• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum

HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Persilangan C-15 x C-2

Sebaran Frekuensi Populasi

Berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi kedua tetua tidak tumpang tindih dan terdapat perbedaan yang nyata antara keduanya. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria tahan hingga sangat tahan, sedangkan P2 adalah tetua yang memiliki kriteria rentan hingga sangat rentan. Sebaran frekuensi populasi F1 dan F1R memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BCP1 mengarah pada tahan, populasi BCP2 mengarah pada rentan dan F2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan (Tabel 15).

Tabel 15. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

Jumlah Tanaman Skor Kriteria P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2 1 Sangat Tahan 4 0 0 0 2 0 9 2 Tahan 6 0 2 2 7 1 25 3 Moderat 0 0 5 9 9 3 74 4 Rentan 0 8 7 3 2 12 77 5 Sangat Rentan 0 2 0 0 0 4 16 Rata-rata 1.60 4.20 3.36 3.08 2.55 3.90 3.30 σ2 0.27 0.18 0.55 0.38 0.68 0.59 0.84 σ 0.52 0.42 0.74 0.62 0.83 0.77 0.82 KK (%) 32 10 22 20 32 20 28

Tabel 16. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-15 x C-2 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat BGR 027

Jumlah Tanaman Skor Kriteria P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2 1 Sangat Tahan 3 0 0 0 1 1 9 2 Tahan 1 0 2 1 2 2 22 3 Moderat 7 2 3 3 7 6 51 4 Rentan 0 6 5 4 9 7 42 5 Sangat Rentan 0 2 0 3 1 4 19 Rata-rata 2.36 3.92 3.30 3.58 3.42 3.55 3.28 σ2 0.85 0.44 0.67 1.54 0.81 1.21 1.16 σ 0.92 0.67 0.82 1.28 0.90 1.10 1.08 KK (%) 39 17 25 35 26 31 33

Gambar 15. Buah Cabai P1, P2, F1, F1R dan F2 Lima Hari Setelah Inokulasi

C. acutatum Isolat PYK 04 pada Populasi Persilangan C-15 x C-2.

Tanda panah ( ) merupakan gejala serangan antraknosa.

Sementara itu, berdasarkan skor ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat BGR 027, P1 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan, P2 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, populasi F1 dan F1R

memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi BCP1 dan populasi BCP2 mengarah pada rentan dan F2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan (Tabel 16). Penampilan P1, P2, F1, F1R dan F2 setelah diinokulasi dengan isolat BGR 027 disajikan pada Gambar 15.

Pada Tabel 18 dan 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P1 memiliki ketahanan yang tinggi dan populasi P2 memiliki ketahanan yang rendah, sementara populasi F1 mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif.

Efek Maternal

Pengujian ada tidaknya efek maternal dilakukan dengan membandingkan rata-rata skor ketahanan penyakit F1 dan F1R pada setiap isolat yang dipelajari dengan menggunakan uji beda nilai tengah (uji t) pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F1 tidak berbeda nyata dengan F1R (Tabel 17), yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan cabai terhadap

C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal. Tidak adanya efek maternal

merupakan indikasi bahwa sifat ketahanan dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti (nuclear genes).

Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat menunjukkan bahwa ragam F1 dan F1R homogen. Hal ini terlihat dari nilai Fhitung yang lebih besar daripada Ftabel pada taraf 5% (Tabel 17). Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F1 dan F1R dapat digabungkan sebagai data populasi F1.

Tabel 17. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F1 dan F1R Isolat PYK 04 dan BGR 027, Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 Populasi Isolat PYK 04 Isolat BGR 027

F1 3.36 ± 0.74 3.30 ± 0.82

F1R 3.08 ± 0.62 3.58 ± 1.28

Prob > |t| 0.279 tn 0.523 tn

Prob > |F| 0.502 tn 0.229 tn

Derajat Dominansi

Derajat dominansi diukur berdasarkan nilai tengah kedua tetua (P1 dan P2) dan F1 menggunakan rumus pendugaan nilai potensi rasio (hP) yang digunakan oleh Petr dan Frey (1966). Nilai potensi rasio skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah –0.35 dan –0.21 (Tabel 21). Hasil perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F1 berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya untuk kedua isolat disajikan pada Gambar 16 dan 17. Ini berarti bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap ekspresi gejala ringan pada tetua tahan.

