• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Sampel Karyawan SPBE

Tabel 4 memperlihatkan karakteristik perosnal responden penelitian. Sampel penelitian ini berjumlah 84 orang, 93 persen diantaranya adalah laki-laki, sisanya sebanyak 7 persen adalah perempuan. Hampir sebagian besar karyawan SPBE secara keseluruhan adalah laki-laki. Karyawan perempuan biasanya menempati posisi staf administrasi atau keuangan dengan lingkungan kerja di ruangan kantor. Hal ini berkaitan erat dengan operasi utama SPBE. Pertama, operator SPBE melakukan operasi penerimaan gas elpiji dari elpiji Transfortation Tank ke dalam tangki timbun. Kedua, operator SPBE melakukan operasi pengisian gas LPG ke dalam tabung 3 kg milik agen. Kedua operasinal ini membutuhkan kekuatan fisik dan ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Kisaran usia karyawan yang menjadi sampel penelitian ini hampir sebagian besar antara 20 – 26 tahun, sebanyak 26 persen dan 26 – 30 tahun sebanyak 36 persen. Pada rentang usia tersebut manusia memiliki kondisi fisik tubuh yang optimal untuk melakukan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, termasuk tugas-tugas operator SPBE. Rentang usia karyawan pada 31 – 35 tahun sebanyak 15 persen, rentang usia 36 – 40 tahun sebanyak 10 persen, dan rentang usia di atas 40 tahun sebanyak 12 persen.

Sebagian besar karyawan SPBE yang menjadi responden adalah belum menikah (67 persen). Sisanya, sebanyak 33 persen karyawan sudah menikah. Manajemen SPBE lebih memilih sebagian besar karyawan yang masih single karena berkaitan dengan tanggungan dan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup karyawan yang telah menikah dan yang belum menikah jauh berbeda. Fenomena ini bisa saja dikaitkan dengan tuntutan upah dan kompensasi. Karena faktanya, industri ini bersifat padat karya dengan pendapatan yang minim.

Potret tingkat pendidikian karyawan adalah sebagai berikut: SD sebanyak 4 persen, SMP sebanyak 14 persen, SMA sebanyak 75 persen, D3 sebanyak 3 persen, dan S1 sebanyak 2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kayawan SPBE memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa operator SPBE tidak dituntut memiliki kemampuan intelektual yang tinggi karena dasar kompetensi yang harus dimiliki adalah kekuatan fisik. Hal ini bisa juga dikaitkan dengan tingkat upah dan kompensasi yang harus diberikan perusahaan. Tingkat pendidikan SMA ke bawah tidak menuntut upah yang mahal.

Sebaran masa kerja karyawan didominasi oleh karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun (42 persen ), menyusul masa kerja 4 – 5 tahun (35 persen), masa kerja 2 – 3 tahun (18 persen), dan di bawah 1 tahun (6 persen). Fenomena ini sangat masuk akal mengingat program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji 3 kg sudah berlangsung selama 9 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa operasi SPBE rata-rata sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Masa kerja karyawan yang lama akan memberikan pengalaman dan kemampuan yang cukup baik sebagai operator SPBE, baik dari sisi operasi maupun dari sisi keselamatan (safety). Mereka juga sudah terbiasa melakukan pekerjaannya meskipun membutuhkan stamina dan fisik yang kuat.

Tabel 4. Profil Responden (jumlah n = 84)

Sebanyak 81 persen responden adalah karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan, sisanya sebanyak 16 persen memiliki lingkungan kerja di kantor (office). Kedua lingkungan ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Tingkat risiko kecelakaan kerja dan kelelahan kerja di lapangan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan di lingkungan kantor. Hal ini akan berdampak pada pola perilaku keselamatan kerja mereka yang berbeda pula. Oleh sebab itu, kuesioner yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini hanyalah kuesioner yang berasal dari karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan. Dilihat dari sisi jabatan, sebanyak 80 persen kuesioner adalah operator, 18 persen supervisor, dan 2 persen manajer. Dari sisi posisi, 63 persen diantaranya pada bagian produksi, 12 persen bagian mekanik, 6 persen satpam, dan 19 persen adalah bagian adimistrasi.

