• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis fisik yang diukur dalam penelitian ini mencakup rendemen, kekuatan gel, viskositas, kapasitas emulsi, stabilitas emulsi, dan warna (Tabel 10).

Rendemen

Salah satu peubah yang penting dalam pembuatan gelatin adalah rendemen karena semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efisien dan efektifitas proses tersebut. Rendemen dihitung berdasarkan persentase berat gelatin yang dihasilkan terhadap berat awal tulang yang digunakan. Rendemen yang diperoleh dipengaruhi oleh jumlah kolagen yang terkonversi menjadi gelatin. Kandungan kolagen dalam tulang mamalia sebesar 24% lebih kecil dibanding jumlah kolagen yang terdapat pada kulit 89% namum apabila dibandingkan dengan penelitian pada kulit jumlah kolagen yang terkonversi menjadi gelatin hampir sama.

Gambar 5 Sheet gelatin tulang sapi.

Rendemen gelatin tulang sapi yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 2.27-4.87%. Analisis ragam memperlihatkan tidak ada pengaruh interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman terhadap rendemen gelatin yang dihasilkan, namun faktor tunggal berpengaruh sangat nyata (P<0.01) yakni konsentrasi HCl dan lama perendaman. Rendemen gelatin secara lengkap tercantum dalam Tabel 10.

Tabel 10 Rekapitulasi hasil analisis ragam terhadap sifat fisik gelatin tulang sapi

Lama Perendaman (jam)

Peubah Konsentrasi HCl (%) 24 36 48 Rata-rata 2 2.35±0.09 2.94±0.10 3.10 ±0.13 2.80±0.35A 3.5 3.47±0.22 3.87±0.10 4.26 ±0.15 3.87±0.37B 5 3.70±0.19 4.30±0.27 4.87±0.90 4.29±0.53B Rendemen (%) Rata-rata 3.17±0.64A 3.70±0.62B 4.08±0.78C 2 135.45±6.38F 114.38±5.93E 101.03±3.90D 116.15±15.78 3.5 93.25±4.45D 77.32±8.12C 70.19±3.26C 80.25±11.33 5 45.79±2.74B 41.41±3.53B 31.11±2.68A 39.44±7.07 Kekuatan gel (Bloom) Rata-rata 91.49±39.06 77.70±32.04 67.44±30.48 2 4.95±0.15C 4.92±0.14C 4.65±0.13C 4.84±0.19 3.5 4.13±0.36B 4.03±0.13B 3.88±0.17B 4.01±0.24 5 4.00±0.04B 3.29±0.13A 3.04±0.21A 3.44±0.45 Viskositas (cP) Rata-rata 4.36±0.48 4.08±0.17 3.85±0.17 2 79.82±9.95A 93.06±5.81B 79.92±0.23A 84.27±8.76 3.5 79.94±0.10A 88.44±7.96AB 97.17±4.54BC 88.52±8.75 5 106.76±5.22C 94.46±4.97B 89.77±7.95AB 96.66±8.91 Kapasitas emulsi (%) Rata-rata 88.51±14.10 91.99±6.15 88.95±8.78 2 57.95±0.81 57.00±1.94 55.17±1.61 56.71±1.80 3.5 56.42±2.01 54.04±2.14 56.43±2.50 55.63±2.27 5 57.13±0.33 55.43±1.50 56.75±1.84 56.44±1.42 Stabilitas emulsi(%) Rata-rata 57.17±1.28 55.49±2.07 55.17±1.61 56.61±1.47 2 55.85±1.70 55.29±0.97 56.09±1.71 55.74±1.35 3.5 53.93±0.04 57.19±2.66 56.34±1.31 55.82±2.08 5 55.70±0.25 54.91±0.37 55.20±1.49 55.27±0.85 Nilai L Rata-rata 55.16±1.26 55.80±1.77 55.88±1.41 55.61±1.47 2 41.73±0.34E 40.87±0.19CD 41.95±0.05E 41.51±0.53 3.5 39.83±0.32A 40.20±0.32AB 41.12±0.37D 40.38±0.37 5 40.62±0.39BC 39.94±0.14A 40.15±0.17A 40.23±0.37 Nilai b Rata-rata 40.72±0.87 40.33±0.46 41.07±0.80

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0.01)

Berdasarkan uji lanjut terhadap rendemen yang diperoleh pada berbagai konsentrasi HCl yang diterapkan, menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antara konsentrasi HCl 2%; 3.5%; dan 5%. Rendemen gelatin tertinggi diperoleh dari konsentrasi 5% dibandingkan dengan konsentrasi 3.5% dan 2%. Tingginya rendemen yang diperoleh pada perlakuan ini diduga pengaruh pH larutan. Hal ini mendukung pendapat Ward and Courts (1977) menyatakan transformasi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh pH, suhu dan waktu pemanasan.

