• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Penilaian Alternatif Skenario Pengelolaan

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Umum Geografis dan Administratif

Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat yaitu antara 107°31' - 107°54' BT dan 6°11' - 6°49' LS. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa. Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung,

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang,  Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa,

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang.

Kecamatan Blanakan merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Subang, secara geografis terletak antara 07° 3 ’ dan 07° 5’ bujur timur dan 6° ’ dan 6° 49’ lintang selatan dengan jarak terjauh antara utara sampai dengan selatan kurang lebih 65 km dan arah barat sampai timur kurang lebih 41 km. Secara administrasi Kecamatan Blanakan meliputi 9 desa yaitu Desa Blanakan, Jaya Mukti, Rawa Mekar, Rawa Meneg, Cilamaya Girang, Cilamaya Hilir, Langen Sari, Muara Ciasem, dan Tanjung Tiga. Jarak tempuh dari pusat kecamatan ke ibukota kabupaten 45,3 km dan jarak ke ibukota provinsi 111 km.

Perairan pantai Subang yang terletak di pantai utara pulau Jawa berhadapan langsung dengan Laut Jawa yang berada di sebelah utaranya. Beberapa sungai utama bermuara di pantai Subang, seperti Sungai Cilamaya, Blanakan, Ciasem, Cipunagara dan Sungai Cileuleuy yang membentuk 5 anak sungai. Umumnya sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai sarana keluar/masuk perahu saat melakukan penangkapan ikan di perairan pantai utara Subang. Di antara sungai-sungai tersebut, Sungai Blanakan merupakan jalur yang paling ramai sebagai sarana keluar/masuk kapal penangkapan ikan dari luar Subang, karena di tepi sungai ini terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Blanakan. Para nelayan dari lokasi perairan sekitar umumnya langsung mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI tersebut (Rangkuti 2013).

Daerah penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-tangkil, BKPH Ciasem-Pamanukan. Wilayah ini dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dan dibagi atas empat Resort Polisi Hutan (RPH), yaitu RPH Tegaltangkil, yang menaungi wilayah mangrove Desa Jayamukti, RPH Muara Ciasem, yang menaungi wilayah mangrove Desa Langensari, RPH Bobos dan RPH Proponcol. Secara administrasi terletak di Kecamatan Blanakan.

Luas wilayah Kecamatan Blanakan adalah 7.839,37 ha yaitu 5,09% dari luas wilayah Kabupaten Subang (Profil Kecamatan Blanakan 2011). Sedangkan untuk luas ekosistem mangrove di RPH Tegal-tangkil secara keseluruhan adalah 2.793,10 ha (KPH Purwakarta 2010). Lokasi pengambilan sampel difokuskan pada petak 2 (Desa Cilamaya

Girang), petak 6, petak 7 (Desa Blanakan), petak 9 dan petak 10 (Desa Muara). Luas wilayah per desa yang termasuk petak penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Luas Wilayah Masing-Masing Desa di Kecamatan Blanakan

Desa Luas wilayah (ha) Petak Mangrove

Desa* Perhutani** Muara 1.138 9,10 Blanakan 1.288 6,7 Cilamaya Girang 1.043 2 Jumlah 3.469 Sumber: *BAPPEDA(2010) **KPH Purwakarta (2013) Kependudukan

Penduduk di Kecamatan Blanakan yang terdistribusi di 9 desa pemukiman pada tahun 2011 berjumlah 64.431 jiwa (21.463 KK) dengan jumlah laki-laki 32.227 dan perempuan 32.214. Adapun jumlah penduduk yang masuk ke dalam wilayah penelitian di 3 desa pengamatan terdiri dari 14.067 laki-laki dan 13.893 perempuan dengan jumlah penduduk 27.960 jiwa (44,21% dari jumlah penduduk Kecamatan Blanakan), seperti disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Desa Jumlah KK Jumlah Penduduk (jiwa)