Potret Perilaku Keselamatan KerjaKaryawan

Hasil survei menunjukkan bahwa, dari skala 1 sampai 9, rata-rata skor perilaku keselamatan kerja atau perilaku safety karyawan SPBE yang menjadi sampel penelitian hanyalah 7.1. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah atau pilihan lain bagi mereka untuk tidak berperilaku selamat dalam bekerja atau mereka tidak 100 persen akan berperilaku seperti itu. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat SPBE adalah industri dengan tingkat risiko yang sangat tinggi.

Tabel 5. Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Karakteristik Persentase

(%) Karakteristik

Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 93 Masa Kerja ≤ 1 th 6

Perempuan 7 2 - 3 th 18

4 - 5 th 35

Usia < 20 th 1 > 5 th 42

20 - 25 th 26

26 - 30 th 36 Lingkungan Kerja Lapangan 81

31 - 35 th 15 Kantor (Office) 19

36 - 40 th 10

> 40 th 12 Jabatan Manajer 2

Supervisor 18 Status Pernikahan Belum Menikah 67 Operator 80

Sudah Menikah 33 Posisi Produksi 63 Pendidikan SD 4 Mekanik 12 SMP 14 Satpam 6 SMA 75 Administrasi 19 D3 5 S1 2 Usia (tahun) Perilaku Keselamatan Kerja Pendidikan Perilaku Keselamatan Kerja Masa Kerja (tahun) Perilaku Keselamatan Kerja Shift Kerja Perilaku Keselamatan Kerja < 20 7.0 SD 6.8 < 1 7.3 Ada shift 6.9 20-25 7.0 SMP 7.0 .1-3 6.9 Tdk ada shif 7.3 25-30 7.3 SMA 7.2 .3-5 7.1 30-35 6.7 D3 6.4 > 5 7.2 35-40 7.2 S1 7.8

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari sisi usia karyawan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia 30-35 tahun. Sedangkan rataan skor perilaku keselamatan kerja tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 25 – 30 tahun dan usia di atas 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan SD dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan S1. Dari sisi masa kerja, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja 1-3 tahun dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja dibawah 1 tahun. Terakhir, dari sisi ada tidaknya shift, karyawan dengan mekanisme kerja ada shift memiliki rataan skor perilaku keselamatan kerja lebih rendah jika dibandingkan dengan karyawan yang tidak mengenal kerja shift.

Potret Kepuasan Kerja Karyawan

Tabel 6 menunjukkan rataan skor hasil survey kepuasan kerja karyawan.

Berdasarkan Tabel 6, rataan skor kepuasan karyawan cukup rendah, yaitu 4.2 dari sekala 1 – 9. Dari sisi usia, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia di bawah 20 tahun sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 35 – 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan status pendidikan S1 memiliki rataan skor terendah, sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan D3. Dari sisi masa kerja, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja kurang dari 1 tahun, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun.

Tabel 6. Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden

Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan posisi security dan administrasi, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi produksi.

Potret Kelelahan Kerja Karyawan

Tabel 7 menunjukkan rataan skor hasil survey tingkat kelelahan karyawan. Nilai rataan skor yang semakin kecil menunjukkan tingkat kelelahan yang rendah. Sebaliknya, semakin tinggi nilai rataan skor menunjukkan tingkat kelelahan yang tinggi. Dari sisi usia terlihat bahwa semakin tua usia karyawan memiliki tingkat kelelahan yang semakin tinggi.

Usia (tahun) Kepuasan Kerja Pendidikan Kepuasan Kerja Masa Kerja (tahun) Kepuasan Kerja Posisi Pekerjaan Kepuasan Kerja < 20 4.0 SD 4.0 < 1 3.8 Produksi 4.6 20-25 4.1 SMP 4.0 .1-3 4.4 Mekanik 4.4 25-30 4.4 SMA 4.4 .3-5 4.2 Security 3.8 30-35 4.4 D3 4.6 > 5 4.5 Admin 3.8 35-40 4.3 S1 3.7 > 40 4.24.2 Rata-rata 4.2 4.2 4.2 4.2

Tabel 7. Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden

Dari sisi posisi pekerjaan, security memiliki tingkat kelelahan yang paling rendah, sedangkan bagian produksi memiliki tingkat kelelahan yang paling tingi. Dari sisi masa kerja terlihat bahwa semakin lama masa kerja karyawan cenderung memiliki tingkat kelelahan yang semakin rendah. Dari sisi lingkungan tempat bekerja, lingkungan lapang memiliki tingkat kelelahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan kantor.

