• Tidak ada hasil yang ditemukan

lxiii BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Ekstraksi Senyawa Isoflavon

Ekstraksi isoflavon dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Etanol 70% diketahui mampu mengekstrak isoflavon secara optimal (Kudou et al., 1991). Etanol merupakan salah satu pelarut optimum untuk mengekstrak isoflavon dari kedelai, tetapi penggunaanya untuk skala komersial masih dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik (Susanto et al.,1998). Dalam penelitian ini menggunakan pelarut etanol karena selain kepolarannya mendekati metanol, etanol juga relatif tidak beracun. Proses penyiapan bahan adalah dengan memotong tempe kedelai hasil fermentasi 1, 2, 3 dan 4 hari dalam ukuran yang tipis, kemudian diblender hingga berbentuk bubur tempe.

lxvi

Khusus untuk tempe fermentasi 0 hari, langsung diblender setelah penambahan inokulum. Pembuatan bubur tempe bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel sehingga diharapkan senyawa isoflavon yang terekstrak akan semakin banyak karena interaksi antara pelarut dengan bahan yang akan diekstrak semakin tinggi.

Bahan mentah dimaserasi dalam pelarut etanol selama 24 jam, selanjutnya filtrat dipisahkan dari residu untuk diproses lebih lanjut menjadi ekstrak yang murni. Pada penelitian ini, maserasi dilakukan dalam pelarut etanol 70%. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk mengekstrak senyawa-senyawa organik (Susanto, 1998). Dari proses maserasi dan penyaringan diperoleh hasil berupa filtrat, kemudian filtrat tersebut diuapkan dengan rotary vacum evaporator pada suhu 500 C sampai didapatkan ekstrak yang pekat atau hampir semua etanol teruapkan. Pada saat merotari dengan rotary vacum evaporator menggunakan suhu 500 C, dikarenakan etanol yang digunakan untuk maserasi memiliki titik didih 800 C, sehingga untuk menguapkan etanol secara perlahan-lahan dipanaskan secara tidak langsung (labu ekstrak berputar dipermukaan air dengan suhu dibawah 800 C) agar senyawa-senyawa dalam hasil ekstraksi tidak mengalami kerusakan tetapi etanolnya dapat menguap. Isoflavon diketahui memiliki titik didih diatas 2000C (Ariani dan Hastuti, 2009) sehingga pemanasan dengan suhu 500C tentu tidak akan merusakkan senyawa isoflavon yang terkandung dalam ekstrak. Ekstrak tersebut selanjutnya disimpan dalam oven dengan suhu 500 C untuk menguapkan pelarut yang masih tersisa. Hasilnya adalah massa hasil ekstraksi seperti yang tercantum dalam gambar grafik berikut ini :

lxvii

Gambar 14. massa hasil ekstraksi biji kedelai kuning dan produk fermentasinya

Gambar 15. massa hasil ekstraksi biji buncis dan produk fermentasinya

lxviii

Dari gambar diatas dapat ditunjukkan, bahwa ekstraksi yang menghasilkan massa ekstraks dari masing-masing legume (kedelai, buncis dan kecipir) mentah beserta produk fermentasinya ternyata bervariasi, walaupun ketiganya tergolong kelompok leguminoceae, Massa hasil ekstraksi yang diperoleh dari biji buncis dan kecipir mentah ternyata lebih banyak daripada produk fermentasinya kecuali pada kedelai. Massa hasil ekstraksi dari biji mentah, terbanyak berasal dari biji kecipir yaitu (3,910 g), kemudian biji kedelai kuning madura (3,422 g) dan paling sedikit diperoleh dari biji buncis sebanyak 2,550 g dari 100 gram sampel yang di ekstraksi. Massa hasil ekstraksi yang diperoleh dari produk fermentasi, jumlah tertinggi pada tempe kedelai dan tempe buncis 4hari, masing-masing (5,192 g) dan (1,241 g), sedangkan tempe kecipir menghasilkan ekstrak tertinggi pada fermentasi 3hari yaitu sebanyak 3,310 g dari setiap 100 g sampel.

