• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Penilaian Alternatif Skenario Pengelolaan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan

Berdasarkan hasil analisis, terlihat bahwa tambak memiliki luasan terbesar yaitu sekitar 80% dari total luas lahan (Gambar 11). Pada kurun waktu 2005 – 2012 terjadi peningkatan luasan lahan tambak sebesar 5% (sekitar 700 m/tahun), dari 84% pada tahun 2005 sampai 89% pada tahun 2012. Sebaliknya, mangrove di Kecamatan Blanakan pada kurun waktu 2005 – 2012 mengalami penurunan tutupan luasan sebesar 5% (sekitar 700 m/tahun) dan penurunan terbesar terjadi di Desa Jayamukti sebesar 36% (sekitar 95 m/tahun). Pada kurun yang sama terjadi peningkatan luasan tutupan sebesar 21% (sekitar 38 m/tahun) yang terjadi di Desa Cilamaya Girang. Sama halnya dengan mangrove, luas tutupan lahan semak juga mengalami penurunan sekitar 200 m/tahun.

(a) (b)

Gambar 11. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Blanakan (a) 2005; (b) 2012 (Sumber: BIGCitra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013)

Luas Mangrove dan Penutupan Mangrove

Berdasarkan data dari BPKPH Pamanukan (2012) diketahui bahwa luasan mangrove terbesar berada di Desa Blanakan yaitu 303.25 ha dan luasan terkecil di Desa Cilamaya Girang yaitu 166,69 ha. Melalui hasil analisis Citra Landsat tahun 2005 dan 2012 diperoleh peta penutupan mangrove Teluk Blanakan, Kabupaten Subang. Hasil analisis menunjukan bahwa terjadi pengurangan tutupan yang cukup drastis pada periode 2005-2015 dimana pengurangan luasan terbesar terjadi Desa Blanakan, dari 62,80% menjadi 20,03%). Luasan dan peresentase penutupan disajikan dalam Tabel 18.

Tabel 18. Luasan dan Persentase Penutupan Mangrove

Petak Desa *Luas Mangrove (ha) **Persentase Tutupan Mangrove

2012 2005 2012

2 Cilamaya Girang 166,69 10,68% 39,78%

6 Blanakan 148,25 30,85% 10,52%

Petak Desa *Luas Mangrove (ha) **Persentase Tutupan Mangrove

2012 2005 2012

9 Muara 59,10 4,96% 7,32%

10 Muara 253,3 21,25% 31,39%

Total Luas Mangrove 782,34

Sumber: * KPH Purwakarta (2012)

**BIG: Citra Landsat (2005) dan (2012), diolah 2013

Melalui hasil analisis Citra Landsat tahun 2005 dan 2012 diperoleh peta penutupan mangrove Teluk Blanakan, Kabupaten Subang (Gambar 12 dan Gambar 13). Hasil analisis menunjukan bahwa terjadi pengurangan tutupan mangrove yang cukup drastis pada periode 2005-2012 dimana pengurangan luasan terbesar terjadi pada petak 6 (dari 30,85% menjadi 10,52%) dan petak 7 (dari 32,25% menjadi 10,99%), seperti ilustrasi pada Gambar 12. Kedua petak tersebut terletak di Desa Blanakan.

Gambar 12.Peta Penutupan Mangrove (2005)

Gambar 13.Peta Penutupan Mangrove (2012)

(Sumber: BIG Citra Landsat 2012, diolah 2013)

Luasan mangrove yang semakin berkurang terjadi akibat konversi lahan mangrove menjadi lahan pertambakan, yang mengharuskan pohon mangrove ditebang dalam jumlah yang besar dan tidak ditanam kembali. Disamping terjadinya pengurangan luasan, terjadi juga penambahan luasan di petak 2, 9 dan petak 10, dimana penambahan luas terbesar terjadi pada petak 2 yang ditandai dengan penambahan presentase penutupan mangrove dari 10,68% menjadi 39,78% (Gambar 14).

