• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum

HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Galur Murni

+

+

+2 2

)

(

2

2 2 2 3 2 gl g

db

M

db

M

rl

(Hallauer dan Miranda 1995).

Apabila : σ2G > 2 σσ2G : keragaman genetiknya luas sedangkan σ2G ≤ 2 σσ2G : keragaman genetiknya sempit (Pinaria et al. 1995).

Nilai dugaan heritabilitas (h2) dalam arti luas adalah h2

bs = ( σ2 G / σ2

P) x 100%

= (σ2G /(σ2G+ σ2GxE / l + σ2e / rl)) x 100%. Standar deviasi heritabilitas adalah

σ(h2) = (σσ2G /(σ2G+ σ2GxE / l + σ2e / rl)) (Hallauer dan Miranda 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Galur Murni

Dari hasil analisis ragam gabungan untuk populasi galur murni pada dua lokasi terlihat bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit

antraknosa semua isolat; lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01. Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa hanya pada isolat BGR 027 (Tabel 34).

Tabel 34. Analisis Ragam Ketahanan Tujuh Cabai Galur Murni terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 di Dua Lokasi Kuadrat Tengah Sumber Keragaman db Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 Isolat MJK 01 Isolat PSG 07 Lokasi 1 0.016 ns 1.095 ** 1.543 ** 0.086 ns Ulangan (Lokasi) 4 0.063 ns 0.059 * 0.362 ** 0.141 ** Genotipe 6 0.147 ** 0.090 ** 0.073 * 0.108 * Genotipe x Lokasi 6 0.017 ns 0.142 ** 0.045 ns 0.027 ns Galat 24 0.024 0.019 0.022 0.030

Hasil ini menunjukkan bahwa pada populasi ini, tingkat ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01 sangat dipengaruhi oleh lokasi dan genotipe. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh pengaruh genotipe dan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan. Sementara itu, tingkat ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan MJK PSG 07 hanya dipengaruhi oleh genotipe. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh genotipe merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh pengaruh lokasi dan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan (Tabel 34).

C-2 mempunyai ketahanan yang sangat baik terhadap antraknosa isolat BGR 027 pada lokasi Situ Gede, sebaliknya genotipe ini mempunyai ketahanan yang kurang baik pada lokasi Tajur. Secara umum, genotipe-genotipe cabai yang ditanam di lokasi Situ Gede mempunyai ketahanan terhadap antraknosa isolat BGR 027 yang lebih baik dibandingkan jika ditanam pada lokasi Tajur (Tabel 35). Ketahanan masing-masing genotipe terhadap antraknosa isolat PYK 04, MJK 01 dan PSG 07 di dua lokasi disajikan pada Lampiran 12, 13 dan 14.

Tabel 35. Ketahanan*) Tujuh Cabai Galur Murni terhadap Penyakit Antraknosa Isolat BGR 027 di Dua Lokasi

Situ Gede Tajur

Genotipe

Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria

C-2 0.933 ST 0.067 SR C-4 0.617 M 0.367 R C-5 0.533 R 0.033 SR C-7 0.333 R 0.262 R C-9 0.217 SR 0.311 R C-18 0.733 M 0.400 R C-19 0.533 R 0.200 SR

Keterangan: *) = 1 – KP/100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat, R = rentan, SR = sangat rentan

Populasi Hibrida

Dari hasil analisis ragam gabungan pada populasi hibrida terlihat bahwa lokasi, genotipe dan interaksi genotipe x lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07. Sementara itu, interaksi genetik x lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01 (Tabel 36). Hal tersebut memungkinkan dilakukan analisis AMMI untuk ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa isolat PYK O4 dan PSG 07.

Tabel 36. Analisis Ragam Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 di Tiga Lokasi Kuadrat Tengah Sumber Keragaman db Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 Isolat MJK 01 Isolat PSG 07 Lokasi 2 0.804 ** 4.857 ** 1.576 ** 0.658 ** Ulangan (lokasi) 6 0.250 ** 0.134 ** 0.077 * 0.051 ns Genotipe 15 0.073 ** 0.040 ** 0.037 ns 0.088 ** Genotipe x Lokasi 30 0.045 * 0.021 ns 0.042 ns 0.070 ** Galat 90 0.025 0.015 0.03 0.031

Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07 sangat dipengaruhi oleh faktor lokasi, genotipe dan interaksi antara genotipe dan lokasi. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang

diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh pengaruh genotipe dan pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan (Tabel 36). Dengan demikian tingkat ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07 akan sangat tergantung pada kondisi lingkungan dimana cabai tersebut ditanam, juga ditentukan oleh jenis genotipe yang ditanam.

