• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL KARYA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN

BAB VI BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER

6.2 HASIL KARYA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN

Salah satu perhatian yang besar I Gusti Ketut Kaler dalam wujud kebudayaan adalah dalam wujud permasalahan adat.Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan. Wujud pertama adalah, cultural system (ide-ide), gagasan, nilai, norma, peraturan ; kedua, cocial system (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dan masyarakat); dan ketiga, artifacts (kebudayaan fisik).

Adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat merupakan salah satu dari wujud kebudayaan. Adat terkatagori dalam wujud kebudayaan cultural system yang artinya

adat merupakan suatu gagasan, nilai, norma yang berisi peraturan yang berlaku pada masyarakat tertentu.

Masalah adat menjadi salah satu perhatian I Gusti Ketut Kaler.Bentuk perhatiannya itu diwujudkan dalam tulisan mengenai adat yang dimuat dalam Harian Umum Bali Post.Hasil karya I Gusti Ketut Kaler dalam bidang Adat Bali yang dirasakan kegunaannya bagi usaha pelestarian adat kehidupan umat Beragama Hindu di Bali, adalah bukunya yang berjudul Butir-buti Tercecer Tentang Adat Bali.Buku ini diterbitkan dalam 2 jilid oleh percetakan CV. Kayumas Agung, dan merupakan kumpulan tulisannya di harian Bali Post tahun 1979-1981.Buku Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali diterbitkan pertama kali tahun 1982 dan kemudian atas permintaan masyarakat buku tersebut dicetak kembali pada tahun 1994.

Kecenderungannya untuk menulis mengenai adat yang tercecer timbul dari rasa tanggung jawabnya untuk mewariskan nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah masalah adat.Kaler menyadari adanya pergeseran jaman pada masa ini, dimana orang tua hampir tidak ada waktu untuk bercerita tentang adat yang berlaku pada masyarakat. Oleh karena itu ia berkenan untuk menuliskannya dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh generasi sekarang.

Buku Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, berisikan kumpulan materi mengenai adat yang berlaku pada masyarakat Bali. Adat yang berlaku pada masyarakat berkaitan erat dengan permasalahan agama dan kehidupan sosial masyarakatnya.Salah satu materi adat yang berkaitan dengan kedua hal tersebut di atas adalah konsep Tri Hita Karana.Secara harfiah kata demi kata mempunyai arti :Tri, artinya tiga ; Hita, artinya baik, senang, lestari; dan Karana, artinya sebab musabab atau sumbernya sebab. Jadi kata Tri Hita Karana jika dirangkaikan mempunyai arti Tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab timbulnya kebaikan.

Jelas disini Tri Hita Karana adalah yang menjadi landasan untuk mencapai kebahagiaan manusia lahir dan bathin.Ketiga sebab utama tersebut dapat dicerminkan dalam hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), antara manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan).

Manusia tetap manusia.Ia dilengkapi oleh cipta, rasa dan karsa, selaku daya kemampuan jiwa sesuai dengan anugerah-Nya. Manusia, tidaklah puas hanya dengan menempati Bhuana Agung dalam keadaan alamiah semata sebagai wadah baginya.Dari hasil interaksi sesama manusia, mereka mulai membuat rumah, banjar, desa, dan bahkan membentuk suatu negara sebagai wadah bersama.

Sejalan dengan pembentukan wadah tersebut konsep Tri Hita Karana selaku unsur tri tunggal diterapkan pula dalam bentuk wadah tersebut misalnya :

1. Rumah

a. Unsur Tuhan (Parahyangan) dilambangkan dalam bentuk Pemrajan / Sanggah (tempat umat Hindu bersembahyang sehari-hari).

b. Unsur manusia (Pawongan) sebagai yang menempati rumah tersebut. c. Dan bangunan rumah secara keseluruhan sebagai wujud dari Palemahan.

2. Desa

a. Unsur Tuhan (Parahyangan) diwujudkan dalam bentuk Pura Desa. b. Semua warga desa merupakan perwujudan dari Pawongan.

c. Tanah wilayah desa termasuk di dalamnya daerah pemukiman adalah palemahannya.

Konsep Tri Hita Karana pada masa pembangunan sekarang ini mempunyai keterkaitan yang erat.Konsep ini bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan masyarakat maupun pembangunan fisik, khususnya di Bali.

