• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa terdapat variasi pola tanam dan kultivar tanaman cabai yang digunakan (Gambar 3.1). Pada lokasi pengamatan di Malang, tanaman cabai ditanam secara monokultur pada areal tanam yang beragam, namun ada juga yang ditanam secara tumpangsari bersama- sama dengan bawang (Allium cepa L), kubis (Brassica oleraceae L), atau jagung (Zea mays L) seperti di desa Kali Malang, dan Wates. Jenis dan kultivar cabai yang umumnya ditanam oleh petani di Malang antara lain Cabai besar (Hot Beauty) dan keriting lokal. Pada semua lokasi survei, pola penanaman dilakukan dengan bedengan dan sebagian areal ditutupi mulsa plastik. Untuk lokasi survei di daerah Brebes, tanaman cabai umumnya ditanam dengan pola monokultur dengan sistem bedengan yang sekelilingnya dibuat parit yang digenangi air. Air tersebut juga digunakan untuk menyiram tanaman. Namun ada juga lahan tanaman cabai yang ditumpangsari dengan tanaman bawang dan kadang-kadang dengan jagung, tomat (Solanum lycopersicum L), terong (Solanum melongena L), kacang kedelai (Glycine max (L.) Merr), kacang hijau (Phaseolus radiatus L) dan kacang tanah (Arachis hypogaea L). Kultivar yang umum ditanam di Brebes adalah cabai besar (Tit Segitiga dan Randu) dan cabai keriting (TM 999). Selain itu sebagian petani telah mengenal sistem pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan menanam tanaman penghalang disekeliling tanaman utama. Saat survei di Brebes dilakukan, gejala ChiVMV tidak ditemukan pada beberapa wilayah pertanaman cabai terutama di Wanacala dan Wanasari. Namun lahan tersebut

terserang belalang kembara (Locusta migratoria) dan ulat gerayak (Spodoptera litura L), sehingga ada beberapa area tanam yang tanamannya tidak sempat berdaun serta kerdil.

Hasil survei lapang yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyebaran ChiVMV sangat luas di lapangan. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa ChiVMV hampir selalu berada di pertanaman yang diamati meskipun dengan jumlah infeksi yang berbeda-beda. Hal ini nampaknya dipengaruhi oleh keadaan iklim, pola tanam serta jenis kultivar yang ditanam. Pada pertanaman cabai dengan pola monokultur dalam areal yang luas, serangan virus terlihat lebih parah dibandingkan pada lahan cabai yang ditanam bersama-sama dengan tanaman lainnya. Hull (2002) menyatakan bahwa untuk mengurangi kejadian penyakit virus, dapat dilakukan dengan menanam secara intercropping atau menanam komoditi bersama-sama dengan tanaman sela, misalnya menanam cabai dengan kacang kedelai atau dengan jagung. Selain itu diperhatikan pemilihan jenis tanaman serta waktu tanam yang sesuai. Pemilihan jenis tanaman yang tahan akan mengurangi resiko meluasnya penyebaran virus dan penurunan hasil produksi.

Gambar 3.1 Keadaan pertanaman cabai di lokasi survei dan pengambilan sampel. (A).Tanah Datar, Sumatera Barat; (B). Mega Mendung, Jawa Barat; (C). Brebes, Jawa Tengah; (D). Mendem, Jawa Timur.

A

C

D

Pemilihan waktu tanam yang tepat sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan ketersediaan air, curah hujan serta gangguan hama dan penyakit. Air diperlukan oleh tanaman cabai sejak awal pertumbuhan tanaman sampai periode pembungaan dan pembuahan. Kekurangan air pada masa pertumbuhan vegetatif dan pada masa pembentukan bunga menyebabkan tanaman cabai tumbuh kerdil dan menurunkan hasil buah, bahkan dapat gagal panen (Welles 1990). Tetapi lahan yang terlalu lembab juga menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terhambat. Curah hujan yang tinggi pada saat pembentukan bunga dan buah dapat menggugurkan bunga dan menyebabkan pembusukan buah (Sumarni 1996). Sementara pemilihan waktu tanam yang serentak akan mengurangi terbentuknya sumber inokulum virus yang bertahan di lapangan karena selalu tersedianya sumber infeksi di lapangan.

