• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji Di Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan Pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji Di Bogor."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

USEP FIRDAUS ANWAR HUDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

(3)

pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor. Dibimbing oleh ANGGRAINI SUKMAWATI dan I MADE SUMERTAJAYA.

Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan adalah rendahnya perilaku keselamatan kerja karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan. Beberapa variabel yang diduga memiliki pengaruh tersebut antara lain: kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja, kelelahan, dan motivasi keselamatan kerja. Hubungan kausal diantara variabel-variabel tersebut digambarkan dalam sebuah model struktural perilaku keselamatan kerja.

Populasi penelitian ini adalah seluruh karyawan SPBE di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multy stage random sampling dua tahap. Tahap pertama, Bogor dibagi menjadi empat klaster, yaitu: Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Bogor Tengah. Dari masing-masing cluster tersebut dipilih SPBE sebagai sampel secara acak. Tahap kedua, SPBE yang telah terpilih menjadi sampel penelitian dibagi menjadi dua stratifikasi berdasarkan lingkungan kerja, yaitu: lingkungan kerja kantor dan lingkungan kerja lapangan. Total sampel yang terpilih sebanyak 100 resonden dan hanya 69 yang dapat dianalisis. Metode analisis data menggunakan structural equation modelling analysis-partial least squares (SEM-PLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan safety memiliki pengaruh yang positif terhadap iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap motivasi keselamatan kerja, dan motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku keselamatan kerja.

(4)

Bulk Filling Station Bogor. Supervised by ANGGRAINI SUKMAWATI and I MADE SUMERTAJAYA.

Workplace accident rate in Indonesia is still high and it tends to increase each year. The most dominant factor causing accident is lack of worker’s safety behavior. The objective of this research is to analyze variables influencing

worker’s safety behavior both directly and indirectly. The variables cover safety leadership, safety climate, job satisfaction, fatigue and motivation of safety. The causal relation of variables was illustrated by a structural model of safety behavior.

The population of this research is all employees of Elpiji Bulk Filling S tation (SPBE) in the city and the regency of Bogor. Sampling technique used multy stage random sampling conducting in two stages. Firstly, Bogor was divided into four clusters: West Bogor, East Bogor, North Bogor and Central Bogor. SPBE as the sample were taken from each cluster by using random sampling. Secondly, all sampling SPBE were divided into two stratifications based on office and field environment. There were 69 questionnaires analyzed from 100 respondenst. The methods of analyzing the data was structural equation modeling analysis-partial least squares (SEM-PLS).

The result indicated that safety leadership had positive effect on safety

climate and worker’s safety behavior. Safety climate had positive effect on motivation of safety, and motivation of safety had positive effect on worker’s safety behavior.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(6)

USEP FIRDAUS ANWAR HUDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Qudroh dan Irodah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Mei 2015 ini adalah Manajemen Sumber Daya Manusia, dengan judul Model Perilaku Keselamatan Kerja Karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji di Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan pada Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) bersubsidi di Bogor. Hubungan kausal diantara variabel-variabel tersebut kemudian digambarkan dalam sebuah model struktural perilaku keselamatan kerja. Selain bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada bidang terkait, hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi para pengelola SPBE untuk mengurangi tingkat risiko terjadinya kecelakaan kerja dengan cara meningkatkan perilaku keselamatan kerja karyawannya, dan pada akhirnya dapat turut serta membantu mensukseskan program konversi energi pemerintah dari minyak tanah ke gas elpiji.

(9)

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Batasan Penelitian 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 4

Pendekatan Teoritis 4

Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja 4

Teori Perilaku 4

Perilaku Keselamatan Kerja 5

Motivasi Keselamatan Kerja 6

Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja 7 Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja 8

Kelelahan 9

Kepuasan Kerja 9

Uji Validitas 10

Uji Reliabilitas 11

Sructural Equation Modelling (SEM) 11 Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS) 12

Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya 14

3. METODOLOGI PENELITIAN 16

Kerangka Pemikiran penelitian 16

Kerangka Konseptual Penelitian 17

Hipotesis Penelitian 18

Tahapan Penelitian 19

Penentuan Lokasi Penelitian 20

Penentuan Data dan Sumber Data 20

Responden dan Pemilihan Responden 20

Analisis Data 21

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Profil Sampel Karyawan SPBE 21

Potret Perilaku Keselamatan KerjaKaryawan 23

Potret Kepuasan Kerja Karyawan 23

Potret Kelelahan Kerja Karyawan 24

Potret Iklim Keselamatan Kerja 25

(10)

Hubungan Karakteristik Profil Responden

dan Variabel Laten Penelitian 26

Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja 27 Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja 29 Pengaruh Motivasi Keselamatan Kerja terhadap Perilaku

Keselamatan Kerja 30

Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap Motivasi

Keselamatan Kerja 31

Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Motivasi Keselamatan Kerja 32 Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerja terhadap

Iklim Keselamatan Kerja 32

Pengaruh Iklim Keselamatan Kerja terhadap Motivasi

Keselamatan Kerja 34

Pengaruh Kepemimpinan Keselamatan Kerjaterhadap Perilaku

Keselamatan Kerja 34

Pengaruh Kelelahan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja 35

5. IMPLIKASI MANAJERIAL 36

6. KESIMPULAN DAN SARAN 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 41

DAFTAR TABEL

1 Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya 15

2 Definisi Konseptual Variabel Laten 18

3 Nilai Cronbach’s Alpha Uji Reliabilitas 21

4 Profil Responden 22

5 Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja

Masing-masing Profil Responden 23

6 Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden 24 7 Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden 24

8

Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja

Masing-masing Profil Responden 25

9 Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja 25 10 Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja

Masing-masing Profil Responden 26

11 Korelasi antara Mekanisme Kerja Shift dan Perilaku

Keselamatan Kerja 26

12 Korelasi antara Masa Kerja dan Iklim Keselamatan Kerja 27 13 Variabel Laten, Konstruk, dan Nilai Loading Factor

Model Pengukuran 28

14 Composite Reliability, Cronbachs Alpha,

dan AVE Model Pengukuran 29

15 Kriteria Evaluasi Model Struktural 30

(11)

DAFTAR GAMBAR

1 Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 1

2 Contoh Model Path PLS 13

3 Kerangka Pemikiran Penelitian 17

4 Kerangka Konseptual Penelitian 17

5 Model Pengukuran (Outer Model) Perilaku Keselamatan Kerja 27 6 Model Struktural (Inner Model) Perilaku Keselamatan Kerja 29 7 Hubungan Struktur Motivasi Keselamatan Kerjadan Perilaku

Keselamatan Kerja 31

8 Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja

dan Motivasi Keselamatan Kerja 31

9 Hubungan Struktur Kepuasan Kerjadan Motivasi

Keselamatan Kerja 32

10 Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan Kerja

dan Iklim Keselamatan Kerja 33

11 Hubungan Struktur Iklim Keselamatan Kerja dan Motivasi

Keselamatan Kerja 34

12 Hubungan Struktur Kepemimpinan Keselamatan kerja

dan Perilaku Keselamatan Kerja 35

13 Hubungan Struktur Kelelahandan Perilaku Keselamatan Kerja 35

DAFTAR LAMPIRAN

(12)
(13)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat angka kecelakaan kerja tahun 2014 mencapai 129.911 kasus dengan rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar 6.8 persen per tahun antara tahun 2007 sampai tahun 2014. Gambar 1 menunjukkan angka kecelelakaan kerja karyawan di Indonesia antara tahun 2007 sampai tahun 2014.

