• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Kedelai

Secara keseluruhan, produksi kedelai di Indonesia pada periode 1969-2010 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.298% per tahun. Menurut data ARAM II BPS tahun 2012, produksi kedelai sebesar 783.16 ribu ton atau turun sebesar 68.13 ribu ton (8.00%) dibandingkan tahun 2011. Penurunan produksi lebih besar dialami oleh wilayah di luar Jawa yaitu sebesar 34.07 ribu ton (12.29%), sedangkan di Jawa sebesar 34.06 ribu ton (5.93%). Produksi kedelai mulai tahun 1969 sampai 1975 menunjukkan peningkatan dari 388 907 ton menjadi 589 831 ton. Produksi meningkat sebesar 51.7% dengan laju pertumbuhan sebesar 7.583%. Pada periode berikutnya terjadi fluktuasi produksi dengan rata-rata produksi sebesar 618 779 ton per tahun. Pada periode ini, rata- rata produksi meningkat sebesar 98 669 ton per tahun dari periode sebelumnya.

Dalam rentang tahun 1979 sampai tahun 1983, produksi kedelai cenderung menurun dengan laju pertumbuhan -4.815% per tahun. Produksi kedelai turun dari 679 825 ton pada tahun 1979 menjadi 536 103 ton pada tahun 1983. Penurunan produksi pada periode ini terjadi akibat adanya kemarau panjang pada tahun 1982 dan 1983 (Yuwanita 2006). Meskipun terjadi penurunan, rata-rata produksi kedelai pada periode ini masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi pada periode sebelumnya.

Berdasarkan plot data pada Gambar 3, produksi kedelai nasional mulai meningkat tajam pada periode tahun 1984 sampai tahun 1992, namun mengalami penurunan kembali pada tahun-tahun berikutnya. Pada periode 1984 sampai tahun 1988 terjadi peningkatan produksi sebesar 65.12%, yaitu dari 769 384 ton menjadi 1 270 418 ton. Produksi rata-rata pada periode ini juga meningkat menjadi 1 059 442 ton per tahun. Peningkatan ini terjadi karena adanya program Operasi Khusus (Opsus) pada tahun 1986. Keberhasilan program ini berdampak dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kedelai mencapai 20.334% per tahun. Bahkan pada saat itu Indonesia termasuk produsen utama kedelai di Asia Tenggara.

29

Gambar 3 Plot data produksi kedelai Indonesia tahun 1969-2011

Pada tahun 1989 sampai tahun 1993 rata-rata produksi mencapai 1 587 248.4 ton per tahun. Walaupun pernah terjadi penurunan produksi pada tahun 1993 namun dalam periode ini produksi meningkat 29.92%. Dalam rentang periode tersebut dan bahkan hingga tahun sekarang, produksi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 1992, yaitu mencapai 1 869 713 ton. Hal ini dikarenakan pada tahun 1992 terjadi luas panen tertinggi, yaitu sebesar 1 665 710 hektar. Namun demikian, tingkat produksi ini masih jauh di bawah tingkat produksi negara produsen kedelai terbesar di Asia, yaitu Cina yang mencapai sepuluh juta ton.

Setelah tahun 1992, produksi kedelai Indonesia cenderung mengalami penurunan sampai tahun 2007 yaitu dari 1 665 710 ton menjadi 592 634 ton. Penurunan produksi yang dratis selama periode ini disebabkan karena adanya penghapusan tata niaga kedelai melalui SK Menperindag No. 406/MPP/Kep/II/1997. Di dalam SK tersebut tata niaga kedelai yang semula oleh BULOG dihapuskan dan Importir Umum juga dapat mengimpor kedelai tanpa dikenakan bea masuk (0%) (Maretha 2008). Hal ini menyebabkan banyaknya arus kedelai impor dengan harga yang lebih murah dari berbagai negara seperti Amerika, Brazil, dan Argentina. Dengan demikian tidak terdapat proteksi impor terhadap produksi kedelai dalam negeri.

Penurunan produksi paling besar terjadi pada tahun 2000, yaitu sebesar 26.41%. Angka penurunan ini juga merupakan penurunan terbesar yang terjadi sejak tahun 1969 hingga sekarang. Seperti halnya yang mempengaruhi tingginya produksi pada tahun 1992, penurunan produksi secara drastis pada tahun 2000 ini juga disebabkan oleh menurunnya luas panen kedelai sebesar 28.373% dari tahun sebelumnya.

