• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kredit pertanian merupakan salah satu kebutuhan penting bagi mayoritas petani di sejumlah negara, terutama di negara berkembang yang berbasiskan pertanian. Kelangkaan kredit pertanian dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan pendapatan petani khususnya bagi petani gurem.

Secara umum, program bantuan kredit atau modal untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu (1) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Kredit Bimas, KUT, Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), BLM, pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA); (2) Proyek bantuan asing baik yang berupa hubungan bilateral seperti Second Kennedy Round (SKR) maupun dari kerjasama multilateral seperti Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K).

Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan 1969 menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah menjadi Bimas yang Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Pada tahun 1985 Kredit Bimas diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Kredit program sektor pertanian tersebut digulirkan dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program intensifikasi padi. Namun sejak digulirkannya KUT, cakupan komoditas yang dapat dilayani menjadi lebih banyak yaitu padi, palawija dan hortikultura. Dalam perkembangannya KUT mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian mengikuti perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah (Insus, Supra Insus, IP Padi-300 dan lain-lain).

Kedua program baik Bimas/Inmas dan KUT tidak berjalan seperti yang diharapkan karena pengembalian dana mengalami kemacetan. Pemerintah mengeluarkan kredit pengganti KUT dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) pada tahun 2000. KKP berganti lagi dengan program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) pada tahun 2007. Pemerintah menyediakan pagu kredit pangan pada tahun 2008, agar lebih meningkatkan peran sektor pertanian dan energi alternatif (Ritonga et al, 2009).

Pemerintah pada tahun 2006 mengeluarkan program Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP). KPEN - RP adalah Kredit

yang diberikan dalam rangka mendukung program pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati dan Program Revitalisasi Pertanian. Usaha yang dibiayai adalah perluasan, rehabilitasi dan peremajaan tanaman kelapa sawit, karet dan kakao.

Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) merupakan fasilitas kredit yang diberikan bank kepada Pelaku Usaha Pembibitan Sapi (baik merupakan perusahaan pembibitan, koperasi, kelompok/gabungan kelompok peternak) yang melakukan Usaha Pembibitan Sapi dengan memperoleh subsidi bunga dari Pemerintah. pemerintah memprogramkan bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi dalam lima tahun. Program bantuan pengadaan satu juta ekor bibit sapi tersebut dilakukan melalui mekanisme kredit usaha pembibitan sapi terpadu.

Pemerintah selain mengeluarkan kredit program KKP-E, KKPEN-RP dan KUPS juga mengeluarkan kredit program Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR merupakan kredit yang diberikan kepada UMKM dan Koperasi yang tidak sedang menerima Kredit dari Perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima Kredit Program dari Pemerintah, pada saat permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil Sistem Informasi Debitur dikecualikan untuk jenis KPR, KKB, Kartu Kredit dan Kredit Konsumtif lainnya (Tyastika 2013).

Gambar 6 menunjukkan penyaluran kredit pertanian Bank Umum untuk periode 2007 sampai 2013 meningkat setiap tahunnya.

Sumber: Bank Indonesia, 2014

Gambar 6 Penyaluran Kredit Pertanian Bank Umum Tahun 2007-2013

Hubungan Variabel Mikroekonomi Bank Umum dan Makroekonomi Indonesia terhadap Penyaluran Kredit Pertanian oleh Bank Umum Hasil Uji Unit Root Test

Uji stasioneritas digunakan untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung dalam variabel-variabel dari data time series. Hal tersebut penting dilakukan agar tidak terjadi regresi palsu (spurious regression). Variabel yang mengandung unit root akan menghasilkan regresi palsu. Regresi palsu adalah hasil estimasi menunjukkan bahwa antar variabel memiliki hubungan, tetapi kenyataannya tidak valid.

Dalam penelitian ini untuk menguji stasioneritas menggunakan metode

Augmented Dickey Fuller test. Nilai statistik ADF darimasing-masing variabel akan menunjukkan hasil dari uji ADF. Nilai statistik ADF yang lebih kecil dari

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Kredit Pertanian 56,901 67,202 77,412 90,999 114,725 147,943 183,553 0 50,000 100,000 150,000 200,000 M il iar R u p iah Tahun

nilai kritis Mc Kinnon, maka menunjukkan data tersebut tidak memiliki unit root

(stasioner). Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini adalah 5 persen.

Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference. Hal ini dilakukan karena untuk menentukkan metode yang akan digunakan selanjutnya. Jika semua data stasioner pada level maka menggunakan metode VAR. Tabel 1 menunjukkan tidak semua data stasioner di level, sehingga data di uji kembali di

first difference. Semua variabel stasioner pada first difference setelah uji tersebut dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa metode VECM akan digunakan.

Tabel 1 Hasil Uji Stasioneritas

Variabel Level First Difference

Nilai ADF Keterangan Nilai ADF Keterangan KP 0.3557 Tidak Stasioner 0.0000* Stasioner

DPK 0.0190* Stasioner 0.0002* Stasioner

CAR 0.0255* Stasioner 0.0000* Stasioner

LDR 0.0904** Stasioner 0.0000* Stasioner

NPL 0.0643** Stasioner 0.0000* Stasioner

ROA 0.0058* Stasioner 0.0000* Stasioner

INF 0.2594 Tidak Stasioner 0.0000* Stasioner BIRATE 0.2497 Tidak Stasioner 0.0045* Stasioner

Catatan: tanda (*) menunjukkan stasioner pada taraf nyata 5 % tanda (**) menunjukkan stasioner pada taraf nyata 10 %

Hasil Uji Lag Optimum

Uji lag optimum dilakukan untuk menghindari autokorelasi pada model dan berguna menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lain. Panjang selang dicari dengan kriteria Akaike Information Criterion (AIC),

Schwarz Information Criterion (SC) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). pengujian lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria SC.

Tabel 2 Hasil Uji Lag Optimum

Lag AIC SC HQ 0 8.967808 9.211320 9.065211 1 -6.734735 -4.543125* -5.858111 2 -7.187269 -3.047561 -5.531422 3 -6.683544 -0.595738 -4.248475 4 -6.716558 1.319346 -3.502267 5 -7.176841 2.807161 -3.183328 6 -8.938467 2.993633 -4.165732 7 -12.26931* 1.610884 -6.717357*

Catatan: tanda (*) menunjukkan lag yang optimum berdasar kriteria AIC, SC dan HQ

Hasil Uji Stabilitas VAR

Uji stabilitas VAR dilakukan setelah panjang lag diketahui dari uji lag optimum. Uji stabilitas VAR perlu dilakukan untuk memastikan model yang digunakan, menghasilkan Impuls Respons Function (IRF) dan Forecasting Error Variance Decompositon (FEVD) yang valid dan konsisten. Model VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Semua model

hasi uji stabilitas VAR dalam penelitian ini sudah stabil karena nilai modulusnya lebih kecil dari satu.

Tabel 3 Hasil Uji Stabilitas

Root Modulus 0.993538 0.993538 0.968312 0.968312 0.848461 - 0.231613i 0.879506 0.848461 + 0.231613i 0.879506 0.826569 - 0.133737i 0.837319 0.826569 + 0.133737i 0.837319 0.523914 - 0.314202i 0.610908 0.523914 + 0.314202i 0.610908 -0.498715 0.498715 0.370727 - 0.320957i 0.490359 0.370727 + 0.320957i 0.490359 -0.021552 - 0.386373i 0.386974 -0.021552 + 0.386373i 0.386974 -0.257469 0.257469 0.064466 - 0.148234i 0.161645 0.064466 + 0.148234i 0.161645

Sumber : Data penelitian (diolah)

Hasil Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukkan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan selang optimal sesuai dengan pengujian sebelumnya. Variabel yang tidak stasioner di level melainkan di first difference, meningkatkan potensi adanya hubungan kointegrasi antar variabel, sehingga uji kointegrasi perlu dilakukan.

Tabel 4 menunjukkan jumlah persamaan yang terkointegrasi di dalam model. Pengujian dilakukan dengan melihat nilai estimasi trace statistic dibandingkan dengan critical value, yang dalam penelitian ini digunakan sebesar 5 persen. Persamaan terkointegrasi jika nilai trace statistic lebih besar dari critical value.