P1 (Tahan)

1.60

P2 (Rentan)

4.20

MP

2.90

F1

3.36

P1 (Tahan)

1.60

P2 (Rentan)

4.20

MP

2.90

F1

3.36

Gambar 16. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

P1 (Tahan)

2.36

P2 (Rentan)

3.92

MP

3.14

F1

3.30

P1 (Tahan)

2.36

P2 (Rentan)

3.92

MP

3.14

F1

3.30

Gambar 17. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat BGR 027

Nilai hP yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 dikendalikan oleh gen resesif. Menurut Petr dan Prey (1966) nilai hP yang berada pada kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa sifat yang diamati dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial.

Jumlah Faktor Efektif

Sebaran frekuensi pada populasi F2 menunjukkan sebaran satu puncak (Gambar 18 dan 19). Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F2 yang diinokulasi dengan isolat PYK 04 dan solat BGR 027 adalah normal (P-value > 0.1, R = 0.995 untuk isolat PYK 04 dan P-value > 0.1, R = 0.999 untuk isolat BGR 027). Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil pengolahan data (Tabel 18), jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah minimal delapan untuk isolat PYK 4 dan dua untuk isolat BGR 027.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan

Gambar 18. Sebaran Frekuensi pada Populasi F2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04 0 10 20 30 40 50 60 0 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan

Gambar 19. Sebaran Frekuensi pada Populasi F2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa Isolat BGR 027

Pendugaan Komponen Genetik

Untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027, dilakukan uji skala gabungan (Mather dan Jinks 1982; Chahal dan Gosal 2003). Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 mengikuti model aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata pada uji χ2 (Tabel 18). Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit.

Nilai aksi gen aditif berturut-turut untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah -1.30 dan -0.78. Nilai negatif menunjukkan bahwa nilai tengah tetua tahan (P1) lebih kecil daripada nilai tengah tetua rentan (P2). Sementra itu, nilai aksi gen dominan berturut-turut untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 dan BGR 027 adalah 0.46 dan 0.16 (Tabel 18). Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen aditif.

Heritabilitas

Nilai duga heritabilitas arti luas (h2

bs) termasuk dalam kategori tinggi (0.54) dan sedang (0.43) berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Ini menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) termasuk sedang, yaitu 0.49 dan 0.26 berturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari proporsi h2

ns terhadap h2 bs yaitu sebesar 91.01 dan 60.47 beturut-turut untuk isolat PYK 04 dan BGR 027 (Tabel 18). Hasil ini sesuai dengan uji skala gabungan yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Menurut Falconer (1981), ragam aditif memiliki sifat dapat difiksasi melalui seleksi. Chahal dan Gosal (2003) menyatakan bahwa seleksi peubah yang dikendalikan oleh banyak gen dengan ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut. Oleh karena itu, seleksi ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dapat

dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single

seed descent (SSD).

Tabel 18. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-15 x C-2 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh C. acutatum Isolat PYK 04 dan Isolat BGR 027 Berdasarkan Skor Ketahanan

Nilai Komponen

Isolat PYK 04 Isolat BGR 027 Komponen Ragam Ragam lingkungan (σ2 E) 0.39 0.66 Ragam fenotipe (σ2 P) 0.84 1.16 Ragam genetik (σ2 G) 0.45 0.50 Ragam aditif (σ2 A) 0.41 0.30

Heritabilitas arti luas (h2bs) 0.54 0.43 Heritabilitas arti sempit (h2

ns) 0.49 0.26 (h2ns/ h2bs) x 100 91.01 60.47 Kemajuan seleksi (Gs) 0.75 0.47 Komponen Genetik m[d][h] 0.06 tn 0.31 tn Nilai tengah (m) 2.90 ± 0.32 3.14 ± 0.52 Aditif [a] -1.30 ± 0.32 -0.78 ± 0.52 Dominan [d] 0.46 ± 0.74 0.16 ± 0.97 Derajat dominansi -0.35 -0.21

Jumlah faktor efektif 8.26 1.60

Kemajuan Genetik (∆G)

Apabila seleksi telah dilakukan terhadap suatu populasi tanaman, diharapkan tanaman yang terpilih akan memberikan hasil yang lebih baik. Besarnya kenaikan hasil yang akan diperoleh dapat diperkirakan dengan menghitung kemajuan genetik. Kemajuan genetik diartikan sebagai kemajuan seleksi yang dilakukan. Dalam pendugaan kemajuan genetik, diperlukan pengenalan secara baik terhadap populasi beserta keragamannya dan pengetahuan mengenai besarnya heritabilitas (Roy 2000).