Potret Iklim Keselamatan Kerja

Tabel 8 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja atau iklim safety di tempat mereka bekerja. Total rataan skor persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja adalah 7.5. Hasil yang kurang memuaskan mengingat SPBE adalah industri berisiko tinggi. Dari sisi masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun memiliki rataan skor tertinggi dan rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi Security dan terendah pada karyawan dengan posisi produksi. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan tempat bekerja di kantor (office) memiliki rataan skor lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan dengan lingkungan kerja di lapangan.

Tabel 8.Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Tabel 9 menunjukkan rataan skor masing-masing konstruk iklim keselamatan kerja. Level kompetensi terkait keselamatan kerjakaryawan memiliki rataan skor terendah, yaitu 7.3. Kompetensi keselamatan kerja karyawan berhubungan erat dengan pengalaman, pengetahuan, dan wawasan mereka terkait

Usia (tahun) Kelelahan Posisi Pekerjaan Kelelahan Masa Kerja (tahun) Kelelahan Lingkungan Kerja Kelelahan < 20 1.1 Produksi 4.9 < 1 5.7 Lapang 6.1 20-25 4.8 Mekanik 4.6 .1-3 4.7 Kantor 3.0 25-30 5.0 Security 3.8 .3-5 4.1 30-35 4.3 Admin 4.8 > 5 3.6 35-40 5.6 > 40 6.2 Rata-rata 4.5 4.5 4.5 4.5 Masa Kerja (tahun) Iklim Keselamatan Kerja Posisi Pekerjaan Iklim Keselamatan Kerja Lingkungan Kerja Iklim Keselamatan Kerja < 1 7.2 Produksi 7.1 Lapang 7.4 .1-3 7.3 Mekanik 7.3 Kantor 7.7 .3-5 7.5 Security 7.9 > 5 7.8 Admin 7.7 Rata-rata 7.5 7.5 7.5

keselamatan. Skor tersebut tidak begitu memuaskan mengingat perilaku keselamatan kerja dan upaya menciptakan iklim keselamatan kerja di tempat bekerja akan bermula dari kompetensi keselamatan dari setiap individu karyawan.

Tabel 9. Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja

Potret Kepemimpinan Keselamatan Kerja

Tabel 10 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerjaatasan mereka.

Tabel 10.Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Total rataan skor persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerja atasan mereka adalah 7.7. Dari sisi usia, karyawan dengan usia di atas 40 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.5. Sementara karyawan dengan usia di bawah 20 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.2. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan tingkat pendidikan S1 paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.4. Sementara karyawan dengan tingkat pendidikan SMP paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerjadengan rataan skor 7.3. Dari masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.0. Sementara karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.4. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan kerja di kantor lebih merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja

Usia (tahun) Kepemimpinan Safety Pendidikan Kepemimpinan Safety Masa Kerja (tahun) Kepemimpinan Safety Lingkungan Kerja Kepemimpinan Safety Posisi Pekerjaan Kepemimpinan Safety < 20 7.2 SD 7.9 < 1 7.4 Lapang 7.5 Produksi 7.6 20-25 7.4 SMP 7.3 .1-3 7.5 Kantor 7.9 Mekanik 7.6 25-30 7.5 SMA 7.5 .3-5 7.8 Security 7.8 30-35 7.9 D3 7.6 > 5 8.0 Admin 7.8 35-40 7.6 S1 8.4 > 40 8.5 Rata-rata 7.7 7.7 7.7 7.7 7.7

Konstruk IklimKeselamatan Kerja Rataan Skor

Komitmen manajemen pada keselamatan 7.9

Dukungan keselamatan dari rekan kerja 7.4

Pengawasan yang mendukung keselamatan 7.5

Partisifasi keselamatan karyawan 7.4

Tingkat kompetensi 7.3

dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di lapangan. Dari posisi pekerjaan, karyawan dengan posisi admin dan security lebih merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dibandingkan karyawan dengan posisi mekanik dan produksi.