Hasil ekstraksi yang diperoleh dari kedelai, buncis dan kecipir beserta produk tempenya ternyata bervariasi, dimungkinkan karena varietasnya, sifat keras atau lunaknya biji, kandungan zat yang ada dalam biji dan kepadatan komponen zat yang ada didalam biji-biji tersebut, juga berbeda walaupun termasuk dalam famili yang sama. Hasil pertanian selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti tanah tempat tumbuhnya, musim tanamnya, cara pengelolaan tanaman dan pengelolaan hasil panennya. Senyawa yang terekstraksi oleh etanol tentulah senyawa-senyawa yang kepolarannya sama dengan etanol, diantaranya adalah protein, lemak, alkaloid dan yang akan diambil dari sampel penelitian ini adalah isoflavon. Hasil Ekstraksi dari kedelai kuning, buncis, kecipir, beserta produk tempenya dapat dilihat pada lampiran 10.

lxix

Massa hasil ekstraksi yang diperoleh dari biji buncis dan kecipir mentah berwarna hitam pekat, karena masih banyak mengandung senyawa sianida sedangkan massa hasil ekstraksi dari biji kedelai mentah berwarna coklat tua , kemungkinan kandungan sianidanya relatif lebih sedikit dan akan hilang pada saat dilakukan perendaman dan pengukusan. Proses perendaman dalam air (apalagi air panas) dan perlakuan fermentasi dapat menurunkan kandungan sianida dan asam fitat, karena terjadi hidrolisis asam fitat menjadi inositol dan asam fosfat oleh enzim fitase yang diaktifkan selama perendaman dan fermentasi. Hasil penelitian Samson et al., 1987; Koswara, 1995; Pramita 2008), melaporkan adanya Lactobacillus casei, Streptococcus jaecium, Klebsiella pneumonia, Enterobacter cloaceae, Bacillus brevis dan Bacillus pumilus dalam air rendaman kedelai. Dilaporkan juga bahwa bakteri jenis Bacillus sp mempunyai aktivitas enzim fitase, yang dapat menguraikan asam fitat menjadi inositol dan asam fosfat, sedangkan senyawa HCN dalam biji dapat terhidrolisis disaat perendaman menjadi ion H+ dan CN - .

C.Hasil Identifikasi Isoflavon dengan menggunakan Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography)

Analisis dengan HPLC bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan senyawa isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein dalam sampel biji mentah, tempe kedelai, tempe buncis dan tempe kecipir pada variasi lama waktu fermentasi ( 0, 1, 2, 3, dan 4 hari ). Seperti metode kromatografi yang lain, analisis HPLC dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dari senyawa isoflavon standar dengan waktu retensi dari masing-masing sampel.

Adanya puncak-puncak yang memiliki waktu retensi relatif sama dengan senyawa isoflavon daidzein, glisitein, genistein dan faktor-2 standar menunjukkan bahwa dalam sampel tersebut terdapat kandungan isoflavon

lxx

daidzein, glisitein, genistein dan faktor-2. Penentuan waktu retensi senyawa daidzein, glisitein, genistein maupun faktor-2 standar, dilakukan pada hari yang sama dengan penentuan waktu retensi dari masing-masing sampel, agar diperoleh kondisi yang sama.

Analisis kuantitatif senyawa isoflavon dilakukan dengan cara menghitung luas kromatogram. Konsentrasi senyawa isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein dapat diketahui, dengan mengalikan % luas masing-masing senyawa isoflavon dalam kromatogram dengan massa hasil ekstraksi yang dihasilkan.

Identifikasi isoflavon yang dilakukan pada massa hasil ekstraksi biji kedelai kuning mentah, tidak ditemukan isoflavon faktor-2 tetapi ditemukan daidzein, glisitein, dan genistein, sedangkan dari hasil fermentasinya ditemukan faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein. Identifikasi isoflavon pada massa hasil ekstraksi biji buncis mentah, ditemukan faktor-2, daidzein dan glisitein, sedangkan dari hasil fermentasinya ditemukan faktor-2, daidzein, glisitein, dan genistein. Identifikasi isoflavon pada kecipir mentah ditemukan faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein, sedangkan pada hasil fermentasi kecipir diketahui bahwa isoflavon faktor-2, daidzein, glisitein, dan genistein ditemukan pada hasil fermentasi 0, 2, 3, dan 4 hari, sedangkan pada hasil fermentasi 1 hari tidak ditemukan genistein. Menurut hasil penelitian (Trilaksani, 2003) dilaporkan bahwa isoflavon faktor-2 tidak diketemukan pada biji kedelai yang tidak difermentasi, tetapi dari hasil identifikasi penulis di dapatkan bahwa faktor-2 dapat ditemukan pada biji yang belum difermentasi oleh kapang Rhizopus sp. tetapi jumlahnya sangat sedikit (biji kecipir: 0,001g/100 g sampel dan biji buncis:0,006 g/100 g sampel).