Tabel 37. Ketahanan*) 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04 di Tiga Lokasi

Ciherang Leuwikopo Tajur

Genotipe Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria

IPB CH-1 0.667 M 0.423 R 0.433 R IPB CH-2 0.717 M 0.333 R 0.567 R IPB CH-3 0.567 R 0.337 R 0.433 R IPB CH-4 0.683 M 0.617 M 0.300 R IPB CH-5 0.433 R 0.377 R 0.033 SR IPB CH-6 0.483 R 0.227 SR 0.333 R IPB CH-19 0.500 R 0.470 R 0.500 R IPB CH-25 0.633 M 0.353 R 0.467 R IPB CH-28 0.600 M 0.240 SR 0.433 R IPB CH-50 0.467 R 0.183 SR 0.467 R IPB CH-51 0.317 R 0.000 SR 0.500 R Adipati 0.767 M 0.250 SR 0.533 R Biola 0.417 R 0.340 R 0.400 R Gada 0.533 R 0.350 R 0.433 R Hot Beauty 0.517 R 0.200 SR 0.367 R Imperial 0.867 T 0.363 R 0.433 R

Keterangan: *) = 1 – KP/100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat, R = rentan, SR = sangat rentan

Rata-rata ketahanan cabai Imperial terhadap antraknosa isolat PYK 04 relatif lebih baik dibandingkan genotipe lain yang diuji di lokasi Ciherang. Di lokasi Leuwikopo, genotipe yang paling tahan terhadap antraknosa isolat PYK 04 adalah IPB CH-4 (Tabel 37). Sementara itu, genotipe yang paling tahan terhadap antraknosa isolat PSG 07 pada lokasi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur berturut– turut adalah IPB CH-25, IPB CH-19 dan IPB CH-4 (Tabel 38). Menurut Vargas et

al. (1998) interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi

ekspresi tanaman. Ini artinya genotipe yang sama akan memberikan respon yang berbeda pada lingkungan yang berbeda. Ketahanan 16 genotipe cabai hibrida

terhadap isolat BGR 027 dan PSG 07 di tiga lokasi disajikan pada Lampiran 15 dan 16.

Tabel 38. Ketahanan*) 16 cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PSG 07 di Tiga Lokasi

Ciherang Leuwikopo Tajur

Genotipe Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria Ketahanan Kriteria

IPB CH-1 0.000 SR 0.217 SR 0.300 R IPB CH-2 0.267 SR 0.437 R 0.367 R IPB CH-3 0.300 R 0.363 R 0.300 R IPB CH-4 0.333 R 0.547 R 0.533 R IPB CH-5 0.300 R 0.223 SR 0.167 SR IPB CH-6 0.267 SR 0.800 T 0.233 SR IPB CH-19 0.200 SR 0.833 ST 0.233 SR IPB CH-25 0.500 R 0.417 R 0.333 R IPB CH-28 0.267 SR 0.243 SR 0.333 R IPB CH-50 0.267 SR 0.327 R 0.067 SR IPB CH-51 0.127 SR 0.220 SR 0.167 SR Adipati 0.067 SR 0.483 R 0.200 SR Biola 0.133 SR 0.377 R 0.133 SR Gada 0.000 SR 0.747 M 0.200 SR Hot Beauty 0.067 SR 0.290 SR 0.300 R Imperial 0.033 SR 0.257 SR 0.367 R

Keterangan: *) = 1 – KP/100. ST = sangat tahan, T = tahan, M = moderat, R = rentan, SR = sangat rentan

Hasil penguraian bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi dari data ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 diperoleh nilai singular (vektor ciri) sebagai berikut: 0.5688, 0.3608 dan 0.000. Dari nilai singular tersebut terlihat bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan untuk model AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-2. Kontribusi ragam yang dapat diterangkan oleh masing-masing KUI berturut-turut adalah 71.30% dan 28.70% Berdasarkan nilai kontribusi keragaman tersebut terlihat bahwa dua komponen menerangkan keragaman pengaruh interaksi, yaitu sebesar 100%.