Hubungan Krakteristik Profil Responden dan Variabel Laten Penelitian

Hasil analisi korelasi menunjukkan bahwa ada dua karakteristik profil responden yang memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel laten penelitian, yaitu ada tidak-nya mekanisme kerja shift dengan perilaku keselamatan kerja dan lamanya masa kerja karyawan dengan persepsi keselamatan kerja di lingkungan kerja.

Tabel 11. Korelasi antara Mekanisme Kerja Shifi dan Perilaku Keselamatan Kerja

Tabel 11 menunjukkan bahwa koefsien korelasi antara ada tidaknya mekanisme kerja shift dengan perilaku keselamatan kerjakaryawan adalah -0.377 signifikan pada α = 0.01. Meskipun hubungannya lemah, temuan ini mengandung pengertian bahwa perilaku keselamatan kerja karyawan akan meningkat pada SPBE yang tidak memberlakukan jam kerja shift pada karyawan. Karyawan hanya bekerja pada satu jadual kerja saja, masuk pagi sampai sore. Sebaliknya, perilaku keselamatan kerja akan menurun apabila karyawan bekerja pada dua shif kerja, misalkan shift pertama masuk pagi dan shift yang ke dua masuk siang.

Tabel 12 menunjukkan bahwa koefsien korelasi antara lamanya masa kerja dengan persepsi iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja adalah 0.248 signifikan pada α = 0.05. Meskipun hubungannya lemah, temuan ini

mengandung pengertian bahwa semakin lama masa kerja karyawan maka dia akan semakin merasakan iklim keselamatan kerjadi lingkungan tempat mereka bekerja.

Tabel 12. Korelasi antara Masa Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja

Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja

Gambar 5 menunjukkan model pengukuran perilaku keselamatan kerja karyawan. Seluruh variabel manifes memiliki nilai loading factor di atas 0.7 pada masing-masing variabel laten, hal ini menunjukkan bahwa semua indikator atau variabel manifes tersebut valid dalam merefleksikan variabel latennya (Yamin dan Kurniawan 2011). Mekanisme Kerja Shift Perilaku Keselamatan Kerja

Mekanisme Kerja Shift 1 - 0.3777**

Perilaku Keselamatan Kerja - 0.3777** 1

Masa Kerja Iklim Keselamatan Kerja

Masa Kerja 1 0.248**

Gambar 5. Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja

Keterangan masing-masing simbol variabel konsruk dan laten pada Gambar 5 ditunjukkan oleh Tabel 13. Kepemimpinan keselamatan kerja (KS) direfleksikan oleh konstruk: kepemimpinan participateing (KS8 dan KS9) dan delegating (KS10). Iklim keselamatan kerja (IS) direfleksikan oleh konstruk: komitmen manajemen pada keselamatan kerja (IS3), partisipasi keselamatan kerja dari seluruh karyawan (IS13), dan tingkat kompetensi karyawan terkait keselamatan kerja (IS14 dan IS15). Kepuasan kerja (KK) direfleksikan oleh konstruk: upah (KK1 & KK2), Pengembangan karir (KK4), dan pengawasan atasan (KK8 & KK9). Kelelahan (KL) direfleksikan oleh konstruk kelelahan mental (KL6 & KL7). Motivasi keselamatan kerja (MS) direfleksikan oleh konstruk: kebutuhan dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan selamat (MS2 & MS3), dan kesediaan atau keinginan untuk melakukan prosedur keselamatan. Perilaku keselamatan kerja (PS) direfleksikan oleh konstruk safety compliance (PS2).

Tabel 13. Variabel Laten, Konstruk, dan Nilai Loading Factor Model Pengukuran

Tabel 13 dan Tabel 14 menunjukkan kriteria evaluasi model pengukuran perilaku keselamatan kerja. Berdasarkan tabel-tabel tersebut dapat dikatakan bahwa model pengukuran perilaku keselamatan kerja yang dikembangkan dalam penelitian ini memiliki validitas dan reliabilitas yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai loading factor, composite reliability, cronbuch’s alpha, dan AVE seluruhnya diatas nilai standarnya.