Gambar 14. Persentase Penutupan Mangrove (2005 dan 2012)

(Sumber: BIGCitra Landsat 2005 dan 2012, diolah 2013)

Penambahan ini, walaupun tidak terlalu signifikan penambahannya, menunjukan mulai timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan mereka terutama sebagai sebagai penghasil bahan organik yang sangat

0 10 20 30 40 2 6 7 9 10 P er se nt as e Petak

Persentase Penutupan Mangrove

produktif serta sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota perairan.

Berdasarkan hasil analisis citra oleh Yumna (2015) diketahui bahwa di Kabupaten Ponrang, Luwu, Sulawesi Selatan. pada kurun waktu 1994 – 2002 terjadi penurunan luas lahan mangrove sebesar 269,16 ha dengan rata-rata penurunan 33,65 ha/tahun, sedangkan luas tambak meningkat dengan perubahan rata-rata 73,46 ha/tahun.Analisis perubahan lahan menggunakan data citra tahun 2002 dan 2013 menunjukkan terjadinya pengurangan luasan mangrove sebesar 36,28 ha dan disisi lain terjadi penambahan 85,5 ha kawasan tambak. Penurunan luas mangrove ini disebabkan oleh perubahan pola penggunaan lahan oleh masyarakat setempat dimana pada saat itu keberhasilan budidaya sangat tinggi. Sehingga masyarakat banyak yang mengkonversi mangrove menjadi tambak.

Analisis tren perubahan kawasan mangrove menghasilkan prediksi kawasan mangrove di 2023 atau 10 tahun ke depan adalah 88,1 ha. Prediksi ini menggunakan asumsi bahwa kondisi mangrove tetap dan tidak ada pola pemanfaatan atau gangguan alam yang mengakibatkan perubahan besar terhadap ekosistem mangrove, seperti konversi menjadi tambak secara besar-besaran atau tsunami (Yunma 2015).

Pemetaan Kerapatan Vegetasi Mangrove

Seiring dengan perubahan penggunaan lahan yang relatif cepat dalam suatu wilayah yang berkembang, sehingga diperlukan penataan yang lebih baik seberapa besar kebutuhan mangrove untuk wilayah tersebut. Hal ini memerlukan informasi dasar tentang kondisi mangrove yang akurat. Metode konvensional/trestrial (pengukuran langsung) dilapangan mempunyai banyak kelemahan, antara lain cakupan daerah yang terbatas dan pada daerah yang lebih luas membutuhkan lebih banyak biaya dan waktu. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data spatial menggunakan citra satelit menjadi alternatif yang dapat mendukung penyediaan kebutuhan data ini. Mendapatkan peta kerapatan vegetasi dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Nilai hasil analisis ini adalah -1 sampai 1. Nilai antara -1 sapai 0 menunjukkan bahwa obyek tersebut bukan vegetasi. Sedangkan nilai 0-1 menunjukkan obyek tersebut vegetasi. Semakin mendekati 1 menunjukkan bahwa semakin rapat vegetasi pada obyek tersebut. Peta hasil analissi NDVI ini di cropping dengan peta tutupan mangrove untuk mendapatkan peta kerapatan dan sebaran mangrove.

Peta kerapatan mangrove didapatkan dengan melakukan overlay antara peta tutupan mangrove dengan peta kerapatan vegetasi hasil analisis NDVI. Hasil overlay ini kemudian dilakukan klasifikasi untuk mendapatkan kerapatan mangrove sesuai dengan kelasnya. Ketentuan klasifikasi yang dibuat berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan (2006). Klasifikasi ini terbagi atas: mangrove dengan kelas jarang, sedang dan lebat. Peta kerapatan mangrove di Teluk Blanakan pada tahun 2005 disajikan Gambar 16 sedangkan pada tahun 2012 disajikan pada Gambar 17.