Berdasarkan ragam fenotipe dan nilai heritabilitas dapat diduga kemajuan genetik (∆G). Apabila dari populasi dasar dipilih 10% yang terbaik untuk digunakan sebagai material seleksi pada siklus berikutnya maka kemajuan genetik untuk sifat ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dan BGR 027 berturut-turut adalah 0.75 dan 0.47 (Tabel 18). Data

tersebut mengindikasikan bahwa dengan memilih 10% tanaman yang memiliki ketahanan tertinggi terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 pada populasi F2, diperoleh kemajuan seleksi sebesar 0.75. Artinya apabila dilakukan seleksi pada populasi F2 dengan skor ketahanan 3.30 maka pada generasi F3, F4 dan F5 akan diperoleh skor ketahanan berturut-turut sebesar 2.65, 1.90 dan 1.15. Pada generasi F4 diperoleh sudah skor ketahanan yang lebih baik dibandingkan tetua tahan (1.60).

Populasi Persilangan C-19 x C-15 Sebaran Frekuensi Populasi

Berdasarkan skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04, sebaran frekuensi antara kedua tetua dapat dibedakan dengan jelas. P1 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat rentan, sedangkan P2 adalah tetua yang memiliki kriteria moderat hingga sangat tahan. Sebaran frekuensi populasi F1 memperlihatkan sifat sangat rentan hingga tahan, populasi F1R memperlihatkan sifat sangat rentan hingga sangat tahan, populasi BCP1 mengarah pada rentan, populasi BCP2 mengarah pada tahan dan F2 memiliki kriteria sangat rentan hingga sangat tahan (Tabel 19).

Tabel 19. Jumlah Tanaman Cabai pada Setiap Populasi Persilangan C-19 x C-15 Berdasarkan Skor Ketahanan terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

Jumlah Tanaman Skor Kriteria P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2 1 Sangat Tahan 0 4 0 1 0 2 11 2 Tahan 0 8 1 0 0 1 23 3 Moderat 1 2 3 1 4 3 53 4 Rentan 2 0 7 7 7 3 57 5 Sangat Rentan 8 0 4 6 4 0 11 Rata-rata 4.64 1.86 3.93 4.13 4.00 2.78 3.21 σ2 0.45 0.44 0.78 1.12 0.53 1.44 1.04 σ 0.67 0.66 0.88 1.06 0.73 1.20 1.02 KK (%) 15 36 22 26 18 43 0.32

Pada Tabel 19 terlihat pula bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang cukup jauh, populasi P1 memiliki ketahanan yang rendah dan populasi P2

memiliki ketahanan yang tinggi, sementara populasi F1 dan F1R mengarah kepada tetua rentan. Dengan demikian gen pengendali ketahanan adalah resesif.

Efek Maternal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor ketahanan penyakit F1 tidak berbeda nyata dengan F1R (Tabel 20), yang dapat dilihat dari nilai probabilitas t yang lebih besar daripada 0.05. Hal ini berarti pewarisan ketahanan cabai persilangan C-19 x C-15 terhadap C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal.

Uji kehomogenan ragam menggunakan uji F pada kedua isolat menunjukkan bahwa ragam F1 dan F1R homogen. Hal ini terlihat dari nilai Fhitung yang lebih besar daripada Ftabel pada taraf 5% (Tabel 20). Dengan demikian pada analisis selanjutnya data F1 dan F1R dapat digabungkan sebagai data populasi F1.