Kesepakatan tokoh-tokoh Bali mengenai keselarasan konsep ini dengan permasalahan pembangunan, tercermin dalam Diskusi Terbatas bertema “Tri Hita

Karana, Tafsir Konstektual dan Tantangan Dalam Penerapannya”, yang diadakan oleh

Harian Umum Bali Post di Rumah Makan Sari Warta Boga, Sabtu, 9 Agustus 1997. Menurut Ketut Wiana, Tri Hita Karana merupakan konsep yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hidup yaitu :Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Pencapaian tujuan ini memerlukan suasana keharmonisan yang bisa dicapai dengan konsep Tri Hita Karana, oleh karena itu konsep ini harus dijabarkan dalam konsep tata ruang, sehingga terwujud kehidupan yang harmonis.

Sedangkan Ir. Nyoman Gelebet berbicara lebih kongret mengenai masalah ini, menurutnya bagaimanapun konsep Tri Hita Karana harus diwujudkan menjadi Peraturan Daerah (PERDA) Tata Ruang dan Pola Dasar Pembangunan Bali agar tidak hanya menjadi pasal karet.

Ibu Gedong Bagoes Oka dalam pendapatnya mengenai konsep Tri Hita Karana adalah, sesungguhnya jiwa dari konsep ini ada dalam Veda/Vedanta.Konsep ini hendaknya dipakai sebagai pegangan Umat Hindu dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, Jagat Thita.Sejahtera menurut Visi Vedanta ialah, hidup manusia dimana dirangsang pemikiran dan sikapnya untuk meningkatkan diri, hingga menuju dan menempuh jalan ke Widhi (Tuhan).Konsep Tri Hita Karana memberikan petunjuk singkat dan jelas bagaimana manusia bisa menciptakan keharmonisan.

Pada diskusi ini sempat muncul polemik terhadap permasalahan siapa yang sesungguhnya memunculkan konsep Tri Hita Karana tersebut.

Menurut I Made Japa, orang yang tahu banyak awal mula lahirnya konsep Tri Hita Karana, konsep ini dalam situasi tatanan kemasyarakatan yang kacau balau akibat peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Masyarakat pemberontakan Partai

Komunis Indonesia.Masyarakat satu dengan yang lainnya saling curiga, terjadi perkelahian hampir setiap hari antar banjar bahkan antar desa.

Akibat situasi yang semakin memanas tersebut, para tokoh Bali seperti Ida Bagus Mantra, I Gusti Ngurah Pindha dan I Gusti Ketut Kaler berinisiatif membentuk Badan Perjuangan Umat Hindu Bali (BPUHB) dan Badan Perjuangan Umat Hindu Dharma).Kedua organisasi ini bertugas memberikan pemikiran dan rumusan pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat.

I Gusti Ketut Kaler selaku Pimpinan Kantor Agama Daerah (KAD) turun ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan dengan mengacu pada konsep Tri Hita Karana. Dengan adanya penyuluhan dan proses sosialisasi konsep Tri Hita Karana oleh I Gusti Ketut Kaler, masyarakat Bali mulai hidup dengan tenang. Atas dasar keberhasilan inilah, kedua organisasi perjuangan umat Hindu sepakat bahwa konsep Tri Hita Karana dijadikan acuan dalam pelaksanaan penyuluhan agama dan adat di desa-desa.

Bahkan menurut Ngurah Oka Supartha, I Gusti Ketut Kaler telah menyusun buku mengenai awig-awig desa di Bali.Buku ini berisi pedoman dalam penyusunan peraturan desa.

Sedangkan menurut Merta Sutedja, konsep Tri Hita Karana adalah hasil pemikirannya yang ia rumuskan pada tahun 1968. Konsep ini Ia ciptakan dari rasa keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Bali pada masa itu. Untuk pertama kali konsep ini ditulisnya dengan ejaan Tri Ita Karana dengan unsurnya manusia, urip dan bhuana. Konsep Tri Hita Karana menurut Merta Sutedja adalah hasil pemahamannya mengenai terhadap Lontar Sutasoma dan Lontar Ramayana.

Untuk mensosialisasikan konsep ini Merta Sutedja menghadap I Gusti Bagus Sugriwa dan I Gusti Ketut Kaler, dua tokoh budayawan Bali dan sekaligus mantan

gurunya di Sekolah Dasar Kayumas Kelod Denpasar.Kedua tokoh ini sangat senang dan mendorong Merta Sutedja untuk terus menggali kebudayaan Bali.

Berdasarkan data yang ada untuk menentukan pencetus konsep Tri Hita Karana memanglah sulit. Dari kedua belah pihak mempunyai bukti-bukti yang mendukung, akan tetapi untuk saat ini permasalahan tersebut tidaklah begitu penting untuk dipermasalahkan. Seperti juga kesepakatan yang terjadi dalam diskusi mengenai konsep Tri Hita Karana.Peserta diskusi tersebut seperti Ir. Nyoman Gelebet dan Ibu Gedoeng Bagoes Oka sepakat bahwa permasalahan tersebut tidak perlu dimunculkan, karena sekarang yang terpenting adalah bagaimana menerapkan konsep tersebut secara nyata.