Gambar 15. Peta Kerapatan Mangrove (2005)

(Sumber: BIG Citra Landsat 2005, diolah 2013)

Hasil klasifikasi pemetaan kerapatan mangrove yang dilakukan melalui analisis citra, didapatkan total luas di lokasi penelitian pada tahun 2005 yaitu 1.023,75 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 697,36 ha (68,11%), dengan kategori sedang sebanyak 185,74 ha (18,14 %) dan dengan kategori lebat sebanyak 140,65 ha (13,74%).Secara lengkap, kerapatan vegetasi mangrove pada tahun 2005 disajikan Tabel 19.

Tabel 19. Kerapatan vegetasi mangrove (2005)

Petak Desa Luas (ha) Total

Jarang Sedang Lebat

2 Cilamaya Girang 50,32 14,70 45,22 110,23

6&7 Blanakan 460,46 120,46 61,95 642,87

9&10 Muara 186,58 50,57 33,49 270,64

Grand Total 697, 36 185,74 140,65 1.023,75

Presentase 68,11 % 18,14 % 13,74 %

Sumber: BIG Citra Landsat (2005), diolah 2013

Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa Desa Blanakan (petak 6&7) mempunyai luasan vegetasi mangrove terbesar yaitu 642,87 ha (62,8 %) dibandingkan dengan dua desa lainnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang.

Gambar 16. Peta Kerapatan Mangrove (2012)

(Sumber: BIG Citra Landsat 2012, diolah 2013)

Sedangkan pada tahun 2012 yaitu 909,71 ha yang terbagi atas: mangrove dengan kategori jarang sebanyak 623,23 ha (68,51%), dengan kategori sedang sebanyak 174,48 ha (19,18 %) dan mangrove dengan kategori lebat sebanyak 112 ha (12,31%). Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan vegetasi mangrove dengan kerapatan kategori jarang.. Secara lengkap, kerapatan vegetasi mangrove pada tahun 2012 disajikan Tabel 20.

Tabel 20. Kerapatan vegetasi mangrove (2012)

Petak Desa Luas (ha) Total

Jarang Sedang Lebat

2 Cilamaya Girang 238,08 75,39 63.28 376,75

6&7 Blanakan 145,62 14,60 21.99 182,21

9&10 Muara 239,52 84,50 26.73 350,75

Grand Total 623,23 174,48 112,00 909,71

Presentase 68,51 % 19,18 % 12,31 %

Sumber: BIGCitra Landsat (2012), diolah 2013

Apabila dibandingkan dengan luas vegetasi mangrove pada tahun 2005, terjadi penurunan luasan sebesar 114,04 ha. Penurunan luasan terbesar terjadi di desa Blanakan (petak 6&7) yaitu sebesar 460,66 ha, dimana pada tahun 2005 luasan vegetasi mangrove sebesar 642,87 ha sedangkan pada tahun 2012 menurun drastis menjadi 182, 21 ha. Adapun ilustrasi perbandingan kerapatan vegetasi mangrove di tahun 2005 dan 2012 disajikan melalui Gambar 17.

Gambar 17. Kerapatan Vegetasi Ekosistem Mangrove

Kawasan mangrove Blanakan memiliki peran strategis terhadap masyarakat pesisir sekitar. Salah satunya terlihat dari kehidupan perekonomian dengan beragamnya pemanfaatan yang dilakukan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

Nilai Manfaat Langsung 1. Manfaat Hasil Tambak

Masyarakat penggarap wanamina di RPH Tegal-tangkil pada umumnya masih mengandalkan pasang surut untuk pemasukan/pengeluaran air dan dilakukan secara tradisional. Oleh karena itu sistem pergantian air yang dilakukan adalah secara terbuka mengikuti pasang surut. Pergantian air dilakukan minimal sekali dalam sebulan pada saat pasang tertinggi. Jenis komoditas yang dibudidayakan yaitu Udang Windu (Penaus monodon), bandeng (Chanoos chanos), nila (Oreochromus niloticus), dan mujaer (Oreochromus mosambicus). Jenis komoditas yang dibudidayakan di tambak yang terdapat di desa contoh disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Jenis Komoditas yang dibudidayakan di Tambak

Kegiatan pemanenan di bagi dua yaitu: panen tangkap harian dan musiman. Panen musiman biasanya dilakukan 2-3 kali dalam setahun dengan masa pemeliharaan 3,5 – 4 bulan. Panen dilakukan dengan menggunakan jaring dan jala.