Terdapat dua persamaan terkointegrasi dalam penelitian ini. Adanya persamaan kointegrasi ini menunjukkan bahwa model estimasi VECM dapat dilakukan. Tabel 4 Hasil Uji Kointegrasi

Hypothesized

No.of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic

0.05

Critical Value Prob.** None* 0.455478 184.9107 159.5297 0.0010 At most 1* 0.416642 135.0673 125.6154 0.0117 At most 2 0.332706 90.87295 95.75366 0.1034 At most 3 0.223604 57.70199 69.81889 0.3127 At most 4 0.178713 36.94838 47.85613 0.3500 At most 5 0.152975 20.80402 29.79707 0.3700 At most 6 0.077689 7.189959 15.49471 0.5557 At most 7 0.006787 0.558427 3.841466 0.4549

Hasil Uji Granger Causality

Uji Granger Causality dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas dalam model. Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari critical value, artinya terdapat hubungan kausalitas antar variabel. Hasil uji Granger Causality dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil yang didapatkan adalah tidak ada variabel yang saling menyebabkan satu sama lain, yaitu antara variabel kredit pertanian dengan variabel lainnya. Hasil uji Granger Causality menunjukkan bahwa DPK menyebabkan kredit pertanian, kredit pertanian menyebabkan LDR, kredit pertanian menyebabkan ROA dan NPL menyebabkan kredit pertanian.

Tabel 5 Hasil Uji Granger Causality Peubah Tak

Bebas LNKP LNDPK CAR LDR ROA NPLP BIRATE INF

Peubah Bebas LNKP LNDPK CAR LDR ROA NPLP BIRATE INF

Catatan : tanda panah ( ) menunjukkan variabel yang diteliti

Hasil Estimasi VECM

Hasil estimasi VECM dari variabel kinerja mikroekonomi Bank Umum dan makroekonomi dapat dilihat pada Tabel 6. Suatu variabel dikatakan berpengaruh (signifikan) terhadap penyaluran kredit pertanian, apabila t-statistik lebih dari 1.96 pada taraf nyata 5 %.

Tabel 6 Hasil Estimasi VECM

Variabel Koefisien t-statistik

Jangka Pendek D(LNKP(-1)) 0.037183 [0.28027] D(LNDPK(-1)) -0.319069 [-0.76320] D(CAR(-1)) -0.009842 [-1.39006] D(LDR(-1)) -0.010651 [-1.54645] D(ROA(-1)) -0.021888 [-0.82524] D(NPLP(-1)) 0.013806 [1.10670] D(BIRATE(-1)) -0.011313 [-0.48189] D(INF(-1)) -0.008103 [-1.15511] C 0.024984* [3.53477] CointEq1 -0.110354* [-4.27424]

Tabel 6 Hasil Estimasi VECM (lanjutan)

Variabel Koefisien t-statistik

Jangka Panjang LNDPK(-1) -1.231984* [ 2.89722] CAR(-1) 0.082042* [-2.85340] LDR(-1) 0.092884* [-5.55003] ROA(-1) 0.910859* [-5.85058] NPLP(-1) 0.087745* [-2.12845] BIRATE(-1) -0.352199* [ 4.93115] INF(-1) 0.086381* [-3.96643] C 19.75013 -

Catatan: tanda (*) cetak tebal menunjukkan signifikan pada taraf nyata 5 %

Hasil estimasi dari Tabel 6 menunjukkan pengaruh dari variabel-variabel yang mempengaruhi penyaluran kredit pertanian Bank Umum pada jangka pendek dan jangka panjang. Dapat dilihat bahwa pada jangka pendek tidak ada satu variabel pun yang signifikan terhadap kredit pertanian. Hal ini terjadi karena suatu variabel bereaksi terhadap variabel lainnya membutuhkan waktu (lag) dan pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Pada Bank Umum terbukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yang ditunjukkan dengan kointergrasi kesalahan ((CointEq1(-0.110354)) yang signifikan dan benilai negatif. Sedangkan penyaluran kredit pertanian Bank Umum secara signifikan pada jangka panjang dipengaruhi oleh semua variabel yaitu DPK, CAR, LDR, ROA, NPL pertanian, BIRATE dan inflasi.

Variabel DPK secara signifikan berpengaruh negatif dalam jangka panjang terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada DPK akan menurunkan proporsi kredit pertanian sebesar 1.231984%. Meskipun berbeda dengan hipotesis, tetapi fenomena ini dapat dijelaskan dengan kondisi riil yang ada pada saat ini, dimana struktur DPK Bank Umum lebih didominasi oleh tabungan dan deposito yang sifatnya jangka pendek. Sementara, kredit pertanian sifatnya jangka panjang, sehingga Bank Umum lebih cenderung menyalurkan peningkatan DPK-nya pada kredit yang lebih cepat mendatangkan hasil bagi Bank Umum. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi kredit pertaniannya yang hanya 5 persen dari total kredit Bank Umum.