Menurut Pusdatin Kementan (2012), perkembangan selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi secara rata-rata meningkat sebesar 1.89% per tahun. Dalam rentang 43 tahun, produksi kedelai Indonesia mengalami fluktuasi yang cukup besar dimana propinsi-propinsi di Jawa memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi nasional dibandingkan propinsi-

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 2000000 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 P rodu ks i K edelai (t on) Tahun

30

propinsi di luar Jawa. Rata-rata produksi kedelai Indonesia selama 43 tahun sebesar 930 233 ton.

Konsumsi Kedelai

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kecenderungan konsumsi kedelai tahun 1969-2010 oleh masyarakat Indonesia terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk. Peningkatan konsumsi kedelai juga dipengaruhi oleh peningkatan pengetahuan masyarakat, salah satunya dalam bidang kesehatan sehingga kesadaran akan pentingnya gizi yang terdapat dalam kedelai sudah mulai muncul.

Gambar 4 Pola data konsumsi kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Berdasarkan gambar, tingkat konsumsi kedelai tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang mencapai 2 679 361 ton. Meskipun pada tahun tersebut terdapat goncangan ekonomi dari eksternal seperti lonjakan harga minyak dunia dan krisis subprime mortgage di AS tetapi karena stabilitas makroekonomi maka dampaknya dapat diminimalkan. Selain itu pada paruh pertama tahun 2007, daya beli masyarakat yang sempat menurun pada tahun 2006 pasca kenaikan harga BBM tahun 2005 berangsur membaik sehingga mendorong konsumsi swasta. Di dalam Laporan Bank Indonesia tahun 2007 dijelaskan juga bahwa pertumbuhan konsumsi swasta terus tumbuh dengan tren meningkat sejak awal tahun hingga menjadi 5% pada tahun 2007 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 3.2%. Pertumbuhan konsumsi swasta ini terjadi baik pada komponen makanan (termasuk kedelai) dan bukan makanan.

Peningkatan drastis pada konsumsi kedelai juga pernah pada tahun 1999 dimana konsumsi kedelai mencapai 2 511 987 ton. Hal ini terjadi karena pada tahun tersebut terjadi depresiasi nilai rupiah yang cukup besar akibat adanya krisis moneter sehingga kebutuhan akan protein yang biasanya terpenuhi dari protein hewani tersubstitusikan oleh protein nabati dimana dalam hal ini adalah kedelai. Dalam rentang 43 tahun (1969-2011), konsumsi kedelai mengalami fluktuasi tetapi cenderung meningkat dimana rata-rata konsumsi sebesar 1 453 652 ton

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 K on su m si K ed ela i (T on ) Tahun

31 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 6.961 % per tahun. Konsumsi kedelai Indonesia sejak tahun 1969 sampai 2011 menunjukkan peningkatan sebesar 7.89 kali lipat.

Luas Panen Kedelai

Seperti halnya pada produksi, secara umum luas panen kedelai di Indonesia periode 1969-2010 berfluktuasi namun cenderung mengalami kenaikan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0.75 % per tahun. Menurut Pusdatin Kementan tahun 2012, keragaan luas panen kedelai baik di Jawa maupun di luar Jawa terus meningkat pada periode tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an. Meskipun total luas panen di Jawa lebih tinggi namun ternyata rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa lebih besar. Pada tahun 1970-1992, rata-rata pertumbuhan luas panen di luar Jawa sebesar 11.30 % per tahun sedangkan di Jawa hanya sebesar 2.69 % per tahun.

Gambar 5 Pola data luas panen kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Hal ini terkait dengan berbagai upaya pemerintah pada periode tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai melalui beberapa program pengembangan agribisnis. Maretha (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 1984- 1988, pemerintah menggalakkan pengembangan kedelai, antara lain melalui program menuju swasembada kedelai, program pengembangan kedelai di lahan masam (pengapuran), penerapan anjuran teknologi, dan penggunakan pupuk biohayati. Luas panen mulai menunjukkan penurunan sejak tahun 1992 bahkan pada tahun 2001 luas panen yang dicapai berada di bawah pencapaian luas panen yang pernah terjadi pada tahun 1970-an. Luas panen kedelai tertinggi yang pernah dicapai adalah 1 665 710 hektar pada tahun 1992. Apabila dibandingkan tahun 1969, luas panen kedelai tahun 2011 mengalami penurunan sebesar 131 533 hektar.