Diagnosis Sampel dari Lapang dengan DAS-ELISA

Hasil DAS-ELISA pada 135 sampel bergejala yang dikumpulkan dari 22 lokasi survei menunjukkan 28,88 % sampel terinfeksi ChiVMV. Proporsi jumlah jumlah sampel yang bereaksi positif terhadap antiserum ChiVMVmenunjukkan hasil yang beragam pada lokasi survei (Tabel 3.1).

Persentase sampel yang memberikan reaksi positif untuk masing-masing lokasi survei secara berturut-turut adalah 72,72%, 0%, 55%, 20%, dan 33,33% (Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan). Hasil survei yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa ChiVMV dapat menginfeksi tanaman cabai secara tunggal maupun bersama-sama dengan virus lainnya.

Tabel 3.1 Deteksi ChiVMV menggunakan metode DAS ELISA pada sampel tanaman cabai asal Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan.

Asal sampel (Propinsi/ Desa)

Sampel yang memberikan reaksi positif terhadap

ChiVMV (%) 1

Pola Tanam/ Genotipe Cabai Sumatera Barat Agam 1/2 (50.00) - Solok 4/4 (100) - Tanah Datar 1/1 (100) - Lumpo Selatan 2/4 (50.00) - Jawa Barat

Mega Mendung 0/5 (0) Monokultur/ Hot Beauty

Jawa Timur

Mbokor 8/15 (53.33) Monokultur/ Hot Beauty

Kali Malang 0/12 (0) Tumpangsari/ Huang Dong

Karang Juwet 2/8 (25.00) Monokultur/ Hot King

Mendem 0/10 (0) Tumpangsari/ Rawit lokal

Belung 4/20 (20.00) Tumpangsari/ Hot Beauty

Nongko Sewu 0/8 (0) Monokultur/ Hot Beauty

Wates

3/12 (25.00) Tumpangsari/Keriting lokal

Jawa Tengah

Kemukten 2/4 (50.00) Monokultur/Tit Segitiga

Kersana 3/5 (60.00) Tumpangsari/Randu

Keradenan 3/6 (50.00 Tumpangsari/Tit Segitiga

Sitanggal 3/5 (60.00) Monokultur/Tit Segitiga

Kalimantan Selatan Nusa Indah 2/2 (50.00) - Panggong 1/2 (50.00) - Kurnia Ujung 0/1 (0) - Sukamaju 0/3 (0) - Golf 0/1 (0) - 1

Nilai ditentukan berdasarkan hasil deteksi dengan DAS ELISA, yaitu dengan membandingkan jumlah sampel tanaman bereaksi positif terhadap jumlah sampel total.

- Tidak ada informasi

Hasil penelitian Taufik (2005) melaporkan bahwa ChiVMV seringkali ditemukan berada bersama-sama dengan CMV di lapangan. Walaupun demikian deteksi DAS ELISA dengan menggunakan antiserum CMV, ChiVMV, PVY, TMV dan PMMV menunjukkan bahwa infeksi virus yang dominan di lokasi survei adalah ChiVMV dan PVY (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Deteksi beberapa virus pada sampel tanaman cabai

Jumlah sampel yang terinfeksi* Lokasi

(Propinsi / Desa)

Total

Sampel CMV ChiVMV PVY TMV PMMV

Sumatera Barat Agam 2 1 1 0 0 0 Solok 4 0 4 0 0 0 Tanah Datar 1 0 1 0 0 0 Lumpo Selatan 4 0 2 0 0 0 Jawa Barat Mega Mendung 5 1 0 3 0 0 Jawa Timur Mbokor 15 0 8 2 0 0 Kali Malang 12 0 0 4 0 0 Karang Juwet 8 0 2 1 0 0 Mendem 10 4 0 8 0 0 Belung 20 0 4 13 5 4 Nongko Sewu 8 1 0 2 0 0 Wates 12 0 3 5 0 0 Jawa Tengah Kemukten 4 0 2 0 0 0 Kersana 5 0 3 0 0 0 Keradenan 6 0 3 0 0 0 Sitanggal 5 0 3 0 0 0 Wanacala 1 0 0 0 0 0 Kalimantan Selatan Nusa Indah 2 0 2 0 0 0 Panggong 1 0 1 0 0 0 Kurnia Ujung 1 0 0 0 0 0 Sukamaju 3 0 0 0 0 0 Golf 1 0 0 0 0 0