Variabel CAR secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka panjang terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada CAR akan menaikkan proporsi kredit pertanian sebesar 0.082042%. Hasil pengujian itu juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Meydianawathi (2006). CAR yang tinggi mencerminkan stabilnya jumlah modal dan rendahnya risiko yang dimiliki oleh bank sehingga memungkinkan bank untuk bisa lebih banyak menyalurkan kreditnya. CAR yang tinggi memungkinkan bank memiliki modal yang cukup namun belum diikuti pengmanfaatan modal ke dalam aktiva yang menguntungkan. Sehingga hal tersebut memungkinkan bank menyalurkan modalnya ke dalam aktiva berbentuk kredit dan mengurangi adanya

idle fund.

Variabel LDR secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka panjang terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Ketika terjadi kenaikan sebesar

1% pada LDR akan menaikkan proporsi kredit pertanian sebesar 0.092884%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa tingginya kredit pertanian yang disalurkan mengakibatkan pendapatan bunga yang akan diterima dari kredit pertanian meningkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi LDR menunjukkan semakin riskan kondisi likuiditas bank. Jika presentase penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga berada antara 80% -110%, maka bank tersebut dapat dikatakan mempunyai tingkat profitabilitas yang baik. Semakin tinggi LDR menunjukkan semakin besar pula DPK yang dipergunakan untuk penyaluran kredit, yang berarti bank telah mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik.

Variabel ROA secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka panjang terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada ROA akan menaikkan proporsi kredit pertanian sebesar 0.910859%. Hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa ROA yang mencerminkan tingkat keuntungan yang dicapai Bank Umum, jika mengalami peningkatan akan mendorong penyaluran kredit pertanian dalam jangka panjang, begitu sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa laba mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Laba yang diperoleh Bank Umum selain berpengaruh pada penyaluran kredit pertanian, juga digunakan untuk memenuhi hak stakeholoders. Ketika terjadi penurunan laba, hak stakeholders akan menjadi pertimbangan Bank Umum sebelum menyalurkannya ke sektor riil.

Variabel NPL pertanian secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka panjang terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada NPL pertanian akan menaikkan proporsi kredit pertanian sebesar 0.087745%. Hal ini berlawanan dengan hipotesis awal yang dibuat. Kondisi ini dapat dijelaskan oleh kebijakan perbankan yang justru melakukan peningkatan jumlah pinjaman terhadap dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank, yaitu berdasarkan data kredit pertanian dan total kredit Bank Umum periode 2007-2013, setiap tahunnya meningkat. Tanda NPL pertanian yang positif juga dapat dipengaruhi faktor lain seperti suku bunga kredit dan inflasi. Meskipun efek kenaikan suku bunga kredit secara teoritis langsung berpengaruh pada kemampuan membayar kembali debitur dan berpotensi meningkatkan kredit bermasalah (NPL). Hal ini disebabkan oleh karena data yang digunakan dalam penelitian terlalu pendek (n=84), sehingga kemungkinan besar tidak mampu menerangkan hubungan antara NPL pertanian dan penyaluran kredit pertanian secara lebih nyata.

Suku bunga BI signifikan berpengaruh terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum dalam jangka panjang secara negatif. Hasil ini menunjukkan bahwa penyaluran kredit pertanian Bank Umum responsif terhadap suku bunga BI. Bank Umum cenderung menempatkan dananya di BI dalam bentuk SBI daripada disalurkan ke sektor riil ketika suku bunga BI meningkat. Dana yang tersimpan di BI menjanjikan tingkat pengembalian yang tinggi dengan risiko yang relatif rendah. Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan sektor riil yang pada dasarnya mempunyai risiko yang lebih tinggi. Sebaliknya, ketika suku bunga BI menurun, maka penyaluran kredit ke sektor pertanian akan meningkat.