Seperti yang terlihat pada Tabel 10 ada perbedaan sangat nyata (P<0.01) terhadap rendemen yang pada tiap taraf lama perendaman. Pada lama perendaman 48 jam diperoleh rata-rata rendemen sebesar 4.04±0.78% berbeda sangat nyata dengan lama perendaman 24 jam dan 36 jam dengan rata-rata rendemen dan 3.17±0.64% dan 3.70±0.62%. Fenomena ini mengindikasikan bahwa semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak jumlah tripel heliks pada kolagen berubah menjadi rantai á, â, dan ã, sehingga lebih banyak kolagen yang terkonvesi menjadi gelatin.

Kekuatan Gel

Kekuatan gel sangat penting dalam penentuan perlakuan yang terbaik dalam proses pembuatan gelatin, karena salah satu sifat penting gelatin adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversibel. Kemampuan inilah yang menyebabkan gelatin sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non pangan. Selanjutnya menurut Stainsby (1977) bahwa pembentukan gel terjadi karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan membuka ikatan-ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula bebas

mengalir menjadi terperangkap didalam struktur tersebut, sehingga menjadi kental. Setelah semua cairan terperangkap menjadi larutan kental larutan tersebut akan membentuk gel secara sempurna jika disimpan pada suhu refrigator 10 oC selama 17±2 jam.

Seperti yang terlihat pada Lampiran 2, hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman. Kombinasi konsentrasi HCl 2% dengan lama perendaman 24 jam menghasilkan kekuatan gel yang tertinggi (135.45±6.38), sedangkan kombinasi konsentrasi HCl 5% dengan lama perendaman 48 jam menghasilkan kekuatan gel yang paling rendah (31.11±2,68).

Kekuatan gel mengalami penurunan dengan peningkatan konsentrasi HCl dan lama perendaman (Gambar 6). Laju penurunan kekuatan gel antara konsentrasi 2%; 3.5% dan 5% masing-masing laju penurunannya adalah 1.43 Bloom/jam, 0.95 Bloom/jam dan 0.61 Bloom/jam.

1 0 3 0 5 0 7 0 9 0 1 1 0 1 3 0 1 5 0 2 4 3 6 4 8 L a ma P e re nd a ma n (ja m) K e kua ta n G e l ( B loom ,, H C l 2 % H C l 3 .5 % H C l 5 %

Gambar 6 Grafik hubungan konsentrasi HCl dan lama perendaman terhadap kekuatan gel gelatin.

Hasil uji lanjut menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) pada kekuatan gel gelatin tulang sapi yang dihasilkan dengan kombinasi konsentrasi HCl dan lama perendaman, namun pada konsentrasi 3.5% tidak ada dengan lama perendaman 36 jam dan 48 tidak ada perbedaan. Pada konsentrasi 5% tidak ada perbedaan kekuatan gel dengan lama perendaman 24 jam dan 36 jam.

Pembentukan gel selain dipengaruhi pH, adanya elektrolit dan non elektrolit serta aditif juga dipengaruhi oleh konsentrasi dan suhu. Semakin tinggi konsentrasi maka gel yang terbentuk semakin baik tetapi sebaliknya dengan suhu (Poppe 1992). Yoshimura et al. (2000) juga menyatakan bahwa kekuatan gel bertambah secara linier dengan penambahan konsentrasi gelatin. Pengukuran kekuatan gel pada penelitian ini dilakukan pada suhu dan konsentrasi yang sama sehingga kedua hal tersebut tidak mempengaruhi hasil kekuatan gel yang dihasilkan.

Viskositas

Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang penting setelah kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang lain seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Leiner (2000), viskositas gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh, dimana viskositas

gelatin yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibanding gelatin yang viskositasnya rendah. Dan untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang tinggi.