0 100 200 300 400 500 Jarang 2005

Sedang Lebat Jarang 2012

Sedang Lebat

Kerapatan Vegetasi Mangrove

Cilamaya Girang (Petak 2) Blanakan (Petak 6&7) Muara (Petak 9&10)

Benur (benih udang) biasanya didapatkan dari Eretan atau Pangandaran. Sebelum melakukan penebaran, dilakukan pembersihan terhadap lahan tambak. Benur sebelum ditebar terlebih dahulu ditempatkan di bagian khusus dari tambak yang disebut “ipukan” yang sebelumnya sudah dibersihkan dari hama selama 15 sampai 20 hari. Kemudian, setelah itu benur dikeluarkan ke lahan yang lebih luas.

Udang windu yang dipenen biasanya berukuran panjang 23 – 25 cm (20 – 30 ekor/kg atau 30 –50 gr/ekor). Panen dilakukan setelah ikan dan udang mencapai ukuran maksimum. Pada umumnya kegiatan pemanenan dilakukan oleh 5 – 7 orang tergantung luasan tambak. Sehari sebelum panen biasanya dipasang mesin penyedot air. Penyedotan air biasanya 6 – 12 jam tergantung luasan tambak. Untuk sewa mesin dan bbm untuk sekali panen (biasanya 2 ha) mencapai Rp 150.000 – Rp 200.000. Tenaga kerja ini biasanya diberi upah sebesar Rp 50.000 – Rp 60.000/orang untuk satu hari kerja tergantung banyaknya hasil panen yang diperoleh. Selain itu, ada sistem biaya panen ini dengan sistem bagi hasil, dimana untuk udang windu (bago) dengan bagi hasil 6 – 8%.

Ikan/udang yang dipanen kemudian di sortir berdasarkan ukuran dan jenisnya dan kemudian di bawa ke Tempat Pelelangan Hasil Tambak/Tempat Pelelangan ikan (TPHT/TPI) untuk dijual. Hasil kegiatan tambak di TPHT akan diambil/dibeli pengumpul untuk didistribusikan kepada pedagang kecil di pasar terdekat. Akan tetapi ada juga pedagang-pedagang yang datang langsung membeli di TPHT. TPHT di Desa Cilamaya Girang dan Desa Muara beroperasi dua kali dalam sehari, yaitu pukul 08.30 – 12.00 dan pukul 12.30 – 14.00 tergantung banyaknya produk tambak yang di pasarkan dan lamanya waktu yang diperlukan hingga produk tersebut habis terjual. TPHT di Desa Blanakan hanya beroperasi satu kali dalam sehari yaitu jam 09.00 – 12.00.

Ikan bandeng biasanya dipanen setelah mencapai ukuran 24 – 26 cm (7 – 8 ekor/kg atau 125 – 150 gr/ekor).. Sistem biaya panen dengan sistem bagi hasil, dimana untuk hasil bandeng adalah 7-10% dari hasil panen. Ikan mujair/nila yang di panen biasanaya berukuran panjang 15 – 17 cm (±12 ekor/kg atau 83 gr/ekor). Berbeda dengan hasil panen udang windu, hasil panen ikan bandeng pada sistem wanamina menunjukkan produksi yang lebih tinggi yang mencapai 148,70 kg/ha/musim panen (penutupan tinggi).

