• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Hasil Pelaksanaan Program

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya meneningkatkan kompetensi guru dalam memanfaatkan TI untuk mengembangkan media pembelajaran yang lebih inovatif, dan dalam rangka membantu guru merancang media pembelajaran audiovisual untuk siswa tuna rungu dengan pemanfaatan Software Microsoft Office Power Point dan Macromedia Flash, maka pelaksana kegiatan memandang sangat perlu adanya buku panduan yang dapat menjadi panduan bagi guru dalam merancang media pembelajaran audiovisual.

Penyusunan buku Panduan Perancangan Media Pembelajaran Audiovisual untuk Siswa Tuna Rungu dilakukan oleh pelaksana program dan merupakan salah satu luaran program IbM ini. Kendala yang dihadapi selama proses penyusunan, adalah sangat terbatasnya referensi maupun hasil penelitian yang mengupas tentang prinsip-prinsip perancangan media pembelajaran audiovisual yang khusus untuk siswa tuna rungu. Dengan referensi yang terbatas ini, disusun buku panduan untuk guru-guru di SLB.B dalam pengembangan media pembelajaran audiovisual. Materi yang disajikan dalam buku ini meliputi: Bab I. Prinsip Komunikasi Total Latar Belakang, Contoh-Contoh Bentuk Komunikasi Total, Kelemahan dan Kelebihan Komunikasi Total, Media Pembelajaran Audiovisual); Bab II. Prinsip Desain Audio Visual (Latar Belakang, Subjudul (Subtitle), Keterbacaan (Readability), Huruf/Font, Warna, Kecepatan Teks, Animasi, Tata Letak Jendela (Window Layout), Fokus, Penyajian Teks, Komponen Verbal, Komponen Nonverbal); Bab III. Panduan Memanfaatkan Fasilitas Microsoft Powerpoint 2013 untuk Perancangan Media Audiovisual; dan Bab IV. Membuat Animasi Sederhana Dengan Marcomedia Flash. Buku panduan ini merupakan salah satu luaran dari program IbM ini. Beberapa referensi yang dipakai dalam buku panduan ini, sebagai berikut:

1. Blatto-Vallee, G., Kelly, R. R., Gaustad, M. G., Porter, J., and Fonzi, J. (2007). Visual-Spatial Representation in Mathematical Problem Solving by Deaf and Hearing Students. Journal of Deaf Studies and Deaf Education. 12, 1—17

2. Cavender, A. C., Bigham, J. P., and Ladner, R. E. (2009). Class In Focus: Enabling Improved Visual Attention Strategies for Deaf and Hard of Hearing Students.

3. Easterbrooks, S. R. (2008). Knowledge and Skills for Teachers of Individuals Who Are Deaf or Hard of Hearing. Communication Disorders Quarterly. 30 (1), 12— 36.

4. Gentry, M. M., Chinn, K. M., and Moulton, R. D. 2005. Effectiveness of Multimedia Reading Materials When Using With Childrean Who Are Deaf. 149 (5): 394-403. 5. Hawkins, L and Brawner, J. 1997. Educating Children Who are Deaf or Hard of

Hearing: Total Communication. ERIC Digest #559

6. Jensema, C. (1998). Viewer Reacation to Different Television Captioning Speeds.

American Annals of the Deaf, 143(4): 318—324.

7. Jensema, C., El Sharkawy, S., Danturthi, R. S., Burch, R., and Hsu, D. (2000). Eye Movement Patterns of Captioned Television Viewers. American Annals of the Deaf, 145 (3):275—285.

8. Ju, J-M. (2009). The Effects of Multimedia Stories of Deaf or Hard-of-Hearing Celebrities on Reading Comprehension and English Words Learning of Taiwanese Students with Hearing Impairment. Asian Journal of Management and Humanity Sciences. 4(2/3): 91-105.

9. Neves, J. (2005). Audiovisual Translation: Subtitling for the Deaf and Hard-of-Hearing. PhD Thesis, Roehampton University.