Berdasarkan metode postdictive succes ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 diperoleh satu KUI yang nyata yaitu dengan nilai F sebesar 2.440 serta nilai peluang nyata sebesar 0.004 (Tabel 39). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PYK 04 dapat diterangkan dengan menggunakan model AMMI1, akan tetapi untuk memudahkan visualisasi digunakan dua komponen (AMMI2).

Tabel 39. Analisis Ragam AMMI2 16 Genotipe Cabai Hibrida Karakter Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 pada Tiga Lokasi

Sumber

Keragaman db JK KT F-Hitung Nilai P

Lokasi 2 1.610 0.800 3.220 0.112 Ulangan (Lokasi) 6 1.500 0.250 10.040 0.000 Genotipe 15 1.100 0.070 2.940 0.001 Genotipe*Lokasi 30 1.360 0.050 1.820 0.016 IAKU1 16 0.970 0.060 2.440 0.004 IAKU2 14 0.390 0.030 1.120 0.351 Galat 90 2.240 0.020 Total 143 7.810

Keterangan: IAKU = interaksi antar komponen utama

Dalam menyajikan pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lokasi maka hasil penguraian nilai singular diplotkan antara satu komponen genotipe dengan komponen lokasi secara simultan. Penyajian dalam bentuk plot yang demikian disebut biplot. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan, dan antara galur dan lingkungan. Biplot tersebut menyajikan nilai komponen utama pertama dan rataan. Biplot antara nilai komponen utama kedua dan nilai komponen utama pertama bisa ditambahkan jika komponen utama kedua tersebut nyata (Gauch 1992; Sumertajaya 1998).

Biplot AMMI2 sebagai alat visualisasi dari analisis AMMI dapat digunakan untuk melihat genotipe-genotipe stabil pada seluruh lokasi uji atau spesifik pada lokasi tertentu. Genotipe dikatakan stabil jika berada dekat dengan sumbu, sedangkan genotipe yang spesifik lokasi adalah genotipe yang berada jauh dari sumbu utama tapi letaknya berdekatan dengan garis lokasi (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Dengan demikian genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB CH-3, IPB CH-6, dan IPB CH-25. Genotipe–genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-50 dan IPB CH-51 cocok untuk lingkungan seleksi Tajur, genotipe Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-4 dan IPB CH-5 cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo (Gambar 26).

Gambar 26. Biplot Pengaruh Interaksi Model AMMI2 untuk Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

Hasil penguraian bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi dari data ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 diperoleh nilai singular (vektor ciri) sebagai berikut: 0.7156, 0.4351 dan 0.000 Dari nilai singular tersebut terlihat bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan untuk model AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-2. Kontribusi ragam yang dapat diterangkan oleh masing-masing KUI berturut-turut adalah 73.00% dan 27.00% Berdasarkan nilai kontribusi keragaman tersebut terlihat bahwa dua komponen menerangkan keragaman pengaruh interaksi, yaitu sebesar 100%.

Berdasarkan metode postdictive succes ketahanan cabai terhadap

antraknosa isolat PSG 07 diperoleh satu KUI yang nyata yaitu dengan nilai F sebesar 3.860 serta nilai peluang nyata sebesar 0.000 (Tabel 40). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa isolat PSG 07 dapat diterangkan dengan menggunakan model AMMI1, akan tetapi untuk memudahkan visualisasi digunakan dua komponen (AMMI2).

Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB CH-2. Genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-1 dan Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Tajur, genotipe IPB CH-5 dan IPB CH-25 cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-6, IPB CH-19 dan Gada cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo (Gambar 27).

Tabel 40. Analisis Ragam AMMI2 16 Genotipe Cabai Hibrida Karakter Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PSG 07 pada Tiga Lokasi

Sumber Keragaman db JK KT Hitung Nilai F- P

Lokasi 2 1.610 0.800 3.220 0.112 Ulangan (Lokasi) 6 1.500 0.250 10.040 0.000 Genotipe 15 1.100 0.070 2.940 0.001 Genotipe*Lokasi 30 1.360 0.050 1.820 0.016 IAKU1 16 1.540 0.100 3.860 0.000 IAKU2 14 0.570 0.040 1.630 0.086 IAKU3 12 2.240 0.020 Galat 90 7.810 Total 143 Keterangan: IAKU = interaksi antar komponen utama

Gambar 27. Biplot Pengaruh Interaksi Model AMMI2 untuk Ketahanan Cabai Terhadap Antraknosa Isolat PSG 07

Respon genotipe tanaman berbeda-beda terhadap lingkungan yang berbeda. Ada empat respon tanaman terhadap lingkungan yang berbeda yaitu (1) tidak responsif terhadap perubahan lingkungan, (2) toleran, (3) stabil dan (4) adaptasi tinggi. Pada penelitian ini, respon tanaman akan berbeda terhadap lingkungan yang berbeda. Sebagai contoh, IPB CH-2 sangat tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 jika ditanam di Ciherang, sangat rentan jika ditanam di Leuwikopo dan moderat jika ditanam di Tajur. Ciherang mewakili lahan sawah beririgasi, Leuwikopo mewakili lahan marjinal dan Tajur mewakili lahan subur bukan sawah. Analisis tanah disajikan padaLampiran 17.