lxxi

Walaupun belum mengalami fermentasi yang utama (menggunakan inokulum Rhizopus sp), tetapi bila biji itu mengandung air disaat dorman dimungkinkan ada proses hidrolisis dari senyawa glikosida menjadi aglikon yang dilakukan oleh enzim β-glikosidase dalam biji. Dalam kondisi dorman, biji mengandung senyawa glikosida (daidzin, genistin, dan glisitin) dapat terhidrolisis menjadi senyawa isoflavon dalam bentuk aglikon (daidzein, genistein, glisitein, dan faktor-2) serta glukosa oleh enzim ß-glikosidase yang ada dalam biji mentah. Hidrolisis mudah terjadi karena faktor air dan suasana asam, bila waktu penyimpanan biji ada kelembaban dalam waktu yang relatif lama (misalnya disimpan dalam plastik atau disimpan di tempat tertutup) berarti ada faktor air / kelembaban yang dapat mendorong bekerjanya enzim. Selain oleh faktor air, keasaman (pH) 5, merupakan pH optimum bagi enzim ß-glikosidase untuk beraktivitas (Iswandari, 2006).

Genistein (bentuk aglikon) pada biji buncis mentah tidak ditemukan, kemungkinan memang tidak terkandung dalam bijinya (yang ada dalam bentuk glikosida), tetapi pada hasil fermentasinya dapat ditemukan, diduga karena adanya aktivitas kapang Rhizopus. Dalam proses perendaman dan fermentasi dengan Rhizopus akan dihasilkan enzim ß-glikosidase yang berperan mengubah isoflavon dari bentuk glikosida menjadi bentuk aglikonnya (Koswara,1995). Pada proses perendaman dan fermentasi terjadi pembebasan senyawa aglikon dengan pola yang identik yaitu terlepasnya glukosa dan aglikon isoflavon dari ikatan glikosida, namun demikian pembebasan senyawa aglikon selama proses fermentasi tempe lebih besar bila dibandingkan dengan proses perendaman (Pawiroharsono,1995). Untuk mengetahui konsentrasi kandungan isoflavon, dilakukan perhitungan dengan cara mengalikan besarnya luas % pada

lxxii

kromatogram HPLC dengan massa hasil ekstraksi yang diperoleh. Dibawah ini disajikan tabulasi data konsentrasi isoflavon dari ekstrak etanol kedelai, buncis, dan kecipir mentah beserta produk tempenya.

Tabel 4. Konsentrasi Isoflavon pada legume dan produk tempenya dengan variasi lama waktu fermentasi (g / 100 g sampel )

Fermentasi (hari) Sampel Legume Jenis Isoflavon Biji Mentah 0 1 2 3 4 Faktor-2 - 0,001 0,083 0,064 0,025 0,058 Daidzein 0,034 0,075 0,442 0,586 0,499 0,632 Glisitein 0,009 0,013 0,085 0,306 0,091 0,232 Genistein 0,136 0,106 0,677 0,856 0,568 0,755 Kedelai Kuning Madura

Total 0,179 0,195 1,287 1,812 1,183 1,677

Faktor-2 0,006 0,010 0,016 0,013 0,003 0,003 Daidzein 0,010 0,008 0,011 0,007 0,002 0,003 Glisitein 0,132 0,039 0,008 0,015 0,001 0,002 Genistein - 0,026 0,009 0,010 0,016 0,005 Buncis Wonogiri

Total 0,148 0,084 0,044 0,045 0,022 0,012

Faktor-2 0,001 0,005 0,098 0,001 0,011 0,005 Daidzein 0,145 0,023 0,068 0,007 0,008 0,018 Glisitein 0,008 0,071 0,048 0,228 0,034 0,036 Genistein 0,059 0,095 - 0,131 0,010 0,069 Kecipir Wonogiri

Total 0,212 0,194 0,215 0,367 0,062 0,128

Dari tabel diatas,dapat ditunjukkan bahwa isoflavon total pada kecipir mentah (0,212 g) ternyata lebih tinggi dari kedelai mentah (0,179 g) dan buncis mentah (0,148 g). Kandungan isoflavon total pada produk fermentasi kedelai

lxxiii

dan kecipir yang tertinggi, diperoleh dari fermentasi 2 hari masing-masing (1,812g) dan (0,367g), sedangkan untuk produk fermentasi buncis yang tertinggi diperoleh dari fermentasil 0 hari (0,084 g).

