkan tanpa analisa atau alasan makroekonomi. Misalnya saja kebijakan pertumbuhan uang yang konstan (constant-money-growth) pada setiap periode tertentu oleh bank sentral. Kebijakan seperti ini ditetapkan terbebas dari apapun kondisi makroekonomi yang sedang terjadi. Pendukung rules

(21)

Berbeda dengan strategi rules, maka bank sentral yang menerapkan strategi kebijakan moneter discretion tidak menuntut adanya komitmen dari masyarakat, dalam arti tidak ada kewajiban bagi masyarakat mengikuti kebijakan yang ditentukan bank sentral, kecuali dalam kondisi tertentu. Dengan strategi ini, kebijakan moneter diatur secara berkala, misalnya bulan perbulan atau minggu perminggu, disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang berlaku. Pendukung stategi kebijakan moneter discretion berargumen bahwa dengan strategi kebijakan seperti ini, maka kebijakan moneter yang diterapkan akan lebih fleksibel. Bank sentral pun dimungkinkan bisa merespon informasi baru atau perkembangan. Menurut Abdullah (2003), setidaknya terdapat tiga landasan intelektual yang mendasari perubahan paradigma tersebut. Pertama, secara teoritis maupun empiris, dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh pada inflasi. Kedua, kebijakan moneter yang secara aktif digunakan untuk mendorong pertumbuhan seringkali justru berdampak pada ketidakstabilan, dan ketiga adalah kebijakan moneter tanpa tujuan yang jelas pada kestabilan harga seringkali menjadi tidak kredibel.

Menurut Bank Indonesia, penerapan inflation targeting merupakan kerangka kerja kebijakan moneter dimana target inflasi diumumkan kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan sedemikian rupa agar target tercapai dalam kurun waktu tertentu. Apabila inflation targeting berhasil tercapai maka akan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian yaitu tercipta kestabilan harga-harga. Dengan demikian, inflation targeting sebagai sebuah kerangka kebijakan moneter paling tidak dicirikan oleh tiga hal. Pertama, kebijakan moneter diarahkan secara eksplisit pada pencapaian target inflasi yang diumumkan secara eksplisit kepada publik. Kedua, dalam framework ini, kebijakan moneter dilakukan dengan merespon perkembangan inflasi ke depan (forward looking). Ketiga, kebijakan moneter dilakukan secara transparan dengan akuntabilitas yang terukur. Inflation targeting yang disertai transparansi memberikan kontribusi yang positif bagi pencapaian stabilitas harga pada khususnya dan perekonomian serta pasar keuangan pada umumnya.

Umumnya Inflation targeting dilakukan bagi negara-negara yang mengalami krisis dengan tujuan agar dapat mendorong terfokusnya pengendalian moneter sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam menanggulangi inflasi yang merupakan kebijakan alternatif dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang kurang berhasil dan sebagai upaya dalam pemulihan ekonomi.

Debelle, et al. (1998) mengemukakan tiga syarat utama dalam penargetan inflasi sebagai strategi kebijakan moneter. Pertama, bank sentral harus independen baik secara kelembagaan maupun dalam instrumen moneternya. Kedua, menghindarkan penggunaan nominal anchor atau landasan lainnya seperti money supply atau nilai tukar bersamaan dengan penerapan pentargetan inflasi. Dan ketiga,

(22)

kerangka pentargetan inflasi dengan membuat kisaran selang nilai tukar yang lebih longgar.

Inflasi

Inflasi menurut Mankiw (2007), adalah seluruh kenaikan harga output perekonomian. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan inflasi sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang (Rakhman, 2012).

Boediono (1994) membagi inflasi menjadi tiga jenis berdasarkan pada: asal usulnya, tingkat keparahan dan sumber awalnya.

Inflasi Berdasarkan Asal Usulnya

1. Inflasi dalam negeri (domestic inflation) 2. Inflasi luar negeri (imported inflation)

Inflasi Berdasarkan Tingkat Keparahannya

1. Inflasi ringan (creeping inflation), merupakan inflasi yang terjadi berada pada level dibawah 10 persen per tahun.

2. Inflasi sedang (moderate inflation), merupakan inflasi yang terjadi berada pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun.

3. Inflasi berat, merupakan inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai dengan 100 persen per tahun.

4. Inflasi sangat berat (hyperinflation), merupakan inflasi yang terjadi berada pada level diatas 100 persen per tahun.

Inflasi Berdasarkan Sumber Awalnya 1. Demand pull inflation

2. Cost Push Inflation

Demand Pull Inflation

(23)

Konsumsi, Permintaan Agregat dan Inflasi

Case dan Fair (2002) menyatakan bahwa perilaku rumah tangga dalam perekonomian makro, konsumsi rumah tangga tidak sekedar tergantung pada pendapatan. Rumah tangga menentukan konsumsi dan penawaran tenaga kerja secara serempak, dan melihat ke depan dalam mengambil keputusan mereka. Mankiw (2007) mengartikan konsumsi sebagai pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Mankiw pun membagi konsumsi menjadi tiga subelompok barang:

durable good, nondurable good, dan service. Keputusan konsumsi menjadi sangat penting untuk analisis jangka pendek karena perannya menentukan permintaan agregat. Konsumsi adalah dua pertiga dari GDP sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari booming dan resesi ekonomi.