10. Williams, K, Matthews, A., and Skelhorn, L. (2011). Total Communication: Person Centred Thinking, Planning, and Practice. Alamat

http://www.hsapress.co.uk/TotalCommunication/ diakses tanggal 9 April 2014. Komunikasi Total mempunyai peranan penting sebagai upaya berkomunikasi dengan anak tuna rungu. Salah satu bentuk komunikasi total dalam penyusunan media pembelajaran adalah penggunaan multimedia (audio visual) dalam mengajarkan mata pelajaran kepada anak tuna rungu.

Berdasarkan seluruh rangkaian kegiatan program ini dan berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya mengenai media audiovisual untuk tuna rungu dapat dijelaskan bahwa secara umum metode pengajaran dengan media audiovisual yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan siswa tuna rungu harus mempertimbangkan: subjudul, keterbacaan (huruf/fon, warna, kecepatan teks, animasi, tata letak jendela, dan focus), penyajian teks, komponen verbal, dan komponen nonverbal.

Subjudul pada prinsipnya bertujuan agar teks audiovisual dapat diakes oleh semua orang (Neves, 2005). Penempatan komponen sekedarnya pada layar tidaklah cukup, sumber visual dan kognitif yang diperlukan untuk menghadiri informasi

kaya-bahasa (language-rich) seperti isyarat (signing) dan keterangan gambar (caption) menyulitkan dalam melihat perubahan di luar pusat perhatian saat itu (Cavender, et al., 2009).

Ada beberapa fitur yang relevan dalam subjudul menurut Gambier dalam Neves (2005). Fitur-fitur ini berupa keberterimaan (acceptability), legibilitas, keterbacaan (readability), sinkronisitas (synchronicity), dan relevansi (relevance). Legibilitas berhubungan dengan huruf, posisi subjudul, dan kecepatan subjudul. Keberterimaan berhubungan dengan norma bahasa, pemilihan gaya, dan pola retorika. Keterbacaan berhubungan dnegan kecepatan baca, kompleksitas teks, kepadatan informasi, dan lain-lain. Sinkronisitas berhubungan dengan kecepatan pergerakan bibir. Selanjutnya relevansi berhubungan dengan informasi yang disampaikan, dihapus, atau diklarifikasi. Lebih lanjut, fitur lain yang relevan menurut Gambier dalam Neves (2005) adalah strategi domestic (bagaimana menerima moda narasi) dan profil penerima.

Aspek penting yang harus diperhatikan dalam keterbacaan adalah aspek isi (content) dan bentuk. Dalam hal ini harus memperhatikan karakteristik siswa tuna rungu pada umumnya tidak menikmati/menyukai membaca dan umumnya kurang dalam keahlian membaca yang merupakan keahlian dasar dalam membaca subjudul. Selain itu tuna rungu belum mengembangkan keahlian yang memungkinkan untuk maju dari langkah sederhana dalam pengolahan kata menuju proses yang lebih tinggi seperti pengambilan kesimpulan dan prediksi, perencanaan, pemantauan, pertanyaan ke diri sendiri (self questioning), dan peringkasan. Aspek penting yang berhubungan dengan keterbacaan adalah isi (content) dan bentuk.

Hal pertama, yakni isi, berhubungan dengan bagaimana rangkaian kata ditempatkan pada layar monitor. Penempatan isi ini haruslah mempertimbangkan bagaimana siswa tuna rungu membaca. Neves (2005) menegaskan bahwa tuna rungu hanya mengandalkan referensi visual untuk mendukung proses pembacaan. Lebih lanjut ini berarti orang tuna rungu perlu menangkap semua pesan visual yang didapatkan dari ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan komposisi filmik (Neves, 2005). Hal kedua yang berhubungan dengan keterbacaan adalah bentuk. Bentuk yang dimaksud ini adalah bagaimana aspek-aspek teknis seperti huruf, warna, dan penempatannya pada layar monitor.

1. Huruf/Fon. Salah satu faktor penting dalam membaca subjudul adalah ukuran huruf/fon dan kualitas gambar. Untuk menjamin legibilitas pemilihan fon yang tepat akan membantu orang/tuna rungu untuk membaca teks. Contoh huruf yang dapat membantu legibilitas ini adalah Tiresias Screenfont.

