• Tidak ada hasil yang ditemukan

KU III................................................................................................... 46 13. Dendogram Hasil Analisis Gerombol Beberapa Genotipe Cabai

DAFTAR LAMPIRAN

B. Kelompok Berbunga Ungu

1. C. pubescens R&P Dibudidayakan Daerah Andes, dataran tinggi Amerika Tengah bagian utara hingga Meksiko

2. C. cardenasii Heiser

& Smith Liar Bolivia

3. C. eximium A.T.

Hunz Liar Bolivia, Argentina Utara

4. C. tovarii Eshbaugh,

8

Spesies liar lain yang biasa digunakan meliputi C. galapogense,

C. chacoense, C. tovarii, C. praetermissum, C. eximium, dan C. cardenasii. Di

Bolivia C. cardenasii adalah spesies yang sangat sering dipanen dari tanaman liar (Greenleaf 1986). Satu spesies liar yaitu C. lanceolatum mempunyai pusat penyebaran di Guetamala (Tong dan Bosland 1997). Klasifikasi cabai dan pusat penyebarannya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 2. Keserasian Persilangan antar Spesies Capsicum dan Fertilitas Hibrid (Greenleaf 1986)

Persilangan Keserasian Daya Hidup

Biji F1 Biji F2 Biji Backcross C. annuum x C. frutescens - - - - C. annuum x C. chinense ++ ++ ++ ++ C. annuum x C. pendulum E E + - C. annuum x C. pubescens - - - - C. frutescens x C. annuum + + + + C. frutescens x C. chinense + + + + C. frutescens x C. pendulum ++ ++ + + C. chinense x C. frutescens + + + + C. chinense x C. annuum + + + + C. chinense x C. pendulum + + - - C. chinense x C. pubescens E E - - C. pendulum x C. pubescens - - - - Keterangan: E = biji berkecambah hanya dalam kultur embrio

- = tidak ada biji yang viabel + = biji viabel hanya sedikit ++ = biji viabel banyak

Sebagian besar spesies Capsicum bersifat menyerbuk sendiri (self

pollination) tetapi penyerbukan silang (cross pollination) secara alami dapat

terjadi dengan bantuan lebah dengan persentase persilangan berkisar 7.6-36.8%. Persilangan antar spesies dapat terjadi dengan relatif mudah pada beberapa

C. pendulum; akan tetapi sangat sulit untuk kombinasi yang lain, misalkan antara C. annuum x C. frutescens, C. annuum x pubescens dan C. pendulum x pubescens

(Greenleaf 1986). Keserasian persilangan antar spesies Capsicum dan fertilitas hibrid disajikan pada Tabel 2.

Tanaman cabai mempunyai jumlah kromosom somatik diploid dengan kromosom dasar x = 12. Jumlah kromosom normal cabai adalah 2n = 2x = 24

(Berke 2000). Penyimpangan jumlah kromosom x = 13 ditemukan pada spesies

C. ciliatum asal Amerika Selatan bagian barat dan spesies liar dari Brazil, serta C. lanceolatum asal Guatemala (Tong dan Bosland 1997).

Tanaman cabai memiliki sistem perakaran yang dangkal, diawali dengan akar tunggang (akar primer) kemudian tumbuh akar rambut ke samping (akar lateral/akar sekunder). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm dan akar lateral sekitar 35-45 cm (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Akar lateral cepat berkembang di dalam tanah dan menyebar pada kedalaman 10-15 cm (Messiaen 1992).

Batang utama tegak, berkayu dan bercabang banyak dengan tinggi sekitar 45-150 cm. Pembentukan kayu pada batang utama mulai terjadi pada umur 30 hari setelah tanam (HST). Pada setiap ketiak daun akan tumbuh tunas baru yang dimulai pada umur 10 HST. Tipe percabangan tegak atau menyebar tergantung spesiesnya (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Daun-daun tumbuh pada tunas samping secara berurutan, sedangkan pada batang utama tersebut tersusun secara spiral. Cabai mempunyai tangkai daun panjang dan daun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau muda sampai hijau gelap dengan tepi rata (Kusandriani 1996a).