Dalam teori konsumsi yang dikemukakan oleh Keynes, ekonom ini membuat beberapa dugaan tentang konsumsi berdasarkan introspeksi dan observasi kasual, antara lain:

1. Kecenderungan konsumsi marginal (marginal propensity to consume) berada antar nol dan satu.

2. Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (average propensity to consume) turun ketika pendapatan naik.

3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peranan penting.

Berdasarkan tiga dugaan ini, diperoleh fungsi konsumsi Keynes yaitu sebagai berikut:

C = C̅ + cY, C̅ > 0; 0 < c < 1 Keterangan:

C = Konsumsi

C̅ = Konsumsi Autonomous

c = Kecenderungan Konsumsi Y = Pendapatan Disposabel

Fungsi tersebut memenuhi alasan pertama Keynes karena kecenderungan mengonsumsi marjinal c adalah antara nol dan satu sehingga pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi dan tabungan yang lebih tinggi. Fungsi ini pun memenuhi alasan kedua Keynes karena fungsi rata-rata APC adalah

AC = C/Y = C̅/Y+ c

Ketika Y meningkat, C̅/Y turun begitu pula dengan kecenderungan mengonsumsi

rata-rata C/Y turun. Pada akhirnya, fungsi konsumsi ini memenuhi alasan ketiga Keynes karena tingkat bunga tidak dimasukan dalam persamaan ini sebagai determinan konsumsi.

Model Keynesian yang paling sederhana kemudian menjelaskan bagaimana pos konsumsi memengaruhi permintaan agregat dan bagaimana pengeluaran atau permintaan agregat menentukan keseimbangan pendapatan. Pendapatan nasional membagi GDP menjadi empat kelompok pengeluaran, yaitu: konsumsi, invetasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih.

(24)

Keterangan:

AD = Agregate Demand (Permintaan Agregat) C = Konsumsi

G = Pengeluaran Pemerintah I = Investasi

NX = Ekspor bersih

Berdasarkan persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsumsi memiliki pengaruh terhadap permintaan agregat suatu negara. Peningkatan pada konsumsi secara langsung akan meningkatkan agregate demand dan menggeser kurva permintaan ke kanan atas, seperti yang ditunjukan pada gambar 6.

Gambar 6: Demand Pull Inflation Sumber: Lipsey, (1997)

Lebih jauh lagi, gambar 6 menjelaskan bahwa peningkatan permintaan agregat akan mengakomodir kenaikan tingkat harga. Jika permintaan agregat meningkat secara terus menerus, kondisi ini akan mendorong timbulnya inflasi. Inflasi inilah yang disebut dengan demand pull inflation. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (tabel 2). Nur (2012) mengungkapkan bahwa konsumsi memiliki pegaruh yang signifikan terhadap inflasi. Terjadinya peningkatan konsumsi akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan agregat. Sesuai dengan teori demand-pull inflation, peningkatan agregat demand (AD) akan menyebabkan terjadinya peningkatan harga (inflasi). Sebaliknya, penurunan AD akan menyebabkan penurunan harga.

P0

AD2

AD3

AD1

AD0

P

P2

P3

SRAS2

Y1

P1

SRAS0

SRAS1

(25)

Cost Push Inflation

Cost push inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh peningkatan harga-harga, terutama harga input produksi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi dapat menyebabkan penurunan penawaran komoditas di pasar. Permana (2004) menjelaskan, kenaikan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti tuntutan kenaikan upah, perilaku monopolis yang dapat bertindak sebagai price leader, kenaikan harga bahan baku, kebijakan pemerintah, faktor alam dan imported inflation (tabel 2). Jika kenaikan ini terus terjadi maka total agregate supply akan mengalami penurunan dan mendorong terjadinya cost push inflation.

Infrastruktur dan Inflasi

Infrastruktur dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Menurut Rutherford dalam The Routledge Dictionary of economics (1995) infrastruktur merupakan pelayan utama dari suatu negara yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat sehingga dapat berlangsung melalui penyediaan transportasi dan fasilitas pendukung lainnya. Infrastruktur sosial dan ekonomi seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, dan semacamnya memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan ekonomi sehingga meningkatkan produktivitas kegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2006).