Ragam Genetik dan Heritabilitas

Berdasarkan Tabel 41 terlihat bahwa ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 mempunyai keragaman genetik yang sempit. Hal ini disebabkan karena tetua yang digunakan untuk persilangan hibrida relatif tidak banyak.

Tabel 41. Koefisien Keragaman Genetik (KKG), Ragam Genetik (σ2G) dan Standar Deviasi Ragam Genetik (σσ2G) Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 Isolat KKG σ2 G σσ2G 2 σσ2G Kriteria PYK 04 11.082 0.002 0.048 0.096 Sempit BGR 027 10.759 0.001 0.039 0.078 Sempit MJK 01 0.00 -0.000 0.001 0.002 Sempit PSG 07 13.085 0.001 0.038 0.077 Sempit

Ragam genetik, ragam fenotip, ragam interaksi antara genetik x lokasi dan heritabilitas ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 dapat dilihat pada Tabel 42. Kisaran nilai heritabilitas adalah 0 – 45.841%. Nilai duga heritabilitas ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027 dan PSG 07 tergolong sedang. Sementara itu, nilai duga heritabilitas ketahanan cabai terhadap isolat MJK 01 tergolong rendah (nol). Nilai ragam genetik nol diestimasi dari nilai negatif (Allard 1960). Angka negatif pada ragam genetik disebabkan nilai kuadrat tengah genotipe lebih kecil daripada kuadrat tengah interaksi genotipe x lokasi. Karena nilai ragam genetik nol maka nilai heritabilitas untuk karakter tersebut juga nol.

Tabel 42. Ragam Galat (σ2e), Ragam Interaksi Genetik x Lingkungan (σ2GxE), Ragam Genetik (σ2G), Ragam Fenotipe (σ2P), Heritabilitas (h2bs) dan Standar Deviasi Heritabilitas (σ(h2bs)) Ketahanan 16 Cabai Hibrida terhadap Penyakit Antraknosa Isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 Isolat σ2e σ2GxE σ2G σ2P h2bs (%) σ(h 2 bs) Kriteria PYK 04 0.025 0.007 0.002 0.006 38.029 0.376 Sedang BGR 027 0.015 0.002 0.002 0.003 45.841 0.369 Sedang MJK 01 0.030 0.004 0.000 0.003 0.000 0.000 Rendah PSG 07 0.031 0.013 0.001 0.007 20.268 0.397 Sedang

Penanaman pada beberapa lokasi dapat menduga ragam interaksi genotipe x lingkungan, sehingga pendugaan ragam genetik akan lebih baik dibandingkan jika ditanam hanya pada satu lokasi. Akan tetapi pendugaan ragam genetik akan lebih baik lagi jika populasi uji ditanam pada minimal dua lokasi dan dua musim, sehingga interaksi genotipe x lingkungan, genotipe x musim dan genotipe x musim x lingkungan dapat dipisahkan (Baihaki 2000).

SIMPULAN

1. Pada populasi galur murni, genotipe berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa semua isolat; lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01. Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa hanya pada isolat BGR 027.

2. Lokasi, genotipe serta interaksi genotipe dengan lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan PSG 07. Sementara itu, interaksi genetik dengan lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan penyakit antraknosa isolat BGR 027 dan MJK 01.

3. Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PYK 04 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB CH-3, IPB CH-6, dan IPB CH-25. Genotipe–genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-50 dan IPB CH-51 cocok untuk lingkungan seleksi Tajur, genotipe Imperial cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-4 dan IPB CH-5 cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo.