Bunga cabai tergolong bunga lengkap karena terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik. Kelopak bunga berjumlah enam helai berwarna kehijauan. Mahkota bunga terdiri atas 5-7, petal berwarna putih susu atau kadang-kadang ungu. Posisi bunga menggantung atau tegak, panjang bunga biasanya 0.8-1.5 cm, lebar 0.5 cm dan panjang tangkai bunga antara 3-8 cm. Tangkai putik berwarna putih, panjangnya sekitar 0.5 cm. Kepala putik berwarna kekuning-kuningan. Tangkai sari berwarna putih dengan panjang sekitar 0.5 cm.

10 Kepala sari yang belum matang berwarna biru atau ungu (Berke 2000). Dalam satu bunga terdapat satu putik dan 5-7 benang sari. Bunga cabai umumnya merupakan bunga tunggal (kecuali pada spesies tertentu berbunga ganda), terletak pada hampir setiap ruas (nodus). Bunga cabai cenderung bersifat protogyny dan tepung sari keluar dari kotak sari pada saat bunga mekar (Kusandriani 1996a).

Bunga pertama terbentuk pada umur 23-31 hari sesudah tanam (HST) dan buah pertama mulai terbentuk pada umur 29-40 HST. Buah matang dalam waktu sekitar 45 hari setelah pembuahan. Struktur buah terdiri atas kulit, daging buah dan sebuah plasenta tempat melekatnya biji. Daging buah umumnya renyah atau kadang-kadang lunak pada kultivar tertentu. Biji cabai berwarna kuning jerami (Greenleaf 1986).

Tanaman cabai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Tanah yang paling ideal untuk tanaman cabai adalah yang mengandung bahan organik sekurang-kurangnnya 1.5% dan mempunyai pH antara 6.0 – 6.5. Keadaan pH tanah sangat penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari tujuh, tanaman cabai akan menunjukkan gejala klorosis, yakni tanaman kerdil dan daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe). Sebaliknya, pada tanah yang mempunyai pH kurang dari lima, tanaman cabai juga akan kerdil, karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) atau keracunan aluminium (Al) dan mangan (Mn) (Sumarni 1996).

Suhu udara optimal untuk pertumbuhan cabai pada siang hari adalah 18o– 27oC. Suhu udara yang paling cocok untuk pertumbuhan cabai rata-rata adalah 16oC pada malam hari dan 23oC pada siang hari. Bila suhu udara malam hari di bawah 16oC dan siang hari di atas 32oC, proses pembungaan dan pembuahan tanaman cabai akan gagal. Cabai tidak menghendaki curah hujan yang tinggi atau iklim yang basah, karena pada keadaan tersebut tanaman akan mudah terserang penyakit, terutama yang disebabkan cendawan. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 600 – 1200 mm/tahun (Sumarni 1996).

Penyakit Antraknosa pada Cabai

Penyakit antraknosa merupakan kendala biologis terbesar dalam usahatani cabai, karena disamping dapat menyerang tanaman, juga dapat menyerang buah yang terbentuk, maupun setelah buah dipanen. Patogen yang menyerang buah merupakan kendala terbesar dalam peningkatan produksi cabai, karena buah dapat gugur sebelum panen atau buah menjadi busuk sebelum dan setelah panen, sehingga mengurangi produksi buah yang dapat dipasarkan. Penyakit antraknosa dapat berlanjut menyerang buah dalam penyimpanan di tingkat konsumen. Oleh karena itu penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang paling merugikan dibanding penyakit cabai lainnya.

Antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum, yang digolongkan menjadi enam spesies utama yaitu Colletotrichum gloeosporioides,

C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. coccodes (Kim et al. 1999). Dari

enam spesies tersebut, C. gloeosporioides dan C. acutatum menyebabkan

kerusakan pada buah dan kehilangan hasil paling besar (Yoon 2003).

C. gloeosporioides merupakan spesies paling dominan yang menyerang cabai di

Korea (Yoon dan Park 2001). Lebih dari 90% antraknosa yang menginfeksi cabai disebabkan oleh C. gloeosporioides. Spesies ini juga dilaporkan paling virulen dibandingkan lima spesies lainnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini spesies paling dominan yang menyerang cabai mengalami perubahan menjadi spesies

Colletotrichum lain, yaitu C. acutatum (Park 2005).