Beberapa studi yang berusaha melihat hubungan antara infrastruktur dan inflasi telah dilakukan, seperti Rakhman (2012) dalam Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel dan Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia di Tataran Provinsi (lihat tabel 1). Menurut Rakhman (2012), Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting di dalam aliran distribusi produk. Semakin membaik kondisi infrastruktur tentunya akan semakin memperlancar aliran distribusi produk dan penghematan dalam waktu perjalanan. Penghematan biaya ini tentunya diprediksi akan berdampak pada penurunan harga produk di dalam pasar. Peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transpor terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah, disamping itu juga akan meningkatkan volume ekspor dan impor suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi yang lebih cepat antar wilayah. Kondisi infrastruktur cenderung memberikan hubungan yang negatif dengan inflasi. Saat terjadi penurunan persentase kondisi jalan baik, hal tersebut kemudian memicu kenaikan inflasi pada beberapa provinsi di Pulau Jawa.

(26)

Gambar 7: Cost Push Inflation Sumber: Lipsey (1997)

Gambar 7 menjelaskan mekanisme terjadinya inflasi akibat penurunan penawaran agregat. Kondisi infrastruktur yang kurang memadai tentu akan menghambat proses pendistribusian barang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, infrastruktur yang buruk seringkali mendorong dunia usaha untuk mengeluarkan biaya investasi pengadaan infrastruktur pendukung sehingga menyebabkan kenaikan biaya produksi. Dengan mengasumsikan semua variabel tetap, kenaikan biaya produksi ini tentu akan menurunkan penawaran yang ditunjukan oleh pergeseran kurva AS1 menjadi AS2 dan disertai dengan peningkatan

harga. Jika kondisi ini terus berlanjut, cost push inflation akan terjadi.

Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian terkait inflasi dan faktor yang memengaruhinya telah bayak dilakukan. Berbagai penelitan terkait evaluasi kebijakan inflation targeting

pun telah dilakukan di berbagai negara. Mishra dan Mishra (2010) menganalisis perbandingan efektivitas mekanisme transmisi moneter melalui monetary targeting regime dengan pure inflation targeting regime di India. Penelitian terkait inflation targeting framework di negara maju juga sudah dilakukan oleh Creel dan Hubert (2008), di mana penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis implementasi

inflation targeting di Kanada, Swedia, dan Inggris.

Secara garis besar, penelitian terdahulu menunjukan bahwa terdapat perbedaan kinerja inflation targeting di masing-masing negara. Penerapan inflation targeting di India tergolong sudah konsisten. Hal ini ditunjukan oleh lebih responsifnya variabel makroekonomi terhadap guncangan pada kebijakan inflation targeting dibandingkan dengan multiple objective. Sama halnya dengan Meksiko

P0

AD1

AD0

P

Y*

P1

SRAS0

SRAS1

Y1

(27)

yang telah cukup berhasil dalam mengimplementasikan inflation targeting di mana suku bunga direspon secara baik dan dapat berpengaruh terhadap inflasi yang diharapkan (expected inflation). Hal sebaliknya terjadi pada emerging countries

seperti Meksiko dan Indonesia, di mana di kedua negara ini pengaruh nilai tukar terhadap inflasi masih tergolong besar atau dengan kata lain pentargetan inflasi masih menggunakan instrumen suku bunga. Pada negara maju seperti Kanada, Swedia, dan Inggris, penerapan inflation targeting memberikan dampak yang positif bagi kondisi perekonomian khususnya bagi pencapaian inflasi yang rendah dan stabil. Penelitian terdahulu pun menunjukan bahwa penerapan inflation targetingirelatif lebih berhasil diterapkan di negara high income daripada negara

low income. Penelitian lainnya diringkas dalam tabel 2 berikut: Tabel 2: Penelitian Terdahulu Terkait Inflasi No Peneliti Objek/Tujuan Metode dan

(28)

ekspektasi

(29)
(30)
(31)

2. Menemukan

(32)

Gambar 8: Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan tinjauan empiris, hipotesis yang disimpulkan adalah baik tingkat konsumsi maupun kualitas infrastruktur memengaruhi kinerja inflasi

Uji Stasioneritas

Uji Lag Optimum

Uji Kointegrasi

Estimasi VECM

IRF dan FEVD

Terdapat Faktor Lain yang

Memicu Timbulnya Inflasi

dari Sisi Permintaan (Demand Pull

Inflation)

Terdapat Faktor Lain yang

Memicu Timbulnya Inflasi

dari Sisi Penawaran (Cost Push

Inflation)

Inflasi yang Relatif Tinggi, Terutama Pada Periode-Periode Setelah Krisis 1997-1998

Penerapan Inflation Tergeting

Inflasi Aktual Tidak Sesuai dengan Inflasi yang Ditargetkan

Sebelumnya

Komparasi Pengaruh Konsumsi dan Pengaruh Kondisi Infrastruktur Terhadap

Kinerja Inflasi di Indonesia

Rekomendasi dan

Implikasi Kebijakan

Uji Stasioneritas

Uji Lag Optimum

Uji Kointegrasi

Estimasi VECM

(33)

dan menjadi faktor utama penyebab tingginya inflasidi Indonesia. Tidak hanya itu, kondisi infrastruktur akan lebih besar daripada pengaruh konsumsi dalam memengaruhi variabilitas kinerja inflasi di Indonesia.