* CMV = cucumber mosaic virus; ChiVMV = chilli veinal mottle potyvirus; PVY = potato virus Y; TMV = tobacco mosaic virus; PMMV = pepper mottle mosaic virus.

Perbanyakan Isolat ChiVMV

Dari hasil deteksi dengan DAS ELISA, sampel-sampel yang positif terinfeksi ChiVMV dengan gejala tunggal kemudian diperbanyak di rumah kaca. Terdapat 13 isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum). Dari ketigabelas isolat tersebut selanjutnya dipilih 5 isolat yang mewakili masing-masing daerah lokasi survei. Karakteristik gejala masing- masing isolat bervariasi pada tanaman paprika

sumber inokulum ChiVMV mulai dari gejala belang ringan sampai belang berat dengan maformasi daun (Gambar 3.2 dan Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Isolat-isolat ChiVMV yang berhasil diperbanyak di rumah kaca

Asal Isolat ChiVMV Kode

Isolat

Gejala pada tanaman perbanyakan virus*

Solok 1, Sumatera Barat SOSKM 1 Belang sedang, malformasi daun

ringan

Solok 2, Sumatera Barat SOSKM 2 Belang sedang, malformasi daun

sedang

Tanah Datar, Sumatera Barat TD Belang berat, malformasi daun

berat

Agam, Sumatera Barat AGAM Belang ringan, tidak terjadi

malformasi daun

Cikabayan, Jawa Barat CKB Belang berat, ujung daun

meruncing, dan kerdil

Belung, Jawa Timur BL Belang sedang, malformasi daun

sedang

Wates, Jawa Timur WK Belang ringan, tidak terjadi

malformasi daun

Kemukten, Jawa Tengah KMT Belang ringan, malformasi daun

ringan

Kersana, Jawa Tengah KRS Belang sedang, daun muda kaku

ke atas

Keradenan, Jawa Tengah KRD Belang berat, ujung daun

meruncing

Sitanggal, Jawa Tengah STG Belang berat, tanaman kerdil

Panggong, Kalimantan Selatan PANG Belang sedang, malformasi daun

ringan

Nusa Indah, Kalimantan Selatan NI Belang sedang, malformasi daun

sedang

* Isolat-isolat tersebut diperbanyak pada tanaman paprika C. annuum var Grossum

Hasil survei yang telah dilakukan sebelumnya oleh Taufik (2005) hanya berhasil mengumpulkan enam isolat ChiVMV dari hasil survei lapang di Jawa Barat, Sumatera Barat dan Jambi. Diharapkan isolat-isolat ChiVMV yang berhasil dikoleksi ini dapat melengkapi koleksi isolat-isolat ChiVMV asal Indonesia yang telah dikumpulkan sebelumnya. Selain itu masih diperlukan karakterisasi lebih lanjut untuk mengetahui sifat dan keragaman antar isolat tersebut.

Gambar 3.2 Gejala ChiVMV pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum). SOSKM adalah isolat asal Solok; CKB adalah isolat asal Cikabayan; BL adalah isolat asal Belung; KRD adalah isolat asal

SOSKM CKB

BL KRD

Keradenan; PANG isolat asal Panggong; TD adalah isolat asal Tanah Datar.