Gambar 1. Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 (sumber: BPJS Ketenagakerjaan 2015)

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa tahun 2013 tercatat sembilan orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja. Jumlah itu meningkat 50 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencatat enam orang meninggal setiap harinya akibat kecelakaan kerja. Internasional Labor Organization (ILO) memiliki data bahwa di Indonesia rata-rata per tahun terdapat 99.000 kasus kecelakaan kerja. Dari total jumlah itu, sekitar 70 persen mengakibatkan kematian dan cacat (Tri 2014). Jika dihitung, besarnya kerugian akibat kecelakaan kerja tersebut mencapai 283 triliun per tahun. Ini sama dengan 4 persen pendapatan domestik bruto Indonesia (Ginting 2013). Selain berdampak pada hilangnya nyawa, tingginya angka kecelakaan kerja ini juga berdampak pada menurunnya kinerja dan produktivitas perusahaan.

Faktor yang paling dominan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan kerja di industri berisiko tinggi adalah karena perilaku kerja yang tidak selamat (Astuti 2010). Hasil analisa kecelakaan di tempat kerja menunjukkan bahwa 73 persen diantaranya disebabkan faktor perilaku kerja yang tidak selamat (Ginting 2013). Hasil investigasi International Nuclear Safety Group (INSAG) dibawah naungan International Atomic Energy Agency (IAEA) tahun 1992 menyimpulkan bahwa terjadinya kecelakaan pada reaktor nuklir di Chernobyl dikarenakan lemahnya budaya keselamatan kerja, dan perilaku tidak selamat inilah yang menjadi sumber utamanya (Astuti 2010).

Penelitian ini dilakukan pada karyawan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) bersubsidi di Kabupaten dan Kota Bogor. Industri jasa pengisian gas elpiji tersebut telah menjamur hampir merata di kabupaten dan kota di seluruh provinsi di Indonesia seiring dengan digulirkannya program konversi penggunaan energi, dari minyak tanah ke gas elpiji oleh pemerintah tahun 2007. Undang-undang (UU)

83.714 94.736

96.314 98.711 99.491 103.074

103.283

129.911

(14)

Nomor 22 tahun 2001 menyebutkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian bahan bakar (minyak) yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam tataran praktis, UU tersebut diperinci dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 dan Nomor 104 Tahun 2007 yang diikuti oleh Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3175 K/IO/MEM/2007. Keputusan presiden dan menteri ESDM tersebut telah menandai babak baru penggunaan energi di Indonesia, dari minyak tanah ke gas elpiji, khususnya ukuran 3 kg. Sejak saat itu, penggunaan elpiji sebagai sumber energi, khususnya bagi kebutuhan rumah tangga, sudah merata di masyarakat.

Sifat dan karakteristik gas elpiji sangat berbahaya karena mudah terbakar, bahkan meledak jika tersulut api. SPBE merupakan perusahaan dengan lingkungan kerja berisiko tinggi (high-risk), maka kecelakaan kerja yang mungkin akan timbul akibat adanya perilaku kerja yang tidak selamat dapat berdampak lebih luas dan berbahaya jika dibandingkan kecelakaan di lingkungan kerja biasa. Kelalaian yang menyebabkan kecelekaan kerja dapat membahayakan seluruh karyawan SPBE dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Kebakaran yang terjadi pada depot elpiji milik Pertamina di Makasar pada tahun 2009 menjadi contoh mengerikannya dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan kerja yang terjadi. Selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, kebakaran tersebut juga telah mengakibatkan terganggunya suplai dan distribusi gas elpiji pada masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, penting bagi SPBE sebagai industri berisiko tinggi, melakukan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dengan cara menciptakan dan meningkatkan perilaku keselamatan kerja bagi seluruh karyawannya.

Griffin dan Neal (2006) menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan media yang menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. Motivasi keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Hafizah et al. 2014) dan kepuasan kerja karyawan (Hezberg dalam Kim et al. 2002). Sedangkan iklim keselamatan kerja dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Xuesheng dan Wenbiao 2012). Selain itu, perilaku keselamatan kerja karyawan dapat juga dipengaruhi secara langsung oleh kepemimpinan keselamatan kerja (Mullen dan Kelloway 2009) dan kelelahan kerja (El-Moneem dan Keshk 2012).

Perumusan Masalah

(15)

biasa. Selain kerugian materi dan korban jiwa, kecelakaan kerja yang terjadi di SPBE dapat mengganggu kinerja SPBE dan menyebabkan terganggunya suplai energi di masyarakat.

Penelitian ini mencoba merumuskan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku keselamatan kerja pada karyawan SPBE, baik secara lansung maupun tidak langsung dan mengembangkan sebuah model yang menggambarkan hubungan diantara faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap perilaku tersebut adalah: kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja, kepuasan kerja, motivasi keselamatan kerja dan kelalahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model perilaku keselamatan kerja karyawan pada industri berisiko tinggi dan menganalisis hubungan diantara beberapa faktor yang diduga memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya :

1. Menganalisis pengaruh motivasi keselamatan kerja karyawan terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan.

2. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap motivasi keselamatan kerjakaryawan.

3. Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan.

4. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerja terhadap iklim keselamatan kerja.

5. Menganalisis pengaruh iklim keselamatan kerja terhadap motivasi keselamatan kerja karyawan.

6. Menganalisis pengaruh kepemimpinan keselamatan kerjaterhadap perilaku keselamatan kerja karyawan.

7. Menganalisis pengaruh kelelahan terhadap perilaku keselamatan kerja karyawan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat setidaknya pada dua aspek berikut: A.Aspek Praktis

Hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat berguna bagi para pengusaha dan manajer SPBE bersubsidi untuk menyelaraskan strategi SDM dan organisasi dengan faktor-faktor yang dapat memunculkan perilaku keselamatan kerja bagi seluruh karyawannya sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang selamat.

(16)

B. Aspek Teoritis

Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan keilmuan dan menjadi dasar bagi penelitian-penelitian pada bidang terkait berikutnya.

Batasan Penelitian

Batasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi dan tidak berlaku pada karyawan diluar organisasi tersebut.

2. Penelitian ini terbatas pada karyawan SPBE subsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teoritis Keselamatan Kerja dan Kecelakaan Kerja

Keselamatan kerja atau safety work merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, keselamatan kerja mutlak harus dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan (Abdidin et al. 2008).

Malthis dan Jackson (2002), menyebutkan bahwa keselamatan kerja merujuk pada perlindungan kesejahteraan fisik dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan atau cedera terkait dengan pekerjaan. Sementara itu, Hadiguna (2009), memiliki pandangan bahwa keselamatan kerja berarti proses merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan dalam bekerja.

Berbicara masalah keselamatan kerja sangat erat kaitannya dengan kecelakaan kerja (Husni 2005), yaitu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur sebelumnya dari suatu aktivitas dalam sebuah industri. Selanjutnya Hadiguna (2009), menambahkan bahwa kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat, dan bisa menghentikan kegiatan pabrik secara total.

Teori Perilaku

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain, perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi 2004). Sementara itu, Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, oleh karena perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespon. Respon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Respondent respons atau reflexive, yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan atau stimulus tertentu. Misalnya cahaya terang menyebabkan mata tertutup. Respon ini mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih.