Pada dasarnya konsep ini pada tataran ide memang cukup baik.Konsep Tri Hita Karana memberikan gambaran kepada masyarakat Bali tentang pentingnya keseimbangan.Batasan-batasan terhadap eksploitasi alam, hubungan dengan sesama manusia dan rasa syukur kepada penciptanya.Niat baik pemerintah daerah Bali untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai landasan pembangunan daerah adalah langkah yang baik.Akan tetapi tidaklah hanya sekedar wacana belaka yang hanya dibicarakan dalam forum diskusi tanpa ada wujud nyata pelaksanaanya.

Perkembangan Pariwisata Budaya yang dicanangkan pemerintah daerah Bali sudah seharusnya memikirkan konsep Tri Hita Karana menjadi Peraturan Daerah (PERDA), yang mendukung perkembangan Pariwisata Budaya.

Perihal lainnya yang tertulis dalam buku Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali adalah permasalahan hubungan kemasyarakatan, misalnya tenggang rasa kepada tetangga.Hokum adat Sepat Gantung sebagai contoh. Hokum adat ini diterapkan untuk memecahkan persoalan adanya tanaman atau bangunan yang melanggar pekarangan orang lain. Sepat gantung adalah suatu alat yang biasanya digunakan buruh bangunan untuk membuat garis lurus vertical (atas bawah).

Contoh kasus, apabila ada pohon buah yang mana batang dahannya melewati batas tanah pekarangan orang lain, apabila ada kesepakatan diantara keduanya (pemilik pohon dan pemilik tanah yang dilanggar) membiarkan dahan yang melanggar untuk tidak dipotong dengan syarat buah dahan tersebut menjadi milik tanah yang dilanggar. Dalam hal bangunan Hukum Adat Sepat Gantung adalah suatu acuan bagi seseorang dalam mendirikan bangunan, seperti bagian atap atau talang melanggar batas tanah orang lain.

Ide pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalambidang kebudayaan tidak saja terbatas pada permasalahan adat saja melainkan juga bentuk kebudayaan lainnya.Kebudayaan bercocok tanam pada masyarakat Bali yang berciri khas pengairan yang dikenal dengan Subak menjadi perhatiannya juga. Wujud perhatiannya dapat dilihat dari surat bertanggal 17 Agustus 1975, yang dikirim kepada Instansi Pertanian mengenai “Satu gagasan tentang Cagar Budaya” (Museum Subak). Kaler memandang perlu didirikan museum Subak di Bali dengan beberapa pertimbangan :

1. Subak, adalah suatu lembaga pengaturan perairan sawah yang hanya ada di Bali.

2. Sebagai suatu lembaga asli / tradisional, ia tidak terlepas dari terjangan proses akulturasi kebudayaan.

3. Oleh karena itu selagi masih ada informan, data, dan kelengkapannya yang berkaitan dengan Subak perlu didirikannya museum Subak.

Secara lebih jelasnya mengenai tujuan pendirian Museum Subak, Kaler memberikan penjelasannya :

1. Menghimpun berbagai macam benda dan data tentang Subak serta yang bertalian dengan itu, dan menyuguhkannya selaku sarana penelitian / studi.

2. Menyelamatkan / mengamankan berbagai benda tentang dan yang bertalian dengan Subak, khususnya yang mempunyai nilai sejarah.

3. Menyuguhkan penerangan secara visual dan dramatisasi tentang dan yang bertalian dengan Subak, baik untuk pelajaran / penelitian maupun bagi wisatawan.

Usulan mengenai pembangunan Museum Subak ini ditanggapi dan diterima oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, pada masa itu.

Pada musim tanam tahun 1979, Subak Rijasa memperoleh juara I Supra Insus Tingkat Nasional, berhubungan dengan hal tersebut, gubernur mempunyai gagasan untuk mendirikan Museum Subak di Desa Sanggulan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan. Pada tahun 1979 pembangunan Museum Subak ini mulai dilaksanakan, dan secara resmi dibuka pada tanggal 13 Oktober 1981.

Museum Subak ini terdiri dari :

1. Bangunan atau komplek suci dengan Padmasana, Bedugul dan lainnya. Tata Ruang dan Tata Letak dari bangunan-bangunan dimaksud disesuaikan dengan lingkungan di sekitarnya dengan mengikuti pola pembangunan tradisional :Tri Mandala, Tri Angga, dan Asta Kosala Kosali.