Ikan nila/mujaer merupakan ikan budidaya yang dijadikan oleh pembudidaya sebagai sebagai penutup biaya produksi (ikan cadangan) ketika ikan bandeng dan udang windu sedikiti ikan nila/muajaer. Berdasarkan hasil panen ikan, menunjukkan bahwa adanya mangrove pada tambak meningkatkan produksi ikan. Hal ini didasarkan pada bahwa mangrove memberikan lingkungan yang lebih nyaman dan menghasilkan makanan (sumber makanan) yang lebih banyak dibanding tambak yang tidak ada mangrove.

Para petani tambak/penggarap selalu menjual hasil tambaknya di TPHT dengan cara pembayaran tunai. Harga udang windu berkisara antara Rp 70.000,00 – Rp 85.000,00/kg. Harga jual ikan bandeng berukuran konsumsi yang dipasarkan melalui TPHT berkisar antara Rp 9.000,00– Rp 15.000,00/kg tergantung ukuran ikan. Ikan mujair untuk ukuran konsumsi yang berasal dari hasil tangkapan harian maupun panen musiman dijual dengan harga Rp 9.000,00 – Rp 12.000,00/kg. Walaupun harga di TPHT bersifat fluktuatif akan tetapi tidak signifikan, masalah utama di TPHT ini adalah keterbatasan modal dan pengelolaan yang kurang adil terhadap anggota. Secara lengkap uraian hasil tambak pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Uraian Hasil Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Komoditas Uraian Minimum Maksimum Rata-Rata

Udang Windu

Jumlah hasil tangkap (Kg/ha/th)

80 150 126

Harga (Rp) 70.000,00 85.000,00 80.500,00

Nilai (Rp/ha/th) 16.000.000,00 38.250.000,00 25.025.385,00

Bandeng Jumlah hasil tangkap

(Kg/ha/th)

100 155 121

Harga (Rp) 9.000,00 15.000,00 11.462,00

Nilai (Rp/ha/th) 1.800.000,00 6.975.000,00 3.450.000,00

Nila Jumlah hasil tangkap

(Kg/ha/th)

50 150 82

Harga (Rp) 9.000,00 12.000,00 11.306,00

Nilai (Rp/ha/th) 1.350.000,00 3.300.000,00 2.195.833,00

Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa hasil panen terbesar berasal dari Udang Windu dengan rata-rata hasil tangkapan sebesar 126 kg/ha/th dan rata-rata nilai tangkapan sebesar Rp. 25.025.385,00/ha/th. Sedangkan rata-rata hasil tangkapan untuk ikan bandeng yaitu 121 kg/ha/th dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 3.450.000/ha/th dan rata-rata hasil tangkapan untuk ikan nila sebesar 82 kg/ha/th dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 2.195.833/ha/th. Melalui perhitungan ekonomi diperoleh pendapatan tambak secara keseluruhan seperti disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Pendapatan Tambak pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Kg/th) 83 151 122

Harga (Rp) 34.000,00 45.556,00 42.324,00

Nilai (Rp/ha/th) 17.800.000,00 48.525.000,00 29.488.846,00

Biaya (Rp/ha/th) 6.482.250,00 15.024.000,00 9.436.941,00

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 11.317.750,00 33.501.000,00 20.051.905,00

Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa usaha tambak yang dilakukan memberikan hasil sebesar 83 – 151 kg/th dengan nilai Rp. 17.800.000 – Rp. 48.525.000/ha/th. Sedangkan biaya yang dikeluarkan meliputi biaya penyusutan, perawatan dan biaya operasional dengan total biaya yaituRp 11.317.750,00 – Rp. 33.501.000,00. Maka nilai manfaat yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 20.051.905,00/ha/th. 2. Manfaat Biota Lain

a. Udang Harian

Selain dari hasil tambak itu sendiri, terdapat hasil sampingan yang diperoleh dari tambak yang ditumbuhi oleh mangrove diantaranya yaitu hasil tangkapan udang harian (udang peci dan udang api), kepiting, wideng, ular, dan burung. Pada saat penelitian biota yang ditemukan hanya udang dan kepiting. Keberadaan mangrove akan mempengaruhi keadaan lingkungan disekitarnya, dengan adanya mangrove akan memperkaya bahan organik yang nantinya akan berpengaruh terhadap produksi perikanan, terutamanya produksi nonbudidaya atau alam (udang peci dan udang api).