4. Genotipe-genotipe cabai stabil pada karakter ketahanan terhadap antraknosa isolat PSG 07 di tiga lingkungan seleksi adalah genotipe IPB CH-2. Genotipe tersebut cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang, Leuwikopo dan Tajur. Genotipe IPB CH-1 dan Imperial cocok untuk

lingkungan seleksi Tajur, genotipe IPB CH-5 dan IPB CH-25 cocok untuk lingkungan seleksi Ciherang dan Genotipe IPB CH-6, IPB CH-19 dan Gada cocok untuk lingkungan seleksi Lewikopo.

5. Ketahanan cabai terhadap isolat PYK 04, BGR 027, MJK 01 dan PSG 07 mempunyai keragaman genetik yang sempit dan nilai duga heritabilitas tergolong rendah hingga sedang.

DAFTAR PUSTAKA

Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: John Willey & Sons. 485 hal.

Annicchiarico P. 2002. Genotype x environment interaction – challenges and

oppurtunities for plant breeding and cultivar recommendations. Rome: Food

and Agriculture Organization of the United Nations. 115 hal.

Baihaki A. 2000. Teknik rancang dan analisis penelitian pemuliaan [Diktat Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. 91 hal.

Gauch HG Jr, Zobel RW. 1996. AMMI analysis of yield trials. Di dalam: Kang MS, Gauch HG Jr. Editor. Genotype by environment interaction. Florida: CRC Press. hlm 85-122.

Gauch HG Jr. 1992. Statistical analysis of regional yield trials: AMMI analysis of factorial designs. Amsterdam: Elsevier science publisher C.V. 278 hal.

Gomez KA, Gomez AA. 1985. Statistical Procedures for Agricultural Research. Canada: John Willey & Sons. 680 hal.

Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative genetics in maize breeding. Ed ke-2. United States of America: Iowa State University Press, Ames.

Mattjik AA. 2005. Interaksi Genotipe dan Lingkungan dalam Penyediaan Sumberdaya Unggul [Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Biometrika]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 124 hal.

Pinaria A, Baihaki A, Setiamihardja R, Daradjat AA. 1995. Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai. Zuriat 6(2): 88-92.

Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa Publishing House. 701 hal.

Sumertajaya IM. 1998. Perbandingan model AMMI dan regresi linier untuk menerangkan pengaruh interaksi percobaan lokasi ganda [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.

Vargas M, et al.1998. Interpreting Genotype x Environment Interaction in Wheat by Partial Least Square Regression. Crop Sci 38 (3) : 379 – 689.

Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh

Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai

diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon et al. 2006) dan C.

chinense (AVRCD 1999; AVRDC 2003). Walaupun demikian, pemindahan gen

ketahanan dari spesies C. baccatum dan C. chinense ke C. annuum tidak mudah (Greenleaf 1986) dan sifat yang tidak diinginkan dari spesies tersebut sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu eksplorasi C. annuum yang mengandung gen ketahanan terhadap antraknosa terus dilakukan. AVRDC (2003) melaporkan bahwa tiga genotipe dari C. annuum diidentifikasi tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Tiga genotipe tersebut adalah PBC 1430 asal Mexico, PBC 1439 asal USA dan PBC 1478 asal Australia, disamping satu genotipe (PBC 880 asal Mexico) dari spesies C. baccatum.

Penelitian ini menggunakan spesies cabai C. annuum L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu genotipe yaitu C-15 tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. C-15 merupakan genotipe introduksi dari AVRDC dengan kode 0209-4 yang diidentifikasi tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Menurut Gniffke (2004), 0209-4 merupakan BC3F6 persilangan antara spesies C. annuum (Susan’s Joy) dengan C. chinense (PBC 932).

Dalam penelitian ini, C-15 digunakan untuk studi pewarisan ketahanan terhadap penyakit antraknosa sebagai genotipe tahan. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen resesif dengan aksi gen resesif parsial (Syukur et al. 2007). Ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Yoon et al. (2006), yang melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C. annuum (Habreno) dengan C. baccatum (PBC 81) dikendalikan oleh gen mayor dominan. Kim (2006) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C.

mayor resesif (gen sederhana resesif), sementara pada persilangan interspesifik C.

annuum dengan C. baccatum lainnya (persilangan ‘Golden-aji’ x ‘PI 594137’)

dikendalikan oleh gen mayor dominan (gen sederhana dominan). Hasil ini mengindikasikan bahwa tetua yang membawa gen yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap ketahanan antraknosa yang disebabkan oleh

C. acutatum.

Studi pewarisan sifat ketahanan pada cabai hasil persilangan interspesifik terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh berbagai spesies telah dilaporkan (selain yang dilaporkan Yoon et al. (2006)). Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. frustescens adalah dikendalikan oleh satu gen dengan aksi gen resesif (Amilin et al. 1995). Ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides pada persilangan cabai interspesifik C. annuum (Jatilaba) dengan C. chinense (CC-27) dikendalikan oleh banyak gen dengan aksi gen dominan tidak sempurna (Wusani 2004). Pakdeevaraporn (2005) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici pada persilangan cabai interspesifik C. annuum (Bangchang) dengan C. chinense (PBC 932) dikendalikan oleh satu gen resesif dengan pola 1:3 (pada F2, 1 untuk tahan; 3 untuk rentan).