2. Bangunan utama terdiri dari dua gedung yaitu, gedung pusat informasi dan gedung pameran.

3. Museum Terbuka yang diwujudkan sebagai Subak Mini, yang dipakai sebagai peragaan kegiatan Subak mulai dari sistem irigrasi sampai proses kegiatan petani di sawah.

Konsep Subak itu sendiri pada dasarnya bagian dari cerminan konsep Tri Hita Karana.Unsur Parhyangan di dalam sistem Subak diwujudkan dalam pembangunan Pura. Pura-pura yang ada di lingkungan Subak antara lain :

a. Pura Bedugul, yang dibangun pada setiap tempat pembagian air dan bangunan bendungan.

b. Pura Ulun Siwi, yang dibangun pada setiap wilayah Subak atau beberapa Subak yang mempunyai sumber air yang sama.

c. Pura Ulun Danu, yang terdapat pada keempat danau yang ada di Bali yaitu : Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan.

Unsur Pawongan pada sistem Subak terwujud dalam : (1) Awig-awig, yang memuat bentuk hukum tertulis yaitu seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat petani, dan disertai sanksi-sanksi yang dilaksanakan secara tegas dan nyata. (2). Anggota, secara umum anggota Subak dapat dibedakan atas tiga kelompok, (a), Krama Pengayah / Anggota Aktif yaitu anggota Subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Subak. (b). Krama Pengampel/ Anggota Pasif yaitu, anggota Subak yang karena alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan Subak. (c). Krama leleputan / Anggota Khusus yaitu, anggota Subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban Subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat, seperti pemangku, bendesa adat, ataupun sulinggih.

Adapun unsur Palemahan di dalam sistem Subak adalah : (1). Irigrasi, irigrasi adalah sistem pengairan untuk keperluan bercocok tanam. Sistem Irigasi Subak terdiri dari ;empalan / bending dam yang berfungsi sebagai bangunan pengambil air dari sumbernya (sungai), dan aungan / terowongan, tempat air dialirkan. (2). Tanah, unsur ini merupakan tempat utama bagi para petani untuk bercocok tanam.

Kiprah I Gusti Ketut Kaler dalam bidang kebudayaan tidak terbatas pada bidang diatas saja. Tahun 1970, I Gusti Ketut Kaler diangkat oleh Gubernur Bali sebagai anggota team penasehat pembuatan film di daerah Bali atau yang menyangkut daerah Bali.

Tugas dari team ini antara lain; memberikan pertimbangan kepada gubernur terhadap permohonan melakukan pengambilan gambar di daerah Bali, dan mendampingi pemohon pembuatan film pada saat pengambilan gambar dan memberikan pertimbangan serta batasan-batasan mana saja yang boleh diambil gambarnya. Beberapa film yang dibuat di Bali dengan mendapatkan pertimbangan team ini antara lain; Film Pandji Tengkorak, Kabut Di Kintamani, dan Kutukan Dewata.

KESIMPULAN

I Gusti Ketut Kaler dilahirkan dari kelurga Puri yang cukup terpandang.Ayahnya menjabat sebagai Kelian Desa yang cukup disegani.Ayahnya mempunyai pengetahuan yang baik tentang adat dan agama.Aktifitas ayahnya sebagai tokoh adat, menarik minat Kaler muda untuk mempedalam pengetahuan tentang adat, agama, dan budaya.

Sarana untuk menambah pengetahuan mengenai alat dan buaya cukup tersedia dirumahnya, yaitu berupa lontar-lontar koleksi ayahnya.Disamping itu yang membentuk kepribadian Kaler muda adalah gurunya di sekolah desa dan juga sekolah Jeoang yang disamakan dengan SGB (Sekolah Guru Barwah). Guru pada jaman itu mampu membentuk karakter anak didiknya.

Fakultas internal dan eksternal tersebut telah mempengaruhi pembentukan kepribadiannya dan Pak Kaler kemudian melejit dalam bidang pemerintahan dan juga politik, disamping budaya.I Gusti Ketut Kaler sepakat bahwa modernisasi bukan westernisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1978. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta : LP3ES.

________. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Beerling, R.F. 1950. Filsafat Dewasa Ini. Djakarta : Balai Pustaka.

Parimartha, I Gde. 1998. Prof. Dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah :Sebuah Biografi Pendidikan. Denpasar : Upada Sastra.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia :Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.

_______________. 1970. “Max Weber dan Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah No. 6 Yogyakarta : UGM.

Wijaya, Nyoman. 2012. Menerobos Badai :Biografi Intelektual Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus.Denpasar : Pustaka Larasan.

Dokumen terkait