Tabel 20. Nilai Rata-rata dan Galat Baku Skor Ketahanan Penyakit F1 dan F1R, Hasil Uji Beda Nilai Tengah dan Kehomogenan Ragam pada Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15

Populasi Skor Ketahanan

F1 3.93 ± 0.88

F1R 4.13 ± 1.06

Prob > |t| 0.443 tn

Prob > |F| 0.691 tn

Keterangan : tn = tidak nyata Derajat Dominansi

Nilai potensi rasio (hP) skor ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 adalah –0.49 (Tabel 21). Hasil perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata skor ketahanan penyakit pada populasi F1 berada di antara nilai tengah tetua tahan dan tetua rentan. Nilai hP yang berada di dalam kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 dikendalikan oleh gen resesif dengan aksi gen resesif parsial. Secara skematis posisi relatif F1 terhadap kedua tetuanya disajikan pada Gambar 20. Ini berarti

bahwa ekspresi gejala berat pada tetua rentan adalah dominan terhadap ekspresi gejala ringan pada tetua tahan.

P1 (Rentan)

4.64

P2 (Tahan)

1.86

MP

3.25

F1

3.93

P1 (Rentan)

4.64

P2 (Tahan)

1.86

MP

3.25

F1

3.93

Gambar 20. Skema Posisi Relatif Nilai Tengah F1 terhadap Kedua Tetuanya Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan 19 x C-15 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

Jumlah Faktor Efektif

Sebaran frekuensi pada populasi F2 menunjukkan sebaran satu puncak (Gambar 21). Uji normalitas menunjukkan sebaran frekuensi F2 adalah normal (P-value > 0.1, R = 0.9952). Grafik uji normalitas disajikan pada Lampiran 10. Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen. Berdasarkan hasil pengolahan data (Tabel 21), jumlah faktor efektif ketahanan terhadap antraknosa adalah enam gen.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 1 2 3 4 5 6 Skor Ketahanan

Gambar 21. Sebaran Frekuensi pada Populasi F2 Berdasarkan Skor Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 terhadap Antraknosa Isolat PYK 04

Pendugaan Komponen Genetik

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum isolat PYK 04 mengikuti model aditif dominan, yang diperlihatkan oleh model m[d][h] yang tidak berbeda nyata pada uji χ2 (Tabel 24). Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit.

Nilai aksi gen aditif untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 adalah 1.39. Sementara itu, nilai aksi gen dominan untuk ketahanan penyakit antraknosa isolat PYK 04 adalah 0.68 (Tabel 21). Aksi gen aditif lebih besar dibandingkan aksi gen dominan. Hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh aksi gen aditif.

Tabel 21. Pendugaan Parameter Genetik Ketahanan Cabai Populasi Persilangan C-19 x C-15 terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh

C. acutatum Isolat PYK 04 Berdasarkan Skor Ketahanan

Komponen Nilai Komponen Ragam Ragam lingkungan (σ2 E) 0.61 Ragam fenotipe (σ2 P) 1.04 Ragam genetik (σ2 G) 0.42 Ragam aditif (σ2 A) 0.10

Heritabilitas arti luas (h2

bs) 0.41

Heritabilitas arti sempit (h2ns) 0.10 (h2 ns/ h2 bs) x 100 23.50 Kemajuan seleksi (Gs) 0.16 Komponen Genetik m[d][h] 3.51 tn Nilai tengah (m) 3.25 ± 0.45 Aditif [a] 1.39 ± 0.44 Dominan [d] 0.68 ± 0.93 Derajat dominansi -0.49

Jumlah faktor efektif 5.97

Heritabilitas

Nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) termasuk dalam kategori sedang (0.41). Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) termasuk rendah, yaitu 0.10. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari

proporsi h2ns terhadap h2bs yaitu sebesar 23.10 (Tabel 21). Seleksi ketahanan terhadap C. acutatum dapat dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau single seed descent (SSD).

SIMPULAN

1. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh

C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen dan tidak ada efek maternal.

2. Gen pengendali ketahanan adalah resesif. Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial.

3. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa adalah aditif dan dominan, ragam aditif lebih besar dibandingkan ragam dominan.

4. Nilai heritabilitas arti luas tergolong sedang sampai tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong rendah sampai sedang.

5. Seleksi untuk perakitan cabai unggul tahan C. acutatum sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut, misalkan menggunakan metode bulk atau

single seed descent (SSD).