Menurut Stainsby (1977), menyatakan bahwa viskositas berhubungan dengan berat molekul rara-rata gelatin (mendekati linear). Sedangkan berat molekul rata- rata berhubungan dengan panjang rantai asam aminonya. Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan, rantai asam amino strukturnya semakin terbuka menyebabkan rantai tersebut semakin pendek dan terjadi penurunan viskositas. Nilai viskositas yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3.12-5.10 cP. Nilai ini memenuhi persyaratan seperti yang dikemukakan GMIA (2001) yaitu 1.50-7.50 cP, tetapi masih lebih rendah dibanding viskositas gelatin komersial (Lampiran 14). 2 2 .5 3 3 .5 4 4 .5 5 5 .5 2 4 3 6 4 8 L a m a P e re nd a ma n (ja m ) V is k o si ta s ( c H C l 2 % H C l 3 .5 % H C l 5 %

Gambar 7Grafik hubungan konsentrasi dan lama perendaman terhadap viskositas gelatin.

Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap viskositas gelatin tulang sapi. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan LSMean, menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi dan lama perendaman berbeda sangat nyata (P<0.01). Pada kombinasi lama perendaman 24 jam dengan konsentrasi HCl 2% dan 3.5%; 2% dan 5% menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, sedangkan pada konsentrasi 3.5% dan 5% tidak ada perbedaan. Untuk lama perendaman 36 jam dan 46 jam menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) pada berbagai konsentrasi.

Stainsby (1977) menyatakan viskositas minimum pada saat titik isoelektrik dan maksimum kira-kira pada pH 3 dan pH 10.5. Nilai viskositas akan meningkat sejalan dengan penurunan suhu ekstraksi, peningkatan suhu sampai sekitar 40 oC mengakibatkan viskositas menurun secara eksponensial. Adanya elektrolit juga dapat menurunkan viskositas larutan. Konsentrasi gelatin mempengaruhi viskositas yaitu dengan penambahan konsentrasi gelatin menyebabkan koloid akan semakin kental sehingga ruang gerak antar molekul gelatin semakin sempit, kemungkinan terjadi penyatuan molekul gelatin (agregation) juga semakin kecil, ini akan mengakibatkan peningkatan nilai viskositas gelatin.

Kapasitas Emulsi

Kapasitas emulsi merupakan parameter yang menunjukkan seberapa banyaknya fase terdisfersi (volume minyak) yang dapat diemulsikan oleh gelatin (gram) yang telah dilarutkan dalam air, dinyatakan dalam persen. Dalam pembentukan emulsi gelatin, yang berperan adalah gugus polar bebas yang akan larut dalam fase air dan rantai hidrokarbon yang akan larut dalam fase minyak. Kapasitas emulsi erat kaitannya dengan kualitas gelatin sebagai pengemulsi. Kapasitas emulsi yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 69.87- 109.71%. Hasil ini lebih rendah dari kapasitas emulsi gelatin komersial (Lampiran 14) yaitu 107.65%. Analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan interaksi antara konsentrasi HCl dan lama perendaman berpengaruh nyata terhadap kapasitas emulsi gelatin tulang sapi. Faktor tunggal yakni konsentrasi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kapasitas emulsi gelatin tulang sapi, namun lama perendaman tidak berpengaruh nyata.

Kapasitas emulsi yang tinggi berhubungan dengan proses perendaman. Pada proses perendaman terjadi pemecahan ikatan silang intermolekular dan intramolekuler (Wong 1989) yaitu pemecahan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang membantu heliks kolagen tetap stabil. Pemecahan ini akan banyak menghasilkan rantai asam amino yang mempunyai dua bagian (bagian hidrofobik yang memiliki afinitas yang kecil terhadap air dan bagian hidrofilik yang mempunyai daya tarik terhadap air) yang berperan dalam pembentukan emulsi, sehinggga diasumsikan semakin tinggi pula kapasitas emulsi gelatin yang diperoleh.

70 75 80 85 90 95 100 105 110 24 36 48

Lama Perendaman (jam)

K apa si ta s e m u ls i ( % ) ,, HCl 2% HCl 3.5% HCl 5%

Gambar 8 Grafik hubungan konsentrasi dan lama perendaman terhadap kapasitas emulsi gelatin.