(18)

Teori Lawrance Green dan kawan-kawan (1980), menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behaviourcauses) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya Notoatmodjo (2003), menjelaskan perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya ketersedianya APD, pelatihan dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi

undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya.

Conway (1999), membagi perilaku kerja menjadi dua dimensi, yaitu dimensi kinerja tugas (task performance) dan kinerja kontekstual (contextual performance). Kinerja tugas merujuk pada perilaku-perilaku inti dan kegiatan-kegiatan pokok yang terlibat dalam sebuah pekerjaan. Kinerja kontekstual merujuk pada perilaku-perilaku yang mendukung lingkungan di mana perilaku inti berjalan. Contoh yang bersifat umum dari kinerja kontekstual adalah perilaku menolong teman kerja, melaksanakan tugas dengan sukarela, dan pembelaan terhadap organisasi (Borman dalam Griffin 2000). Perilaku dalam dimensi ini memiliki peranan penting dalam pencapaian hasil-hasil organisasi dan khususnya dalam menyokong kesuksesan dalam jangka panjang (Allen dan Rush 1998).

Perilaku Keselamatan Kerja

Grifiin dan Neal (2006), membagi dua tipe perilaku keselamatan kerja, yaitu kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja (safety compliance) dan partisipasi pada keselamatan kerja (safety participated). Kepatuhan keselamatan mengacu pada kegiatan bahwa individu perlu melakukan hal itu untuk menjaga keselamatan kerja. Perilaku ini termasuk mengikuti prosedur standar kerja dan memakai alat pelindung diri. Sedangkan partisipasi pada keselamatan kerja menggambarkan perilaku yang tidak hanya berkontribusi terhadap keselamatan pribadi, tetapi juga pada keselamatan lingkungan. Perilaku ini mencakup kegiatan seperti berpartisipasi dalam kegiatan keselamatan secara sukarela, membantu rekan kerja dengan isu-isu yang terkait dengan keselamatan, dan menghadiri pertemuan-pertemuan yang membahas tentang keselamatan kerja. Jadi, perilaku keselamatan kerja adalah kepatuhan dan partisipasi individu pada aktivitas-aktivitas pemeliharaan keselamataan di tempat kerja. Sebagai umpan balik, maka karyawan hendaknya menyadari arti pentingnya keselamatan bagi dirinya maupun bagi perusahaan tempatnya bekerja.

Motivasi Keselamatan Kerja

(19)

individu berperilaku tertentu, (b) Pemberi arah, mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu, dan (c) Persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus.

Pandangan lain dikemukakan oleh Hull dalam As’ad (1982), yang

menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional faktor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal, yaitu: kekuatan dari dorongan yang ada pada individu, kebiasaan yang didapat dari hasil belajar, serta interaksi antara keduanya. Kartono (2008), menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi motivasi kerja karyawan sebab keberhasilannya menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi tergantung keberhasilannya dalam memotivasi bawahannya.

Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten atau perilaku berulang-ulang dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.

Berkaitan dengan motivasi keselamatan kerja, Griffin dan Neal (2000), menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan media yang menghubungkan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja. Lebih jauh mereka menyebutkan bahwa motivasi keselamatan kerja merujuk pada kesediaan atau keinginan individu untuk melakukan perilaku selamat dalam bekerja dan dorongan seluruh perilaku yang berkaitan dengannya. Motivasi individu untuk berperilaku selamat dalam bekerja akan meningkat seiring meningktnya persepsi mereka terhadap iklim keselamatan kerja di tempat kerja. Banyak hasil penelitian yang telah mendukung pernyataan ini, diantaranya Probst dan Brubaker (2001), yang menemukan bahwa semangat atau motivasi untuk keselamatan kerja berdampak pada perilaku kepatuhan pada prosedur keselamatan kerja diantara karyawan sampai enam bulan kemudian.

Beberapa teori yang mendasari motivasi karyawan untuk berperilaku selamat dalam bekerja adalah Social Exchange Theory dan Eexpectancy-Valency Theory. Social Exchange Theory menyebutkan bahwa apabila seorang individu memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap segala sesuatu yang memberikan kebaikan pada mereka maka mereka akan termotivasi untuk melakukan segala sesuatu yang mereka rasakan dapat memberikan keuntungan bagi organisasi. Penerapan teori ini pada konsep keselamatan kerja telah dibuktikan oleh Hoffman dan Morgeson (1999). Hasil penelitiannya menunjukkan karyawan yang memiliki persepsi bahwa organisasinya sangat peduli terhadap keselamatan kerja telah menimbulkan perilaku kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja di tempatnya bekerja.

(20)

bahwa hal itu dapat memberikan hasil atau nilai yang baik (Griffin dan Neal 2006).

Gaya Kepemimpinan dan Kepemimpinan Keselamatan Kerja

Wibowo (2011), menyebutkan bahwa teori tentang gaya kepemimpinan berusaha mengkaji perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi dan menggerakkan para pengikutnya guna mencapai suatu tujuan. Perilaku dan tindakan tersebut pada dasarnya dapat dipahami sebagai dua hal berbeda tetapi saling bertautan, yakni (1) fokus terhadap penyelesaian tugas atau pekerjaan (task/production-centered), dan (2) fokus pada upaya pembinaan terhadap personil yang melaksanakan tugas atau pekerjaan tersebut ( people/employee-centered).

Hersey dan Blanchard dalam Yukl (1989) mengembangkan teori

kepemimpinan yang pada awalnya disebut “life cycle theory of leadership” dan

kemudian dinamakan “situational leadership theory”. Argumen dasar dari teori ini adalah kepemimpinan yang efektif memerlukan kombinasi yang tepat antara perilaku berorientasi tugas dan perilaku berorientasi hubungan, serta mempertimbangkan tingkat kematangan bawahan. Berdasarkan kombinasi tersebut dapat diterapkan beberapa gaya kepemimpinan telling, selling, participating dan delegating. Gaya Telling (bercerita) berlaku dalam situasi orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan rendah, dan pegawai sangat tidak dewasa, sehingga pemimpin harus memberikan pengarahan dan petunjuk untuk mengerjakan berbagai tugas. Gaya Selling (menjual) berlaku pada orientasi tugas tinggi dan orientasi hubungan juga tinggi, sementara tingkat kedewasaan pegawai cukup. Dalam situasi tersebut, pemimpin memberikan pengarahan secara seimbang dengan memberikan dukungan, meminta dan menghargai masukan dari pegawai. Gaya Participating (Partisipatif), dengan situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan tinggi, serta tingkat kedewasaan pegawai tinggi. Untuk itu pimpinan lebih kolaboratif, ada kedekatan emosional sehingga mengedepankan konsultasi, pembimbingan, dan dukungan; serta sangat sedikit pengarahan tugas. Gaya Delegating (Delegasi), cocok untuk situasi orientasi tugas rendah dan orientasi hubungan juga rendah, serta pegawai sangat dewasa.

(21)

Iklim Orgaisasi dan Iklim Keselamatan Kerja

Owens (1995), menyatakan bahwa “organizational climate is the study of perceptions that individual have of various aspect of the environment in the organization”. Dengan demikian pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan dengan menggali data dari persepsi individu yang ada dalam organisasi. Taguiri dan Litwin dalam Soetopo (2010), mengartikan iklim organisasi adalah suatu kualitas lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggotanya, mempengaruhi prilakunya dan dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai karakteristik organisasi.