Laki-Laki Perempuan Total

Muara 2.523 3.649 3.733 7.382

Blanakan 3.433 5.861 5.541 11.402

Cilamaya Girang 3.090 4.557 4.619 9.176

Jumlah 9.046 14.067 13.893 27.960

Sumber: Profil Kecamatan Blanakan (2011)

Faktor usia menjadi salah satu parameter sosial ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap preferensi individu untuk memberikan nilai terhadap keberadaan suatu sumberdaya. Usia penduduk bervariasi antara 16 sampai dengan lebih dari 60 tahun. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar usia penduduk di lokasi penelitian terletak pada struktur usia 22-59 tahun (74,82 %). Jumlah terkecil berdasarkan klasifikasi usia yaitu struktur usia diatas 60 tahun sebesar 11,74 % sedangkan untuk kelompok usia 16-21 sebesar 13,42 %. Secara lebih lengkap distribusi kelompok usia dilokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Klasifikasi Usia Penduduk

Desa Struktur usia (tahun)

16-21 22-59 >60 Muara 694 4.630 669 Blanakan 1.236 6.688 955 Cilamaya Girang 1.002 5.777 752 Jumlah 2.932 17.095 2.376 Kecamatan Blanakan 6.837 37.136 6.404

Tingkat Pendidikan

Salah satu faktor yang dapat menggambarkan kondisi soasial ekonomi adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian cukup beragam, mulai dari tidak tamat SD, tamat SD, sampai tamat AK/PT. Tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan tergolong masih rendah, terdapat sekitar 3.649 jiwa (36%) yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan 5.370 jiwa (52,98%) yang hanya tamat SD. Sedangkan penduduk yang pernah mengeyam pendidikan SLTA hanya 888 jiwa (8,76%) dan Perguruan tinggi hanya 229 jiwa (2,26%). Tingkat pendidikan penduduk di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12.Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk

Desa Tidak Tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA Tamat AK/PT Muara 816 1.179 230 43 Blanakan 1.583 2.286 385 142 Cilamaya Girang 1.250 1.905 273 44 Jumlah 3.649 5.370 888 229 Kecamatan Blanakan 7.951 11.583 2.091 459

Sumber: Profil Kecamatan Blanakan (2011)

Kondisi pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan yang bersifat teknis dan keahlian dalam melakukan kegiatan usaha yang produktif. Selain itu tingkat pendidikan akan berpengaruh juga terhadap daya serap dari program-program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan di Blanakan lebih tinggi dibandingkan kedua desa lain, yaitu sebesar 52% tamat SD/SLTP, 8,76% tamat SLTA dan 3,23% untuk masyarakat yang telah lulus dari AK/PT. Semakin tinggi tingkat pendidikan dapat memberikan gambaran bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat tersebut relatif lebih baik.

Gambar 7. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal Penduduk

(Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011, diolah 2013)

0 500 1000 1500 2000 2500

Muara Blanakan Cilamaya Girang Klasifikasi Tingkat Pendidikan Formal

Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Blanakan terdiri dari berbagai jenis diantaranya petani sawah, petani tambak/pembudidaya, buruh, nelayan, peternak, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang keliling, petugas kesehatan, montir, pegawai swasta, pengrajin, pengusaha, dan lainnya. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Blanakan bermata pencaharian sebagai petani sawah, nelayan dan penggarap tambak. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan minawana selain penggarap tambak/empang adalah buruh, penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap udang, penangkap belut, penangkap ular, penangkap burung, penangkap biawak dan pencari kayu. Masyarakat penangkap kepiting dan sejenisnya (wideng, belut, ular, dll) menjadikan kawasan minawana yang tidak terlepas dari kehidupannya sehari-hari. Secara rinci mata pencaharian masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Blanakan

No Desa Petani (KK) Nelayan (KK) Penggarap Tambak (KK) PTM KM 1 Muara 746 736 135 277 2 Blanakan 2.585 842 186 363 3 Cilamaya Girang 1.229 299 48 176 Jumlah 4.560 1.877 369 816

Sumber: Profil Kecamatan Blanakan (2011)

Bagi mayarakat yang tidak memiliki sawah ataupun empang, selain menjadi buruh sawah, sebagian besar dari mereka bekerja sebagi buruh di empang/tambak jika masa tanam dan panen sawah kosong. Buruh tersebut terdiri dari buruh harian dan buruh panen (khusus panen musiman ikan/udang hasil tambak). Mayoritas mata pencaharian penduduk di Kecamatan Blanakan diilustrasikan melalui Gambar 8.