Tabel 14. Composite reliability, Cronbachs Alpha, dan AVE Model Pengukuran

Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja

Gambar 6 menunjukkan model struktural perilaku keselamatan kerja karyawan. Tabel 15 menunjukkan kriteria evaluasi model struktural. Berdasarkan Tabel 15 dapat dikatakan bahwa model struktural memiliki performa validitas dan

Hasil Analisis Nilai Standar KS8 0.767 KS9 0.929 KS10 Delegating 0.792

IS3 Komitmen Manajemen

pada keselamatan 0.792

IS13 Partisifasi keselamatan

karyawan 0.905 IS14 0.806 IS15 0.792 KK1 0.72 KK2 0.743 KK4 Pengembangan karir 0.707 KK8 0.780 KK9 0.904 KL6 0.888 KL7 0.912 MS2 0.841 MS3 0.764 MS4 0.808 MS5 0.796 6 Perilaku Keselamatan Kerja (PS) PS2 safety compliance 1.000 No Variabel Laten Simbol Konstruk

Loading Factor

4 Kelelahan (KL) Kelelahan mental 0.7

1 Kepemimpinan Keselamatan Kerja (KS) Participating 0.7 2 IklimKeselamatan Kerja (IS) 0.7 Tingkat kompetensi karyawan terkait keselamatan kerja 3 Kepuasan Kerja (KK) Upah 0.7 Pengawasan atasan 5 Motivasi Keselamatan Kerja (MS) Kebutuhan dan dorongan untuk 0.7 Kesediaan atau keinginan untuk Hasil Analisis Nilai Standar Hasil Analisis Nilai Standar Hasil Analisis Nilai Standar Kepemimpina Keselamatan Kerja (KS) 0.870 0.773 0.692

Iklim Keselamatan Kerja (IS) 0.881 0.830 0.651

Kepuasan Kerja (KK) 0.881 0.849 0.599

Kelelahan (KL) 0.895 0.766 0.810

Motivasi Keselamatan Kerja (MS) 0.877 0.817 0.640 Perilaku Keselamatan Kerja (PS) 1.000 1.000 1.000

Composite Reliability Cronbachs Alpha AVE Variabel Laten

reliabilitas yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai Goodness of Fit (GoF) indeks model sebesar 0.492, lebih besar dari nilai standarnya, 0.36 (Yamin dan Kurniawan 2011). Seluruh variabel laten eksogen model telah sesuai atau baik sebagai variabel penjelas yang mampu memprediksi variabel endogennya. Hal ini terlihat dari nilai Q2predictive relevance yang lebih besar dari 0.

Gambar 6. Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja

Tabel 16 menunjukkan pengaruh satu variabel laten terhadap variabel laten lainnya yang diamati. Kolom value menunjukkan besarnya koefesien dan sifat pengaruh satu variabel terhadap variabel lainnya, apakah positif atau negatif. Sementara tingkat signifikansi pengaruh diantara dua variabel ditunjukkan oleh nilai T-statistik. Suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel lainnya jika nilai T-statistiknya lebih besar dari 2.00 (Yamin dan Kurniawan 2011).

Tabel 15. Kriteria Evaluasi Model Struktural

Berdasarkan Tabel 16 dapat dikatakan bahwa hubungan diantara dua variabel laten yang memiliki tingkat signifikansi adalah sebagai berikut: (1) motivasi keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja, (2) kepemimpinan

Hasil Analisis Nilai Standar Hasil Analisis Nilai Standar

Kepemimpinan Keselamatan Kerja

-Iklim Keselamatan Kerja 0.206 0.110

Kepuasan Kerja

-Kelelahan

-Motivasi Keselamatan Kerja 0.418 0.200

Perilaku Keselamatan Kerja 0.45 0.017

Variabel Laten R-Square

GoF Redundancy (Q2 ) > 0.00 > 0.36 dikatakan besar 0.492

safety dan iklim keselamatan kerja, (3) iklim keselamatan kerja dan motivasi keselamatan kerja, dan (4) kepemimpinan safety dan perilaku keselamatan kerja

.