Inflasi signifikan berpengaruh terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum dalam jangka panjang secara positif. Ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada inflasi akan menaikkan proporsi kredit pertanian 0.086381%. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang dibuat yaitu inflasi berhubungan negatif

dengan penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia relatif meningkat sehingga harga kebutuhan pokok juga akan meningkat. Sedangkan sebagian besar petani di Indonesia mempunyai skala usaha yang kecil dan karakteristik petani Indonesia hanyalah sebagai penggarap lahan atau ladang. Maka dari itu untuk memenuhi kecukupan hidupnya petani akan tetap terus menggarap lahan (bercocok tanam) meskipun biaya produksi meningkat. Dengan kondisi seperti itu petani membutuhkan modal dana yaitu pinjaman kredit dari bank meskipun suku bunga yang akan diberikan tinggi akibat dampak inflasi, petani akan tetap meminta kredit dari bank.

Hasil Impuls Respons Function (IRF)

Analisis IRF menjelaskan perbandingan respon kredit pertanian jika terjadi guncangan pada variabel lainnya. Guncangan yang terjadi pada suatu variabel biasanya tidak hanya ditransmisikan pada variabel itu sendiri tapi juga terhadap variabel lain. IRF pada panelitian ini dapat digunakan untuk mengukur pengaruh suatu guncangan pada suatu waktu kepada kredit pertanian pada saat tersebut dan di masa yang akan datang.

Gambar 7a menunjukkan guncangan DPK terhadap kredit pertanian. Guncangan DPK pada periode pertama belum di respon oleh kredit pertanian. Periode ketiga, guncangan DPK direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar - 0.012529 %. Pada periode empat respon negatif berkurang menjadi -0.011336 %. Saat terjadi guncangan DPK, kredit pertanian menurun dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-15, yaitu sebesar - 0.013262 % dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

Gambar 7b menunjukkan guncangan CAR terhadap kredit pertanian. Guncangan CAR pada periode pertama belum di respon oleh kredit pertanian. Mulai periode kedua guncangan CAR direspon positif oleh kredit pertanian sebesar 0.001932 %. Saat terjadi guncangan CAR, kredit pertanian meningkat dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-15, yaitu sebesar 0.007518 % dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

a b

Gambar 7 Respon Kredit Pertanian akibat Guncangan DPK dan CAR

Gambar 8a menunjukkan guncangan LDR terhadap kredit pertanian. Guncangan LDR pada periode pertama belum di respon oleh kredit pertanian. Periode kedua, guncangan LDR direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar -

0.002565 %. Mulai periode empat respon negatif berangsur berkurang menjadi respon positif. Saat terjadi guncangan LDR, kredit pertanian meningkat dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-18, yaitu sebesar 0.005600 % dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

Gambar 8b menunjukkan saat terjadi guncangan ROA, kredit pertanian meningkat dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-14, yaitu sebesar 0.019902% dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

a b

Gambar 8 Respon Kredit Pertanian akibat Guncangan LDR dan ROA

Gambar 9a menunjukkan guncangan NPL pertanian terhadap kredit pertanian. Guncangan NPL pertanian pada periode pertama belum di respon oleh kredit pertanian. Periode kedua, guncangan NPL pertanian direspon positif oleh kredit pertanian sebesar 0.006249 %. Mulai periode ketiga respon positif berkurang sebesar 0.004693 % namun masih berada pada respon positif. Saat terjadi guncangan NPL pertanian, kredit pertanian meningkat dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-20, yaitu sebesar 0.002719 % dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

Gambar 9b menunjukkan guncangan suku bunga Bank Indonesia terhadap kredit pertanian. Guncangan suku bunga Bank Indonesia pada periode pertama belum di respon oleh kredit pertanian. Periode kedua, guncangan suku bunga Bank Indonesia direspon negatif oleh kredit pertanian sebesar -0.005608 %. Saat terjadi guncangan suku bunga Bank Indonesia (BI rate), kredit pertanian menurun dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-17, yaitu sebesar -0.005992 % dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

a b

Gambar 10 menunjukkan saat terjadi guncangan inflasi, kredit pertanian meningkat dalam jangka panjang. Responnya akan mencapai kestabilan pada periode ke-20, yaitu sebesar 0.009306% dari nilai awal sebelum terjadi guncangan.

Gambar 10 Respon Kredit Pertanian akibat Guncangan Inflasi

Hasil IRF menunjukkan bahwa guncangan terhadap variabel kinerja mikroekonomi Bank Umum dan makroekonomi Indonesia dapat menyebabkan kredit pertanian menurun ataupun meningkat. Guncangan CAR, LDR, ROA, NPL dan inflasi akan menyebabkan peningkatan kredit pertanian Bank Umum dalam jangka panjang. Guncangan DPK dan suku bunga Bank Indonesia akan menyebabkan penurunan kredit pertanian dalam jangka panjang. Guncangan semua variabel terhadap kredit pertanian Bank Umum memberikan pengaruh yang permanen karena waktu yang dibutuhkan untuk stabil lebih dari 12 bulan.