Zohar (1980), mendefinisikan iklim keselamatan kerja (safety climate)

sebagai: “a summary of molar perceptions that employees share about their work environment”. Seo et al. (2004), menyebutkan lima hal yang dapat menjadi konstruksi iklim keselamatan kerja, yaitu: (1) Komitmen manajemen pada keselamatan kerja (management comitment to safety), (2) Pengawasan yang mendukung keselamatan kerja (supervisory safety support), (3) Dukungan keselamatan kerja dari rekan kerja (coworker safety support), (4) Parstisipasi keselamatan kerja dari karyawan (employee safety participation), dan (5) Tingkat kompetensi terkait keselamatan kerja (competence level).

Mat Zin dan Fardiah Ismail (2012), menyebutkan banyak ilmuwan dan praktisi sepakat bahwa komitmen manajemen terhadap kinerja keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya memiliki peranan yang sangat penting. Manajemen puncak harus secara aktif memimpin organisasi dan karyawan terhadap pencapaian tujuan keselamatan kerja organisasi dengan menunjukkan bahwa organisasi serius tentang keselamatan kerja. Lebih lanjut mereka menyebutkan bahwa, komitmen dan dukungan dari manajemen tersebut akan secara signifikan menaikkan kinerja keselamatan kerja.

Penelitian-penelitian terbaru membuktikan adanya hubungan antara iklim keselamatan kerja dan keselamatan kerja (safety outcomes) (Hecker dan Goldenher 2014). Christian et al. (2009), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja organisasi berkorelasi signifikan dengan perilaku atau kinerja keselamatan kerja (safety behavior/performance) dan keselamatan kerja (safety outcomes). Griffin dan Neal (2000), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja adalah antiseden dari perilaku keselamatan kerja. Mereka menambahkan bahwa motivasi keselamatan kerja merupakan perantara hubungan antara iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja.

Kelelahan

Kelelahan adalah perpaduan dari wujud penurunan fungsi mental dan fisik yang menghasilkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan efektifitas dan efesiensi kerja menurun (Saito 1999). Menurut Kroemer (1997), kelelahan kerja merupakan gejala yang ditandai adanya perasaan lelah dan kita akan merasa segan, aktifitas akan melemah, serta ketidakseimbangan pada kondisi tubuh. Kelelahan mempengaruhi kapasitas fisik, mental, dan tingkat emosional seseorang, dimana dapat mengakibatkan kurangnya kewaspadaan, yang ditandai dengan kemunduran reaksi pada sesuatu dan berkurangnya kemampuan motorik (Australian safety and Compensation Council 2006).

(22)

disebabkan oleh aktivitas fisik, aktivitas kognitif dan emosional, kekurangan tidur, keracunan bahan kimia, dan bahkan karena penyakit. Aktivitas kerja fisik yang berat, panjang, dan monoton serta setres kerja merupakan faktor dominan yang sering ditemui sebagai penyebab utama kelelahan di tempat kerja (Kim et al., 2009).

Masih menurut Kim et al. (2009), kelelahan fisik dapat menyebabkan lupa, kehilangan kekuatan, energi, motivasi, ketertarikan pada segala sesuatu, fokus dan konsentrasi, dan rasa memiliki. Kondisi ini dapat berdampak pada motivasi dan perilaku keselamatan kerja di tempat kerja.

Penelitian yang dilakukan oleh El-Moneem dan Keshk (2012), terhadap 49 tenaga medis pada dua lembaga kesehatan di Mesir menemukan bahwa lamanya jam kerja dan kelelahan fisik berkorelasi signifikan dengan aktivitas fisik mereka. Lebih jauh mereka menemukan bahwa adanya korelasi yang kuat antara kesalahan pada tindakan medis dengan kelelahan fisik pada tenaga medis di dua lembaga kesehatan tersebut.

Kepuasan Kerja

Ketika seorang menejer bertanya, manakah yang lebih dahulu, kepuasan kerja atau keselamatan lingkungan kerja? Banyak peneliti keselamatan kerja berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah lebih dahulu. Pekerja puas lebih sering adalah pekerja yang mengutamakan keselamatan, tapi pekerja yang mengutamakan keselamatan belum tentu pekerja puas (Blair dalam Kim et al. 2002).

Bigos dalam Kim et al. (2002), menemukan hubungan yang signifikan antara perilaku karyawan dan setres kerja dengan terjadinya kecelakaan dan keselamatan dan kesehatan kerja. Temuan ini memberikan implikasi bahwa menciptakan kepuasan kerja adalah sama pentingnya dengan usaha meminimalisir terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja. Mereka secara konsisten menemukan bahwa kepuasan kerja lebih berdampak pada rendahnya tingkat kecelakaan kerja daripada faktor-faktor lain seperti: demografi, kesehatan, psikologis, dan stres. Implementasi kepemimpinan yang tidak efektif, seperti: pengawasan yang kurang peduli dan kurang mendukung, tidak mendengar dan mempertimbangkan pendapat karyawan, tidak merasa bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang penting bagi mereka adalah titik kritis kinerja keselamatan kerja karyawan (Kim et al. 2002).

Para peneliti dalam psikologi kognitif umumnya sepakat bahwa sikap dapat diubah, dan bahwa perubahan perilaku yang signifikan dapat mengikuti perubahan sikap. Studi yang dilakukan oleh Kim dan Hunter (1993), menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Eagly (1992), menemukan bahwa sikap harus memprediksi perilaku, tetapi yang lebih penting adalah bahwa sikap harus menyebabkan perilaku. Selanjutnya, studi ini menunjukkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk menciptakan perubahan sikap adalah untuk melibatkan peserta dalam pengambilan keputusan dan aktivitas di sekitar sikap yang ditargetkan. Keberagaman kinerja keselamatan yang tinggi mungkin berasal dari ketidak-konsistenan kepuasan kerja dalam berbagai faktor pekerjaan yang berhubungan dalam organisasi (Kim et l. 2002).

(23)

karyawan yang positif termasuk peningkatan kinerja keselamatan. Lebih jauh dia meyebutkan bahwa pada organisasi dengan karakteristik job design-nya organic, job duties-nya variety, task identity-nya autonomous, Decision making-nya decentralized, dan comunication-nya open (all direction), maka seiring dengan peningkatan kepuasan kerja karyawannya berdampak pada penurunan angka kecelakaan kerja.

Gibson (2000), mengemukakan lima karakteristik penting berkaitan dengan pengukuran kepuasan kerja, yaitu: (1) Upah: suatu jumlah yang diterima dan keadaan yang dirasakan dari pembayaran; (2) Pekerjaan itu sendiri: sampai sejauh mana tugas kerja dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggung jawab; (3) Kesempatan promosi: adanya kesempatan untuk maju; (4) Pengawasan: kemampuan seorang pengawas untuk memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada pekerja, dan (5) Rekan kerja: sampai sejauh mana rekan kerja bersahabat, kompeten dan mendukung. Dimensi tersebut juga telah dikembangkan oleh para peneliti dari Cornel University dalam Job Descriptive Index (JDI) untuk menilai kepuasan kerja seseorang dengan dimensi kerja berikut: pekerjaan, upah, promosi, rekan kerja dan pengawasan.