Produktivitas Kedelai

Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa produktivitas kedelai pada periode 1969-2010 di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan rata-rata produktivitas sebesar 1.043 ton per hektar dimana rata-rata

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 L u as P an en (hektar ) Tahun

32

pertumbuhannya 1.69 % per tahun. Berdasarkan data Pusdatin Kementan 2012, keragaan produktivitas kedelai di Jawa selama kurun waktu 1970-2012 menunjukkan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi, yaitu 1.60 % per tahun, sementara di luar Jawa adalah 1.58 % per tahun. Namun, pada periode 2007-2011, rata-rata pertumbuhan di Jawa hanya sebesar 0.44 % dimana angka ini lebih rendah dibandingkan luar Jawa yaitu 0.52 %.

Produktivitas kedelai dari tahun 1969 sampai tahun 1973 mengalami fluktuasi dengan rata-rata produktivitas 0.73 ton per hektar dimana produktivitas hanya meningkat 4 %. Pada periode selanjutnya, yaitu pelita II (tahun 1974-1978) produktivitas kedelai meningkat sekitar 8 % dengan rata-rata produktivitas sebesar 0.805 ton per hektar. Pada periode 1994 sampai 1998, produktivitas kedelai mengalami peningkatan dari 1.112 ton menjadi 1.192 ton. Menurut data FAO, pada periode ini, Indonesia berada pada posisi ke enam sebagai Negara penghasil kedelai terbesar di dunia setelah USA, Brazil, Argentina, Cina, dan India. Dalam rentang waktu 42 tahun, produktivitas kedelai berhasil meningkat sebesar 96 %.

Gambar 6 Pola data produktivitas kedelai Indonesia tahun 1969-2011 Pusdatin Kementan (2012) merinci 7 provinsi di Indonesia yang menjadi sentra kedelai jika ditinjau dari produksinya. Ketujuh provinsi yang menyumbang 87.32 % produksi kedelai nasional tersebut adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Menurut ARAM II 2012, Ditjen Tanaman Pangan Kementan menyatakan bahwa secara rata-rata selama 5 tahun terakhir (2008- 2012), Jawa Timur merupakan provinsi dengan sumbangan produksi terbesar yaitu sekitar 38.57 % terhadap produksi nasional. Dua provinsi dengan sumbangan produksi yang cukup besar selanjutnya adalah Jawa Tengah dan NTB dimana masing-masing sebesar 18.11 % dan 10.24 %. Apabila produksi dari ketiga provinsi ini digabungkan maka diperoleh angka kontribusi produksi sebesar 66.92 % atau lebih dari 50 % total produksi kedelai Indonesia.

- 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 P rod u k tivitas (t on /h ek tar ) Tahun

33 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Kedelai

Tabel 4 Perbandingan hasil peramalan produksi dan konsumsi kedelai dengan target Kementan

Tahun

Hasil Ramalan Target Kementan

Produksi ARIMA (2,1,2) Konsumsi ARIMA (1,1,0)

Defisit Produksi Konsumsi Defisit

2012 2013 2014 2015 2016 752 909.3 2 806 925 (2 054 015) 1 560 000 2 574 505 (1 014 505) 776 149.2 2 973 053 (2 196 904) 1 900 000 1 893 168 6 832 907 546.4 3 103 993 (2 196 447) 2 250 000 2 315 922 (65 922) 991 723.9 3 260 855 (2 269 131) 2 700 000 2 234 440 465 560 919 329.6 3 416 407 (2 497 077) 2017 826 454.4 3 583 319 (2 756 865) 2018 857 863.3 3 756 882 (2 899 019) 2019 999 789.5 3 939 640 (2 939 851) 2020 1 082 734 4 130 876 (3 048 142) 2021 1 001 791 4 331 394 (3 329 603) 2022 907 455.7 4 542 100 (3 634 644) 2023 948 085.5 4 762 580 (3 814 494) 2024 1 100 858 4 993 762 (3 892 904) 2025 1 182 096 5 236 165 (4 054 069)

Sumber : Data target produksi dan konsumsi Kementerian Pertanian 2011-2014

diolah Ditjen Tanaman Pangan dan Pusat Data dan Informasi, Kementerian Pertanian

Keterangan : ( ) nilai negatif

Persamaan fungsi ARIMA produksi (2,1,2) terbaik adalah sebagai berikut :

Ŷt = Yt-1 + 0.5931 Yt-1– 0.9859 Yt-2 + 0.4193 t-1–0.9236 t-2

Sedangkan persamaan fungsi ARIMA konsumsi (1,1,0) terbaik adalah sebagai berikut:

Ŷt = Yt-1– 0.4325 Yt-1

Berdasarkan hasil ramalan tahun 2014-2025 dengan ARIMA terlihat bahwa hasil ramalan tingkat produksi yang diperoleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi. Pada tahun 2014, sebagai tahun target swasembada kedelai, proyeksi tingkat produksi hanya mencapai 907 546.4 ton sedangkan konsumsi mencapai 3 103 993 ton. Pada tahun tersebut, swasembada jelas terlihat belum dapat terlaksana dan justru mengalami defisit sebesar 2 196 447 ton. Bahkan proyeksi pada tahun 2025 (11 tahun setelah tahun target swasembada kedelai 2014) masih menunjukkan jumlah defisit yang besar dimana jumlah produksi sebesar 1 182 096 ton dan konsumsi sebesar 5 236 165 ton. Jika dibandingkan dengan target Kementan, terlihat bahwa hasil ramalan produksi dengan menggunakan ARIMA masih jauh lebih rendah dengan target produksi Kementan. Di sisi lain, hasil ramalan konsumsi dengan menggunakan ARIMA justru cenderung lebih tinggi dibandingkan proyeksi konsumsi dari Kementan. Berdasarkan ulasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia masih belum bisa mencapai swasembada kedelai pada tahun 2014 maupun 11 tahun setelahnya (tahun 2025).

34

Faktor - Faktor yang Memengaruhi Produksi Kedelai Nasional

Sebelum menganalisis elastisitas produksi kedelai nasional maka diperlukan analisis terlebih dahulu terhadap faktor-faktor yang berpengaruh signifikan pada produksi kedelai nasional. Dengan menggunakan metode regresi berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai, diperoleh hasil estimasi persamaan produksi kedelai yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil estimasi persamaan produksi kedelai

Peubah Koefisien t-hitung Probabilitas Keterangan

PRDV 1 108 924 16.16436 0.0000 Signifikan LP 1.199073 90.93346 0.0000 Signifikan HRKP -26.67617 -2.135223 0.0476 Signifikan HRJP 65.40365 2.514282 0.0223 Signifikan HRB -10.37822 -5.569485 0.0000 Signifikan IMPK -0.019163 -2.081572 0.0528 Signifikan

DSUBK 25 480.94 1.692842 0.1087 Tidak Signifikan

C -1 291 120 -13.16004 0.0000

R-squared 0.999295 Mean dependent var 1164843.

F-statistic 3 441.058

Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan :

*) Signifikan pada taraf nyata 10%

Berdasarkan Tabel 5, hasil analisis regresi diperoleh nilai R2 sebesar 0.999295. Hal ini berarti 99.9295% keragaman dalam produksi kedelai dapat dijelaskan oleh variabel produktivitas, luas panen, harga riil kedelai dan jagung di tingkat petani, harga riil benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai sedangkan 0.0717% dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Untuk mengetahui tingkat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen digunakan uji-F. Berdasarkan uji-F, dari hasil analisis diperoleh F-statistik (0.000000) < α (10%) yang artinya variabel independen yaitu produktivitas, luas panen, harga riil kedelai di tingkat petani, harga riil jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, impor kedelai, dan dummy subsidi benih kedelai bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen yaitu produksi kedelai nasional pada taraf nyata 10%. Sehingga model penduga tersebut layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

Selanjutnya, untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap produksi kedelai maka dilakukan uji-t dengan melihat nilai probabilitas pada masing-masing variabel independen terhadap taraf nyata 10%. Enam variabel independen (produktivitas, luas areal panen, harga kedelai dan jagung di tingkat petani, harga benih kedelai, dan impor kedelai) menunjukkan hasil signifikan terhadap produksi kedelai nasional. Sedangkan dummy subsidi benih kedelai menunjukkan hasil tidak signifikan karena nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 10%. Model regresi berganda yang baik hendaknya memenuhi asumsi klasik yaitu tidak ada multikolinearitas, tidak ada heteroskedastisitas, tidak ada autokorelasi, dan error term (galat) menyebar normal.

35 Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat adanya hubungan linear antar variabel independen dalam model regresi. Hasil Uji Variance Inflation Factors menunjukkan bahwa nilai VIF kurang dari 10 maka berdasarkan hasil Uji VIF dapat dinyatakan tidak terdapat multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat jika varians residual tidak berubah dengan berubahnya satu atau lebih variabel independen. Apabila asumsi ini terpenuhi maka residual disebut homoskedastisitas, begitu pula sebaliknya. Pengujian heteroskedastisitas yang digunakan adalah Breusch-Pagan Test. Hipotesis null : tidak adanya heteroskedastisitas dapat diterima dengan p value sebesar 0.7626 dimana lebih besar dari taraf nyata 10%.