Penangkapan udang harian biasanya dilakukan dengan menggunakan bubu yang dipasang pada saluran tambak di kawasan mangrove seperti disajaikan pada Gambar 19.

Tambak dengan luasan 3 Ha dapat dipasang bubu sebanyak 6 buah. Aktivitas penangkapan (pengambilan udang dari bubu) dilakukan setiap hari, pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan bubu dilakukan pada pagi hari. Setiap bubu dilengkapi lampu minyak tanah yang dberguna untuk menarik perhatian udang agar masuk ke dalam bubu dan terkadang ditemui juga kepiting yang masuk ke dalam bubu. Para penangkap udang ataupun kepiting ini biasanya menggunakan alat transportasi sepeda atau motor untuk menjangkau lokasi tambak.

Gambar 19. Hasil udang harian dan alat tangkap Bubu

Produksi udang harian yaitu udang liar terdiri dari Penaeus plebejushess (udang Api) dan Penaeus pnicillatus (udang peci). Jenis ikan/udang tangkapan harian antara lain: udang api-api, udang peci, kepiting, dan mujair yang benihnya tidak ditebar (berasal dari alam/impes). Bubu biasanya dipasang pada siang menjelang sore hari dan diambil (diangkat) pada pagi harinya. Hasil tangkapan harian ini biasanya langsung dikumpulkan dan dibawa ke Tempat Pelelangan Hasil Tambak/Tempat Pelelangan ikan (TPHT/TPI) untuk dijual. Hasil tangkapan udang harian yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Hasil Tangkapan Udang Harian pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Kg/th) 457 1.152 792

Harga (Rp) 20.000,00 45.000,00 30.700,00

Nilai (Rp/ha/th) 38.880.000,00 74.580.000,00 54.517.000,00

Biaya (Rp/ha/th) 1.555.500,00 4.075.500,00 2.105.889,00

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 38.145.000,00 72.735.000,00 53.817.173,00

Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa penangkapan udang alam yang dilakukan oleh responden menghasilkan 457 - 1.152 kg/ha/th dengan nilai berkisar antara Rp. 20.000,00 – Rp. 45.000,00.000. Hasil tangkapan udang harian biasanya dilakukan setiap hari dengan menggunakan alat berupa bubu yang di pasang pada saluran masuk/keluar air. Biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar Rp1.555.500,00 – Rp.

4.075.500,00dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 2.105.889,00. Harga bubu saat ini berkisar

antara Rp 120.000,00 – Rp. 200.000,00/unit dan akan tahan selama 1-2 tahun. Pemasangan awal bubu ini akan dimulai 15 – 20 hari setelah mulai ikan/udang ditanam. Bahkan ada beberapa penggarap akan memasang bubu 3 hari setalah air diisi. Jika pada suatu waktu hasil tangkapan menurun, maka pemasangan dihentikan selama 3 – 5 hari

kemudian di pasang lagi. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa nilai manfaat yang diperoleh dari hasil tangkapan harian yaitu sebesar Rp.53.817.173,00.

b. Kepiting

Beberapa masyarakat menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut adalah penangkap kepiting, wideng, belut, ular, dan burung. Pada Gambar 19 terlihat bahwa masyarakat pengumpul kepiting pada umumnya melakukan penangkapan dengan bubu, pancing dan “ngobor” pada malam hari menggunakan lampu senter atau aki. Hasil tangkapan kepiting dilokasi penelitian per orang mencapai 2 – 3 kg/hari.