2. Warna. Selain pemilihan huruf/fon, pemilihan warna juga berperan penting. Teks dengan warna putih dan latar belakang hitam lebih dipilih oleh sebagian besar orang diikuti oleh posisi kedua diikuti oleh teks putih pada latar belakang biru gelap (Silver dalam Neves (2005)).

3. Kecepatan Teks. Isu penting lain yang berhubungan dengan legibilitas adalah kecepatan teks. Luyken et al dalam Neves (2005) mengatakan bahwa kecepatan baca pada subjudul adalah antara 150—180 kata per menit. Penelitian kecepatan baca juga telah dilakukan oleh Jensema (1998) dan Jensema (2000). Lebih lanjut Neves (2005) mengatakan bahwa aturan enam detik secara luas diterima sebagai aturan standar untuk subjudul yang mudah dibaca. Implementasi aturan ini adalah tiga detik per baris dan lima sampai enam detik untuk dua baris. Namun D’Ydewalle dalam Neves (2005) menegaskan bahwa aturan enam detik ini seharusnya diganti menjadi aturan sembilan detik karena orang tuna rungu biasanya/cenderung lambat membaca.

4. Animasi. Animasi yang berlebihan dapat mengganggu fokus. Cavender (2009) menyarankan menggunakan animasi tertentu (anchored ancimation) yang hanya muncul pada atau dekat jendela target (target window) untuk menekankan bahwa pesan yang disampaikan pada dasarnya hanya merupakan saran dan tidak menuntut perhatian segera.

5. Tata Letak Jendela (window layout). Mengubah tata letak jendela (window layout) dapat membingungkan dan merusak suasana kelas (lihat Cavender, 2009). Lebih lanjut, Cavender (2009) mencontohkan perubahan tata letak dengan merotasi jendela seperti merupakan solusi yang baik, padahal bersifat mengganggu.

6. Fokus. Hal penting lain dalam rancangan audiovisual adalah fokus. Hindari menganggu pengguna dari fokus yang sedang dilakukan pengguna pada saat konsentrasi (fokus) yang sedang dilakukan (Cavender, et al., 2009). Lebih lanjut Cavender et al. (2009) mengatakan bahwa efek visual masking dapat mengaburkan informasi pada latar belakang atau informasi pada layar lainnya.

Penyajian Teks. Neves (2005) menegaskan bahwa penyajian teks memegang peranan penting dalam kualitas subjudul. Presentasi teks ini meliputi jenis huruf, warna, dan tata letak. Pemilihan huruf untuk subjudul biasanya adalah jenis huruf sans serif. Lebih lanjut subjudul menggunakan huruf balok cenderung susah dibaca dan orang yang suka subjudul dengan huruf capital tidak menyukai subjudul dengan kombinasi huruf kapital dan kecil. Hal penting selanjutnya adalah pemilihan warna. Warna putih pada kotak teks hitam merupkan warna paling legible dari semua kombinasi warna diikuti oleh warna kuning, cyan, dan hijau. Baker dalam Neves (2005) menyarankan bahwa warna magenta, merah, dan biru harus dihindari. Tata letak menyangkut banyak baris, posisi, dan penjajaran (alignment). Banyak baris misalkan dua sampai tiga baris. Selanjutnya posisi bias di tengah-tengah, rata kiri, atau rata kanan.

Komponen Verbal. Komponen verbal meliputi transposisi dari oral ke mode tulis. Menurut Neves (2005) orang yang mengalami susah pendengaran (hard-of-hearing) akan selalu melihat subjudul sebagai perwujudan ujaran oral (oral speech), namun orang tuna rungu yang tidak pernah menggunakan bahasa dalam bentuk oral hanya menganggap sebagai pesan tertulis.

Komponen nonverbal meliputi informasi tentang efek suara dan musik. Neves (2005) menegaskan bahwa cendikiawan dan professional menjustifikasi pengunaan informasi tentang efek suara dan music dengan harapan bahwa orang tuna rungu akan kehilangan informasi aural yang penting.

Dokumen terkait