Gambar 8. Mayoritas Mata Pencaharian Penduduk

(Sumber: Profil Kecamatan Blanakan 2011, diolah 2013)

Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian di dominasi oleh petani dengan jumlah 4.560 KK kemudian nelayan yang menggunakan perahu tampa motor dengan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

Muara Blanakan Cilamaya Girang

Mata Pencaharian Penduduk

jumlah 1.877 KK, penggarap tambak sebanyak 816 KK, barulah kemudian nelayan yang menggunakan kapal motor sebanyak 369 KK.

Pengelolaan Mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang Sejarah Pengelolaan Mangrove

Kawasan mangrove RPH Tegal Tangkil, BPKPH Ciasem – Pamanukan secara geografis membentang sepanjang pantai utara Jawa. Pada awal tahun 1960-an, wilayah pesisir Kabupaten Subang masih berupa hutan payau atau ekosistem mangrove yang ditumbuhi anekaragam jenis tumbuhan. Berdasarkan informasi lapangan, pada tahun 1960-an diantara warga masyarakat mulai membuat kalen atau parit-parit untuk memasuki kawasan hutan agar dapat memasang bubu untuk menangkap ikan. Pengelolaan kawasan mangrove RPH Tegal Tangkil, BPKPH Ciasem – Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS), yaitu perpaduan antara penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan hutan dengan budidaya payau dimana pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang serta wajib memelihara ekosistem mangrove.

Perum Perhutani melalui strategi PS yang kemudian diubah menjadi program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini berbagi peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mangrove sehingga terbangun kepedulian terhadap kelestarian mangrove. Hak dan tanggung jawab masyarakat desa di sekitar ekosistem mangrove tertampung dalam sebuah lembaga yang dinamakan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Adanya LMDH dan PHBM ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap rencana kelola lingkungan dan sosial pada pengelolaan sumberdaya mangrove.

Program PHBM ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program

silvofishery atau minawana. Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978 (Wirjodarmodjo dan Hamzah 1984). Jenis mangrove yang umumnya ditanam mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Perhutani yaitu Rhizophora mucronata dan disusul tanaman

Avicennia marina. Jenis api-api dapat dikatakan sebagai spesies asli yang mendominasi daerah tersebut sebelum mengalami konversi menjadi tambak dan sebagian besar anakan api-api tersebut tumbuh secara permudaan alami.

Definisi istilah minawana atau silvofishery atau tambak tumpang sari bermacam- macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Soewardi (1994) mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep minawana ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.

MenurutPerhutani (Rangkuti 2013), wilayah KP Mangrove di RPH Tegal-Tangkil yang masuk di dalam BKPH Pamanukan terbagi dalam 3 blok, yaitu:

1. Blok Perlindungan sebesar 17.31 % (2,752.40 ha): Zona yang difokuskan utuk kegiatan perlindungan dan konservasi. Blok perlindungan yang ideal memiliki lebar

200 m dari bibir pantai dan 50 m dari tepi sungai. Akan tetapi saat ini mengalami penurunan akibat konversi menjadi lahan tambak.

2. Blok Pemanfaatan sebesar 73.48 % (11,681.93 ha): Zona pemanfaatan terdiri dari pemanfaatan perikanan berupa empang parit (minawana) dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata. Pada Blok ini masyarakat diberikan kesempatan untuk menggarap empang. Sedangkan untuk zona pemanfaatan jasa lingkungan terdapat Wanawisata dan Penangkaran Buaya Blanakan.