METODE PENELITIAN Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa data deret waktu (time series data). Data time series meliputi data kuartal selama periode 2004-2013. Cakupan data antara lain inflasi yang dipublikasi oleh Bank Indonesia, rata-rata pengeluaran per kapita sebagai proksi variabel konsumsi dan panjang jalan, jumlah barang yang melalui transportasi kereta api antarpulau, bongkar muat antarpulau di pelabuhan dan listrik yang didistribusikan kepada pelanggan sebagai proksi variabel infrastruktur yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian adalah Microsoft Excel 2013 untuk mengelompokkan data dan selanjutnya diolah menggunakan program Eviews 6.

Variabel dan Definisi Operasional

Berbagai variabel digunakan dalam penelitian ini. Tabel 3 menjelaskan variabel dan definisi operasional yang digunakan.

Tabel 3: Jenis dan Sumber Data

Variabel Simbol Definisi Operasional Satuan Dependen

1 Inflasi INF Tingkat

har-ga barang secara umum.

Persen

Indepeneden

1 Konsumsi LN_KONS Rata-rata

pe-ngeluaran konsumsi per kapita terhadap konsumsi meliputi komoditi makanan dan non-makanan masyarkat Indonesia.

Rupiah

2 Panjang Jalan LN_PJ Panjangnya ja-lan yang mampu mendukung aktivitas perekonomian. Ber-dasarkan jenis per-mukaannya, panjang jalan diklasifikasi menjadi aspal dan bukan aspal. Jenis

(34)

yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspal. busikan melalui jasa transportasi kereta api.

Ton

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Analisis Deskriptif

Kata deskripsi berasal dari bahasa lati describe yang berarti menggambarkan atau memerikan suatu hal (Ansor et al. , 2010). Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang data-data yang telah diperoleh dan data-data-data-data yang telah diolah. Deskripsi yang akan dipaparkan antara lain: gambaran umum senjang inflasi aktual dan inflasi target, kondisi infrastruktur, tingkat konsumsi dan lain-lain.

Metode Vector Auto Regression (VAR)

Vector Autoregression Model (VAR) merupakan salah sistem yang sangat umum digunakan untuk aplikasi peramalan variabel-variabel (terutama) ekonomi dalam jangka panjang maupun dalam jangka menengah-panjang. Dalam khasanah ekonometrika, VAR tergolong dalam pembahasan multivariate time series. Model VAR untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh C.A. Sims yang merupakan pengembangan pemikiran Granger. Granger menyatakan bahwa apabila dua variabel misal x dan y memiliki hubungan kausal di mana x memengaruhi y maka informasi masa lalu x dapat membantu memprediksi y. VAR model dapat dikatakan sebagai model persamaan simultan karena didalamnya dipertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersamaan. Model VAR pada umumnya digunakan untuk melakukan peramalan sistem peubah yang saling terkait satu sama lain dan menganalisa dampak dinamis dari perubahan (random disturbance) dalam sistem peubah tersebut. Di samping itu, model VAR pun memiliki kemampuan untuk melakukan peramalan (forecasting).

Firdaus (2011) menyebutkan beberapa keunggulan metode VAR dibandingkan metode ekonometrika konvensional, antara lain:

(35)

2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.

3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antarvariabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai variabel endogen. 4. Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering

muncul, termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan sehingga menghindari penafsiran yang salah.

Adapun kelemahan dari analisis VAR adalah sebagai berikut:

1. Model VAR lebih bersifat teori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.

2. Karena lebih menitikberatkan pada peramalan, maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan.

3. Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan

Dalam kasus pemodelan yang menggunakan dua variabel time series, Yt dan

Xt, model VAR yang terbentuk direpresentasikan oleh persamaan berikut:

Y1t = α10+ α11 Yt-1 + ... + α1p Yt-p + β11 Xt-1 + ... + β1p Xt-p +

e1t

(3.1)

X2t = α20+ α21 Yt-1 + ... + α2p Yt-p + β21 Xt-1 + ... + β2p Xt-p +

e2t

(3.2)

Di mana α dan β merupakan koefisien, e1t dan e2t merupakan error terms dan p

merupakan panjang lag (lag length). Vector Error Correction Model (VECM)

Brooks (2002) menjelaskan bahwa Vector Error Correction Model

(VECM) merupakan perluasan model Vector Autoregressive (VAR) teretriksi yang dirancang untuk digunakan pada data nonstasioner dan terbukti memiliki hubungan kointegrasi. Menurut Enders (2004), variabel dalam VECM merupakan variabel turunan pertama (first difference) dalam model VAR, atau dengan kata lain bahwa variabel dalam VECM merupakan variabel yang terkointegrasi pada orde pertama [I(1)]. Hubungan dinamis jangka pendek dari suatu variabel di dalam sistem dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang yang dikenal sebagai cointegration term atau error correction term. Penyimpangan dari keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan penyesuaian parsial jangka pendek.