Di Indonesia, patogen antraknosa yang paling banyak dijumpai menyerang tanaman cabai adalah C. capsici (Syd and Bisb), C. gloeosporioides (Penz) Sacc. Populasi C. gloeosporioides di lapangan 5-6 kali lebih banyak daripada populasi C. capsici dan menyebabkan kerusakan lebih parah (Suryaningsih et al. 1996). Akan tetapi akhir-akhir ini spesies yang paling banyak dijumpai menyerang cabai di Indonesia adalah C. acutatum. Berdasarkan penelitian Widodo (2006, pakar penyakit tanaman, komunikasi pribadi), dari 13 isolat Colletotrichum yang dikoleksi dari Bogor, Brebes, Bandung, Pasir Sarongge, Payakumbuh dan Mojokerto, tujuh isolat yang berasal dari enam daerah tersebut merupakan C. acutatum (Tabel 3 dan Gambar 2).

12 Tabel 3. Hasil Analisis Berdasarkan Marka RAPD Menggunakan Dua Primer

Pada 13 Isolat Colletotrichum (Sumber: Widodo (2006), komunikasi pribadi)

Hasil No. Kode sampel

C. acutatum C. gloeosporioides 1 BGR 22A - - 2 BGR 027 + - 3 BDG 01 + - 4 BRB 07A + - 5 BRB 11C - - 6 BRB 16 - - 7 BRB 17 - - 8 PYK 03A1 + - 9 PYK 03A - - 10 PYK 04 + - 11 BKT 04 - - 12 PSG 07 + - 13 MJK 01 + -

Gambar 2. Pita Penanda Berdasarkan Analisis RAPD pada 13 Isolat

Colletotrichum. Keterangan: Lane 1. 100 bp DNA ladder, penanda

untuk Colletotrichum acutatum; 2. BGR 22A ; 3. BGR 027; 4.BDG 01; 5.BRB 07A; 6. BRB 11C; 7. BRB 16; 8.BRB 17; 9. PYK 03A1; 10. PYK 03A; 11. PYK 04; 12. BKT 04; 13. -; 14. PSG 07; 15. MJK 01; 16. 100 bp DNA ladder (Sumber: Widodo (2006), komunikasi pribadi).

± 490bp 500 bp

Penyakit antraknosa menimbulkan gejala busuk buah yang dicirikan oleh adanya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang berat dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun 2000). Serangan yang terjadi pada biji akan menyebabkan kegagalan biji untuk berkecambah, pada kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah (damping off) serta pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk dan infeksi lebih lanjut dapat menyebabkan busuk kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996). Gejala serangan pada buah, daun dan batang dapat dilihat pada Gambar 3.

Colletotrichum dapat bertahan baik pada biji, sebagai penyakit tular biji,

pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi maupun pada inang yang lain, diantaranya tomat. Meskipun cendawan ini mempunyai inang yang sangat banyak, ia juga dapat bertahan di dalam tanah. Infeksi cendawan ini bersifat laten mampu bertahan dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus. Aservulus dapat tumbuh dan bertahan di dalam biji dalam kurun waktu yang lama, kemudian miselium tumbuh di luar kulit biji. Miselium dan aservulus tersebut dapat tumbuh dan bertahan di dalam biji selama ± 9 bulan. Meskipun demikian, bibit yang bebas dari patogen tersebut di atas apabila ditanam pada lahan yang sudah terinfeksi, patogen masih dapat menimbulkan penyakit pada buah (Suryaningsih et al. 1996).

Bagian luar dari spora cendawan mengandung perekat yang dapat dengan mudah menempel pada sasaran infeksi lewat percikan air siraman atau air hujan. Selain itu, spora dalam keadaan tunggal dapat pula menempel pada pakaian pekerja, alat-alat pertanian atau terbawa oleh angin. Spora akan cepat berkecambah apabila menemukan inang. Gejala serangan akan tampak lima hari setelah terjadi infeksi. Kelembaban relatif udara 95% yaitu pada saat cuaca berkabut dan berembun dengan suhu udara rata-rata 32oC akan sangat membantu inisiasi infeksi dan perkembangan penyakit selanjutnya (Suryaningsih et al. 1996).

14

Gambar 3. Gejala Serangan Antraknosa. A. Gejala serangan pada daun, B. Gejala serangan pada buah matang, C. Gejala serangan pada batang, D. Gejala serangan pada buah hijau.