DAFTAR PUSTAKA

Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal.

Amilin, Setiamihardja AR, Baihaki A, Karmana MH. 1995. Pewarisan, heritabilitas dan kemajuan genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa pada persilangan Cabai Rawit dan Cabai Merah. Zuriat 6 (2) : 74-79.

[AVRDC] Asian Vegetable Research Development and Center. 1998. Off-seaon tomato, pepper and eggplant. Di dalam: AVRDC Progress Report 1998. Taiwan: AVRDC hlm 20-30.

Burns GW. 1976. The science of genetics: an introduction to heredity. Ed ke-3. New York: Macmillan Publ. Co. 564 hal.

Chahal GS, Gosal SS. 2003. Principle and procedures of plant breeding, biotechnological and conventional approaches. New Delhi: Narosa Publishing

Cheema DS, Singh DP, Rawal RD, Pande AAD. 1984. Inheritance of resistance antracnose in chilies. Capsicum News Letter 3:44.

Falconer DS. 1961. Introduction to Quantitative Genetics. Edinburgh: Oliver 7 Boyd.

Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT, Lewontin RC, Gelbart WM. 1996. An

Introduction to genetic analysis. Ed ke-6. New York: W.H. Freeman and

Company. 916 hal.

Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB. 1979. Plant Breeding. Brisbane: Australian Vice-Chancellors Committee. 225 hal.

Lande R. 1981. The minimum number of genes contributing to quantitative variation between and within populations. Genetics 99:541-553.

Mather SK, Jinks JL. 1982. Biometrical genetics. Ed ke-3. New York: Chapman and Hall. 396 hal.

Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. 2005. Inheritance of resistance to antrachnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum.

Plant Breeding 124(2) : 206-208.

Park HK, Kim BS, Lee WS. 1990. Inheritance of resistance to antracnose (Colletotrichum spp) in pepper (Capsicum annuumL.). I. Genetic analysis of antracnose resistance by diallel crossed. J Kor Soc Hort Sci 31:91-105.

Park SK. 2005. Differential interaction between pepper genotypes and

Colletorichum isolates causing anthracnose [Thesis]. Seoul: Seoul Nath. Univ.

48 hal.

Petr FC, Frey KJ. 1966. Genotypic correlation, dominance, and heritability of quantitative characters in oat. Crop Sci. 6:259-262.

Roy D. 2000. Plant breeding, analysis and exploitation of variation. New Delhi: Narosa Publishing House. 701 hal.

Sanjaya L, Herison C, Suryotomo B. 2001. Pewarisan ketahanan terhadap antraknosa pada populasi cabai hasil pesilangan interspesifik C. chinense dan

C. annuum. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI,

Yogyakarta, 23-24 Oktober 2001.

Sastrosumarjo S. 2003. Pembentukan varietas cabai tahan penyakit antraknosa dengan pendekatan metode convencional dan bioteknologi [Laporan Riset RUT VIII]. Jakarta: Kementrian Reset dan Teknologi RI LIPI. 45 hal.

Shapiro SS, Wilk MB. 1965. An analysis of variance test for normality (completed sample). Biometrica 52:591-611.

Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic

Analysis. Edisi Revisi. New Delhi: Kalyani Publishers. 304 hal.

Steel RGD, Torrie JH. 1981. Principles and procedure of statistics. A biometrical

approach. Ed ke-2. London: McGraw-Hill Intl. Book Co. 633 hal.

Strickberger MW. 1976. Genetics. Ed ke-2. New York: Mac Millan Publ. Co. 914 hal.

Warner JN. 1952. A Method of estimating heritability. Agron J 44 : 427-430. Wusani M. 2004. Pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit

antraknosa (Colletotrichum gloesporioides Penz) pada cabai (Capsicum

annuum var Jatilaba x Capsicum chinense-27). [Tesis]. Bogor: Sekolah

Pascasarjana IPB. 57 hal.

Yoon JB. 2003. Identification of genetic resources, interspecific hybridization, and inheritance analysis for breeding pepper (Capsicum annuum) resistant to anthracnose [PhD Thesis] Seoul: Seoul Natl Univ. 137 hal.

PARAMETER GENETIK KETAHANAN

Dokumen terkait