Uji Validitas

Uji validitas item adalah uji statistik yang digunakan untuk menentukan seberapa valid suatu item pertanyaan mengukur variabel yang diteliti. Uji validitas item atau butir dapat dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Untuk proses ini, digunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment. Dalam uji ini, setiap item akan diuji korelasinya dengan skor total variabel yang dimaksud. Dalam hal ini, masing-masing item yang ada di dalam variabel X dan Y akan diuji korelasinya dengan skor total variabel tersebut. Suatu kuesioner dianggap valid jika memiliki butir-butir pertanyaan yang saling berhubungan dengan konsep-konsep yang diingnkan. Apabila ada pertanyaan yang tidak berhubungan, berarti pertanyaan tersebut tidak valid dan harus dihilangkan atau diganti dengan konsep pertanyaan lain yang lebih valid.

Agar suatu penelitian lebih teliti, sebuah item sebaiknya memiliki korelasi (r) dengan skor total masing-masing variabel ≥ 0,25. Item yang punya r hitung < 0,25 akan disingkirkan akibat mereka tidak melakukan pengukuran secara sama dengan yang dimaksud oleh skor total skala.

Persamaan Uji Korelasi Pearson Product Moment dapat dirumuskan sebagai berikut:

...(1)

Keterangan:

N : Jumlah responden

X : Skor masing-masing pertanyaan Y : Skor total pertanyaan

Uji Reliabilitas

(24)

kali pun diujikan hasilnya akan tetap sama. Uji reliabilitas dilakukan dengan uji Alpha Cronbach. Rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:

...(2)

Keterangan:

α : Reliabilitas kuesioner k : Jumlah butir pertanyaan Si2 : Varians butir pertanyaan St2 : Varians total

Jika nilai alpha > 0,7 artinya reliabilitas mencukupi (sufficient reliability), sementara jika alpha > 0,80 ini mensugestikan seluruh item reliabel dan seluruh tes konsisten karena memiliki reliabilitas yang kuat.

Jika nilai alpha rendah, kemungkinan satu atau beberapa item tidak reliabel. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi dengan prosedur analisis per item. Item analysis adalah kelanjutan dari tes aplha sebelumnya untuk melihat item-item tertentu yang tidak reliabel. Melalui Item Analysis ini maka satu atau beberapa item yang tidak reliabel dapat dibuang sehingga alpha dapat lebih tinggi lagi nilainya.

Nilai tiap-tiap item sebaiknya ≥ 0.40 sehingga membuktikan bahwa item tersebut dapat dikatakan punya reliabilitas konsistensi internal. Item-item yang punya koefisien korelasi < 0.40 akan dibuang kemudian uji reliabilitas item diulang dengan tidak menyertakan item yang tidak reliabel tersebut. Demikian terus dilakukan hingga koefisien reliabilitas masing-masing item adalah ≥ 0.40.

Sructural Equation Modelling (SEM)

Structural Equation Modelling (SEM) merupakan kombinasi dari analisis prtial compnent, analisis regresi, dan analisis path. Ghozali (2008), berpendapat bahwa SEM adalah sebuah teknik analisis statistik multivariat yang dapat memungkinkan peneliti dapat menguji hubungan antar variabel yang kompleks, baik yang bersifat recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu model.

SEM terdiri dari 2 bagian, yaitu model variabel laten dan model pengukuran (Ghozali 2008). Bagian pertama yaitu model variabel laten (latent variable model) mengadaptasi model persamaan simultan pada ekonometri. Jika pada ekonometri semua variabelnya merupakan variabel terukur/teramati (measured/observed variables), maka pada model ini beberapa variabel merupakan variabel laten (latent variables) yang tidak terukur secara langsung. Sedangkan bagian kedua yang dikenal dengan model pengukuran (measurement model), menggambarkan beberapa indikator atau beberapa variabel terukur sebagai efek atau refleksi dari variabel latennya.

Kedua bagian model ini merupakan jawaban terhadap dua permasalahan dasar pembuatan kesimpulan ilmiah dalam ilmu sosial dan perilaku. Untuk permasalahan pertama yang berkaitan dengan masalah pengukuran dapat dijawab dengan model pengukuran, sedangkan permasalahan kedua yang berkaitan dengan hubungan kausal dapat dijawab menggunakan model variabel laten.

(25)

dapat menguji pengaruh langsung dan tidak langsung variabel bebas terhadap variabel tidak bebas, menentukan variabel domain, dan jalur-jalur terkait variabel. Dalam hal ini, SEM setara dengan analisis sidik lintas (path analysis).

Berdasarkan penjelasan di atas, ada dua alasan yang mendasari digunakannya SEM, yaitu: (1) SEM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi hubungan antar variabel yang bersifat multiple relationship. Hubungan ini dibentuk dalam model struktural (hubungan antara konstruk dependen dan independen). (2) SEM mempunyai kemampuan untuk menggambarkan pola hubungan antara konstruk laten dan variabel manifes atau variabel indikator.

SEM dikembangkan berdasarkan dua kelompok basis, yaitu SEM yang berbasis kovarian yang diwakili oleh software LISREL dan SEM berbasis varian yang diwakili oleh Partial Least Squares (PLS). SEM berbasis kovarian lebih bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan kausalitas atau sebab-akibat. Sedangkan SEM berbasis varian lebih bertujuan untuk mencari hubungan linier prediktif antar variabel (Ghozali 2008).

Bentuk SEM dengan Partial Least Square (PLS)

Partial Least Square (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold (1996) sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruksi laten dengan multiple indikator (Ghozali, 2008). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua jenis skala data (distribution free) dimana tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu sehingga data dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio. Di samping itu, pendekatan SEM dengan PLS juga tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel yang dibutuhkan juga tidak harus besar. Selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi (Ghozali, 2008). Contoh model path PLS di sajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh Model Path PLS

Keterangan :

(26)

 λx = Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten eksogen  λy = Lamnda (kecil), loading faktor variabel laten endogen

 β = Beta (kecil), koefisien pengaruh variabel endogen terhadap endogen  ϒ = Gamma (kecil), koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap

endogen

 Ζ = Zeta (kecil), galat model

 = Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen  = Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen

Berikut adalah konversi model path ke dalam bentuk persamaan PLS sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.

a. Outer Model

1) Untuk variabel laten eksogen 1 (reflektif)

 X1 = λx1 ξ1 + 1 ...(3)

 X2 = λx2 ξ1 + 2 ...(4)

 X3 = λx3 ξ1 + 3 ...(5) 2) Untuk variabel laten eksogen 2 (formatif)

 ξ2 = λx4 X4 + λx5 X5 + λx6 X6 + 4 ...(6) 3) Untuk variabel laten endogen 1 (reflektif)

 y1 = λy1 ƞ1 + 1 ...(7)

 y2 = λy2 ƞ1 + 1 ...(8) 4) Untuk variabel laten endogen 2 (reflektif)

 y3 = λy3 ƞ2 + 4 ...(9)

Inner model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten berdasarkan teori. Model persamaannya adalah sebagai berikut:

Ƞj= Σi βji Ƞi+ Σiϒjbξb+ ζj ... (13) Dimana ƞmenggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ

adalah vektor variabel eksogen, ζj adalah vector variabel residual, βji

dan ϒjb adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen dan laten eksogen sepanjang range indeks i dan b.

b. Outer Model (measurement model)

Outer Model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikator. Outer model terdiri dari 2 macam mode, yaitu mode reflective (mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif merupakan relasi dari peubah laten ke peubah indikator atau effect. Sedangkan model formative merupakan relasi dari peubah indikator

membentuk peubah laten “causal”.