Colletotrichum dapat menyerang buah yang masih hijau dan dapat

menyebabkan mati pucuk. Gejala yang disebabkan oleh Colletotrichum mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap. Dalam keadaan lembab, cendawan membentuk badan buah (aservulus) dalam lingkaran-lingkaran sepusat, yang membentuk massa spora (konidium) berwarna merah jambu. Penyakit masih berkembang terus pada waktu buah cabai disimpan atau diangkut. Colletotrichum dapat menyerang daun dan batang tanpa

A B

menimbulkan kerugian berarti (Semangun 2000). Cendawan tersebut bereproduksi dengan membentuk massa konidia dalam aservulus (Gambar 4).

Gambar 4. Siklus Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum sp. (Sumber: Agrios 1997 yang dimodifikasi)

C. acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Koloni

jika dibalik berwarna oranye hingga merah muda. Konidia berbentuk silindris dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8-16.9) x 4.8 (4.0 – 5.7) μm. Temperatur optimal adalah 28oC dengan rata-rata pertumbuhan 10.3 mm/hari (AVRDC 2003). Bentuk dan ukuran konidia dapat dilihat pada Gambar 5.

16

Gambar 5. Konidia Beberapa Spesies Colletotricum. A. Konidia

C. gloeosporioides; B & C. Konidia C. acutatum; D. Konidia C. capsici (Sumber: AVRDC 2003).

Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar. Sebaliknya tanaman rentan adalah tanaman yang tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit.

Ketahanan terhadap penyakit ini dapat dikelompokkan ke dalam ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Ketahanan struktural adalah ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan struktur tanaman itu sendiri sehingga patogen tidak menyukai atau tidak dapat menyerang tanaman tersebut. Ketahanan struktural ini disebut juga ketahanan pasif atau ketahanan prainfeksi karena tanaman tidak melakukan reaksi terhadap patogen. Sementara itu, ketahanan fungsional atau ketahanan aktif adalah ketahanan yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimia tanaman sehingga perkembangan patogen dapat terhambat. Ketahanan ini disebut juga ketahanan pascainfeksi. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tanaman berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda berdasarkan umur tanaman, jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca (Agrios 1997). Oleh karena itu tampilan struktural (morfologi) tanaman ataupun aktifitas biokimia kemungkinan dapat dijadikan penanda ada tidaknya gen pengendali ketahanan.

Ketahanan tanaman cabai menghentikan serangan C. acutatum tergantung pada pertahanan pasif dan tanggapan aktif yang diinduksi oleh patogen. Dinding sel tanaman umumnya mengandung polisakarida selulosa dan non-selulosa, termasuk protein dan berperan sebagai bio-polimer protektif. Salah satu senyawa protein yang efektif sebagai barier pertahanan adalah glico-protein yang kaya hidroxiprolin. Pada beberapa tanaman ditemukan teonin yang memiliki aktivitas anti fungal dan menjadi barier pertahanan melawan cendawan patogen. Senyawa protein tersebut diproduksi atas perintah gen yang diinduksi oleh serangan cendawan patogen. Bio-polimer yang lain adalah lignin yang terbentuk melalui kondensasi fenilpropanoid alkohol dan merupakan komponen dinding sel sekunder. Lignifikasi dinding sel yang diinduksi oleh patogen umumnya merupakan produk kerja banyak gen yang terkait dengan biosintetik enzim biosíntesis lignin, misalnya cynamil alkohol dan dehidrogenase, peroxidase, dan polifenol oxidase. Calose dan β1-3 glucon diketahui terakumulasi di dinding sel tanaman setelah terjadi infeksi dan kerusakan mekanik (Huang 2001).

Salah satu senyawa kimia yang terlibat dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik yang terlibat dalam ketahanan penyakit banyak terdapat pada tanaman baik pada tanaman sehat dan juga pada tanaman sakit, tetapi sintesis atau akumulasinya dipercepat setelah infeksi adalah senyawa fenolik umum. Senyawa fenolik yang tidak terdapat pada tanaman sehat, tetapi dihasilkan setelah dirangsang oleh patogen dikenal dengan istilah fitoaleksin (Agrios 1997).