Dari 100 g sampel yang digunakan, kandungan isoflavon Faktor-2 yang terbanyak pada kedelai, buncis dan kecipir diperoleh dari fermentasi 1 hari, dan kadar yang dimiliki oleh kecipir (0,098g) sedikit lebih tinggi dari kedelai (0,083g), dan yang paling rendah dijumpai pada buncis (0,016g). Isoflavon Daidzein yang terbanyak pada buncis dan kecipir diperoleh dari fermentasi 1 hari, sedangkan pada kedelai kuning diperoleh dari fermentasi 4 hari. Jumlah daidzein pada kedelai (0,632g) jauh lebih banyak dari yang dimiliki oleh kecipir (0,068g) dan buncis (0,011g). Isoflavon Glisitein dan Genistein tertinggi pada kedelai dan kecipir, diperoleh dari fermentasi 2 hari, sedangkan pada buncis diperoleh dari hasil fermentasi 0 hari. Kandungan glisitein pada kedelai (0,036g) lebih tinggi dari kecipir (0,228g) dan buncis (0,039g) dari 100 gr sampel. Kandungan genistein pada kedelai (0,856 g), lebih tinggi dari kecipir (0,131 g) dan buncis (0,026 g) dari 100 g sampel, ini berarti pola kecenderungan kandungan isoflavon aglikon pada kedelai dan kecipir hampir sama, hal ini sesuai dengan laporan penelitian Handajani et al., 1983 bahwa kedelai dan kecipir memiliki kandungan senyawa yang hampir sama untuk protein, lemak, karbohidrat, mineral-mineral serta asam aminonya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan jenis isoflavon pada tempe buncis dan tempe kecipir sama dengan tempe kedelai kuning, terutama hasil fermentasi 0,1,2,3 dan 4 hari, namun kadar isoflavonnya berbeda. Dengan demikian buncis dan kecipir dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kedelai yang merupakan sumber isoflavon berkhasiat antioksidan.

lxxiv

Perendaman untuk buncis dan kecipir lebih lama, sehingga pada fermentasi 1 hari sudah ditemukan isoflavon aglikon walaupun aktivitas dan populasi Rhizopus sp belum optimum, diduga aglikon isoflavon sudah terbentuk disaat perendaman. Untuk kedelai ditemukan isoflavon aglikon tertinggi pada fermentasi 4 hari yaitu dalam kondisi over fermented dan sudah terjadi proses pembusukan oleh bakteri-bakteri pembusuk. Dengan demikian, isoflavon aglikon yang ditemukan pada biji dan hasil fermentasinya, dikarenakan oleh aktivitas mikoorganisme disaat perendaman dan pembusukan, serta aktivitas kapang Rhizopus sp, disaat proses pembentukan tempe.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan isoflavon total pada biji kecipir mentah ternyata lebih tinggi dari biji kedelai mentah , dan yang paling sedikit ditemukan pada biji buncis mentah untuk setiap 100 g sampel yang digunakan. Yang dimaksud dengan fermentasi hari ke-0 dalam penelitian ini adalah biji yang sudah direndam selama 3x24 jam, kemudian dipanaskan

(dikukus), selanjutnya ditiriskan dan didinginkan, barulah diberi inokulum. Walaupun Rhizopus belum beraktivitas, tetapi disaat perendaman sudah terjadi

fermentasi awal yang dilakukan oleh bakteri dari golongan termobakteri seperti Lactobacillus sp, Streptococcus thermopillus dan Enterobacteriaceae yang merupakan bakteri pembentuk asam yang banyak tumbuh pada proses perendaman (Kasmidjo,1990), padahal perendaman untuk biji buncis dilakukan selama 3x24 jam, berarti isoflavon aglikon yang terbentuk diduga berasal dari proses hidrolisis yang dibantu oleh bakteri yang tumbuh dalam air rendaman. Dari data yang diperoleh dapat diartikan bahwa kedelai kuning dan kecipir produk fermentasi, ternyata menghasilkan jenis isoflavon yang sama, tetapi kwantitasnya berbeda. Dalam penelitian ini menggunakan pembanding legume