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan LSMean, menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi dan lama perendamam berbeda sangat nyata (P<0.01). Pada lama perendaman 24 jam dengan konsentrasi HCl 2% dan 5%; 3.5% dan 5% menunjukkan perbedaan sangat nyata, tetapi pada konsentrasi 2% dan 3.5% tidak ada perbedaan. Untuk lama perendaman 36 jam pada berbagai konsentrasi tidak ada perbedaan, sedangkan pada lama perendaman 48 jam hanya berebeda sangat nyata pada konsentrasi 2% dan 3.5%.

Stabilitas Emulsi

Stabilitas emulsi merupakan kemampuan untuk mempertahankan agar emulsi stabil atau tidak pecah selama penyimpanan. Gelatin selain berfungsi sebagai bahan pengemulsi (emulsifier), juga berfungsi untuk mempertahankan kestabilan emulsi (stabilizer). Semakin tinggi nilai stabilitas emulsi maka sifat fungsional gelatin sebagai stabilizer semakin bagus

Stabilitas emulsi gelatin tulang sapi yang diperoleh berkisar 51.71-59.21% dengan rataan umum 56.61% dan koefisien keragaman 2.49%. Analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan stabilitas emulsi tidak dipengaruhi oleh interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman begitu pula dengan faktor tunggal. Nilai stabilitas emulsi gelatin yang diperoleh dari penelitian tercantum dalam Tabel 11.

Stabilitas emulsi tergantung pada ukuran partikel fase terdispersi, tegangan permukaan partikel, perbedaan densitas dari kedua fase, viskositas, jenis dan jumlah pengemulsi yang digunakan. Glicksman (1969) menyatakan stabilitas emulsi semakin tidak stabil dalam kondisi viskositas yang semakin rendah karena globula-globula lemak semakin bebas bergerak dan membentuk agregat satu sama lainnya sehingga emulsinya tidak stabil.

Kemampuan gelatin untuk menstabilkan emulsi merupakan hasil dari kemampuan gelatin untuk mempertahankan aksi koloidnya yang membentuk lapisan tipis yang mengelilingi fase terdisperi. Lapisan tipis yang menyelubungi partikel dan lokasinya berada diantara kedua permukaan, yaitu antara senyawa terdispersi dan senyawa pendispersi atau tepatnya senyawa ini disebut lapisan interfasial. Kedua lapisan tersebut (senyawa terdispersi dan senyawa pendispersi) mempunyai tegangan yang disebut tegangan permukaan yang penting peranannya dalam sistem emulsi. Gelatin merupakan salah satu senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antar permukaan tersebut (de Man 1997).

Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur, tetapi saling ingin terpisah (antagonistik) karena mempunyai berat jenis dan polaritas yang berbeda. Pada sistem emulsi keberadaan gelatin sebagai pengemulsi (emulsifier) berfungsi menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air. Winarno (1997) menyatakan daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak maupun air. Emulsifier

mempunyai dua sisi dengan sifat yang berbeda. Salah satu sisinya bersifat polar yang dapat berikatan dengan cairan yang bersifat polar (air), sedangkan sisi yang lainnya bersifat non polar yang berikatan dengan fase non polar (minyak) (Graham 1977). Proses pengukuran kapasitas emulsi disini merupakan jenis emulsi minyak dalam air (o/w) yaitu minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi atau fase continous. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Skema emulsi minyak dalam air (Winarno 1997).

Butir-butir minyak yang telah terdispersi atau terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan) segera terselubungi oleh selaput tipis emulsifier (gelatin). Bagian molekul gelatin yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir minyak, sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut (air).

Warna

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya ditentukan beberapa faktor diantaranya rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat mikrobiologisnya, tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna yang mendapat perhatian pertama. Menurut Winarno (1997), cara pengukuran warna secara teliti dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue dan chroma. Nilai value menunjukkan gelap terangnya warna, nilau hue mewakili panjang gelombang yang dominan yang akan menentukan apakah warna tersebut merah, hijau atau kuning, sedangkan chroma menunjukkan intensitas warna. Ketiga komponen ini diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur

kromatositas permukaan suatu bahan. Notasi Warna “L”

Notasi warna “L” merupakan notasi menunjukkan tingkat kecerahan (light) yang mempunyai kisaran nilai 0-100 (hitam-putih). Nilai L mengindikasikan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam (Soekarto 1990).