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat sifat residual regresi yang bebas atau tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Jika residual regresi tidak bebas maka terdapat autokorelasi. Pengujian autokorelasi dapat menggunakan Breusch-Godfrey Test. Nilai p value yang dihasilkan sebesar 0.5746 dimana lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga hipotesis null : tidak adanya autokorelasi dapat diterima. Uji normalitas dilakukan untuk melihat error term terdistribusi secara normal atau tidak. Nilai probabilitas hasil pengujian sebesar 0.1827 lebih besar dari taraf nyata 10%. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi error term terdistribusi secara normal terpenuhi.

Produktivitas

Dari hasil uji-t pada pengaruh produktivitas (PRDV) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0000) < α (10%), artinya produktivitas berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai pada taraf kepercayaan 90%. Nilai koefisien untuk parameter PRDV sebesar 1 108 924 artinya kenaikan produktivitas 1 ton/ha mampu meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 1 108 924 ton dengan asumsi ceteris paribus. Produktivitas memiliki koefisien positif sehingga semakin tinggi produktivitas kedelai nasional maka produksi nasional kedelai akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa produktivitas berhubungan positif terhadap produksi kedelai nasional. Pusdatin Kementan 2012 menyatakan bahwa proyeksi penawaran direpresentasikan berdasarkan variabel produksi yang merupakan perkalian dari variabel luas panen dan produktivitas sehingga selain sesuai dengan hipotesis awal, hasil regresi juga sesuai dengan teori.

Luas Panen

Luas panen merupakan aset sumber daya alam yang berperan penting bagi produksi kedelai nasional. Semakin luas areal panen kedelai maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya kenaikan produksi kedelai nasional. Dari hasil uji-t pada pengaruh luas panen (LP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value

(0.0000) < α (10%), artinya luas panen berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai dan memiliki arah hubungan positif jika dilihat dari nilai koefisiennya. Nilai koefisien untuk parameter LP sebesar 1.199073 artinya kenaikan luas panen 1 ha mampu meningkatkan produksi sebesar 1.199073 ton atau 1 199.073 kg dengan asumsi ceteris paribus. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, luas panen merupakan salah satu faktor perkalian dari variabel produksi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil regresi sesuai dengan hipotesis awal dimana luas panen memiliki hubungan positif terhadap produksi kedelai nasional berdasarkan teori yang ada.

36

Harga Kedelai di Tingkat Petani

Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil kedelai di tingkat petani (HRKP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0476) < α (10%), artinya harga riil kedelai di tingkat petani berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HRKP sebesar -26.67617 artinya kenaikan harga riil kedelai di tingkat petani Rp 1.00/kg mampu menurunkan produksi sebesar 26.67617 ton dengan asumsi ceteris paribus. Harga kedelai di tingkat petani memiliki nilai koefisien negatif yang berbeda dari hipotesis awal. Harga kedelai di tingkat petani yang bernilai negatif memiliki arti bahwa semakin tinggi harga yang diterima petani maka produksi kedelai nasional cenderung menurun.

Hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi pada harga kedelai di tingkat petani dapat memberikan dua efek yang berbeda. Oleh karena itu, harga kedelai di tingkat petani tidak selalu menjadi pendorong bagi kenaikan produksi kedelai nasional. Menurut data FAO, harga produsen kedelai Indonesia berada pada level yang tinggi jika dibandingkan dengan 5 negara penghasil kedelai terbesar dunia. Disparitas harga yang cukup tinggi antara harga produsen di dalam negeri dan harga internasional dapat membawa dampak rendahnya harga kedelai impor sehingga kedelai dalam negeri sulit untuk bersaing.

Jika harga kedelai di tingkat petani mengalami kenaikan maka para tengkulak akan memilih untuk mengurangi kuantitas kedelai yang dibeli dari para petani dan kemungkinan akan memilih kedelai impor sebagai substitusinya. Jika hal ini berlanjut, maka petani akan kesulitan memasarkan dan terjadi kelebihan stok di tingkat petani. Untuk menjaga agar harga kedelai di tingkat konsumen tidak ikut turun dan berakibat semakin ruginya para petani, maka petani akan memilih untuk menurunkan produksinya. Hal inilah yang akan menyebabkan penurunan produksi kedelai nasional. Dengan demikian dapat dilihat bahwa hubungan antara harga kedelai di tingkat petani dengan produksi kedelai tidak sesuai dengan teori.