3. Blok lainnya sebesar 9.20 % (460.08 ha): Zona ini diperuntukan tempat saluran pipa oleh PT Pertamina.

Minawana sebagai suatu rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem mangrove. Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan (minawana) menurut Sualia et al. (2010) diantaranya :

1. Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala kecil (rumah tangga).

2. Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang alam, kepiting, dan ikan liar.

3. Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung (carrying capacity) tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air dan menopang kehidupann komoditas yang dibudidayakan.

4. Produk udang berkualitas premium dan bernilai jual tinggi di pasaran internasional. 5. Kawasan tambak ramah lingkungan lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat

kemampuan mangrove dalam menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri.

(a) (b)

Gambar 9. Kondisi mangrove di lokasi penelitian; (a) mangrove yang terjaga kelestariannya, (b) mangrove yang ditebang untuk memperluas areal tambak

Semestinya sistem tambak tumpangsari terdiri atas 80% mangrove, dan 20% empang atau tambak (Perhutani 1995), serta melibatkan masyarakat dalampengelolaannya. Namun pada kenyataannya, vegetasi mangrove terutama padaareal pertambakan tidak berkembang secara baik, akibat penebangan untukperluasan tambak. Dengan demikian sistem tambak tumpangsari tidak lagi dapatdipertahankan secara

utuh.Rendahnya kerapatan vegetasi mangrove di Kecamatan Blanakan, disebabkan karena terjadinya perluasan areal tambak dengan cara penebangan vegetasi mangrove pada hampir sebagian besar wilayah tersebut. Selain itu juga rendahnya kesadaran masyarakat, serta kurangnya pengawasan dari aparat Pemerintah Desa maupun pihak Perhutani menjadi penyebab berkurangnya luasan mangrove di wilayah tersebut.

Kondisi Fisika Kimia Kualitas Air

Hasil pengukuran beberapa kualitas air insitu di kawasan tambak wanamina memperlihatkan bahwa kondisi kualitas air di wanamina (baik yang berpenutupan tinggi, sedang maupun rendah) dan tambak murni secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini karena air ini yang masuk ke pertambakan berasal dari sumber yang sama. Secara umum pengelolaan kualitas air oleh penggarap hampir sama yaitu dengan sistem sirkulasi terbuka sehingga air laut bebas keluar-masuk dari tambak (Rangkuti 2013). Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan.

Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) didapatkan nilai DO tertinggi terdapat pada Muara Blanakan (petak 6 dan 7) yaitu sebesar 8,6 mg/L. Sungai Blanakan memiliki kedalaman yang lebih rendah dibanding perairan lainnya, sehingga suhu dari sinar matahari cepat masuk dan mempengaruhi nilai DO sampel perairan. Sedangkan kandungan DO pada Muara Gangga (petak 2) dan Muara Ciasem (petak 9 dan 10) masing-masing sebesar 7,8 mg/L dan 8,2 mg/L (Purba 2012). Muara memiliki DO yang cukup tinggi, disebabkan pada saat pasang terjadi pergerakan pengadukan air yang dapat meningkatkan nilai DO pada perairan tersebut.

Cahaya matahari merupakan faktor abiotik yang mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis. Dengan demikian produktivitas fitoplankton sangat ditentukan oleh adanya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh nilai kecerahan berkisar antara 18-21,5 cm. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi. Kekeruhan di perairan estuari terjadi karena pencampuran partikel-partikel organik dan endapan halus dari aliran sungai dan laut melalui pergerakan pasang dan surut (Nybaken 1992).

Sedangkan pengukuran terhadap pH menunjukan bahwa pH pada perairan Blanakan berada pada kisaran 5-8. Nilai pH tertinggi terdapat pada perairan muara, yaitu Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara Gangga, masing-masing sebesar 8 (Purba 2012). Umumnya pH air laut tidak bervariasi karena adanya kapasitas penyangga

(buffering capacity) dari sistem karbondioksida dalam air laut, hal ini berarti pH air laut tidak mudah berubah.