Rataan nilai notasi warna L gelatin tulang sapi berkisar 53.93-57.19. Kisaran nilai tersebut menunjukkan warna gelatin hasil penelitian ini ke warna cerah, jika dibandingkan dengan gelatin komersial (Lampiran 14) nilai kecerahan yang diperoleh yang sama. Hasil analis ragam (Lampiran 6) menunjukkan warna L gelatin tulang sapi tidak dipengaruhi interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman serta faktor tunggal.

Warna b

Notasi warna “b” merupakan notasi yang menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning, dengan nilai +b (positip) memiliki interval 0 sampai 70 untuk warna kuning, sedangkan nilai -b (negatif) memiliki interval 0 sampai 70 untuk warna biru (Soekarto 1990).

Seperti yang terlihat pada Lampiran 7, berdasarkan nilai b gelatin tulang sapi yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 39.69-41.97 yang menunjukan warna kromatik kuning. Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh metode pengeringan yang digunakan. Menurut Glicksman (1969), warna gelatin dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan, metode pembuatan dan jumlah ekstraksi

Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa warna b gelatin sangat nyata (P<0.01) dipengaruhi oleh interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman. 38.5 39 39.5 40 40.5 41 41.5 42 42.5 24 36 48

Lama Perendaman (jam)

N o ta si w ar n a b HCl 2% HCl 3.5% HCl 5%

Gambar 10 Grafik hubungan konsentrasi HCl dan lama perendaman terhadap notasi warna b gelatin.

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan LSMean, menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi dan lama perendamam berbeda sangat nyata (P<0,01). Pada lama perendaman 24 jam dan 48 jam pada berbagai konsentrasi HCl menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap warna b gelatin yang dihasilkan. Untuk lama perendaman 36 jam dengan konsentrasi HCl 3.5% dan 5% tidak ada perbedaan terhadap warna b gelatin tulang sapi.

Secara umum warna gelatin yang diperoleh pada penelitian ini adalah warna kuning gading, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 14. warna ini hampir mendekati warna gelatin komersial menurut Dewan Standarisasi Nasional (1995) yaitu tidak berwarna sampai kekuning-kuningan pucat.

Sifat Kimia Gelatin Tulang Sapi

Analisis kimia yang diukur dalam penelitian ini meliputi : pH, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar kalsium dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai pH

Nilai pH merupakan salah satu sifat kimia gelatin yang penting, karena mempengaruhi sifat-sifat gelatin yang lainnya sehingga menentukan aplikasi selanjutnya. Nilai pH yang diperoleh dari penelitian ini berkisar 3.96-4.48 dengan rataan umum 4.30±0.17 (Tabel 11) dan koefisien keragaman 3.52%. Hasil ini sesuai dengan standar gelatin edible hasil proses asam yang ditetapkan oleh GMAP (2004) yaitu 3.8-5.5. Jamilah dan Harvinder (2001) menyatakan perbedaan pH gelatin mungkin juga disebabkan oleh tipe dan kekuatan asam yang bekerja selama proses ekstraksi berlangsung. Data lengkap pH yang diperoleh dari penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 11.

Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan tidak ada yang nyata terhadap pH gelatin. Kondisi ini menggambarkan bahwa semua perlakuan konsentrasi HCl dan lama perendaman menghasilkan respon yang sama, sehingga pengaruh konsentrasi HCl dan lama perendaman dapat diabaikan

Gelatin yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai pH yang rendah, ini diperkirakan karena pada saat proses perendaman HCl terjadi swelling

(pembengkakan) sehingga mengakibatkan terbukanya struktur koil kolagen dan HCl masuk dalam jaringan tersebut. Bila pada saat pencucian atau netralisasi tidak

dilakukan secara sempurna maka kemungkinan masih ada HCl yang terperangkap dalam kolagen yang tidak larut bersama air pada saat pencucian, sehingga residu HCl ini terbawa saat proses ekstraksi yang menyebabkan pH gelatin jadi rendah.