lxxv

kedelai, karena sudah diketahui adanya kandungan isoflavon didalam biji kedelai dan produk fermentasinya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kandungan isoflavon pada kacang-kacangan dipengaruhi oleh varietas, waktu panen dan lokasi penanaman (Mazur et al.,1998), waktu tanam (Aussenac et al.,1998), dan kondisi iklim (Tsukamoto et al., 1995). Kondisi pertumbuhan, varietas, lokasi, dan waktu tanam membedakan jumlah senyawa isoflavon (Harbone, 1996).

Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesa oleh tanaman angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup). Oleh karena itu, tanaman berbiji merupakan sumber senyawa isoflavon alami disekitar kita. Dari berbagai tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada kelompok tanaman leguminoceae dan tidak terdapat pada organisme seperti bakteri, alga, jamur dan lumut (Markham, 1998). Senyawa metabolit sekunder terbentuk pada saat tidak ada pertumbuhan sel yang dikarenakan keterbatasan nutrient zat gizi dalam medium sehingga merangsang dihasilkannya enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan metabolit sekunder dengan memanfaatkan metabolit primer untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat merupakan penyusun utama dari makhluk hidup, karena itu disebut metabolit primer. Banyaknya kandungan jenis isoflavon pada kedelai kuning, buncis dan kecipir mentah dan produk fermentasi 0, 1, 2, 3, dan 4 hari disajikan pada gambar 16, 17, 18, 19 berikut ini:

lxxvi

Gambar 17. Kandungan Isoflavon Faktor-2 pada kedelai kuning, buncis, kecipir.

Gambar 18.Kandungan Isoflavon Daidzein pada kedelai kuning , buncis, kecipir.

Gambar 19. Kandungan Isoflavon Glisitein pada kedelai kuning, buncis, kecipir.

lxxvii

Kandungan isoflavon faktor-2 pada kedelai, buncis, dan kecipir hasil fermentasi memiliki kecenderungan hampir sama (kadar tertinggi ditunjukkan dari tempe hasil fermentasi 1 hari), tetapi jumlah faktor-2 dari ketiga legum tersebut secara keseluruhan lebih sedikit bila dibandingkan dengan kandungan daidzein, glisitein dan genistein (Gambar 17 ). Pada kedelai kuning, kandungan isoflavon faktor-2 akan menurun secara landai dan naik kembali pada fermentasi 4 hari. Pada kecipir, terjadi penurunan kandungan isoflavon faktor-2 secara tajam pada fermentasi 2 hari, sedangkan pada buncis ada kenaikan dan penurunan relatif sedikit sehingga garis grafiknya tampak landai. Kadar isoflavon faktor-2 pada ketiga legume relatif sedikit dan naik turun dengan pola yang berbeda karena tempe yang dibuat menggunakan cara tradisional serta penyimpanan dialam terbuka dan tidak menggunakan inkubator sehingga kontaminasi mikroflora sangat mungkin terjadi dengan kontaminan yang bervariasi.

Kandungan daidzein pada kedelai hasil fermentasi ternyata jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan buncis dan kecipir. Kadar tertinggi pada kedelai diperoleh pada hasil fermentasi 4 hari (Gambar 18). Kadar daidzein yang rendah pada buncis dan kecipir dapat terjadi diduga karena banyaknya senyawa yang terbuang dari buncis dan kecipir disaat proses perendaman (direndam selama 3x24 jam dengan penggantian air setiap 8 jam). Proses perendaman yang lama dimungkinkan terjadi reaksi hidrolisis, yang dilakukan oleh mikroorganisme yang ada diair rendaman dengan dihasilkannya enzim β-glikosidase, sehingga akan terbentuk isoflavon aglikon. Penggantian air rendaman sebanyak 9 kali, memungkinkan terbuangnya banyak senyawa hasil hidrolisis, akibatnya kandungan isoflavon pada buncis dan kecipir hasil fermentasi lebih sedikit bila dibanding kedelai kuning (lama perendaman kedelai kuning 1x24 jam).