Deteksi ChiVMV dengan RT-PCR

Menggunakan hasil ekstraksi total RNA dari isolat ChiVMV yang telah diperbanyak pada tanaman paprika (C. annuum var. Grossum) didapatkan cDNA pada reaksi reverse transcriptase. Selanjutnya cDNA yang terbentuk langsung digunakan sebagai cetakan dalam reaksi PCR dengan menggunakan pasangan primer ChiVMV –F1 dan ChiVMV-R. Hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R tersebut setelah dielektroforesis pada gel agarosa 1,2 % menghasilkan produk yang berukuran 800 pasang basa (bp) (Gambar 3.7). Hasil RT-PCR ini menunjukkan bahwa metode RT-PCR dapat digunakan untuk mendeteksi ChiVMV penyebab gejala belang pada tanaman cabai. Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Moury et al. (2005) telah berhasil mendapatkan pita DNA spesifik ChiVMV dengan menggunakan pasangan primer 5’-GGIAA(A/G)GC(G/A/T/C)CC (G/A/T/C)TA(C/T)AT-3’ dan 5’-CGCGCTAATGACATATCGGT-3’.

Gambar 3.3 Hasil amplifikasi RT-PCR dari tanaman cabai terinfeksi beberapa isolat ChiVMV menggunakan primer ChiVMV-F1 dan ChiVMV-R. (M) Marker 100 base pairs (bp); (1). Tanaman sehat; (2) Isolat BL, Malang; (3) Isolat CKB, Cikabayan; (4) Isolat KRD, Keradenan; (5) Isolat PANG, Panggong; (6) Isolat TD, Tanah Datar

Deteksi ChiVMV dengan I-ELISA

Hasil deteksi sampel terinfeksi ChiVMV dengan metode I-ELISA dilakukan dengan perlakuan pengenceran bertingkat pada sap tanaman uji. Pembacaan nilai

M 1 2 3 4 5 6

800 bp 500 bp

absorbansi pada 405 nm menunjukkan hasil yang beragam antara isolat ChiVMV yang berbeda. Meskipun demikian rata-rata nilai absorbansi cukup homogen pada tingkat pengenceran 1 : 10 sampai 1 : 1.000. Pada kisaran tingkat pengenceran tersebut, reaksi positif sangat jelas terlihat, yaitu ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang tinggi (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Rata-rata nilai absorbansi sampel terinfeksi ChiVMV pada berbagai tingkat pengenceran menggunakan metode I-ELISA*.

Sampel uji*** Pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi ** BL CKB KRD PANG TD Kontrol negatif Bufer 1: 10 3.317 2.318 3.229 2.503 3.122 0.281 0.285 1 : 100 3.273 3.290 3.182 2.589 3.183 - - 1: 1.000 3.277 3.377 3.182 1.809 3.208 - - 1 : 10.000 1.734 3.130 2.104 0.736 1.421 - - 1 : 100.000 0.374 0.471 0.438 0.347 0.345 - - 1 : 1.000.000 0.282 0.316 0.298 0.280 0.283 - -

* Sampel dinyatakan positif bila nilai absorbansinya lebih dari dua kali nilai absorbansi kontrol negatif yaitu sampel tanaman sehat

** Perbandingan antara sampel dengan bufer (b / v )

*** Sampel uji terdiri dari tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV isolat Malang (BL), Cikabayan (CKB), Keradenan (KRD), Panggong (PANG), dan Tanah Datar (TD)

Batas sensitifitas pengujian dengan metode I-ELISA adalah pada tingkat pengenceran 1 : 1.000. Pada tingkat pengenceran 1 : 10.000 sampai 1 : 1.000.000 terjadi penurunan nilai absorbansi. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode deteksi dengan I-ELISA masih dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan ChiVMV hingga tingkat pengenceran sampel 1 : 10.000 (Tabel 3.4).

Pengamatan secara visual terhadap perubahan warna yang terjadi pada plat mikrotiter ELISA menunjukkan perbedaan intensitas warna kuning (Gambar 3.4). Intensitas warna kuning tersebut sangat kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 dan semakin berkurang warnanya dengan semakin tingginya tingkat pengenceran. Kelima isolat yang digunakan pada tingkat pengenceran ini pada semua sumuran plat menunjukkan tidak terjadi perubahan warna pada pengenceran 1: 100.000 dan 1 : 1.000.000. Hal tersebut menguatkan kesimpulan bahwa antiserum yang

1: 10 1 : 102 1: 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106

digunakan tidak dapat lagi mendeteksi sampel yang terinfeksi ChiVMV pada tingkat pengenceran 1 : 100.000 dan 1 : 1.000.000.