(36)

Jika dalam suatu pemodelan menggunakan dua variabel time series, Yt dan Xt, di mana kedua variabel tersebut terkointegrasi dan berada pada first difference maka model VECM yang terbentuk direpresentasikan oleh persamaan berikut:

∆Yt =

μ ₓ

+

μ

ₓt + ΠₓYt-1 + ∑�−1�=1Гᵢₓ∆ yt-ᵢ + ɛt (3.3)

Di mana:

Yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian

μ ₓ

= vektor intersep

μ

ₓ = vektor koefisien regresi t = time trend

Πₓ = αₓβ’, di mana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang.

Yt-1 =variabel in level

Гᵢₓ = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR

ɛt = error term

Pengujian Pra Estimasi Uji Akar Unit

Stasioneritas merupakan hal yang sangat diperhatikan. Brooks (2002) memaparkan alasan pentingnya melakukan pengujian stasioneritas pada suatu deret data:

1. Stasioneritas dapat memengaruhi perilaku variabel-variabel yang akan diestimasi. Pada data stasioner, guncangan pada sistem secara perlahan akan menghilang. Dampak guncangan pada periode t akan jauh lebih besar daripada t+1, dan memiliki dampak yang lebih kecil pada periode t+1. Hal ini sangat berbeda jika dilihat dari sisi data non-stasioner yang memiliki pengaruh guncangan tidak terbatas. Dampak guncangan pada waktu t+1 tidak akan memiliki pengaruh yang lebih kecil daripada t.

2. Penggunaan data non-stasioner dapat menyebabkan regresi semu (spurious regression)

3. Data non-stasioner dapat menghasilkan hasil analisis yang tidak valid. Salah satu cara untuk mengukur keberadaan stasioneritas adalah melalui Augmented Dickey – Fuller (ADF) Test. Alat ini pertama kali diperkenalkan oleh Dickey dan Fuller pada tahun1976. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis bahwa ϕ = 1, dalam

Yt = ϕ Yt-1 + ut, -1 ≤ϕ≤ 1 (3.5)

Jika pada persamaan (3.5), ϕ = 1, maka variabel acak Yt mengandung akar unit. Jika variabel mengandung akar unit, variabel tersebut bergerak secara random walk, di mana variabel yang bergerak secara random walk bersifat tidak stasioner.

(37)

H0 = ϕ = 1, data mengandung akar unit (tidak stasioner)

Versus H1 = ϕ  1, data stasioner

Dari persamaan (3.5) dapat diperoleh persamaan berikut:

Yt - Yt-1 = ϕ Yt-1 - Yt-1 + ut, (3.6)

Yt - Yt-1 =1) Yt-1 + ut, (3.7)

Yt-1 = δYt-1 + ut, (3.8)

Di mana, ∆Yt-1 = Yt - Yt-1, dan δ =1). Sehingga bentuk hipotesis menjadi:

H0 = δ = 0, data mengandung akar unit (tidak stasioner)

Versus H1 = δ  0, data stasioner

Untuk dapat menentukan stasioneritas data, maka prosedur selanjutnya adalah menghitung nilai ADF-statistics, di mana:

t

hitung = �̂

�� �̂

Jika nilai ADF statistik (thitung) lebih kecil dari critical value maka tolak H0 dan

dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar, sementara series yang tidak stasioner harus dilanjutkan pada tahap pengujian selanjutnya yaitu pada ordo satu dan akan berimplikasi pada penggunaan VECM.

Penetapan Lag Optimal

Penentuan lag optimal sangat penting dalam model VAR, hal ini dikarenakan suatu variabel juga dipengaruhi oleh variabel itu sendiri, selain dipengaruhi oleh variabel lain. Menurut Wahyuni (2011), untuk memperoleh panjang selang yang tepat dapat ditempuh melalui 3 tahap pengujian. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinominalnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria

Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion

(AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang maka kandidat tersebutlah yang optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Pada tahap terakhir, nilai adjusted -R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang akan diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel terpenting dari sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipih dari sistem VAR. Pengujian lag yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada uji AIC.

Uji Kointegrasi

(38)

artinya terdapat hubungan jangka panjang di antara keduanya (Firdaus, 2011). Alat pengujian yang umum digunakan untuk mendeteksi kointegrasi pada suatu sistem, antara lain: 1) Engle-Granger Cointegration Test, 2) Cointegrating Regression Durbin Watson (CRDW), dan 3) Johansen Cointegrating Test. Alat uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Johansen Cointegrating Test. Alat pengujian ini akan membandingkan trace statistics dengan critical value 5%. Jika nilai trace statistics lebih besar daripada critical value 5%, maka terdapat kointegrasi pada sistem tersebut.