Blok dengan indikator reflektif memiliki bentuk persamaan sebagai berikut:

X = λx ξ + ...(14)

(27)

Dimana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen dan

endogen. Sedangkan λx dan λy merupakan matrik loading yang menggambarkan koefisien regresi sederhana yang menghubungkan

variabel laten dengan indikatornya. Residual diukur dengan dan

sebagai kesalahan pengukuran.

Blok dengan indikator formatif memiliki persamaan sebagai berikut :

ξ = λxX + ξ ...(16)

ƞ= λyY + ƞ ...(17) Dimana, ξ adalah vektor variabel eksogen, λx dan λy adalah koefisien regresi berganda dari variabel laten dan blok indikator, dimana ξdan ƞ

adalah residual dari regresi.

estimasi variabel laten ξb dan ƞi. Estimasi variabel laten adalah linear agregat dari indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasikan oleh inner dan outer model dimana ƞ adalah vektor variabel laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten eksogen (independen).

Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

Nama Peneliti

Penelitian yang dilakukan terhadap 140 karyawan yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang gas menemukan bahwa dari lima skala keselamatan kerja, hanya empat diantaranya memiliki korelasi yang signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja. Empat skala tersebut adalah: co-worker safety, supervisor safety, management safety practice, dan satisfaction of safety programme. Sementara itu, satu skala lagi (job safety) tidak memiliki korelasi terhadap perilaku keselamatan kerja.

(28)

Lamiaa I et al. Accidents at the Individual and Group Levels

Job Satisfactin as Related to Safety Performance: A Case for A Manufacturing Firm

menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kepemimpinan safety dan iklim keselamatan kerjaorganisasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 49 orang tenaga perawat yang bekerja di dua kelinik kesehatan di Kairo, Mesir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelelahan fisik berpengaruh terhadap terjadinya kesalahan dalam prosedur medis.

Penelitian ini dilakukan pada 159 moonlighters di Amerika yang bekerja pada dua instansi yang berbeda secara bersamaan dengan dua atasan yang berbeda. Hasil Penelitian ini mengukur persepsi iklim, motivasi, dan perilaku keselamatan kerja karyawan pada dua titik waktu yang berbeda kemudian dihubungkan dengan level sebelum dan setelah terjadinya kecelakaan kerja selama periode 5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara iklim keselamatan kerja, motivasi untuk berperilaku selamat dalam bekerja, dan perilaku selamat dalam bekerja. Namun butuh waktu yang lama untuk merubah perilaku seseorang dan iklim lingkungan kerja.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan job design yang bersifat organik menunjukkan adanya fenomena meningkatnya kepuasan kerja karyawan bila dibandingkan dengan job design

yang bersifat mekanistik.

(29)

3. METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran Penelitian

Program pemerintah terkait konversi penggunaan energi dari minyak tanah ke gas elpiji ukuruan 3 kg telah berjalan selama 9 tahun. SPBE sebagai mata rantai dalam distribusi gas elpiji keberadaannya merata hampir di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia sebagai konsekuensi dari program konversi energi tersebut. SPBE berperan melakukan pengisian gas elpiji ke dalam tabung elpiji 3 kg milik agen sehingga jika kinerja SPBE terganggu maka akan mengganggu proses distribusi dan suplai gas elpiji di masyarakat. Salah satu penyebab utama terganggunya kinerja SPBE adalah terjadinya kecelakaan kerja. Selain itu, kecelakaan yang terjadi di SPBE dapat berdampak lebih luas dan berbahaya jika dibandingkan dengan lingkungan kerja biasa. Disisi lain potret angka kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi dan cenderung meningkat, 70 persen penyebabnya adalah karena rendahnya perilaku keselamatan kerja karyawan. Apabila rendahnya perilaku keselamatan kerja terjadi pula pada karyawan SPBE maka akan sangat berbahaya. Sehingga salah satu usaha yang sangat penting dalam rangka mencegah kecelakaan kerja di SPBE adalah dengan menciptakan perilaku keselamatan kerja karyawannya. Implikasi manajerial dari hasil penelitain ini diharapkan dapat turut membantu mensukseskan program pemerintah. Uraian di atas menjadi kerangka pemikiran penelitian ini dan ditunjukkan oleh Gambar 3.

(30)

Kerangka Konseptual Penelitian

Kepemimpinan keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja (iklim safety), kepuasan kerja, motivasi keselamatan kerja (motivasi safety), dan kelelahan kerja diduga memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan kerja (perilaku safety) karyawan di tempat kerja, baik secara langsung atau tidak. Kerangka konseptual hubungan dari beberapa variabel tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Definisi konseptual masing-masing variabel laten ditunjukkan oleh Tabel 2.

(31)

Tabel 2. Definisi Konseptual Variabel Laten

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1a Motivasi keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan

terhadap perilaku keselamatan kerja.

H0a Motivasi keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap perilaku keselamatan kerja.

H1b Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh posistif dan

signifikan terhadap motivasi keselamatan kerja.

H0b Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan

signifikan pada motivasi keselamatan kerja.

No Variabel Laten Definisi Konseptual Dimensi/konstruk Pustaka

1. Telling

1. Dorongan untuk berperilaku selamat dalam bekerja

(32)

H1c Kepuasan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada motivasi

keselamatan kerja.

H0c Kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan pada

motivasi keselamatan kerja.

H1d Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan

signifikan pada iklim keselamatan kerja.

H0d Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan

signifikan pada iklim keselamatan kerja.

H1e Iklim keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan pada

motivasi keselamatan kerja.

H0e Iklim keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan signifikan

pada motivasi keselamatan kerja.

H1f Kepemimpinan keselamatan kerja memiliki pengaruh positif dan

signifikan pada perilaku keselamatan kerja.

H0f Kepemimpinan keselamatan kerja tidak memiliki pengaruh positif dan

signifikan pada perilaku keselamatan kerja.

H1g Kelelahan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada perilaku

keselamatan kerja.

H0g Kelelahan tidak memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada perilaku

keselamatan kerja.

Tahapan Penelitian

(33)

Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada karyawan SPBE yang berada di Kota dan Kabupaten Bogor. Pertimbangan pemilihan Wilayah Bogor sebagai lokasi penelitian karena Bogor memiliki jumlah SPBE paling banyak di Indonesia (ada 20 SPPBE). Bogor juga merupakan salah satu wilayah penyangga ibu kota yang paling penting. Khusus berkaitan dengan ketersediaan suplai energi (elpiji), gejolak yang disebabkan oleh kelangkaannya di wilayah tersebut dampaknya akan cepat dirasakan oleh ibu kota yang pada akhirnya berdampak nasional. Dengan kebutuhan elpiji 4,3 juta tabung ukuran 3 kilogram per bulan atau 170 ribu tabung per hari untuk mencukupi 1,64 juta keluarga, maka jaminan ketersediaannya di Wilayah Bogor patut menjadi perhatian utama.

Penentuan Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data hasil wawancara langsung melalui pengisian kuesioner oleh karyawan SPBE bersubsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Sementara itu, data sekunder dibutuhkan sebagai data penunjang dan diperoleh dari pihak-pihak terkait, seperti: Gasdom Pertamina Region III, Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Bogor, dan BPJS Ketenagakerjaan.