(a) (b) atas; (c) bawah

Gambar 19. (a) Penangkap kepiting; (b) Peralatan (aki dan senter); (c) kepiting hasil tangkapan

Hasil tangkapan kepiting pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan berkisar 338 – 739 kg/ha/th dengan rata-rata 562 kg/ha/th dimana nilai penjualannya berkisar Rp. 56.000,00/kg – Rp. 90.000,00/kg. Nilai yang dihasilkan dari penjualan kepiting tersebut mencapai Rp. 85.000.000,00/ha/th dengan rata-rata Rp. 68.274.667,00/th. Nilai manfaat yang dihasilkan melalui penangkapan kepiting yaitu sebesar Rp. 69.644.889,00/th. Hasil tangkapan kepiting yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Hasil Tangkapan Kepiting pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Kg/th) 432 792 601

Harga (Rp) 56.000,00 90.000,00 69.211,00

Nilai (Rp/th) 54.000.000,00 99.000.000,00 73.320.000,00

Biaya (Rp/th) 2.366.667,00 4.466.000,00 3.675.111,00

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 51.633.333,00 94.534.000,00 69.644.889,00

Berdasarkan hasil wawancara dengan penangkap kepiting didapatkan informasi bahwa pada saat musim penangkapan, kepiting pada tambak wanamina dapat mencapai 1 kg/ha. Selain itu, para penangkap kepiting lebih memilih tambak wanamina dengan

penutupan mangrove yang lebih tinggi dikarenakan keterikatan kepiting bakau pada mangrove, sesuai hasil penelitian Sihannenia (2008) bahwa kepadatan kepiting bakau lebih tinggi ditemukan pada mangrove yang lebih padat dibanding dengan mangrove yang jarang.

c. Belut

Penangkapan belut juga menjadi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat di kawasan wanamina RPH Tegal-tangkil. Penangkap belut menjadi mata pencaharian sampingan ataupun tambahan dan bahkan mata pencaharian sehari-hari terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki tambak dan sawah. Sementara itu, hasil tangkapan belut di kawasan wanamina rata-rata perhari mencapai 3 kg.

Gambar 20. Penangkapan belut menggunakan kayu/lidi

Hasil tangkapan belut pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan berkisar 218 – 1.346 kg/ha/th dengan rata-rata 673 kg/ha/th dimana harega jualnya berkisar Rp. 11.000,00/kg – Rp. 14.500,00/kg. Nilai yang dihasilkan dari penjualan belut tersebut mencapai Rp. 16.648.000,00/ha/th dengan rata-rata Rp. 5.520.762,00 /th. Nilai manfaat yang dihasilkan yaitu sebesar Rp. 5.520.762,00.

Jika dilihat dari nilai hasil tangkapan menunjukan bahwa rata-rata pendapatan penangkap mencapai Rp 11.448.000,00/th sehingga menghasilkan nilai manfaat sebesar 5.601.238,00 Ha/th. Secara umum hasil tangkapan dan pendapatan penangkap belut di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Hasil Tangkapan Belut pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Kg/th) 218 1.346 673

Harga (Rp) 11.000,00 14.500,00 13.548,00

Nilai (Rp/th) 3.102.000,00 16.648.000,00 8.620.286,00

Biaya (Rp/th) 1.820.000,00 5.300.000,00 3.099.524,00

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 1.282.000,00 11.348.000,00 5.520.762,00

d. Ular

Jenis ular yang berada dikawasan mangrove adalah ular air (Cerberus rynchops).