Harga Jagung di Tingkat Petani

Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil jagung di tingkat petani (HRJP) terhadap produksi kedelai, diperoleh p value (0.0223) < α (10%), artinya harga riil jagung di tingkat petani berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HJRP sebesar 65.40365 artinya kenaikan harga riil jagung di tingkat petani Rp 1.00/kg mampu meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 65.40365 ton dengan asumsi ceteris paribus. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Sahara dan Gunawati, hubungan harga jagung dan permintaan kedelai menunjukkan arah yang negatif dimana jika terjadi kenaikan harga jagung maka permintaan kedelai akan menurun.

Hal ini menunjukkan bahwa komoditas jagung dan kedelai adalah barang komplementer. Misalnya dalam pembuatan tempe, biasanya produsen tempe akan mencapur kedelai dengan jagung. Jadi, jika harga jagung di tingkat petani meningkat maka petani akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produksinya untuk mendapatkan semakin banyak keuntungan dari kenaikan harga yang diterimanya. Petani juga akan meningkatkan produksi kedelai karena keduanya merupakan barang komplementer. Selain itu, dalam beberapa usahatani kedelai di beberapa jenis lahan sawah, petani biasanya menerapkan sistem tumpangsari antara kedelai dengan jagung untuk memaksimalkan areal lahan. Dengan

37 demikian, jika produksi jagung meningkat maka produksi kedelai juga akan meningkat.

Harga Benih Kedelai

Dari hasil uji-t pada pengaruh harga riil benih kedelai (HRB) terhadap produksi kedelai, diperoleh p-value (0.0000) < α (10%), artinya harga riil benih kedelai berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai. Nilai koefisien untuk parameter HRB sebesar -10.37822 artinya kenaikan harga riil benih kedelai Rp 1,00/kg mampu menurunkan produksi sebesar 10.37822ton dengan asumsi ceteris paribus. Hubungan negatif antara harga benih kedelai dengan produksi kedelai sesuai dengan hipotesis awal. Benih kedelai merupakan salah satu input yang sangat penting bagi produksi kedelai.

Oleh karena itu apabila harga benih kedelai naik maka jumlah benih yang mampu dibeli oleh petani kedelai akan berkurang dari jumlah yang sebelumnya. Dengan kata lain, meningkat harga benih kedelai akan mengurangi permintaan terhadap benih kedelai karena daya beli petani menurun. Apabila jumlah benih kedelai yang dimiliki petani lebih sedikit dari sebelumnya maka hasil produksi kedelai pun juga akan berkurang.

Impor Kedelai

Impor kedelai (IMPK) berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai nasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas IMPK sebesar 0.0528 < α (10%). Nilai koefisien IMPK sebesar -0.019163 yang artinya apabila impor kedelai meningkat sebesar 1 ton maka produksi kedelai nasional akan mengalami penurunan sebesar 0.019163 ton. Hubungan negatif yang ditunjukkan antara IMPK dan PRODK sesuai dengan hipotesis awal.

Apabila jumlah impor kedelai yang masuk ke dalam pasar dalam negeri terus meningkat, mengingat harga kedelai impor juga lebih murah, maka akan semakin banyak konsumen kedelai lokal yang akan beralih membeli kedelai impor baik untuk konsumsi langsung maupun untuk konsumsi tidak langsung. Pada kondisi demikian, kedelai lokal semakin tidak memiliki tempat di dalam pasar dalam negeri sendiri sehingga akan merugikan pihak petani kedelai. Kondisi ini akan menurunkan motivasi para petani kedelai lokal untuk berproduksi sehingga produksi kedelai nasional akan mengalami penurunan.

Dummy Subsidi Benih Kedelai

Benih memegang peran kunci dalam proses produksi kedelai. Kebijakan subsidi benih kedelai terus dilakukan oleh pemerintah setiap tahun kecuali pada tahun 2009. Subsidi benih tidak diberikan pada tahun tersebut karena harga kedelai sudah tidak tinggi lagi. Berdasarkan hasil uji-t ternyata variabel dummy subsidi benih kedelai tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi kedelai nasional yang ditunjukkan dengan p-value 0.1087 > α (10 ) .

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), subsidi benih diberikan kepada benih kedelai bersertifikat yang diproduksi oleh PT Sang Hyang Seri (SHS) dan PT Pertani (Persero). Dalam penyaluran benih bersubsidi, BUMN produsen benih yang ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri dan PT

Dokumen terkait