lxxviii

Kandungan glisitein dan genistein pada kedelai dan kecipir jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan buncis, tetapi jumlah terbanyaknya memiliki pola yang sama yaitu pada hasil fermentasi 2 hari. Pada buncis mentah ternyata mengandung glisitein yang lebih tinggi daripada hasil fermentasinya, tetapi isoflavon genistein pada buncis mentah tidak ditemukan (Gambar 19 dan 20), diduga senyawa yang ada pada biji mentah masih dalam bentuk glikosida yaitu glisitin. Dari hasil perbandingan ke-empat gambar diatas dapat disimpulkan bahwa kadar isoflavon aglikon (faktor-2, daidzein, genistein dan glisitein) pada buncis dan kecipir lebih rendah bila dibandingkan dengan kedelai kuning, walaupun ketiganya termasuk dalam famili yang sama. Karena berbeda spesies, sehingga masing-masing bijinya memiliki karakter dan kandungan senyawa isoflavon yang tidak sama (Harbone,1996). Selain berbeda spesies, perendaman yang lebih lama pada biji buncis dan kecipir diduga mengakibatkan hilangnya senyawa hasil hidrolisis terutama disaat penggantian air rendaman.

Isoflavon faktor-2 pada kedelai kuning tanpa fermentasi tidak ditemukan, hal itu sesuai dengan hasil penelitian Gyorgy et al., 1964; Trilaksani, 2003; Ariani dan Hastuti, 2009), tetapi dari hasil penelitian penulis didapatkan isoflavon faktor-2 dari biji buncis dan kecipir tanpa fermentasi, walaupun kadarnya sangat sedikit (kecipir : 0,001g dan buncis : 0,006 g) dari100 gram sampel. Hal tersebut dapat terjadi diduga ada proses pembentukan isoflavon faktor-2 disaat biji dorman dalam penyimpanan. Bila penyimpanan biji dalam tempat yang tertutup atau berada dalam plastik, maka akan muncul kelembaban dan memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme yang akan mendorong terjadnyai proses hidrolisisi, dengan menghasilkan enzim β-glikosidase untuk memecah glikosida dalam biji menjadi senyawa aglikon.

lxxix

D. Hasil Uji aktivitas Antioksidan

Uji aktivitas antioksidatif dilakukan dengan metode DPPH melalui pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Uji aktivitas antioksidan dari penelitian ini terdiri dari biji mentah kedelai kuning beserta produk tempenya, biji buncis mentah beserta produk tempenya serta biji kecipir mentah dan produk tempenya.

Metode yang dipilih untuk pengujian aktivitas antioksidan adalah metode DPPH karena sederhana, mudah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. Metode aktivitas antiradikal bebas DPPH (2,2 difenil 1 picril hidrazil) merupakan metode terpilih untuk menapis aktivitas antioksidan bahan alam (Molyneux, 2004; Luo et al., 2002; Santosa et al., 1998 dalam Amrun dan Umayah, 2007). Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme donasi atom hidrogen dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke warna kuning. Perhitungan persentase (%) peredaman DPPH oleh massa hasil ekstraksi biji kedelai kuning, buncis, dan kecipir beserta produk fermentasinya ditampilkan pada lampiran 9.

Hasil identifikasi isoflavon dan uji aktivitas antioksidan dari sampel biji kedelai, buncis dan kecipir beserta hasil fermentasi 0, 1, 2, 3 dan 4 hari terangkum dalam tabel dibawah ini.

lxxx

Tabel 5. Kandungan Isoflavon Total ( g ) dan Aktivitas Antioksidan ( % ) pada Kedelai Kuning, Buncis, Kecipir, dengan Variasi Lama Fermentasi ( hari )

Lama Fermentasi Sampel Kadar Isoflavon dan aktivitas Antioksidan Biji

Mentah 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari Isoflavon total ( g ) 0,179 0,195 1,287 1,812 1,183 1,677 Kedelai Kuning Aktivitas Antioksidan ( % )

67,453

e 75,683ef 76,310f 76,056ef 81,430g 77,140f Isoflavon total ( g ) 0,148 0,084 0,044 0,045 0,022 0,012 Buncis Aktivitas Antioksidan ( % ) 52,813 b 52,956b 39,536a 41,366a 51,893b 51,186b Isoflavon total ( g ) 0,212 0,194 0,215 0,367 0,062 0,128 Kecipir Aktivitas Antioksidan ( % ) 70,826 d 85,196h 76,923f 84,926h 76,973f 73,893e