Impulse Response Function (IRF)

VAR merupakan metode yang akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari suatu model. Setelah melakukan uji VAR, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan struktur dinamis yang dihasilkan oleh VAR secara jelas. IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap guncangan dari variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. IRF dapat juga mengidentifikasikan suatu shock pada satu variabel endogen sehingga dapat menentukan bagaimana suatu perubahan yang tidak diharapkan dalam variabel memengaruhi variabel lainnya sepanjang waktu. Dengan demikian, IRF digunakan untuk melihat pengaruh kontemporer dari sebuah variabel dependen jika mendapatkan guncangan atau inovasi dari variabel independen sebesar satu standar deviasi. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi cholesky dilakukan dengan catatan variabel yang memiliki nilai prediksi terhadap varaibel lain diletakkan di depan berdampingan satu sama lain sedangkan variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang, kemudian variabel lainnya diletakkan diantara kedua variabel tersebut berdasarkan nilai matriks korelasi yang menyatakan tingkat korelasi paling besar. Dalam penelitian ini, hasil analisis IRF akan dimanfaatkan untuk menjawab tujuan penelitian pertama yang sebelumnya telah dirumuskan.

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

(39)

Model Penelitian

Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini direpresentasikan dalam bentuk matriks berikut:

ΔYt = � ₓ + � ₓt +t-ᵢ + ΠₓYt-1 + ∑�−1�=1Гᵢₓ∆ Yt-ᵢ + ɛt

Di mana:

Yt = vektor dari variabel yang dianalisis dalam penelitian (LN_INF,

LN_BONGKAR, LN_KA, LN_KONS, LN_MUAT, LN_PJ)

� ₓ = vektor intersep

� ₓ = vektor koefisien regresi t = time trend

Πₓ = αₓβ’, di mana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang.

Yt-1 =variabel in level

Гᵢₓ = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR

ɛt = error term

GAMBARAN UMUM Kondisi Makroekonomi Indonesia

Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang sangat diperhatikan. Pergerakan dalam inflasi dapat memberikan dampak yang luas terhadap kondisi fundamental perekonomian suatu negara.

Gambar 9: Inflasi Indonesia pada Periode 2001-Januari 2015 (persen)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi di Indonesia pun mengalami fluktuasi yang cukup ekstrim. Titik tertinggi dari inflasi selama lima belas tahun terakhir berada pada tahun 2005, yaitu mencapai 17.11%. Tingginya inflasi ini disinyalir merupakan dampak dari peningkatan harga bahan bakar karena

(40)

perubahan kebijakan pemerintah dalam pengalokasian dana subsidi energi. Hal ini selaras dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Masrum (2014), naiknya harga BBM secara keseluruhan akan berdampak terhadap inflasi, karena kenaikan harga minyak akan menaikkan harga-harga yang lain. Kenaikan harga BBM akan mendongkrak kenaikan biaya produksi barang-barang yang dihasilkan dengan bahan bakar minyak, kemudian kenaikan biaya produksi akan menaikkan harga jual barang-barang tersebut, bahkan berakibat menaikkan harga-harga barang pada umumnya (inflasi) dan dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (Sihono, 2009).

Peningkatan harga bahan bakar sepanjang tahun 2001-2008 dapat dilihat pada gambar 10. Secara keseluruhan, sepanjang periode 2001-2008, harga bahan bakar memiliki kecenderungan yang terus meningkat. Menginjak kuartal akhir tahun 2005, pemerintah memutuskan untuk mengurangi besaran subsidi BBM dan membiarkan harga bahan bakar menyesuaikan di level Rp 4 500 untuk premium atau terjadi peningkatan sebesar 87.5% dari tingkat harga awal yaitu, Rp 2 400 dan bertahan hingga menjelang kuartal pertama tahun berikutnya. Hal serupa terjadi pada jenis bahan bakar yang lain seperti minyak tanah dan minyak solar, meski untuk minyak taah sempat mengalami penurunan harga pada bulan oktober 2005. Peningkatan harga BBM ini kemudian mengakomodir peningkatan inflasi hingga mencapai level 17.11%. Kondisi serupa kembali terjadi pada tahun 2008, sejak peningkatannya di tahun 2005, harga bahan bakar kembali meningkat di tahun 2008. Peningkatan terjadi sebesar 33.3% untuk bensin dengan jenis premium, 25% untuk minyak tanah dan 28% untuk minyak solar.