Tabel 11. Rekapitulasi hasil analisis ragam sifat kimia gelatin tulang sapi

Lama perendaman (jam)

Peubah Konsentrasi HCl (%) 24 36 48 Rata-rata 2 4.42±0.10 4.21±0.19 4.42±0.25 4.35±0.15 3.5 4.43±0.08 4.35±0.13 4.29±0.16 4.35±0.12 5 4.27±0.26 4.06±0.13 4.26±0.16 4.19±0.19 pH Rata-rata 4.37±0.16 4.20±0.18 4.32±0.13 4.30±0.17 2 9.62±0,48c 7.87±0.59a 8.87±0.42abc 8.78±0.87 3.5 8.72±0.53abc 9.78±0.35c 8.92±0.69abc 9.14±0.67 5 8.32±1.38abc 9.09±0.56bc 7.96±0.13ab 8.45±0.90 Kadar air (%) Rata-rata 8.89±0.96 8.91±0.95 8.58±0.62 2 11.69±0.54 11.46±0.91 11.23±1.61 11.46±0.81a 3.5 8.38±0.99 9.34±0.92 9.00±1.17 8.91±0.99b 5 8.83±0.44 9.77±0.71 8.45±0.81 9.02±0.72c Kadar abu (%) Rata-rata 9.63±1.67 10.19±1.21 9.00±1.17 2 78.18±0.82A 79.94±1.27ABC 79.36±0.46AB 79.16±1.14 3.5 82.47±0.46DE 80.15±0.99BC 82.56±0.60DE 81.73±1.33 5 81.47±1.66 CDE 80.69±1.25BCD 82.85±0.36E 81.67±1.42 Kadar protein (%) Rata-rata 80.70±2.16 80.26±1.07 81.59±1.80 2 0.50±0.05 0.72±0.11 0.52±0.08 0.58±0.13a 3.5 0.42±0.14 0.65±0.20 0.41±0.03 0.49±0.07ab 5 0.53±0.07 0.44±0.05 0.39±0.25 0.45±0.10b Kadar lemak (%) Rata-rata 0.48±0.10A 0.60±0.17B 0.44±0.07A 2 1.33±0.14e 1.19±0.13e 0.97±0.09d 1.16±0.19 3.5 1.02±0.04d 0.66±0.09c 0.48±0.05b 0.72±0.24 Kadar kalsium (%) 5 0.39±0.03b 0.36±0.04ab 0.23±0.05a 0.33±0.08 Rata-rata 0.91±0.42 0.73±0.37 0.56±0.33

Keterangan : Angka yang diikuti superskrip huruf besar yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0.01)

Angka yang diikuti superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0.05)

Proses asam cenderung nilai pH yang rendah, sedangkan proses basa akan memiliki kecenderungan nilai pH yang tinggi. Oleh karena itu, proses penetralan memiliki peranan penting untuk menetralkan sisa-sisa asam maupun basa setelah dilakukan perendaman (Hinterwaldner 1977). Keuntungan gelatin dengan nilai pH rendah akan lebih tahan terhadap kontaminasi mikroorganisme (Saepudin 2003). Gelatin ini juga sesuai dengan pH sistem pencernaan manusia yang cenderung asam sehingga gelatin ini cocok diaplikasikan dalam pengolahan produk pangan.

Kadar Air

Pengujian kadar air dimaksudkan untuk mengetahui kandungan air dalam gelatin. Kadar air gelatin sangat berpengaruh terhadap umur simpan, karena erat kaitannya dengan aktivitas mikroorganisme yang terjadi selama gelatin tersebut disimpan. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatik, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan nilai gizinya. Bahan pangan yang dikeringkan atau dikering bekukan yang mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan, biasanya rentang kandungan airnya 5 sampai 15%.

Kadar air gelatin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 7.39- 10.16% dengan rataan umum 8.79% (Tabel 11). Kisaran nilai ini sesuai dengan Standar kadar air gelatin yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional No. 06-3735-1995 (1995) yaitu maksimum 16% dan oleh GMIA (2001) yaitu kisaran 8-15%. Bila dibandingkan dengan kadar air gelatin komersial kadar air gelatin (Lampiran 14) yang dihasilkan dalam penelitian ini masih lebih rendah. Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa interaksi antara komsentrasi HCl dan lama perendaman perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air gelatin terhadap kadar air gelatin yang dihasilkan.