Responden dan Pemilihan Responden

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan SPBE bersubsidi yang berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan melalui teknik multy stage random sampling. Tahap pertama, Wilayah Bogor dibagi menjadi empat cluster, yaitu Timur, Barat, Utara, dan Tengah, kemudian SPBE yang ada dikelompokkan ke dalam beberapa cluster tersebut. Langkah selanjutnya, pemilihan SPBE sebagai sampel penelitian dilakukan dengan cara acak. Setelah SPBE yang menjadi sampel penelitian terpilih, tahap berikutnya dilakukan stratifikasi sampel karyawan berdasarkan lingkungan kerja. Karyawan dikelompokan berdasarkan lingkungan kerja di kantor dan di lapangan, kemudian mereka dipilih sebagai sampel penelitian secara acak. Skala pengukuran yang digunakan dalam kuesioner adalah skala interval dan skor sikap karyawan terhadap masing-masing pernyataan kuesioner dinyatakan dalam interval 1 sampai 9. Sebanyak 100 kuesioner disebar ke 10 SPBE yang terpilih secara acak, 92 yang kembali. Alasan yang tidak kembali karena kuesioner hilang dan tertinggal sewaktu pulang ke kampung halaman saat libur hari raya. Dari 94 kuesioner yang kembali, hanya 84 yang bisa dianalisis. Sisanya tidak bisa dianalisis karena terdapat kesalahan dalam pengisian. Jumlah kuesioner sebanyak 84 tersebut mewakili seluruh posisi yang ada di SPBE yang dipilih secara acak dan jumlahnya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah karyawan pada masing-masing posisi tersebut. Dari 84 kuesioner yang valid, dianalisis hanya sebanyak 69 kuesioner yang berasal dari karyawan dengan lingkungan kerja di lapangan. Sebanyak 15 kuesioner yang berasal dari karyawan dengan lingkungan kantor tidak disertakan dalam analisis. Hal ini karena jumlahnya kurang memenuhi yang dipersyaratkan SEM-PLS (minimal 30 sampel) dan jumlah rata-rata skor kuesioner pada kedua lingkungan kerja tersebut tidak jauh berbeda.

(34)

Analisis Data

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap kuesioner untuk memastikan bahwa seluruh pernyataan dalam kuesioner valid dan reliabel. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti dengan

Structural Equation Modelling – Partial least square (SEM-PLS).

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Hasil analisis uji validitas menujukkan bahwa seluruh butir pernyataan kuesioner memiliki koefisein korelasi yang cukup tinggi atau > 0.25, sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 1. Hal ini mengandung pengertian bahwa seluruh butir-butir pernyataan valid dan saling berhubungan dengan konsep-konsep yang diingnkan.

Hasil analisis uji reliabilitas menunjukkan bahwa nlai Cronbach’s seluruh variabel laten yang diteliti memiliki nilai yang cukup tinggi atau > 0.7, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh butir pernyataan kuesioner bersifat reliabel, artinya berapa kali pun kuesioner tersebut diujikan maka hasilnya akan tetap sama.

Tabel 3. Nilai Cronbach’s Alpha Uji Reliabilitas

No Variabel Cronbach

's Alpha

N of Items

1 Kepemimpinan Keselamatan Kerja (KS) .860 11

2 Iklim Keselamatan Kerja (IS) .886 16

3 Kepuasan kerja (KK) .838 13

4 Kelelahan (KL) .800 7

5 Motivasi Keselamatan Kerja (MS) .779 5

(35)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Sampel Karyawan SPBE

Tabel 4 memperlihatkan karakteristik perosnal responden penelitian. Sampel penelitian ini berjumlah 84 orang, 93 persen diantaranya adalah laki-laki, sisanya sebanyak 7 persen adalah perempuan. Hampir sebagian besar karyawan SPBE secara keseluruhan adalah laki-laki. Karyawan perempuan biasanya menempati posisi staf administrasi atau keuangan dengan lingkungan kerja di ruangan kantor. Hal ini berkaitan erat dengan operasi utama SPBE. Pertama, operator SPBE melakukan operasi penerimaan gas elpiji dari elpiji Transfortation Tank ke dalam tangki timbun. Kedua, operator SPBE melakukan operasi pengisian gas LPG ke dalam tabung 3 kg milik agen. Kedua operasinal ini membutuhkan kekuatan fisik dan ini hanya bisa dilakukan oleh laki-laki.

Kisaran usia karyawan yang menjadi sampel penelitian ini hampir sebagian besar antara 20 – 26 tahun, sebanyak 26 persen dan 26 – 30 tahun sebanyak 36 persen. Pada rentang usia tersebut manusia memiliki kondisi fisik tubuh yang optimal untuk melakukan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, termasuk tugas-tugas operator SPBE. Rentang usia karyawan pada 31 – 35 tahun sebanyak 15 persen, rentang usia 36 – 40 tahun sebanyak 10 persen, dan rentang usia di atas 40 tahun sebanyak 12 persen.

Sebagian besar karyawan SPBE yang menjadi responden adalah belum menikah (67 persen). Sisanya, sebanyak 33 persen karyawan sudah menikah. Manajemen SPBE lebih memilih sebagian besar karyawan yang masih single karena berkaitan dengan tanggungan dan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup karyawan yang telah menikah dan yang belum menikah jauh berbeda. Fenomena ini bisa saja dikaitkan dengan tuntutan upah dan kompensasi. Karena faktanya, industri ini bersifat padat karya dengan pendapatan yang minim.

Potret tingkat pendidikian karyawan adalah sebagai berikut: SD sebanyak 4 persen, SMP sebanyak 14 persen, SMA sebanyak 75 persen, D3 sebanyak 3 persen, dan S1 sebanyak 2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kayawan SPBE memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA. Hal ini menunjukkan bahwa operator SPBE tidak dituntut memiliki kemampuan intelektual yang tinggi karena dasar kompetensi yang harus dimiliki adalah kekuatan fisik. Hal ini bisa juga dikaitkan dengan tingkat upah dan kompensasi yang harus diberikan perusahaan. Tingkat pendidikan SMA ke bawah tidak menuntut upah yang mahal.

(36)

Tabel 4. Profil Responden (jumlah n = 84)

Sebanyak 81 persen responden adalah karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan, sisanya sebanyak 16 persen memiliki lingkungan kerja di kantor (office). Kedua lingkungan ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda. Tingkat risiko kecelakaan kerja dan kelelahan kerja di lapangan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan di lingkungan kantor. Hal ini akan berdampak pada pola perilaku keselamatan kerja mereka yang berbeda pula. Oleh sebab itu, kuesioner yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini hanyalah kuesioner yang berasal dari karyawan yang lingkungan kerjanya di lapangan. Dilihat dari sisi jabatan, sebanyak 80 persen kuesioner adalah operator, 18 persen supervisor, dan 2 persen manajer. Dari sisi posisi, 63 persen diantaranya pada bagian produksi, 12 persen bagian mekanik, 6 persen satpam, dan 19 persen adalah bagian adimistrasi.