Hasil Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD)

Gambar 11 menjelaskan Variance Decomposition yang memberikan proporsi pada fluktuasi pembiayaan pertanian. Periode pertama keragaman fluktuasi kredit pertanian didominasi oleh kredit pertanian itu sendiri sebesar 100 persen. Hal tersebut terus berlanjut sampai akhir periode namun dengan proporsi yang terus menurun.

Keragaman mulai terlihat pada periode kedua dengan persentase variabel DPK memberikan keragaman terhadap kredit pertanian yaitu sebesar 4.3%. Hal tersebut diikuti oleh variabel ROA sebesar 5%, LDR sebesar 0.35%, dan CAR sebesar 0.2%, NPL pertanian sebesar 2%. Adapun juga variabel suku bunga BI dan inflasi yang turut berkontribusi masing-masing sebesar 2% dan 0,02%.

Memasuki periode akhir (periode ke-50), kontribusi masing-masing variabel mengalami perubahan terhadap keragaman kredit pertanian. Dapat ditunjukkan pada periode akhir pengaruh kredit pertanian terhadap kredit pertanian itu sendiri semakin menurun menjadi 86%. Variabel DPK mengalami peningkatan menjadi 13%. Lalu diikuti variabel ROA menjadi 29%, CAR sebesar 4%, LDR sebesar 2%, BI rate sebesar 3% dan inflasi sebesar 6%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa CAR, LDR, DPK, ROA, BI rate dan inflasi merupakan variabel yang menyebabkan perubahan penyaluran kredit pertanian di masa yang akan datang. Variabel seperti NPL pertanian memiliki kontribusi yang menurun terhadap

.000 .002 .004 .006 .008 .010 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Response of LNKP to Cholesky One S.D. INF Innovation

keragaman kredit pertanian sampai akhir periode yaitu turun menjadi 0.67%. Hal tersebut menunjukkan NPL pertanian bukan faktor utama penyebab perubahan penyaluran kredit pertanian di masa yang akan datang.

Gambar 11 Variance Decomposition Kredit Pertanian (%)

Penjelasan Secara Keseluruhan

Indonesia dengan jumlah penduduk yang tinggi merupakan negara agraris yang rakyatnya sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Kondisi sumberdaya yang potensial seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Bank Umum untuk menentukan alokasi dana tersalur dengan harapan tingkat pengembalian dana yang sesuai. Dalam ruang lingkup penelitian ini, Bank Umum sebagai lembaga keuangan dapat berperan melalui penyaluran kredit untuk sektor pertanian dengan proporsi yang lebih besar daripada sektor lain.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh dari keadaan kinerja mikroekonomi Bank Umum dan makroekonomi Indonesia tidak seluruhnya berpengaruh terhadap penyaluran kredit pertanian Bank Umum. Pengaruh dari seluruh variabel yang signifikan memengaruhi penyaluran kredit pertanian Bank Umum, mengarah kepada faktor dorongan untuk meningkatkan laba. Variabel kecukupan modal Bank Umum disalurkan untuk kegiatan usaha lain di luar pertanian, yang memberikan imbal hasil lebih pasti.

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini jumlah kredit pertanian Bank Umum setiap tahun meningkat untuk periode 2007 sampai 2013. Peningkatan kredit pertanian Bank Umum tersebut ternyata jika dilihat proporsinya dari total kredit, masih terbilang sangat kecil. Proporsi kredit pertanian dari total kredit tersalur pada tahun 2007 sebesar 5.67%. Tahun 2008 sebesar 5.14%. Tahun 2009 sebesar 5.38%. Tahun 2010 sebesar 5.15%. Tahun 2011 sebesar 5.21%. Tahun 2012 sebesar 5.46% dan tahun 2013 sebesar 5.57%. Rata-rata proporsi kredit pertanian terhadap total kredit tersalur untuk periode 2007 sampai 2013 sebesar 5.37%. 0 20 40 60 80 100 120 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49

Variance Decomposition of LNKP

Perkembangan Bank Umum dalam menyalurkan kredit pertanian berdasar

Dokumen terkait