Keterangan: angka yang diikuti oleh superskrip yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (α =0,05)

Pada kedelai kuning dan kecipir, isoflavon total terbanyak ditunjukkan oleh hasil fermentasi 2-hari, tetapi aktivitas antioksidan tertinggi pada kedelai kuning dan kecipir masing-masing ditemukan pada hasil fermentasi 3-hari dan 0-hari. Isoflavon total tertinggi pada buncis ditunjukkan oleh biji mentah dan aktivitas antioksidan tertinggi ditemukan pada hasil fermentasi 0-hari. Dari data tersebut, bila dihubungkan antara aktivitas antioksidan dengan kandungan isoflavon totalnya dapat disimpulkan bahwa aktivitas antioksidan yang tinggi tidak selalu dikarenakan oleh adanya kandungan isoflavon yang banyak. Pada buncis dan kecipir ditemukan aktivitas antioksidan yang tertinggi pada hasil fermentasi 0-hari, tetapi tidak lazim orang mengkonsumsi tempe yang belum jadi (belum muncul miselium) sehingga walaupun aktivitas antioksidannya paling tinggi namun tidak layak dikonsumsi untuk sumber antioksidan. Pada hasil fermentasi

lxxxi

kecipir 2-hari diketahui aktivitas antioksidannya juga tinggi (84,926%), sehingga tempe hasil fermentasi 2-hari dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai sumber antioksidan.

Dari analisis statistik Program SPSS, dapatlah disimpulkan bahwa aktivitas antioksidatif pada kedelai dan kecipir hasil fermentasi, ternyata lebih tinggi dari kedelai dan kecipir tanpa fermentasi (mentah). Dari tabel diatas dapat diketahui juga bahwa, besarnya aktivitas antioksidan pada kedelai hasil fermentasi 1-hari tidak berbeda nyata dengan fermentasi 4-hari, hasil fermentasi 0-hari tidak berbeda nyata dengan fermentasi 2-hari, tetapi berbeda nyata dengan hasil fermentasi 3-hari. Besarnya aktivitas antioksidan pada buncis, hasil fermentasi 0-hari, 3-hari, 4-hari tidak berbeda nyata dengan buncis tanpa fermentasi. Pada kecipir tanpa fermentasi berbeda nyata dengan hasil fermentasinya, tetapi hasil fermentasi 0-hari dan 2-hari serta fermentasi 1-hari dan 3-hari tidak signifikan. Aktivitas antioksidatif pada tempe buncis yang paling tinggi adalah hasil fermentasi 0-hari (±52,96%), kemudian 3-hari (±51,89%), 4-hari (±51,19%), 2-hari (±41,37%) dan yang terendah adalah hasil fermentasi 1-hari yaitu sebesar (±39,54%) ; sedangkan aktivitas antioksidatif untuk tempe kecipir yang paling tinggi adalah hasil fermentasi 0-hari yaitu (±85,20); kemudian 2-hari (±84,93%); 3-hari (±76,97%); 1-hari (±76,92%) dan yang paling rendah adalah hasil fermentasi 4-hari (±73,89%).

Dari hasil penelitian yang di uraikan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tingkat aktivitas antioksidatif dari biji kecipir mentah dan hasil fermentasinya ternyata tergolong tinggi, yaitu berkisar antara ±73,89 % sampai dengan ±85,20%. Untuk kedelai kuning, tingkat aktivitas antioksidatifnya berkisar antara ±68,64% sampai dengan ± 81,43 %, berarti lebih rendah dari kecipir dan

lxxxii

produk fermentasinya. Tingkat aktivitas antioksidatif dari biji buncis dan produk fermentasinya ternyata lebih rendah (±39,54% s/d ±52,96% ) bila dibanding dengan kedelai kuning. Pada kecipir mentah maupun hasil fermentasinya memiliki kandungan isoflavon yang relatif rendah bila dibandingkan dengan kedelai kuning, tetapi aktivitas antioksidannya tinggi. Ini dapat diartikan bahwa, walaupun senyawa isoflavon pada kecipir mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, tetapi senyawa antioksidan itu tidak hanya isoflavon, dimungkinkan di dalam kecipir terdapat senyawa-senyawa flavonoid dan alkaloid lain (selain

Dokumen terkait