• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program

1. Hasil Evaluasi Efektivitas Media Audiovisial yang Telah Dibuat

Selama proses pendampingan, telah dilakukan Penelitian Tindakan Kelas yang bertujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan media audiovisual efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa tuna rungu dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode konvensional. Penelitian dilaksanakan menggunakan model rancangan pre eksperimental design (quasi experiment) dengan jenis desain one shot case study. Penelitian jenis ini peneliti hanya menggunakan perlakuan satu kali yang diperkirakan sudah mempunyai pengaruh, kemudian dilakukan post test. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian materi pecahan senilai untuk kelas IV SDLB

test terdiri dari sepuluh soal pecahan senilai. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa peningkatan hasil belajar siswa dengan metode konvensional berbeda dengan metode pembelajaran dengan bantuan media visual. Kelompok siswa yang memperoleh perlakuan metode konvensional mempunyai rata-rata 10 pada skor pre test dan 21,25 pada nitai post test. Nilai skor pre test dan post test dalam penelitian ini dengan skala 0 – 100. Sedangkan untuk kelompok siswa yang memperoleh perlakuan pembelajaran dengan bantuan media audiovisual mempunyai rata-rata skor post test 50, mengalami peningkatan dari rata-rata skor pre test 11,43. Rata-rata persentase peningkatan hasil belajar siswa untuk kelompok memperoleh pembelajaran dengan metode konvensional sebesar 112,5%, sedangkan metode dengan media audiovisual terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 337,4%. Berdasarkan peningkatan hasil belajar dengan kedua metode, disimpulkan bahwa pembelajaran dengan bantuan media audiovisual lebih efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional, untuk siswa tuna tungu pada pokok bahasan pecahan senilai. Hasil observasi selama pembelajaran dengan kedua metode, diketahui bahwa pembelajaran dengan media visual lebih bisa dimengerti oleh peserta didik tuna rungu karena karakter siswa tuna rungu lebih mengerti dengan materi yang bersifat kongkrit dan sulit mengerti hal yang bersifat abstrak.

Apresiasi dan motivasi siswa dalam pembelajaran jika diamati, antara kedua kelompok siswa dengan pembelajaran konvensional dan pembelajaran visual terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Siswa yang diberikan pembelajaran secara konvensional konsentrasinya lebih rendah dari pada siswa yang diberikan pembelajaran dengan media visual. Hal itu disebabkan karena pada penelitian ini mengambil sampel siswa tuna rungu yang mengalami keterbatasan dalam bidang komunikasi dan informasi, serta keterbatasan dalam hal-hal yang bersifat abstrak. Untuk menjelaskan sesuatu agar lebih dapat dimengerti, lebih efektif menggunakan media kongkrit atau nyata (visual) sehingga lebih mudah dimengerti oleh siswa yang berkebutuhan khusus dalam hal ini siswa tuna rungu.

2. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan

Pengetahuan awal peserta pelatihan tentang media audiovisual dilihat dari jawaban peserta pelatihan terhadap pre test yang diberikan. Pengetahuan awal peserta pelatihan mengenai perlunya dikembangkan inovasi metode pembelajaran untuk mengoptimalkan pembelajaran di kelas khususnya SLB.B. Seluruh peserta pelatihan menjawab ―perlu‖ dengan alasan-alasan antara lain: (1) karena siswa mengalami kekurangan audionya sehingga perlu inovasi metode pembelajaran; (2) karena hasil belajar siswa akan lebih baik dan lebih optimal jika dilakukan inovasi metode pembelajaran; (3) karena anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus lebih cepat menyerap dengan metode pembelajaran yang inovatif; (4) inovasi metode pembelajaran perlu untuk meningkatkan pemahaman siswa yang mengalami keterbatasan; (5) agar siswa tidak bosan dengan metode pembelajaran yang diberikan oleh guru dan karena ilmu pengetahuan itu berkembang seiring kemajuan teknologi; (6) perlu karena inovasi metode pembelajaran memudahkan siswa maupun guru dalam kegiatan belajar mengajar; (7) karena siswa akan lebih semangat belajar jika metodenya inovatif, dan juga anak tidak akan cepat bosan; (8) untuk menggugah minat belajar siswa sehingga mereka tertantang untuk ingin tahu lebih jauh (9) dengan inovasi metode pembelajaran akan mempermudah pencapaian pembelajaran sesuai karakteristik kekhususan siswa; (10) karena siswa tuna rungu sangat sulit memahami hal-hal yang bersifat abstrak, sehingga sangat diperlukan inovasi agar hal-hal yang abstrak menjadi nyata; (11) semestinya semua penyampaian materi pembelajaran dibantu alat/media audiovisual agar tidak terlalu panjang waktu yang diperlukan mengingat keterbatasan siswa tuna rungu.