BL KRD TD CKB PANG B K(+) K(-)

Gambar 3.4 Reaksi perubahan warna pada plat mikrotiter hasil I-ELISA pada berbagai tingkat pengenceran (1 : 10 hingga 1 : 106) menggunakan lima isolat ChiVMV: Malang (BL),Keradenan (KRD), Tanah Datar (TD), Cikabayan (CKB), Panggong (PANG), Bufer (B), Kontrol positif K(+) dan Kontrol sehat K(-).

Deteksi ChiVMV dengan Metode DIBA

Pada deteksi ChiVMV dengan menggunakan metode DIBA, diperoleh reaksi positif pada semua isolat ChiVMV pada tingkat pengenceran 1 : 10 sampai

1 : 1.000. Hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan warna ungu pada membran (Gambar 3.5). Semua sampel menunjukkan reaksi positif dengan signal kuat pada tingkat pengenceran 1 : 10 namun semakin melemah pada tingkat pengenceran berikutnya. Secara umum, sampel yang diuji sudah tidak lagi menunjukkan signal positif pada tingkat pengenceran 1 : 1.000 kecuali sampel BL (Malang) dan TD (Tanah Datar) yang masih menunjukkan signal positif sampai pengenceran 1:10.000. Hal tersebut menunjukkan bahwa batas sensitifitas deteksi ChiVMV dengan metode DIBA adalah pada tingkat pengenceran 1 : 1: 1.000. Adanya perbedaan antar sampel yang diuji yaitu ChiVMV dari berbagai lokasi, dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut Hull (2002), hal tersebut dapat terjadi karena terdapat perbedaan tingkat konsentrasi virus yang terkandung di dalam inangnya. Semakin tinggi konsentrasi virus pada tanaman maka akan memberikan reaksi yang sangat kuat pada membran begitu juga sebaliknya semakin rendah konsentrasi virus pada tanaman uji maka akan memberikan reaksi lemah pada membran.

Tingkat Pengenceran Isolat A B C D E 1 : 10 1 : 102 1 : 103 1 : 104 1 : 105 1 : 106 K (+) Bufer K (-)

Gambar 3.5 Reaksi perubahan warna pada membran DIBA dengan berbagai tingkat pengenceran sap menggunakan lima isolat ChiVMV. (A) Isolat BL, Malang; (B) Isolat CKB Cikabayan; (C) Isolat KRD, Keradenan; (D) Isolat Pang, Panggong; (E) Isolat TD, Tanah Datar.

Batas sensitifitas metode DIBA lebih rendah dibandingkan metode I- ELISA. Walaupun demikian metode DIBA memerlukan antiserum yang lebih sedikit dibandingkan metode I-ELISA untuk pengujian jumlah sampel yang sama. Selain itu, pelaksanaan pengujian dengan metode DIBA relatif lebih cepat. Metode DIBA dapat disarankan untuk digunakan dalam kegiatan deteksi yang melibatkan jumlah sampel yang banyak, misalnya pada kegiatan seleksi atau skrining plasma nutfah dalam rangka perakitan varietas tahan ChiVMV.

SIMPULAN

1. Hasil survei lapang yang dilakukan menunjukkan penyebaran ChiVMV yang semakin luas di lapangan. Virus tersebut ditemukan hampir disetiap pertanaman cabai yang diamati meskipun dengan jumlah tanaman terinfeksi yang berbeda-beda.

2. Dari hasil perbanyakan isolat virus di rumah kaca, didapatkan 14 isolat virus. Selanjutnya dipilih lima isolat utama yang mewakili masing-masing lokasi survei. Kelima isolat ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk mengetahui karakteristiknya lebih lengkap.

3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa deteksi ChiVMV dengan I-ELISA mampu mendeteksi ChiVMV hingga tingkat pengenceran 1 : 10.000, sedangkan deteksi dengan DIBA mampu mendeteksi ChiVMV sampai batas pengenceran 1 : 1.000, sementara uji molekular dengan RT-PCR berhasil mendapatkan produk DNA spesifik berukuran 800 bp.

Dokumen terkait