Salah satu enzim yang dapat mengoksidasi fenolik adalah peroksidase. Enzim ini dapat mengoksidase fenol menjadi kinon, yang sering lebih beracun bagi mikroorganisme dibandingkan dengan fenolnya sendiri. Peroksidase juga meningkatkan laju polimerisasi senyawa fenolik menjadi senyawa-senyawa seperti lignin, yang terdeposit dalam dinding sel dan papilla tanaman dan selanjutnya mengganggu pertumbuhan dan perkembangan patogen (Agrios 1997; Huang 2001). Peningkatan aktivitas enzim peroksidase akan meningkatkan produk toksin bagi patogen, oleh karena itu menghasilkan tingkat ketahanan lebih tinggi terhadap infeksi.

18 Suatu enzim pada tanaman gandum yang meningkat setelah diinfeksi oleh

Erysiphe graminis adalah peroksidase. Gen yang mengkode enzim peroksidase ini

telah diisolasi. Pada padi, infiltrasi Pseudomonas syringae pv. syringae pada fase bibit untuk menginduksi ketahanan sistemik terhadap Pyricularia oryzae, meningkatkan aktivitas enzim peroksidase (Huang 2001). Peningkatan aktivitas enzim peroksidase berhubungan secara nyata dengan ketahanan terhadap penyakit

greening pada tanaman jeruk (Lelyveld dan Vuuren 1988). Daun tembakau yang

mempunyai aktivitas peroksidase tinggi lebih tahan terhadap infeksi

Pseudomonas tabaci (Lovrekovich et al. 1986).

Dalam rangka mendapatkan informasi tentang karakteristik cabai yang tahan terhadap antraknosa, Tenaya et al. (2001) melaporkan adanya korelasi yang kuat antara kadar capsaicin dan fruktosa pada buah, serta aktivitas enzim peroksidase pada daun dengan ketahanan terhadap antraknosa. Kadar capsaicin dan aktivitas enzim peroksidase yang tinggi dengan kadar fruktosa rendah mengindikasikan tanaman tersebut tahan terhadap penyakit antraknosa.

Hasil penelitian Zen et al. (2002) menyebutkan bahwa tidak terdapat korelasi antara intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai dengan aktivitas enzim peroksidase pada daun fase bibit. Aktivitas enzim peroksidase yang tinggi tidak berkaitan dengan intensitas serangan penyakit yang rendah. Aktivitas peroksidase tidak dapat dipakai sebagai kriteria seleksi untuk katahanan terhadap tanaman cabai terhadap antraknosa.

Studi Pewarisan Sifat

Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa

Pada penelitian pewarisan suatu karakter, sering diperlukan analisis segregasi dari populasi yang bersegregasi (populasi F2) dengan melibatkan enam populasi yaitu dua populasi tetua, dua populasi F1 dan dua populasi silang balik (Back Cross). Asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis statistik dan analisis genetik guna melacak gen-gen pengendali karakter tersebut adalah (1) tidak ada efek lingkungan, (2) tidak ada efek dominansi antar alel, (3) tidak ada efek epistasis, (4) gen memberikan efek yang sama dan bersifat aditif untuk semua lokus, (5) tidak ada pautan gen, dan (6) tetua dalam keadaan homozigositas

lengkap dan tanaman F1 dalam keadaan heterozigositas lengkap (Burns 1976; Poehlman 1979).

Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen minor. Bila ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan sebaran diskontinu sehingga umumnya individu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi. Klasifikasi tanaman dalam populasi yang bersegregasi dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tahan (infeksi rendah) dan rentan (infeksi tinggi) (Allard 1960; Russel 1981).

Pada gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel (disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan ragam lingkungan gen-gen minor. Karena jumlah gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil, maka ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek dominan.

Ketahanan sering dikendalikan secara poligenik dan perbedaan antara tanaman tahan dengan tanaman rentan dalam populasi bersegregasi tidak jelas. Dalam hal ini, wujud penampilan ketahanan merupakan ragam kontinu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil.

Bila dalam suatu karakter kuantitatif ikut serta efek gen mayor, maka pada generasi bersegregasi akan terlihat bentuk sebaran frekuensi dengan puncak lebih dari satu (bimodal atau trimodal) (Chandraratna 1964). Bila alel-alel mempunyai arah dominasi yang sama akan terlihat adanya kemenjuluran puncak (skewness) sebaran frekuensi. Heritabilitas yang tinggi adalah manifestasi bentuk sebaran dengan puncak jamak dan kemenjuluran puncak (Sastrosumarjo 1987).