Rendahnya kadar air gelatin dari tulang sapi diduga disebabkan oleh adanya proses pengeringan pada salah satu pembuatan gelatin yaitu dengan menggunakan oven, dimana gelatin yang dihasillkan terbentuk setelah dikeringkan pada suhu 50oC selama 36 jam. Dengan nilai kadar air sebesar 8.79% ini, gelatin dari tulang sapi cenderung menyerap air jika disimpan pada suhu ruang untuk mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban udara lingkungan. Nilai kadar air gelatin tulang sapi pada penelitian ini sifatnya tidak terlalu higroskopik. Gelatine Food Science (2004) menyatakan bahwapada kadar air 13% dan suhu 25 oC gelatin mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban udara lingkungan yaitu RH 46%. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada kadar air 6% sampai 8% gelatin bersifat higroskopik dan hal ini menyebabkan sulitnya menentukan sifat fisik gelatin dengan tepat.

7 7.5 8 8.5 9 9.5 10 24 36 48

La ma P e re nd ama n (jam)

K

ad

ar a

ir (%

)

HCl 2% HCl 3.5% HCl 5%

Gambar 11 Grafik hubungan konsentrasi HCl dan lama perendaman terhadap kadar air gelatin.

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan LSMean, menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi dan lama perendamam berbeda sangat nyata (P<0.01) pada kombinasi lama perendaman 36 jam dengan konsentrasi HCl 2% dan 3.5% dan pada kombinasi lama perendaman 24 jam dan 36 jam dengan konsentrasi HCl 2% dan 5% hanya menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap kadar air gelatin pada tulang sapi. Kadar air gelatin untuk kombinasi lama perendaman 48 jam pada semua taraf konsentrasi HCl yang diterapkan tidak ada perbedaan. Kadar Abu

Pengamatan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan mineral bahan pangan dan untuk mengetahui kemurnian suatu bahan pangan. Sekitar 96% bahan pangan terdiri dari bahan organik dan air 4% terdiri dari unsur-unsur mineral (Winarno 1997). Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Kadar abu merupakan parameter penting untuk menilai kualitas gelatin karena menunjukkan kemurnian produk. Menurut GMAP (2004) gelatin edible mempunyai kadar abu maksimal 2%.

Kadar abu yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar 8.33-11.69% (BK). Nilai ini lebih tinggi dibanding kadar abu yang ditetapkan Dewan Standarisasi Nasional No. 06-3735-1995 (1995) yaitu 3.25% (BK) dan kadar abu gelatin komersial (Lampiran 14) yakni 2.32%. Kadar abu yang tinggi disebabkan karena bahan baku yang digunakan adalah tulang sapi yang kadar abu cukup tinggi

(34.81%) atau proses demineralisasi yang belum optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ward dan Courts (1977) yang menyatakan bahwa residu gelatin dipengaruhi oleh kandungan bahan baku, metode penyaringan dan ekstraksi yang dilakukan.

Hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan kadar abu gelatin tulang sapi tidak dipengaruhi oleh interaksi konsentrasi HCl dan lama perendaman, namun sangat nyata (P<0.01) dipengaruhi oleh konsentrasi HCl. Seperti yang terlihat (Tabel 11) kadar abu gelatin yang diperoleh paling rendah pada konsentrasi 3.5%.

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan LSMean, menunjukkan ada perbedaan yang sangat (P<0.01) terhadap kadar abu gelatin yang dihasilkan dengan adanya peningkatan konsentrasi HCl, namun hanya pada konsentrasi 2% dengan 3.5%; 2% dengan 5%. Pada konsentrasi HCl 3.5% dan 5% tidak ada perbedaan kadar abu yang dihasilkan. Oleh sebab itu dalam penentuan konsentrasi HCl bila dihubungkan kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini cukup dengan konsentrasi 3.5 %.

Fenomena ini juga diduga karena komponen anorganik(Eastoe dan Leach 1977) seperti kalsium, sodium, magnesium, besi, almunium dan potasium belum terlepas dari kolagen pada saat pencucian setelah perendaman sehingga unsut teresebut tidak terbuang dan ikut pada proses ekstraksi sehingga kadar abu

Dokumen terkait