Jenis tersebut merupakan ular air yang biasa ditemukan di perairan air tawar dan air asin (tepi rawa-rawa atau bakau). Aktifitas hariannya di senja atau malam hari. Perkembangbiakannya dengan cara beranak, mengeluarkan hingga mencapai 35 anak dan termasuk jenis yang tidak berbahaya (Schneider 1799 dalam Yulia 2009). Penangkapan ular dilakukan dengan menggunakan jaring yang dipasang di tepi petak mangrove

menjelang sore hari dan diangkat pagi hari. Ada pula yang melakukan penangkapan malam hari. Jika diasumsikan ular tersebut dijualbelikan, maka estimasi manfaat bersih dari ular tersebut yaituRp. Rp 9.976.000,67/ tahun. Nilai ini didapat dari perkalian antara estimasi hasil tangkapan dengan harga jual di tempat lain (surroget market) dan dikurangi biaya pemanfaatan.Hasil tangkapan ular yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Hasil Penangkapan Ular pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Botol/th) 1.848 3.192 2.704

Harga (Rp) 6500,00 8500,00 7.833,33

Nilai (Rp/th) 9,840,000.00 20,700,000.00 15,022,666.67

Biaya (Rp/th) 1.500.000,00 9.000.000,00 5.046.666,67

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 8.340.000,00 11.700.000,00 9.976.000,67

e. Burung

Berdasarkan hasil wawancara diketahui jumlah jenis burung air yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Muara sebanyak 5 jenis yaitu burung Belibis (Dendrocygna javanica), Bangau (Leptoptilos javanicus), Blekok (Ardeola speciosa), kuntul (Bulbulis ibis), dan ayam-ayaman (Gallicrex Cenerea). Manfaat bersih yang dihasilkan yaitu Rp 13,836,303/tahun. Nilai ini didapat dari perkalian antara hasil tangkapan dengan harga jual dan dikurangi biaya pemanfaatan.Hasil tangkapan burung yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Hasil Burung pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Kg/th) 1.620 6.768 3.996

Harga (Rp) 9.000,00 10.500,00 9.682,00

Nilai (Rp/th) 8.190.000,00 32.300.000,00 19.050.909,00

Biaya (Rp/th) 3.735.000,00 6.510.000,00 5.214.606,00

Nilai Manfaat (Rp/ha/th) 4.455.000,00 25.790.000,00 13.836.303,00

f. Kilung-kilung

Hasil tangkapan kilung-kilung pada kawasan mangrove di Teluk Blanakan berkisar 1000 – 2.400 kg/ha/th dengan rata-rata 1.667 kg/ha/th dimana nilai penjualannya berkisar Rp. 5,400,000/kg – Rp. 14,400,000/kg. Nilai manfaat yang diperoleh yaitu sebesar Rp. 7,780,833/ha/th. Hasil tangkapan kilung-kilung yang dilakukan oleh masyarakat secara lengkap disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Hasil Penangkapan Kilung-Kilung pada Kawasan Mangrove di Teluk Blanakan

Uraian (Rp/th) Minimum Maksimum Rata-Rata

Jumlah hasil tangkap (Botol/th) 1000 2.400 1.667

Harga (Rp) 5000 8000 6.042

Nilai (Rp/th) 5,400,000 14,400,000 9,968,333

Biaya (Rp/th) 1,500,000 3,000,000 2,187,500

Berdasarkan hasil perhitungan ekonomi diperoleh total nilai manfaat biota lain yaitu sebesar Rp. 160,575,960,67per tahun seperti disajikan pada Tabel 29. Nilai manfaat biota terbesar diperoleh dari udang harian sebesar Rp. 69.644.889,00dan diikuti oleh kepiting sebesar Rp. 53.817.173,00. Sedangkan manfaat terendah diperoleh melalui manfaat belut yaitu sebesar Rp. 5.520.762,00.

Tabel 29. Total Nilai Manfaat Biota Lain

No. Uraian Jumlah (Rp/tahun)

1 Manfaat Kepiting 53.817.173,00

2 Manfaat Udang Harian 69.644.889,00

3 Manfaat Belut 5.520.762,00

4 Manfaat Ular 9.976.000,67

5 Manfaat Burung 13,836,303,00

6 Manfaat Kilung-Kilung 7,780,833,00

Total Nilai Manfaat Biota Lain 160,575,960,67

Dokumen terkait