Tabel 16. Nilai Path Coefficient Model

Value Sample Mean (M) Standard Deviation (STDEV) Standard Error (STERR) T Statistics (|O/STERR|) MS -> PS 0.428 0.403 0.153 0.153 2.804** KS -> MS 0.225 0.226 0.117 0.117 1.924 KK -> MS 0.139 0.133 0.148 0.148 0.937 KS -> IS 0.454 0.453 0.129 0.129 3.517** IS -> MS 0.430 0.406 0.106 0.106 4.055** KS -> PS 0.341 0.333 0.091 0.091 3.734** KL -> PS -0.104 -0.111 0.073 0.073 1.412

Pengaruh Motivasi Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Motivasi keselamatan kerja karyawan memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku kepatuhan karyawan pada prosedur keselamatan kerja. Hubungan struktural kedua variabel laten tersebut diperlihatkan pada Gambar 7 dengan nilai T-statistik sebesar 2.804. Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Grifiin dan Neal (2006). Bahkan Probst dan Brubaker (2001), menemukan bahwa motivasi keselamatan kerja memiliki efek terhadap kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja sampai 6 bulan kemudian. Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu (Winardi 2004). Perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai (Woodhworth dalam Petrl 1981) dan dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan

terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu (Hull dalam As’ad 1995).

Gambar 7. Hubungan Struktur Motivasi Keselamatan Kerja dan Perilaku Keselamatan Kerja

Maslow mengatakan bahwa keamanan atau keselamatan merupakan salah satu kebutuhan individu yang sifatnya bawaan sehingga individu tersebut akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan pada akhirnya akan berupaya melakukan segala sesuatu yang dapat membuat mereka selamat, termasuk dalam melaksanakan pekerjaan mereka di tempat kerja.

Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. Gambar 8 menunjukkan hubungan struktural diantara keduanya dengan nilai T-statistik sebesar 1.924. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Hafizah et al. (2014) yang menyatakan adanya hubungan positif antara kepemimpinan keselamatan kerja dan motivasi keselamatan kerja karyawan. Eexpectancy-Valency Theory menyebutkan bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja apabila mereka percaya bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik. Namun para manajer SPBE dengan kepemimpinan keselamatan kerja yang mereka demonstarsikan belum mampu meningkatkan motivasi para pekerja untuk berperilaku selamat dalam bekerja.

Gambar 8. Hubungan Struktur Kepemimpinan keselamatan kerjadan Motivasi Keselamatan Kerja

Fakta ini menunjukkan bahwa perilaku atau tindakan para manajer SPBE dalam mempengaruhi dan menggerakkan para pengikutnya untuk berperilaku selamat dalam bekerja hanya baru menimbulkan efek kepatuhan pada perilaku tersebut, belum menyentuh sisi motivasi para bawahannya. Mereka belum mampu membangkitkan dorongan dengan intensitas yang kuat untuk memberi arah dan membuat persisten atau perilaku yang berulang karyawan untuk berperilaku selamat dalam bekerja. Keselamatan adalah salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar dan dorongan karyawan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor lain selain perilaku keselamatan kerja pimpinannya. Tabel 16 menunjukkan bahwa motivasi keselamatan kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh iklim keselamatan kerja organisasi. Karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja yang ditunjukkan oleh para manajer mempengaruhi motivasi keselamatan kerja karyawan secara tidak langsung. Motivasi keselamatan kerja dipengaruhi oleh iklim keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja.

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan. Sikap

karyawan terhadap dimensi pekerjaan tidak menyebabkan lahirnya dorongan dan kesediaan mereka untuk melakukan perilaku selamat dalam bekerja dan seluruh perilaku yang berkaitan dengannya. Gambar 9 menunjukkan hubungan struktural diantara kedua variabel laten tersebut dengan nilai T-statistik sebesar 0.973. Hasil survey menunjukkan bahwa kepuasan karyawan SPBE sangat rendah. Dengan skala 1 sampai 9, rataan skor kepuasan karyawan hanya 4.2. Rendahnya skor tersebut menunjukkan tingkat kepuasan kerja karyawan yang rendah. Namun rendahnya tingkat kepuasan kerja tersebut tidak berpengaruh terhadap motivasi safety karyawan. Rasa aman dan selamat merupakan kebutuhan manusia yang mendasar (Maslow 1934) sehingga meskipun karyawan merasa tidak puas terhadap dimensi pekerjaan mereka tapi mereka tetap memiliki motivasi untuk memperoleh kebutuhan mendasar tersebut. Pekerja puas lebih sering adalah pekerja yang mengutamakan keselamatan, tapi pekerja yang mengutamakan keselamatan belum tentu pekerja puas (Blair dalam Kim et al. 2002).

Gambar 9. Hubungan Struktur Kepuasan Kerjadan Motivasi Keselamatan Kerja

Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Iklim Keselamatan

Dokumen terkait