Pada umumnya mangrove hidup dan tumbuh dengan baik di daerah estuari dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppm. Pada perairan Blanakan nilai salinitas yang diperoleh adalah 20 ppm, maka perairan tersebut masih mempunyai nilai salinitas yang baik. Berdasarkan hasil pengukuran oleh Rangkuti (2013), variasi nilai pada parameter salinitas terjadi terutama pada perairan yang terletak dekat muara sungai dimana umumnya didapatkan nilai relatif rendah (< 20 ‰). Perubahan nilai salinitas di daerah muara sungai dapat disebabkan oleh pengaruh pasang surut. Pada saat surut, nilai salinitas air laut menjadi relatif rendah, sebaliknya pada saat pasang nilai salinitas akan meningkat bahkan

sampai mencapai puluhan meter dari garis tepi pantai. Berikut ini hasil dari pengukuran salinitas masing-masing stasiun pada saat pasang dan saat surut.

Tabel 14. Pengukuran salinitas pada saat pasang dan saat surut

No Stasiun Pasang (‰) Surut (‰)

1 Muara 32 30

2 Blanakan 32 30

3 Cilamaya girang 32 30

Sumber: Rangkuti (2013)

Hasil pengukuran distribusi salinitas pada tahun 2012 di wilayah perairan mangrove Kecamatan Blanakaan, salinitas tersebut didapatkan hampir menyebar secara merata, antara lapisan atas dan bawah. Pengukuran salinitas didapatkan kisaran nilai salinitas ketika pasang adalah 30-32 ‰ dan ketika surut berkisar 29-3 ‰, semakin menuju laut maka salinitasnya semakin tinggi (Rangkuti 2013). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan aliran sungai (run off) yang ada di sekitarnya (Effendi 2003). Salinitas air sungai semakin meningkat bila menuju ke arah hilir atau muara sungai. Hal tersebut dikarenakan pada daerah hilir pengaruh air laut sangat dominan, sedangkan pada daerah hulu pengaruh air tawar yang lebih dominan.

Laju Sedimentasi/Akresi

Pada umumnya wilayah perairan pantai Blanakan Subang yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar. Hal ini akan rusaknya tegakan mangrove dengan lebar mangrove berkurang secara terus menerus, kecuali untuk daerah pesisir Kecamatan Blanakan sebelah barat (Desa Muara, Desa Langensari, Desa Blanakan, Desa Rawameneng, Desa Jayamukti, Desa Cilamaya Girang, Desa Cilamaya Hilir dan Desa Rawamekar) tidak terjadi abrasi melainkan akresi. Di Kecamatan Blanakan, diperkirakan memiliki laju akresi rata-rata antara 2-3 m/tahun. Di daerah muara sungai banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus menurus terbawa dari daerah hulu sungai dan gelombang (Pemerintahan Kabupaten Subang 2011).

Kondisi Bioekologi Formasi Mangrove

Mangrove di daerah ini terbagi menjadi 2 kawasan utama yaitu, di sebelah barat sungai Blanakan yang dikelola dibawah pengawasan Perum Perhutani unit III dan kawasan di sebelah timur sungai Blanakan yang terdapat di sekitar kawasan tambak produksi milik masyarakat. Tumbuhan mangrove di daerah ini sebagian besar merupakan hasil replanting dan rehabilitasi yang telah dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu dan terutama terdiri dari kelompok api-api (Avicennia sp.) dengan ukuran mulai dari seedling sampai berukuran besar (diameter batang ≤ 0cm; tinggi ≥ 0meter) (Rangkuti 2013).

Formasi mangrove yang ada di daerah penelitian umumnya sama yaitu Avicennia spp yang ditemukan mulai dari batas perkampungan penduduk, daerah tambak sampai jauh kedepan yaitu pada tanah timbul yang merupakan hasil pertemuan sedimentasi dari muara sungai Blanakan dan pengendapan dari laut. Avicennia spp. merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh

pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul. Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat tertentu.