Studi pewarisan menggunakan spesies yang berbeda mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah perbedaan spesies memberikan perbedaan struktur dan morfologi kromosom. Kondisi tersebut akan menghambat terjadinya homologi kromosom kedua tetua. Perbedaan genom pada persilangan interspesifik antara Capsicum annuum x C. baccatum menyebabkan ketidaknormalan dalam perpasangan pada waktu meiosis, sehingga muncul jembatan dan lagging (Gambar 25). Perbedaan ukuran yang sangat nyata antara O. sativa dengan

O. australiensis akan mengurangi peluang terbentuknya embrio hibrid (Nezu et al.

1960; Li et al. 1963; Amalliyah 1999). Kromosom O. australiensis berukuran jauh lebih besar (2-4 kali) dari kromosom O. sativa sehingga ketidakserasian kedua spesies untuk menyilang semakin tinggi. Ketidaknormalan kromosom berpasangan pada saat meiosis menyebabkan pendugaan kendali genetik suatu karakter akan menjadi bias.

A C B D A C B D

Gambar 25. Perilaku Kromosom Meiosis pada Persilangan Interspesifik

Capsicum annuum x C. baccatum. (A) Metafase I Normal, (B)

Multivalen pada Metafase I, (C) Jembatan pada Anafase I Awal, (D)

Lagging pada Telofase I (Sumber: Yoon 2003).

Sifat yang muncul dari suatu tanaman (fenotipe) merupakan hasil dari genetik dan lingkungan (Halloran et al. 1979). Ragam fenotipe (σ2P) sebenarnya terdiri dari ragam genetik (σ2

G), ragam lingkungan (σ2

E) serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan (σ2GxE). Dengan rumus matematis: σ2P = σ2G + σ2E + σ2GxE. Ragam genetik itu sendiri terdiri dari ragam genetik aditif (σ2A), ragam genetik dominan (σ2D) dan ragam genetik epistasis (σ2I); dimana σ2G = σ2A + σ2D + σ2I (Baihaki 2000; Roy 2000). Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam program pemuliaan, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan.

Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan diantara kerabat (antara tetua dengan turunannya). Ragam ini merupakan efek rata-rata gen; fungsi dari derajat dimana perubahan fenotipe, karena terjadinya seleksi. Ragam genetik dominan merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung (combining ability). Seberapa besar keragaman fenotipe akan diwariskan diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas (Poepodarsono 1988).

Berdasarkan uji skala gabungan, aksi gen yang mengendalikan ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum mengikuti model aditif-dominan. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit. Aksi gen aditif lebih berperan dibandingkan aksi gen dominan dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa. Hal ini juga didukung oleh hasil uji pengaruh aditif (D) dan dominansi (H1) serta uji interaksi gen (b) pada silang dialel. Tidak ada interaksi antar gen (epistasis) dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa.

Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hasil uji daya gabung. Daya gabung umum (DGU) berpengaruh nyata dan mempunyai nilai lebih besar daripada daya gabung khusus (DGK), yang menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa dikendalikan oleh aksi gen aditif. Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif (Sousa dan Maluf 2003; Geleta et al. 2006). Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif (Oliveira et al. 1998; Cruz et

al. 2006). Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap

ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif (dominan dan epistasis).

Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik juga dapat dilihat dari proporsi h2

ns terhadap h2

bs. Proporsi h2

ns terhadap h2

bs tergolong tinggi yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Ini menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) termasuk rendah hingga sedang. Kemajuan genetik dapat diduga dari nilai heritabilitas arti sempit dan ragam fenotipe dengan rumus ∆G = i σP h2ns , dengan ∆G adalah kemajuan genetik seleksi; i adalah intensitas seleksi; σP adalah standard deviasi fenotipe; h2ns adalah heritabilitas arti sempit.

Dokumen terkait