Untuk menentukan apakah ragam pada karakter tersebut disebabkan oleh faktor genetik atau oleh faktor lingkungan dilakukan pendugaan nilai heritabilitas. Heritabilitas sering juga dipakai sebagai tolok ukur kemajuan genetik yang dapat diharapkan dalam suatu program seleksi (Allard 1960). Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) (h2bs) dan heritablitas dalam arti sempit (narrow sense heritability) (h2

20 perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe (h2bs = σ2G / σ2P). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa ragam genetik terdiri dari ragam genetik aditif (σ2

A), ragam genetik dominan (σ2

D) dan ragam genetik epistasis (σ2

I). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2A / σ2P) (Baihaki 2000).

Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat (Baihaki 2000).

Pada tanaman, ada banyak metode untuk menduga nilai hiritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam; atau dengan cara langsung dari pendugaan koefisien regresi (b) dan korelasi antar klas (t). Metode yang digunakan untuk menduga nilai tersebut tergantung dari populasi yang dimiliki oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai (Baihaki 2000). Salah satu cara pendugaan nilai heritabilitas arti sempit adalah dengan pendugaan nilai ragam lingkungan yang mengikutsertakan satu set tanaman induk kedua tetua (P1 dan P2), F1 (P1 x P2), silang balik BCP1 (F1 x P1), silang balik BCP2 (F1 x P2) dan F2 (F1 x F1) (Warner 1952).

Pada analisis genetik biometrik penelusuran dan pelacakan sifat, perilaku, struktur dan kuantitas gen pengendali karakter kuantitatif dilakukan melalui pendugaan sumbangan masing-masing komponen sumber ragam mewaris. Akan tetapi analisis tersebut hanya akan memberikan hasil yang baik bila tidak ada interaksi antara gen bukan sealel dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (Jinks 1979).

Dua macam pengujian yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah kedua sumber ragam dari interaksi tersebut ada atau tidak adalah dengan : (a) uji keskalaan (scaling test) individu (A, B, C) menurut cara Mather dan Jinks (1977) dengan menggunakan data dari populasi P1, P2, F1, B1, B2, dan F2, dan (b) uji

keskalaan gabungan (joint scaling test). Bila salah satu dari kedua pengujian tersebut dan atau keduanya menunjukkan adanya simpangan nyata dari 0, maka hal tersebut memberi petunjuk adanya efek epistasis atau interaksi genotipe x lingkungan.

Laporan tentang kendali genetik ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa masih bervariasi. Cheema et al. (1984) menyatakan bahwa ketahanan terhadap antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif. Amilin et al. (1995) menyatakan bahwa sifat ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada persilangan interspesifik antara C. annuum dengan

C. frustescens adalah dikendalikan oleh satu gen dengan aksi gen resesif. Hal

yang sama dilaporkan oleh Pakdeevaraporn et al. (2005), bahwa persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. chinense (PBC 932) mengindikasikan ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh satu gen resesif. Sementara menurut Park et al. (1990) gen ketahanan terhadap antraknosa bersifat dominan parsial dan poligenik; Sanjaya, Herison dan Suryotomo (2001) menyatakan bahwa pewarisan ketahanan terhadap antraknosa (C. gloesporioides) pada persilangan C.

annuum dan C. chinense bersifat aditif dan poligenik dengan tujuh gen yang

terlibat dalam pengendalian karakter ketahanan tersebut; Wusani (2004), ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen dominan.

Analisis Silang Dialel

Analisis persilangan dialel merupakan salah satu rancangan persilangan yang banyak sekali dipakai dalam pemuliaan tanaman. Terutama dalam hal pendugaan daya gabung umum dan daya gabung khusus dari suatu program persilangan. Persilangan dialel adalah seluruh kombinasi persilangan yang mungkin diantara sekelompok genotipe atau tetua, termasuk tetua itu sendiri lengkap dengan F1 turunannya. Tujuan dari persilangan dialel adalah untuk mengevaluasi dan menyeleksi tetua yang menghasilkan turunan terbaik. Genotipe-genotipe tersebut bisa berupa individu, klon atau galur homozigot. Untuk jumlah genotipe yang besar (populasi dasar dari banyak tetua) maka jumlah persilangan yang mungkin dilakukan sangat besar, sehingga membutuhkan ruang, biaya dan

Dokumen terkait