Jawaban peserta pelatihan pada pre test mengenai pertanyaan ―apakah inovasi metode pembelajaran dengan memanfaatkan media audiovisual dapat mengatasi permasalahan pembelajaran di kelas, sehingga hasil belajar menjadi optimal?‖. Seluruh peserta pelatihan menjawab ―ya‖, dengan alasan-alasan yang dikemukakan sebagai berikut: (1) sebab dengan melihat, siswa dapat mengingat sebagian pengetahuan yang diberikan; (2) karena dengan audiovisual model pembelajaran bisa dibuat lebih menarik sehingga siswa bisa berkonsentrasi dan lebih memahami maksud dari materi pembelajaran yang disampaikan; (3) audiovisual sangat membantu anak memahami konsep-konsep pembelajaran; (4) karena siswa tuna rungu (dan tuna grahita) sangat sulit

cepat mengerti materi yang disampaikan oleh guru; (6) siswa, khususnya yang bagian B tidak mampu berimajinasi, jadi sangat diperlukan media audiovisual disamping melatih pendengaran dan melihat materi; (7) media audiovisual membantu siswa menerima informasi melalui indera yang masih berfungsi normal; dan (8) untuk kasus dimana siswa total hilang pendengarannya lebih optimal menggunakan media visual saja.

Soal pre test untuk pertanyaan apakah pernah memanfaatkan media audiovisual untuk proses pembelajaran di kelas dan pada pembelajaran apa diberikan, sebagain besar (79,2%) dari 72 orang peserta pelatihan menyatakan ―tidak‖ dan sebagian kecil saja menjawab ―ya‖ (20,8 %). Diantara peserta pelatihan yang menjawab tidak pernah memanfaatkan media audiovisual, mereka menggunakan media kartu gambar untuk pembelajaran Bahasa Indonesia dan matematika, media gambar, dan software paint dalam pembelajaran . Sedangkan untuk sebagian kecil peserta yang menyatakan pernah menggunakan media audiovisual, mereka memanfaatkan: (1) VCD tentang baca tulis dan hitung, dengan isyarat, ucapan, tulisan dan gambar; (2) Microsoft powerpoint untuk: penjelasan materi mengenal huruf, benda, dan angka; menjelaskan tentang bagian-bagian tubuh hewan & manusia; (3) Memanfaatkan YouTube untuk pelajaran Penjasorkes, atletik (lompat jauh, cakram, dan tolak peluru); (4) Video interaktif untuk mengenal membaca, menulis, berhitung.

Post test diberikan pada akhir kegiatan, setelah pemberian materi pelatihan selesai diberikan. Beberapa pertanyaan yang diberikan hampir sama dengan pretest, dan ditambah dengan pertanyaan baru mengenai minat para guru kedepannya untuk menggunakan media audiovisual dalam pembelajaran siswa di SLB.B. Skor jawaban peserta pada pre test dan post test disajikan pada table 2.

Analisis statistika inferensial untuk data pre test dan post test peserta pelatihan SLB.B Tabanan bertujuan untuk melihat apakah pelatihan media audiovisual efektif meningkatkan pemahaman guru-guru dalam merancang media pembelajaran audiovisual. Misalkan pretest adalah nilai rata-rata guru sebelum mendapatkan pelatihan (nilai pre test) dan post test adalah nilai rata-rata guru setelah mendapat pelatihan (nilai post test). Secara formal hipotesis berbentuk

. : , : post test test pre 1 post test test pre 0       H H (1)

dengan statistik uji yang akan digunakan adalah statistik uji t untuk data berpasangan (paired samples).

Tabel 2. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Tabanan

No Peserta

Skor Pre Test Skor Post Test

1 50 75 2 50 75 3 50 75 4 50 75 5 100 100 6 50 75 7 75 100 8 75 100 9 50 75 10 50 75 11 50 75 12 75 100 13 50 75 14 50 75 15 75 100

Asumsi yang harus dipenuhi dalam menggunakan statistik uji t untuk data berpasangan adalah data nilai prauji dan pascauji berdistribusi normal. Uji kenormalan menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing 0,0001137 dan 2,38×10-5. Hal ini mengindikasikan tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis null tentang kenormalan. Dengan kata lain, data tidak menyebar normal. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametrik. Uji nonparametrik yang analog dengan uji t adalah uji peringkat bertanda Wilcoxon (Wilcoxon signed ranks test). Untuk melakukan uji peringkat bertanda Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval, atau rasio. Uji peringkat bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif (meningkatkan) pemahaman guru hipotesisnya adalah sebagai berikut:

, 0 : , 0 : 1 0   D D M H M H (2)

berhasil apabila selisih nilai sebelum pelatihan (pre test) dan setelah pelatihan (post test) negatif. Dengan kata lain selisih nilai pascauji dan prauji lebih besar daripada nol. Hasil pengujian dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value = 0,0001053. Pada tingkat signifikansi 0,05 diperoleh pvalue0,05. Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B Tabanan.