Potret Perilaku Keselamatan KerjaKaryawan

Hasil survei menunjukkan bahwa, dari skala 1 sampai 9, rata-rata skor perilaku keselamatan kerja atau perilaku safety karyawan SPBE yang menjadi sampel penelitian hanyalah 7.1. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada celah atau pilihan lain bagi mereka untuk tidak berperilaku selamat dalam bekerja atau mereka tidak 100 persen akan berperilaku seperti itu. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat SPBE adalah industri dengan tingkat risiko yang sangat tinggi.

Tabel 5. Rataan Skor Perilaku Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Karakteristik Persentase

(%) Karakteristik

Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 93 Masa Kerja ≤ 1 th 6

Perempuan 7 2 - 3 th 18

4 - 5 th 35

Usia < 20 th 1 > 5 th 42

20 - 25 th 26

26 - 30 th 36 Lingkungan Kerja Lapangan 81

31 - 35 th 15 Kantor (Office) 19

36 - 40 th 10

> 40 th 12 Jabatan Manajer 2

Supervisor 18 Status Pernikahan Belum Menikah 67 Operator 80

(37)

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari sisi usia karyawan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia 30-35 tahun. Sedangkan rataan skor perilaku keselamatan kerja tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 25 – 30 tahun dan usia di atas 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan SD dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan S1. Dari sisi masa kerja, rataan skor perilaku keselamatan kerja terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja 1-3 tahun dan tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja dibawah 1 tahun. Terakhir, dari sisi ada tidaknya shift, karyawan dengan mekanisme kerja ada shift memiliki rataan skor perilaku keselamatan kerja lebih rendah jika dibandingkan dengan karyawan yang tidak mengenal kerja shift.

Potret Kepuasan Kerja Karyawan

Tabel 6 menunjukkan rataan skor hasil survey kepuasan kerja karyawan.

Berdasarkan Tabel 6, rataan skor kepuasan karyawan cukup rendah, yaitu 4.2 dari sekala 1 – 9. Dari sisi usia, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan rentang usia di bawah 20 tahun sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan rentang usia 35 – 40 tahun. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan status pendidikan S1 memiliki rataan skor terendah, sedangkan tertinggi terjadi pada karyawan dengan tingkat pendidikan D3. Dari sisi masa kerja, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja kurang dari 1 tahun, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun.

Tabel 6. Rataan Skor Kepuasan Kerja Masing-masing Profil Responden

Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan posisi security dan administrasi, sedangkan rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi produksi.

Potret Kelelahan Kerja Karyawan

Tabel 7 menunjukkan rataan skor hasil survey tingkat kelelahan karyawan. Nilai rataan skor yang semakin kecil menunjukkan tingkat kelelahan yang rendah. Sebaliknya, semakin tinggi nilai rataan skor menunjukkan tingkat kelelahan yang tinggi. Dari sisi usia terlihat bahwa semakin tua usia karyawan memiliki tingkat kelelahan yang semakin tinggi.

(38)

Tabel 7. Rataan Skor Kelelahan Masing-masing Profil Responden

Dari sisi posisi pekerjaan, security memiliki tingkat kelelahan yang paling rendah, sedangkan bagian produksi memiliki tingkat kelelahan yang paling tingi. Dari sisi masa kerja terlihat bahwa semakin lama masa kerja karyawan cenderung memiliki tingkat kelelahan yang semakin rendah. Dari sisi lingkungan tempat bekerja, lingkungan lapang memiliki tingkat kelelahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan kantor.

Potret Iklim Keselamatan Kerja

Tabel 8 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja atau iklim safety di tempat mereka bekerja. Total rataan skor persepsi karyawan terkait iklim keselamatan kerja di lingkungan tempat mereka bekerja adalah 7.5. Hasil yang kurang memuaskan mengingat SPBE adalah industri berisiko tinggi. Dari sisi masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun memiliki rataan skor tertinggi dan rataan skor terendah terjadi pada karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun. Dari sisi posisi pekerjaan, rataan skor tertinggi terjadi pada karyawan dengan posisi Security dan terendah pada karyawan dengan posisi produksi. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan tempat bekerja di kantor (office) memiliki rataan skor lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan dengan lingkungan kerja di lapangan.

Tabel 8.Rataan Skor Iklim Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Tabel 9 menunjukkan rataan skor masing-masing konstruk iklim keselamatan kerja. Level kompetensi terkait keselamatan kerjakaryawan memiliki rataan skor terendah, yaitu 7.3. Kompetensi keselamatan kerja karyawan berhubungan erat dengan pengalaman, pengetahuan, dan wawasan mereka terkait

(39)

keselamatan. Skor tersebut tidak begitu memuaskan mengingat perilaku keselamatan kerja dan upaya menciptakan iklim keselamatan kerja di tempat bekerja akan bermula dari kompetensi keselamatan dari setiap individu karyawan.

Tabel 9. Rataan Skor Masing-masing Konstruk Iklim Keselamatan Kerja

Potret Kepemimpinan Keselamatan Kerja

Tabel 10 menunjukkan rataan skor hasil survey persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerjaatasan mereka.

Tabel 10.Rataan Skor Persepsi Kepemimpinan Keselamatan Kerja Masing-masing Profil Responden

Total rataan skor persepsi karyawan terkait kepemimpinan keselamatan kerja atasan mereka adalah 7.7. Dari sisi usia, karyawan dengan usia di atas 40 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.5. Sementara karyawan dengan usia di bawah 20 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.2. Dari sisi tingkat pendidikan, karyawan dengan tingkat pendidikan S1 paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.4. Sementara karyawan dengan tingkat pendidikan SMP paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerjadengan rataan skor 7.3. Dari masa kerja, karyawan dengan masa kerja di atas 5 tahun paling merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 8.0. Sementara karyawan dengan masa kerja di bawah 1 tahun paling tidak merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja dengan rataan skor 7.4. Dari sisi lingkungan tempat mereka bekerja, karyawan dengan lingkungan kerja di kantor lebih merasakan bahwa atasan mereka memiliki karakteristik kepemimpinan keselamatan kerja

Usia

Pengawasan yang mendukung keselamatan 7.5

Partisifasi keselamatan karyawan 7.4

Tingkat kompetensi 7.3

Gambar

Gambar 1. Angka Kecelakaan Kerja Di Indonesia Tahun 2007 – 2014 (sumber:                   BPJS Ketenagakerjaan 2015)
Gambar 2. Contoh Model Path PLS
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4. Kerangka Konseptual Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan peneliti dalam permasalahan ini menghasilkan penemuan penelitian yang meliputi: 1) kondisi metode pembelajaran practise memiliki

Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku,Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Kajian ini berhasrat untuk memberi informasi yang penting terhadap semua pihak sama ada kepada mereka yang terlibat dalam proses penggubalan kurikulum, pelaksana

Rules Of Survival merupakan aplikasi game online yang paling terbaru dan makin terkenal di kalangan komunitas game online. Game ini diluncurkan pada tanggal 14 November

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan untuk dapat memeperoleh

Gambar 12 Ekspresi β-glucuronidase (warna biru) pada berbagai organ (akar, batang, daun, dan bunga) tanaman padi cv Ciherang (CH) dan Nipponbare (N) hasil transformasi

Hasil nilai dari measurement of fit dari model penelitian dengan data responden yang berniat untuk loyal dalam melakukan pembelian secara online melalui website

Faktor lain yang mempengaruhi campur kode yang dilakukan oleh Rene dan Lonny adalah karena mereka tidak dapat menemukan padanan kata dalam bahasa Belanda yang