Gambar 10: Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Periode 2001-2008 (rupiah/liter)

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2015 (diolah)

Tingginya inflasi pada tahun 2008 tidak serta merta disebabkan oleh peningkatan harga BBM seperti halnya yang terjadi pada tahun2005. Faktanya, pada tahun yang sama, negara adidaya Amerika Serikat mengalami krisis perekonomian yang memberikan dampak domino luas pada negara-negara lain termasuk Indonesia. Menurut Sihono (2008), krisis ini disebabkan oleh jatuhnya sektor perumahan yang disebabkan oleh meningkatnya kredit perumahan yang

(41)

berisiko tinggi (subprime mortgage) pada bulan Agustus 2007. Krisis ini kemudian memberikan dampak negatif terhadap bank-bank yang menjalin hubungan investasi dengan pelaku bisnis perumahan sehingga membuat kinerja perbankan menjadi memburuk. Krisis kredit ini mendorong perbankan untuk menyalurkan dana kredit ketat untuk meminimalisasi risiko yang ditimbulkan oleh mortgage. Krisis ini kemudian menjalar ke beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Para ekonom membaca beberapa indikator yang menyebabkan Indonesia turut terlibat dalam krisis pada saat itu meski tiga triwulan pertama di tahun 2008, perekonomian Indonesia menunjukan kinerja yang baik. Beberapa indikator tersebut antara lain terjadinya depresiasi rupiah dari Rp 9.840 pada bulan Januari 2008 menjadi Rp 12.100 pada bulan November 2008 dengan volatilitas yang sangat tinggi, cadangan devisa yang mengalami penurunan sebesar 13%, dan adanya gangguan likuiditas pasar.

Gambar 11: Cadangan Devisa Indonesia Periode 2004-2013 (Juta US$)

Sumber: Bank Indonesia dan BPS, 2015 (diolah)

Gambar 11 menyajikan kondisi cadangan devisa Indonesia pada periode 2004-2013. Meski menunjukan kecenderungan yang positif dan terus meningkat namun pada dua tahun di mana inflasi mencapai spot tertinggi, yaitu 2005 dan 2008, posisi cadangan devisa Indonesia selalu mengalami penurunan. Pada tahun 2005, cadangan devisa Indonesia menurun US$ 1 596.31. menginjak tahun 2006, posisi cadangan Indonesia mulai menguat dan semakin masif di tahun berikutnya yaitu mencapai US$ 56 920 di tahun 2007. Namun menginjak tahun 2008, saat dampak krisis subprime mortgage menjalar ke dalam negeri, cadangan devisa Indonesia kembali menurun di tahun 2008, yaitu sebesar US$ 5 281. Lambat laun, posisi cadangan devisa Indonesia semakin kuat, meski sempat mengalami penurunan di tahun 2013.

Penyebab inflasi yang tinggi pada tahun 2005 dan 2008 selanjutnya adalah nilai tukar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Nur (2012), nilai tukar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi (lihat tabel 1). Gambar 12 menyajikan pergerakan nilai tukar Indonesia selama periode 2004-2013. Gambar tersebut menyajikan informasi bahwa selama sepuluh tahun yaitu periode 2004-2013, nilai tukar mengalami posisi terlemah di kuartal akhir tahun 2008. Pada saat itu, nilai tukar berada pada titik Rp 12 400. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada nilai

0.00 20000.00 40000.00 60000.00 80000.00 100000.00 120000.00

(42)

tukar pada tahun-tahun sebelumnya yang terjaga di posisi kisaran Rp 8 000– Rp 9.000. Fakta ini tentu selaras dengan teori ekonomi, bahwa nilai tukar memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inflasi.

Gambar 12: Nilai Tukar Periode 2004-2013 (IDR/USD)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Meski sempat mengalami inflasi yang cukup ekstrim, namun realisasi pertumbuhan secara umum mengalami peningkatan. Meskipun tercatat lebih rendah daripada yang telah diperkirakan oleh Bank Indonesia. Melalui gambar 13 dapat dilihat bahwa sejak awal tahun 2004 hingga penghujung 2013, perekonomian mengalami pertumbuhan yang positif, meski mengalami penuruan di beberapa titik, perekonomian tetap mampu mempertahankan postur yang baik. Pada awal tahun 2005 contohnya, pendapatan nasional mengalami penurunan dari Rp 290 973 miliar menjadi Rp 282 266 miliar, namun menginjak pertengahan tahun 2005, pendapatan nasional kembali meningkat dan berhasil menembus angka Rp 310 497 miliar di penghujung tahun 2005. Penurunan kembali terulang di tahun 2007, dari posisi Rp 321 473 miliar, pendapatan nasional merosot di posisi Rp 306 242 miliar. Penurunan yang lebih besar daripada penurunan yang terjadi di tahun 2005. Secara keseluruhan, pendapatan nasional menunjukan kinerja yang baik.

(43)

Gambar 13: Konsumsi dan Pendapatan Nasional Periode 2004-2013 (Miliar Rupiah)

Sumber: Bank Indonesia, 2015 (diolah)

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi di tahun 2005 tercermin pada pertumbuhan konsumsi dan investasi yang cukup tinggi. Namun hal ini hanya berlangsung pada awal tahun 2005. Pos permintaan sendiri sempat mengalami penurunan seiring dengan munculnya tekanan eksternal. Konsumsi total pada tahun 2005 mengalami pertumbuhan yang lebih rendah daripada tahun sebellumnya. Perlambatan ini disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi swasta, sementara konsumsi pemerintah tumbuh lebih tinggi (Bank Indonesia, 2005). Lambannya pertumbuhan pada konsumsi disebabkan oleh rendahnya ekspektasi masyarakat dan peningkatan harga BBM pada tahun 2005. Meski pemerintah telah memberikan stimulus fiskal, seperti penyaluran subsidi langsung tunai (SLT) dan subsidi beras bagi masyarakat miskin.