Pada zona iniAvicennia spp. biasa berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam.Lebih ke arah darat, formasi jenis Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. banyak djumpai di belakang zonasi Avicennia marina. Rhizopora spp.merupakan jenis mangrove yang banyak ditemukan pada tanah lembek berlumpur dan kaya humus. Di zona ini juga banyak dijumpai Bruguiera spp.yang biasanya tumbuh mengelompok pada tanah liat di belakang zona Avicennia spp, atau di bagian tengah vegetasi mangrove kearah darat.

Dominasi Mangrove

Mangrove yang ada di Blanakan didominasi empat jenis yaitu Avicennia spp. (A. officinalis dan A. marina), Sonneratia sp., Rhizopora sp. dan Bruguiera sp. Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam pembentukan zonasi ini.

Menurut Ramdhani (2012) diketahui bahwa pada jenis Sonneratia alba

merupakan jenis vegetasi mangrove yang paling mendominasi di Desa Muara Ciasem. Jenis vegetasi Sonneratia alba memiliki INP tertinggi (294,78 %), selanjutnya jenis

Rhizophora Stylosa memiliki dengan INP tertinggi kedua (110 %), jenis Avicennia marina memiliki INP sebesar 77,23 %, dan urutan terakhir pada jenis Wedelia biflora

yang memiliki INP sebesar 17,02 %. Pada tingkat semai, INP tertinggi adalah jenis

Sonneratia alba (111,52%). Hal ini dikarenakan kerapatan dan frekuensi semai

Sonneratia alba tergolong tinggi. Analisis vegetasi mangrove yang berada di Desa Muara Ciasem ditampilkan melalui Tabel 15.

Tabel 15. Analisis Vegetasi Mangrove Desa Muara Ciasem

Jenis vegetasi INP (%)

Semai Pancang Pohon Total

Sonneratia alba 111,52 83,26 100 294,78

Wedelia biflora 17,02 - - 17,02

Avicennia marina 31,37 45,86 - 77,23

Rhizophora Stylosa 40,07 70,85 - 110,92

Sumber: Ramdhani(2012)

Mangrove yang terdapat di Desa Blanakandidominasi oleh Avicennia marinadengan INP tertinggi sebesar 253,77% sedangkan INP terendah terdapat pada

Bruguiera sp. dengan presentase sebesar 7,98%, seperti disajikan pada Tabel 16. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan spesies Avicennia marina merupakan spesies yang mendominasi dan juga merupakan pemasok nutrisi terbesar bagi perairan. Avicennia

mempunyai adaptasi yang tinggi dengan perakarannya. Hal ini dapat membantu spesies ini dalam mengikat sedimen yang banyak terdapat di pantai Blanakan (Muhammad 2012). Tabel 16. Analisis Vegetasi Mangrove di Desa Blanakan

Jenis vegetasi INP (%)

Semai Pancang Pohon Total

Avicennia marina 163,2 188,76 253,77 605,73

Rhizophora Stylosa 84,16 98,81 33,67 216,64

Sonneratia alba 44,66 12,43 12,56 69,65

Bruguiera sp. 7,98 7,98

Sumber: Muhammad(2012)

Menurut KPH Purwakarta (2012), spesies mangrove yang paling mendominasi di Desa Cilamaya Girang sama dengan dominasi di Desa Blanakan yaitu Avicennia marina

atau api-api. Avicennia banyak mendominasi di zona ini karena Avicennia mampu beradaptasi dengan lingkungan mangrove yang sering mengalami perendaman oleh air laut karena letaknya yang dekat dengan laut. Avicennia mempunyai adaptasi yang tinggi dengan perakarannya. Jenis Api-api dikenal sebagai black mangrove yang merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya, karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperatur tinggi, pertumbuhan akar pernafasan (akar pasak) yang cepat dan sistem perakarannya mampu menahan endapan dengan baik.

Jenis Fauna pada Ekosistem Mangrove

Keberadaan mangrove menjadi sangat penting bagi biota teresterial (mamalia, reptil, ampibi maupun hewan lainnya) karena umumnya sebagi tempat mencari makan

Dokumen terkait