>wilcox.test(tbn$pre.tbn,tbn$pos.tbn,paired=TRUE,alternative="less") Wilcoxon signed rank test with continuity correction

data: tbn$pre.tbn and tbn$pos.tbn V = 0, p-value = 0.0001053

alternative hypothesis: true location shift is less than 0

Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi 0,05 hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru SLB. B Tabanan dalam merancang media audiovisual.

Selanjutnya analisis data dilakukan terhadap data SLB.B Denpasar (Tabel 3). Hipotesis untuk data di SLB.B Denpasar juga seperti pada persamaan (1). Namun, terlebih dahulu akan dilakukan uji kenormalan. Uji kenormalan menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing

-8

10 ×

3,601 dan 1,203×10-5. Hal ini mengindikasikan tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis null tentang kenormalan. Dengan kata lain, data tidak menyebar normal. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametric yaitu uji peringkat bertanda Wilcoxon (Wilcoxon signed ranks test). Untuk melakukan uji peringkat bertanda Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval, atau rasio. Uji peringkat bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif (meningkatkan) pemahaman guru hipotesisnya adalah sebagai berikut seperti pada persamaan (2). Hasil pengujian dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value = 2,522×10-7.

Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B Sidakarya.

>wilcox.test(sdk$pre.sid,sdk$pos.sid,paired=TRUE,alternative="less") Wilcoxon signed rank test with continuity correction

data: sdk$pre.sid and sdk$pos.sid V = 0, p-value = 2.522e-07

Pada tingkat signifikansi 0,05 diperoleh pvalue0,05. Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi  0,05 hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru di SLB.B Denpasar dalam merancang media audiovisual.

Tabel 3. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Denpasar

No Peserta

Skor Pre Test Skor Post Test

1 75 100 2 50 75 3 50 75 4 50 50 5 75 100 6 75 100 7 75 100 8 50 100 9 50 100 10 75 100 11 50 75 12 50 50 13 75 100 14 50 75 15 75 100 16 50 75 17 50 75 18 50 75 19 50 75 20 50 75 21 50 75 22 75 100 23 50 75 24 50 75 25 50 75 26 50 75 27 50 75 28 50 75 29 50 75

Selanjutnya analisis data dilakukan terhadap data SLB.B Jimbaran (Tabel 4). Hipotesis untuk data di SLB.B Denpasar juga seperti pada persamaan (1). Namun, terlebih dahulu akan dilakukan uji kenormalan. Uji kenormalan menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh p-value untuk skor pre test dan post test masing-masing

-8 10 ×

kenormalan. Dengan kata lain, data tidak menyebar normal. Selanjutnya akan dilakukan pengujian dengan metode nonparametric yaitu uji peringkat bertanda Wilcoxon (Wilcoxon signed ranks test).

Tabel 4. Skor Pre Test dan Post Test Peserta Pelatihan di SLB.B Jimbaran

No Peserta

Skor Pre Test Skor Post Test

1 50 100 2 75 100 3 50 75 4 50 75 5 50 75 6 50 75 7 50 75 8 50 75 9 50 75 10 50 75 11 50 75 12 50 75 13 75 100 14 50 75 15 50 75 16 50 75 17 75 100 18 50 75 19 50 75 20 50 75 21 25 50 22 50 75 23 50 75 24 50 75 25 50 75 26 50 75 27 50 75 28 50 75

Untuk melakukan uji peringkat bertanda Wilcoxon diasumsikan beda atau selisih data simetrik dan data diukur pada skala ordinal, interval, atau rasio. Uji peringkat bertanda Wilcoxon menguji median selisih data. Untuk melihat apakah pelatihan berpengaruh secara positif (meningkatkan) pemahaman guru hipotesisnya adalah sebagai berikut seperti pada persamaan (2). Hasil pengujian dengan uji peringkat bertanda Wilcoxon diperoleh p-value = 1.,2×10-7.

Berikut ini adalah luaran R untuk uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk SLB.B Jimbaran.

>wilcox.test(jim$pre.jim,jim$pos.jim,paired=TRUE,alternative="less") Wilcoxon signed rank test with continuity correction

data: jim$pre.jim and jim$pos.jim V = 0, p-value = 1.02e-07

alternative hypothesis: true location shift is less than 0

Pada tingkat signifikansi  0,05 diperoleh pvalue0,05. Jadi dapat disimpulkan pada tingkat signifikansi  0,05 hipotesis null diterima. Dengan kata lain, pelatihan efektif meningkatkan pemahaman guru-guru di SLB.B Jimbaran dalam merancang media audiovisual.

Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pelatihan yang diberikan memberikan manfaat bagi peningkatan pengetahuan guru-guru di ketiga sekolah mitra kegiatan (SLB.B Tabanan, SLB.B Sidakarya, dan SLB.B Jimbaran) tentang cara-cara mengembangkan media pembelajaran audiovisual berbasis IT untuk pengajaran Matematika dan IPA siswa tuna rungu di Sekolah Luar Biasa Bagian B.

Dokumen terkait