Tingkat Konsumsi Dan Kondisi Infrastruktur Masyarakat Di Indonesia

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, Mankiw (2007) mengartikan konsumsi sebagai pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Di Indonesia, konsumsi masyarakat digolongkan menjadi dua, yaitu: konsumsi makanan dan konsumsi bukan makanan. Gambar 14 menunjukan fluktuasi perkembangan pengeluaran per kapita masyarakat per bulan di Indonesia. Konsumsi makanan meliputi konsumsi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnyam makanan dan minuman jadi serta tembakau dan sirih. Sedangkan konsumsi bukan makanan meliputi perumahan, bahan bakar, penerangan, dan air, aneka baranf dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang tahan lama, pajak pemakaian dan asuransi serta keperluan pesta dan upacara.

0 100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000

(44)

Gambar 14: Rata-rata Pengeluaran per Kapita Masyarakat Indonesia Sebulan untuk Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan Periode 2004-2013 (Rupiah)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Secara umum, pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan lebih mendominasi daripada pengeluaran masyarakat yang dialokasikan untuk konsumsi bukan makanan. Baik konsumsi makanan maupun konsumsi bukan makanan, keduanya memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Selama periode 2004-2013, peningkatan konsumsi makanan terjadi pada tahun 2010. Pertumbuhan konsumsi makanan pada tahun 2010 mencapai 16.88 persen. Angka ini terus meningkat hingga di penghujung 2013, di mana konsumsi masyarakat Indonesia untuk makanan mencapai Rp 695 264 per bulan atau dua kali lebih besar jika dibandingkan di tahun 2004, yaitu sebesar Rp 263 281 per bulan. Untuk konsumsi bukan makanan sendiri, selama periode 2004-2013, konsumsi bukan makanan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan tertinggi pada tahun 2011, yaitu mencapai 23.47 persen. Tingginya inflasi di tahun 2005 dan 2010 tidak menyebabkan penurunan pada besarnya pengeluaran masyarakat Indonesia.

Hal berbeda ditunjukan oleh kondisi infrastruktur transportasi di Indonesia. Selama periode 2004-2013, secara kuantitas infrastruktur di Indonesia tidak mengalami banyak perkembangan. Transportasi darat misalnya, total panjang jalan di Indonesia selama periode tersebut hanya mengalami perkembangan kurang dari 5 persen setiap tahunnya (gambar 15).

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(45)

Gambar 15: Panjang Jalan di Indonesia Periode 2004-2013 (Kilometer)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Berdasarkan gambar 15 dapat disimpulkan bahwa perkembangan penambahan panjang jalan di Indonesia sangatlah kecil. Setiap tahunnya, penambahan panjang jalan di Indonesia tidak pernah melebihi angka 20 000 kilometer. Bahkan di tahun 2013, panjang jalan hanya bertambah sebesar 6 031 kilometer, dari 501 969 kilometer di tahun sebelumnya menjadi 508 000 kilometer di tahun 2013. Rendahnya kualitas infrastruktur di Indonesia tidak hanya ditunjukan oleh minimnya ketersedian fasilitas transportasi darat, namun dapat pula dilihat dari rendahnya daya dukung infrastruktur laut dan kereta api.

Gambar 16: Volume Barang yang Diangkut Melalui Infrastruktur Kereta Api dan Infrastruktur Laut Periode 2004-2013 (Ton)

Sumber: BPS, 2015 (diolah)

Meski memiliki kecenderungan yang terus meningkat, berdasarkan gambar 16 dapat disimpulkan bahwa barang yang diangkut melalui transportasi kereta api

0

Gambar

Tabel 1: Tingkat Inflasi Indonesia Pada Periode 1950-1965
Gambar 2: Tingkat Inflasi Indonesia (persen) dan Harga Minyak Dunia
Gambar 3: Inflasi Target dan Inflasi Aktual Periode 2001-Januari 2015
Gambar 4: Kualitas Infrastruktur Indonesia Periode 2012-2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Perbandingan dilakukan dengan pengimplementasian algoritma Insertion Sort, Selection Sort, Bubble Sort dan Quick Sort, menganalisa kompleksitas waktu tiap algoritma dan keadaan

[r]

Oleh karena itulah program ini dibuat dengan memanfaatkan salah satu bahasa pemrograman yang sudah tidak asing lagi yaitu Visual

[r]

membran dengan metode ini adalah polimer yang digunakan harus larut pada. pelarutnya atau

Sesuai dengan siklusnya, pada saat ini pemerintah daerah menyusun LKjIP 2015 dan Penetapan Kinerja ( Tapkin ) 2015. LKjIP adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggung

Menurut Mangkunegara (2000), kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya