• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi I Gusti Ketut Kaler Sebuah Biografi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biografi I Gusti Ketut Kaler Sebuah Biografi."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Unggulan : Budaya dan Pariwisata Kode/ Bidang Ilmu : 618/ Sejarah

LAPORAN PENELITIAN

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

I GUSTI KETUT KALER : SEBUAH BIOGRAFI INTELEKTUAL

Dr. Drs. I Putu Gede Suwitha, S.U.(0027075508) Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. (0029076009)

Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Si. (0017056208) Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S. M.Hum (0026098002)

Drs. I Wayan Tagel Eddy, M.S. (0002065808)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

▸ Baca selengkapnya: ide pokok biografi i gusti ngurah rai paragraf 1

(2)
(3)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... …. i

BAB I PENDAHULUAN ... …. 1

1.1 LATAR BELAKANG ... …. 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... … 2

1.3 KERANGKA PEMIKIRAN ... … 2

1.4 TUJUAN KEGIATAN ... … 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... … 5

BAB III METODE PENELITIAN ... … 6

BAB IV I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA……….. 7

4.1 MASA KECIL I GUSTI KETUT KALER……… 7

4.2 PENDIDIKAN ……….. 9

4.3 MASA BERUMAH TANGGA ……….. 11

4.4 MASA TUA ………. 13

BAB V MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER ……… 16

5.1 SEBAGAI PENDIDIK ……….. … 16

5.2 SEBAGAI PEJUANG ……….. 17

5.3 SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ………... 23

BAB VI BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER ………... 31

6.1 HASIL KARYA DALAM BIDANG AGAMA ……….… 31

6.2 HASIL KARYA DALAM BIDANG KEBUDAYAAN ……… 36

KESIMPULAN ……….…. 45

(4)

I GUSTI KETUT KALER : SEBUAH BIOGRAFI INTELEKTUAL

Oleh :

I Putu Gede Suwitha A.A. Ayu Rai Wahyuni Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo

I Wayan Tagel Edy

Abstrak

Biografi ini akan mengangkat kiprah kehidupan tokoh I Gusti Ketut Kaler, terutama dalam bidang intelektual. Tujuan penulisan biografi ini terutama untuk mengetahui pemikirannya terutama dalam bidang adat, budaya, dan agama.

Sebagai seorang tokoh yang pemikirannya pantas dipakai dan dikembangkan, maka kemunculan I Gusti Ketut Kaler tampak tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan lingkungan tradisi, budaya tempat ia tinggal dan dibesarkan. Sang tokoh dilahirkan dalam lingkungan keluarga bangsawan Bali (Tri Wangsa) di Abiansemal Badung. Maka terasa bahwa lingkungan keluarga (Jeroan), tradisi kebangsawanan, kebudayaan Hindu mempengaruhi kehidupan yang penuh dengan suasana keagamaan, sopan santun, etika dalam lingkungan puri.

Pergulatan pemikiran I Gusti Ketut Kaler melahirkan karya-karya yang cemerlang yang bertemakan adat, budaya dan agama. Karya-karya yang membuat namanya dikenal luas dalam lingkungan masyarakat Bali. Penelitian ini mempunyai tujuan dan target untuk dapat melestarikan pemikiran-pemikiran sang tokoh di dalam jangka panjang untuk mengembangkan dalam kerangka kemajuan adat, agama, dan budaya. Apa yang dikenal dengan semboyan melestarikan semboyan Ajeg Bali dalam kerangka memajukan budaya dan agama.

(5)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menulis biografi seorang tokoh sejak dahulu dirasakan penting manfaatnya.Dalam lingkup nasional, seorang yang berjasa terhadap bangsa dan negara atau seorang tokoh yang berjasa dalam bidang tertentu sudah banyak ditulis biografinya. Demikian juga seorang tokoh penting dalam tingkat lokal peranannya hampir sama, hanya saja dalam lingkup yang lebih kecil (mikro).

Dalam hubungan ini tim jurusan sejarah memprakarsai untuk menulis biografi seorang tokoh lokal yang berjasa dalam memperkuat dan memajukan adat istiadat dan agama Hindu di Bali dalam kerangka memperkuat budaya, adat dan ajeg Bali yang sekarang mendapat momentum yang sangat tepat. Tokoh yang dimaksud adalah I Gusti Ketut Kaler, seorang tokoh yang pada masa hidupnya didorong oleh rasa cinta kebudayaan, khususnya adat dan agama Hindu, sangat berjasa dalam memperkuat akar-akar budaya.Fondasi budaya Bali ketika itu belum ajeg, belum mengakar, karena Indonesia khususnya Bali baru menyelesaikan revolusi fisik yang berakhir setelah tahun 1950 an.

Orang arif berkata bahwa kita belajar dari sejarah dan belajar dari pengalaman, karena pengalaman itu adalah guru kehidupan.Menulis biografi seorang tokoh karena tokoh tersebut menarik dan mempunyai suatu atau pelbagai perbuatan yang patut diketengahkan. Peran I Gusti Ketut Kaler, baik sebagai cendikiawan maupun pemikir dengan gagasan-gagasannya yang cemerlang tentang budaya dan adat, sehingga menarik untuk ditulis. Dalam kenyataannya peran seseorang dalam suatu jaman tampak dalam proses sejarah. Bahkan tidak jarang sangat menentukan perkembangan yang terjadi dalam suatu jaman. Oleh karena itu tidak mengherankan seorang pemikir Barat – Carlyle berpendapat bahwa : sejarah dunia merupakan serangkaian riwayat hidup orang-orang besar. Pandangan tersebut tentu sangat bersifat determinisme dan dengan sendirinya mengandung kebenaran.

(6)

tokoh ini dikenal berjuang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan : mau dibawa kemana adat, budaya dan agama.

1.2 Rumusan Masalah

Biografi yang ideal menurut Kuntowijoyo (2003), hendaknya mampu mengangkat aspek kejiwaan seorang tokoh. Dengan kata lain bukan menekankan “makna subyektif”, seperti tokoh menafsirkan sendiri suatu kejadian. Biografi yang beraspek sejarah kejiwaan harusnya mengangkat soal-soal “dibawah sadar” yang merupakan penjelasan dari luar yang dipikirkan oleh sejarawan, bukan oleh tokoh.Untuk menulis biografi model ini yang harus mendapat perhatian adalah penjelasan pembentukan pribadi, interaksi dengan lingkungan dan perkembangaan kejiwaan (Kuntowijoyo, 2003). Berdasarkan latar belakang kondisi yang telah digambarkan diatas, dapat diajukan beberapa permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana kehidupan I Gusti Ketut Kaler pada waktu kecil

b. Pengaruh lingkungna sosial budaya yang mana yang membentuk atau mempengaruhi pikirannya.

c. Bagaimana pendidikannya dan pengaruh guru-gurunya

d. Bagaimana konsep pemikirannya dalam pengembangan budaya, adat, dan agama.

e. Demikian pula mau dibawa kemana adat, budaya, dan agama Hindu.

1.3 Kerangka Pemikiran

(7)

sejarah tempat pemikiran tokoh tersebut muncul, tumbuh dan berkembang (sejarah di permukaan) dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat.

Pemikiran pertama yang berpengaruh, pada kejadian sejarah mengarah pada genesis pemikiran I Gusti Ketut Kaler, yang tentu mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Demikian juga konsistensi pemikirannya. Evaluasi pemikirannya dengan melihat tahapan-tahapan pemikiran, perubahan, varian pemikirannya.Hal ini mengacu seperti yang dikatakan Wijaya kita lihat pada teks-teks yang ada.

Pemikiran kedua atau pendekatan dengan melihat pada konteks sejarah, konteks budaya.Apakah pemikiran I Gusti Ketut Kaler dilator belakangi oleh peristiwa sejarah, baik peristiwa yang besar maupun peristiwa yang kecil namun cukup berpengaruh.Apakah pemikiran mempunyai latar belakang politik, budaya atau budaya seperti gelombang triwangsa.Selanjutnya menurut Nyoman Wijaya, menyasar pada hubungan antara pemikiran dengan masyarakat.

Dalam penulisan biografi, tidak cukup hanya proses menerangkan, tetapi juga mengerti sang tokoh. Menerangkan adalah proses menjelaskan dari luar sebagai proses sebab akibat di luar kesadarannya. Mengerti sang tokoh merupakan “proses dari dalam” berdasarkan “makna subyektif”, sebagaimana ia menafsirkan hidupnya. Jadi penulisan biografi bukan hanya berusaha memaknai, tetapi juga mendalami kepribadiannya seperti yang dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992).

1.4 Tujuan Kegiatan

Didasari atas permasalahan diatas, tujuan umum penelitian adalah untuk mengkaji pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalam bidang adat, budaya, dan agama. Dalam hal ini akan dilihat adanya kesinambungan pemikiran beliau dalam kerangka : teks, konteks dan pengaruh pemikirannya pada masyarakat. Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penulisan biografi adalah ingin mengungkapkan secara indept tentang biografi I Gusti Ketut Kaler sebagai tokoh pemikir dalam bidang adat, budaya, dan agama, terutama akan lebih berpusat pada hal-hal sebagai berikut a. Melestarikan pemikiran I Gusti Ketut Kaler terutama dalam bidang adat,

budaya, dan agama.

(8)

c. Kisah hidup dan perjuangan sang tokoh akan berguna bagi generasi penerus dan masyarakat ilmiah di Bali.

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menyelesaikan jenis penulisan sejarah yang berupa autobiografi dan biografi dalam arti yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia seperti aspek-aspek ekonomi, budaya, dan politik digunakan teori yang dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo yang berjudul Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia : Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia, 1982. Teori ini sangat relevan dengan fenomena biografi komprehensif yang akan dikerjakan.

Pendekatan biografi juga dianjurkan oleh Taufik Abdullah. Penulis biografi dapat mempersoalkan seberapa jauh ia dapat mengetahui sepenuhnya kehidupan seseorang yang paling fundamental, bagaimana penulis biografi mengungkap dan mengerti pergumulan aktor sejarah dengan lingkungan yang mengintari. Masalah ini akan menjadi lebih sulit bagi penulis biografi yang harus berhadapan dengan tokoh “besar”. Makin dianggap “besar” seorang tokoh, makin sulit pula untuk mengetahui tokoh tersebut. (Taufik Abdullah, Manusia dalam Kemelut Sejarah. Jakarta :LP3ES, hlm. 1-19.).

Pendekatan psikologi yang oleh Dilthey dikenal dengan pendekatan

verstehen juga digunakan. Dengan metode verstehen, peneliti berusaha

menempatkan diri pada subjek yang diteliti seakan-akan peneliti terlibat dalam proses kejiwaan yang dialami aktor sejarah, dan sekaligus berada di luarnya. Dengan mempertemukan dimensi luar (mengetahui) dan dimensi dalam (“menghayati”).Verstehen adalah kemampuan untuk memasuki alam pikiran actor sejarah pada kelampauan. Lihat Sartono Kartodirdjo dengan judul tulisan “Max Weber dan Dilthey” dalam Lembaran Sedjarah No. 6 : UGM, 1970 ; R.F. Beerling dalam Filsafat Dewasa Ini I (Djakarta : Balai Pustaka, 1950); dan Taufik Abdullah dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1978.

(10)

BAB III

METODE PENELITIAN

Untuk menunjang analisis dipergunakan metode sejarah, baik dalam pengumpulan sumber (data) maupun dalam analisis. Dengan studi komprehensif, dengan metode autobiografi yang diedisikan akan dapat diketahui lingkungan sosial-budaya seorang actor sejarah, jiwa zamannya (zeitgeist-nya). Misalnya, bagaimana figure seorang aktor sejarah mengenai perkembangan segi intelektualnya, bagaimana waktu kecilnya, pengaruh lingkungan sosial-kultural, pengaruh pendidikan gurunya, konsep pemikirannya, dan sebagainya.Dalam hal ini, pendekatan antropologi dan sosiologi mengenai pengaruh lingkungan sangat membantu sebagai kerangka konseptual.

Seseorang yang berjasa atau seorang pahlawan pada hakikatnya adalah manusia biasa.Ia tidak lepas dari lingkungan dan zaman di mana ia dilahirkan, hidup, dan mengembangkan segala aktivitasnya. Untuk itu, untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba menghayati dan memahami manusia dan masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut, perlu kita coba menghayati dan memahami manusia masyarakat tempat hidupnya.Untuk itu, untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut perlu kita coba menghayati dan memahami manusia dan tempat hidupnya. Untuk itu, konsep-konsep psikologi dengan pendekatan verstehen akan sangat membantu. Dari segi kejiwaan, mengapa seorang aktor sejarah mempunyai ide atau pemikiran seperti itu akan sangat membantu analisis.

(11)

BAB IV

I GUSTI KETUT KALER DAN PENGABDIANNYA

4.1Masa Kecil I Gusti Ketut Kaler

I Gusti Ketut Kaler adalah seorang budayawan, pemerhati masalah adat istiadat Bali sekaligus dikenal sebagai tokoh politik PNI (Partai Nasional Indonesia) pada jamannya.I Gusti Ketut Kaler dikenal juga sebagai seorang pejuang pada masa revolusi fisik tahun 1945 sampai dengan 1950. Ia lahir di Banjar Tengah, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, pada tanggal 1 Agustus 1923 dari pasangan I Gusti Ketut Gendjor dan I Gusti Ayu Made Onggar. Berdasarkan kalender Bali, kelahiran I Gusti Ketut Kaler jatuh pada hari Rabu (Budha) Wage dengan wuku langkir.Berdasarkan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Bali, orang yang lahir, pada masa itu dipercayai mempunyai watak satria wibawa, berlaku ramah dalam pergaulan dan memiliki watak yang keras. Kaler adalah putra kelima dan anak laki-laki satu-satunya dari enam bersaudara yaitu : I Gusti Ayu Putu Raka, I Gusti Ayu Made Ngurah, I Gusti Ayu Nyoman Rai, I Gusti Ayu Nyoman Muklik, I Gusti Ketut Kaler,, dan I Gusti Ayu Cemeng.

(12)

Dari gambaran mengenai silsilah I Gusti Ketut Kaler dapat disimpulkan bahwa Kaler berasal dari keluarga bangsawan sebagai keturunan Ksatria.Keturunan atau golongan Ksatria pada masyarakat Bali mempunyai kedudukan yang cukup tinggi pada masyarakat.Mengenai tingkatan atau status pada masyarakat yang di Bali dikenal sebagai sistem kasta sebenarnya sudah ada sejak jaman sebelum Kerajaan Majapahit.Akan tetapi ada perbedaan yang menyolok dalam pengkastaan seseorang antara jaman sebelum Majapahit dan sesudahnya.

Sistem kekerabatan yang berlaku di masyarakat Bali adalah sistem paternalistik, yakni sistem kekerabatan yang dilihat dari sistem keturunan Ayah.Berlakunya sistem ini dapat dilihat dari sistem hak waris, dan penerus keturunan hanya pada anak laki-laki.Apabila terjadi perkawinan yang eksogami (campuran), wanita dari kasta yang lebih tinggi kawin dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah maka kasta dari pihak istri disesuaikan dengan kasta pihak suami.Namun apabila istri memiliki kasta yang lebih rendah dibandingkan suaminya maka haknya disesuaikan dengan kasta suaminya.

Desa Blahkiuh tempat Kaler dilahirkan dan disebarkan adalah sebuah desa yang berhawa sejuk dan bertanah subur yang cocok untuk tanaman perkebunan seperti cengkeh, kopi, coklat, vanili, dan areal persawahan. Wilayah Desa Blahkiuh di sebelah Utara dibatasi oleh Desa Sangeh, batas sebelah Timur Desa Bongkasa, batas sebelah Selatan Desa Abiansemal, dan batas sebelah Barat Sungai Ayunan.

(13)

Kaler dikenal sebagai remaja yang energik, senang berolah raga seperti olah raga atletik dan sepak bola. Menurut I Gusti Putu Oka, salah seorang teman sepermainannya dulu, ia dan Kaler selalu menempati posisi penyerang depan. Selain sebagai pemain Kaler juga menjadi wasit dalam pertandingan sepak bola.Hobi lainnya adalah memancing yang sangat digemarinya sejak kecil hingga tua. Kesenangan memancing ini kadang kala digunakannya untuk mencari inspirasi untuk menulis, kesenangan ini sudah mulai dilakukan semenjak ia lulus Sekolah Dasar.

Dalam menulis ia sering menggunakan nama samara “Arya Utara Wungsu”

yang mempunyai arti : Arya berarti dari golongan Ksatria, Utara sama artinya dengan Kaler, dan Wungsu mempunyai arti bungsu.

4.2 Pendidikan

Pada usia delapan tahun tepatnya tahun 1931, I Gusti Ketut Kaler mulai mengecap pendidikan formal di Sekolah Desa, walaupun sebelumnya ayahnya telah berusaha untuk memasukkannya ke HIS (Holland Inlandshe School) di Denpasar. Sebagai anak seorang Kelian Desa tidak memungkinkannya untuk masuk ke sekolah tersebut.

Setelah lulus dari Sekolah Desa tahun 1934, ia melanjutkan ke Vervolg School dan tamat pada tahun 1939. Pelajaran yang diajarkan di Vervolg School diantaranya bahasa Melayu, menulis latin, bahasa Bali dan berhitung. Berbarengan dengan pendidikannya di sekolah formal, kaler juga mengenyam pendidikan non formal, yakni belajar mengenai kebudayaan dan masalah adat istiadat pada masyarakat Bali.Ia belajar ilmu tersebut kepada I Gusti Agung Putu Mayun, seorang Punggawa di Abiansemal.

(14)

sepermainan. I Gusti Agung Putu Mayun mengajarkan kepada mereka mengenai kebudayaan dan adat istiadat Bali yang bersumber dari lontar-lontar.Pelajaran pertama dimulai dengan bagaimana membaca lontar yang kemudian dilanjutkan mengenai pemahaman mengenai isi lontar tersebut. Proses belajar mengajar ini dilaksanakan di sebuah padepokan yang dikenal dengan Padepokan Dukuh.

I Gusti Agung Putu Mayun dikenal sebagai seorang guru yang berdisiplin tinggi, murid-muridnya diharuskan datang tepat waktu dan tidak bolah lalai dengan tugas yang ia berikan. Lontar-lontar yang dipelajari antara lain, lontar Bharata Yudha dan lontar Sutasoma.

Diantara ketiga murid tersebut, Kaler merupakan murid yang paling tertarik mengenai apa yang diajarkan oleh gurunya. Ketertarikannya mengenai masalah-masalah budaya dan adat istiadat Bali dapat dilihat dari keingintahuannya yang besar mengenai hal tersebut.Iaselalu membaca buku-buku yang memberikan informasi mengenai budaya dan adat.

Dari gambaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perhatian I Gusti Ketut Kaler terhadap masalah-masalah kebudayaan dan adat istiadat Bali sudah tumbuh sejak ia mulai mengenyam pendidikan formal maupun informal.

(15)

Ketut Kaler adalah seorang guru yang berdisiplin tinggi, sebelum pelajaran dimulai, ia sudah berada di dalam kelas, dan selalu memeriksa tugas-tugas yang Ia berikan. Bahkan menurut mantan muridnya yang lain I Made Chandra, perhatian I Gusti Ketut Kaler terhadap murid-muridnya tidak saja pada lingkungan sekolah melainkan juga ketika diluar jam sekolah. Apabila ia melihat muridnya bermain diluar jam belajar ia akan menegurnya.

Tahun 1944 ia mendapat tugas belajar pada kursus Rinzi Zakyu Yesusyo yaitu kursus yang diselenggarakan pemerintah Jepang untu persamaan Sekolah Guru Belanda (SGB). Setelah lulus dari kursus ini pada tahun 1945, I Gusti Ketut Kaler diangkat menjadi guru Sihang Gakko di Singaraja.

4.3 Masa Berumah Tangga

Perkawinan adalah suatu hal yang wajar dan penting.Ajaran agama menganjurkan adanya perkawinan sebagai sarana menciptakan generasi penerus. Pada tanggal 10 Oktober 1943 di usia yang terbilang cukup untuk melangsungkan sebuah perkawinan pada masa itu. Kaler mempersunting seorang gadis dari golongan kasta biasa yang berasal dari desanya sendiri.Gadis tersebut bernama Ni Ketut Moning anak seorang petani dari banjar Benah Kawan.Ni Ketut Moning pada masa itu dikenal sebagai salah satu kembang desa yang menjadi rebutan pemuda desa Blahkiuh pada masa itu.

(16)

Perkawinan Kaler dengan Ni Ketut Moning menghasilkan Sembilan orang putra putri yaitu : I Gusti Agung Ayu Sudartini, I Gusti Agung Ayu Sudarmi, I Gusti Agung Ayu Sudarti, I Gusti Agung Sudarniti, I Gusti Agung Putu Sudarsana, I Gusti Agung Made Sudarma, I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, I Gusti Agung Ayu Sudarningsih, dan I Gusti Agung Ayu Sudarmiati.

Kaler sebagai seorang kepala rumah tangga berusaha untuk selalu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik. Sebagai seorang bapak ia berusaha dekat dengan anak-anaknya, diajaknya mereka untuk selalu terbuka dan membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi.

Profesi sebagai seorang guru pada masa itu adalah profesi yang cukup terpandang di masyarakat.Kaler yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar menyadari pentingnya pendidikan untuk putra putrinya. Kepada mereka, ia sebagai seorang bapak menanamkan suatu pengertian bahwa pengalaman itu adalah guru yang terbaik, rasa tanggungjawab pada diri sendiri, hidup sederhana seperti masyarakat umumnya, berwatak jujur dan bersikap sopan pada siapapun.

I Gusti Ketut Kaler dimata anak-anaknya adalah figur yang mempunyaiwatak yang keras dalam hal disiplin, ia selalu bertanggungjawab dalam setiap tugasnya. Watak dan sikap seperti itulah yang masih diingat mengenai ayahnya. Watak dan sikap Kaler yang keras dan disiplin ini tidak membuatnya menjadi kaku dan menciptakan jarak antara ia dan keluarganya.

(17)

para orang tua belajar mengenai lontar dan membicarakan masalah-masalah adat dan perkembangan desa mereka.

Satu hal lagi yang patut di teladani dari keluarga ini adalah tersedianya waktu untuk berlibur bersama menikmati alam.Kaler yang mempunyai kesenangan memancing ikan di sungai, seringkali mengajak keluarganya turut serta sekaligus untuk bersantai dan menikmati makanan yang dibawa dari rumah.Di saat-saat seperti inilah keakraban anggota keluarga terbina.

Perhatian dan rasa kasih sayang terhadap putra-putrinya tidak hanya diperlihatkan sejak mereka masih anak-anak melainkan terus berlanjut pada saat mereka remaja dan menikah.Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi anak-anaknya. Salah satu pendapatnya mengenai keluarga yang selalu diingat oleh orang-orang yang pernah dekat dengannya, adalah bahwasannya rumah merupakan tempat yang tepat untuk menerapkan ilmu yang didapat sepanjang ilmu tersebut dapat menciptakan kebaikan bagi keluarga tersebut.Keberhasilan pemimpin keluarga adalah tercermin dari keharmonisan keluarga tersebut.

4.4 Masa Tua

I Gusti Ketut Kaler memasuki masa pensiun pada tanggal 1 September 1979, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Urusan Bali pada Kantor Agama Daerah Tingkat I Bali.

(18)

istiadat Bali diwujudkannya dengan tulisannya yang dimulai pada tahun 1979 di harian Bali Post dengan judul “Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali”.

Kaler berharap dengan adanya tulisan ini umat Hindu dapat lebih memahami mengenai adat dan budayanya.Pentingnya umat Hindu di Bali memahami budaya dan adat istiadat adalah dikarenakan hubungan Agama Hindu di Bali dengan budaya berkaitan erat dan sejalan. Butir-butir tercecer tentang adat Bali akan sangat berguna untuk melestarikan adat kehidupan umat beragama Hindu khususnya umat Hindu di Bali.

Kegiatan I Gusti Ketut Kaler di masa tuanya selain menulis adalah, memberikan pembekalan khusus berupa materi persiapan mahasiswa kedokteran yang akan terjun ke masyarakat. Pembekalan tersebut diberikan dengan tujuan untuk mempersiapkan mental dokter muda dalam menghadapi masyarakat yang beragam.Dipercayanya Kaler untuk memberikan materi pembekalan tersebut, dengan pertimbangan bahwa I Gusti Ketut Kaler merupakan orang yang tepat dan mengerti benar permasalahan kemasyarakatan.

Memasuki tahun 1990-an, keaktifannya di luar rumah mulai berkurang.Hal itu berkaitan dengan kondisi kesehatan fisiknya yang mulai menurun. Penyakit paru-parunya mulai kambuh kembali, akan tetapi hal itu tidak menyurutkan minatnya untuk terus menulis dan memposisikan dirinya sebagai orang yang terus konsisten terhadap budaya dan adat istiadat Bali yang harus terus dipertahankan. Berdasarkan keterangan dokter paru-paru yang merawatnya, kambuhnya penyakit paru-paru I Gusti Ketut KAler adalah berkaitan dengan kebiasaan merokok yang tidak bisa ditinggalkannya.Selain itu kebiasaannya begadang hingga larut malam tanpa mengindahkan kesehatan fisiknya.

(19)

wartawan untuk mendengarkan pandangan-pandangannya mengenai budaya dan adat istiadat maupun kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah. Sampai pada akhirnya, Ia tidak bisa lagi untuk mengetik sendiri naskahnya dan oleh pihak keluarganya didatangkan asisten untuk mengetik. Salah seorang teman I Gusti Ketut Kaler yang berprofesi wartawan yang sering diundangnya berdiskusi adalah I Gusti Ngurah Supartha.Ia sering diajak mendiskusikan masalah-masalah yang sedang menghangat terutama sekali masalah kebudayaan. Menurutnya Kaler adalah orang yang keras dan konsisten dalam mempertahankan pendapatnya, misalnya pada tahun 1980-an muncul kasus penggunaan kata-kata yang bersifat religi untuk kegunaan bidang komersial. Ia beraksi dengan mengirimi surat kepada gubernur untuk memperhatikan hal tersebut.

(20)

BAB V

MASA PENGABDIAN I GUSTI KETUT KALER

5.1 Sebagai Pendidik

Perlu diingatkan kembali bahwa dalam medan informal tidak selalu ada guru formal, berbeda dengan medan formal, dan non formal, misalnya apabila pengajaran dilakukan secara perorangan yang mungkin juga mengambil tempat di rumah pribadi seperti esring dilakukan oleh I Gusti Ketut Kaler. Pengajaran semacam itu, apabila dilihat dari fungsi dan peranan guru di atas, berlangsung dalam situasi seperti itu terjadi proses belajar dan mengajar secara resmi. Karena itu kedudukan guru dalam hal ini digolongkan sebagai guru formal. Harus dibedakan dari kedudukan guru non formal dan informal lainnya, dimana proses belajar mengajar antar guru dan murid tidak terjadi dalam situasi resmi seperti itu.

Dengan mengikuti pembatasan guru atas tiga pengertian di atas kiranya akan lebih memudahkan dalam memahami peranan I Gusti Ketut Kaler dalam profesinya sebagai guru atau pendidik. Tahun 1941, I Gusti Ketut Kaler lulus dari Kursus Guru Desa yang waktu itu bernama Inlandsch Volkonsderwijzer. Karir mengajarnya yang pertama setelah tamat dari kursus Guru Sekolah Desa adalah di sekolah desa.Kemudian pada tahun 1942, I Gusti Ketut Kaler dipindahtugaskan mengajar di Sekolah Desa Blahkiuh di kampung halamannya.

(21)

Sebagai seorang guru desa pada saat itu, Kaler mendapat kesempatan untuk mengikuti Sekolah Persamaan Guru tersebut. Mulai Maret 1944 sampai dengan Maret 1945, ia mengikuti Rinsi Zyokyu Yoseizyo (Sekolah Pendidikan Guru) di Singaraja. Setelah tamat dari Sekolah Pendidikan Guru tersebut, ia diangkat menjadi guru Sihanggakko di Singaraja. Sekolah Shihanggakko ini adalah Sekolah Guru B. selain mendapat tugas mengajar di Sekolah Guru B ia juga ditugaskan di Djosi Sihanggakko (Sekolah Guru A) di Singaraja.

Pada dasarnya tujuan dari penerapan sistem pendidikan Jepang di wilayah jajahannya Asia Timur Raya adalah untuk menanamkan semangat Hiokko Itiu yaitu menanamkan arti perang Asia Timur Raya dan kemenangan di pihak Nippon. Oleh karena itu dalam sistem pendidikan Jepang disamping belajar ilmu pengetahuan juga diajarkan latihan baris berbaris dan latihan perang, mengerjakan kerajinan tangan seperti memintal benang, merajut peralatan dari sabut kelapa dan sebagainya.

Suatu hal yang dianggap penting pada waktu itu adalah para pelajar diwajibkan ikut menanam kapas dan pohon jarak seperti juga yang dikerjakan oleh masyarakat banyak, dengan tujuan untuk membantu kepentingan perang.

5.2 Sebagai Pejuang

(22)

Tanggal 19 Pebruari 1942, Jepang mendarat di Pulau Bali dengan perlawanan yang tidak berarti dari tentara Hindia Belanda yang sudah berkuasa sebelumnya di Pulau Bali. Pada awalnya kedatangan tentara Jepang di Pulau Bali membuat rakyat ketakutan, karena umumnya tentara Jepang yang pertama kali mendarat di pulau Bali berwajah seram, bengis dan kasar. Kemudian setelah tiga bulan mereka berada di Bali, yaitu pada bulan Mei 1942, balatentara Jepang yang pertama kali mendarat di Bali digantikan oleh Angkatan Laut Jepang. Serdadu-serdadu Angkatan Laut Jepang ini mulai mendekati penduduk dengan cara beramah tamah.

Tidak lama kemudian, Angkatan Laut Jepang dengan resmi mulai menjalankan pemerintahan sipil dengan pegawai-pegawainya didatangkan langsung dari negeri Matahari Terbit.Pemerintahan sipil ini disebut Pemerintahan Minseibu, yang dikepalai oleh Cokang yang berkedudukan di Singaraja. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Bali pada khususnya, pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang Raya mengatakan bahwa kedatangan mereka ini tiada lain adalah untuk kepentingan Bangsa Asia yang terjajah.

Pada saat itu Jepang sedang menghadapi negara Serikat seperti : Amerika, Inggris, dan Australia. Jepang berusaha mempropoganda masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Bali khususnya, bahwa perang tersebut merupakan perang antara negara-negara Serikat dengan negara Asia yang termasuk di dalamnya negara Indonesia.

(23)

Kian hari permintaan penjajah Jepang kian bertambah seiring membengkaknya keperluan perang.Sebagian besar hasil pertanian diambil untuk keperluan perang. Pemerintah Jepang membentuk Barisan Pekerja Sukarela Bali (BPSB) yang nantinya akan dikirim ke Sulawesi dan Kalimantan sebagai pelopor pembukaan lahan pertanian. Akibat dari rongrongan ini lambat laun rakyat Indonesia tidak terkecuali rakyat Bali menderita kemiskinan dan kelaparan yang hebat. Banyak rakyat yang mati, seperti halnya Barisan Pekerja Sukarela Bali yang dikirim ke Kalimantan dan Sulawesi akibat miskinnya pengetahuan akan wilayah yang baru dan persediaan makanan yang menipis.

Peperangan yang menimbulkan kemiskinan dan penderitaan ini menyadarkan para pemuda untuk memberontak melawan penindasan.Mereka membentuk gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Made Widjakusuma, I Gusti Ngurah Rai, Nyoman Mantik, dan kawan-kawannya.Gerakan bawah tanah ini berusaha menjalin hubungan dengan pemuda-pemuda di Jawa.

Pada saat itu I Gusti Ketut Kaler sudah mulai mengajar di Sekolah Sihanggakko Sug sebagai guru Bahasa Indonesia.Ia sebagai pemuda merasa tergerak untuk ikut gerakan tersebut. Sebagai seorang guru yang mengerti Bahasa Jepang, Kaler bertugas untuk mengartikan dokumen-dokumen berbahasa Jepang ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, ia dan para pemuda lainnya bertugas untuk mempropagandakan mengenai kebebasan dan persiapan untuk melawan penindasan Jepang. Sebagai seorang guru Kaler tidak mendapatkan kesulitan yang berarti untuk menjelaskan kepada murid-muridnya mengenai perlawanan-perlawanan para pemuda terhadap penjajah Jepang untuk meraih kemerdekaan.Di Pulau Jawa dan pulau lainnya, semangat untuk merdeka dengan melawan balatentara Jepang terus dikobarkan.

(24)

Jepang di Tokyo yang diterima para pemuda Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945, Bangsa Indonesia mengetahui kekalahan Jepang terhadap negara Sekutu. Kemudian pada tanggal 17 Agutus 1945 Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno-Hatta.

Berita mengenai Proklamasi Kemerdekaan tersebut sesungguhnya sudah langsung di dengar oleh pemuda-pemuda di Bali tidak lama setelah pembacaannya.Akan tetapi tentara Jepang baru mengumumkannya pada tanggal 21 Agustus 1945.Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sekolah-sekolah bentukan Jepang terlantar begitu saja.Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, pada tanggal 23 Agustus 1945 Mr. I Gusti Ketut Pudja tiba dari Jakarta.Ia memberitahukan bahwa dirinya telah diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur Sunda Kecil.

Akan tetapi masyarakat masih berada dalam kebingungan bahwa dikabarkan Pemerintah Republik Indonesia telah terbentuk namun kenyataannya tentara pendudukan Jepang masih berkuasa.Mengenai masalah pendidikan, Gubernur Sunda Kecil berinisiatif untuk mengaktifkan kembali sekolah-sekolah yang dulu telah ada.Guru-guru pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dikumpulkan dan diberi tugas untuk mengajar kembali.I Gusti Ketut Kaler yang dianggap sebagai orang yang mengerti mengenai pengajaran mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Rakyat Kesiman.Ia memutuskan untuk tidak membatasi mereka yang berkeinginan untuk sekolah.

(25)

Sebagai seorang pemuda yang peduli akan perjuangan demi kedaulatan bangsanya I Gusti Ketut Kaler masuk menjadi anggota PRI dan langsung dipercaya sebagai Ketua Ranting Kesiman. Dalam waktu singkat, cita-cita dan semangat pemuda-pemuda revolusioner sudah dapat meluas ke daerah-daerah lainnya.Para pemuda-pemuda ini mendukung sepenuhnya pemerintah Republik Indonesia merdeka secara perlahan dan pasti mereka mulai menyusun kekuatan guna melawan tentara Jepang.

Bentuk perlawanan mereka mula-mula ditunjukkan melalui tuntutan yang diajukan secara tertulis.Tuntutan mereka berupa pengakuan bahwa Bangsa Indonesia telah merdeka dan berhak untuk mengatur wilayahnya.Akan tetapi tuntutan secara tertulis tidak dihiraukan oleh tentara Jepang.Karena usaha tersebut tidak berhasil, pemerintah dan rakyat Bali pada khususnya berdemonsntrasi dan menyampaikan ultimatum penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan Indonesia.Pada akhirnya atas desakan rakyat yang begitu besar, Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah sipil Propinsi Sunda Kecil di bawah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia.

(26)

Melihat situasi yang semakin tidak menentu pasca pendaratan tentara serikat termasuk di dalamnya tentara NICA, Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil yang dipimpin oleh Gusti Ngurah Rai merencanakan perfusion seluruh organisasi perjuangan yang ada di Sunda Kecil. Pada tanggal4 April 1946 rencana tersebut direalisasikan dengan pertemuan di desa Munduk Malang dengan pembentukan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) Sunda Kecil yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Jadi jelas disini DPRI adalah penggabungan dari PRI dan PESINDO di satu pihak dengan TRI dan resimen Sunda Kecil di lain pihak. Mereka dari PRI dan PESINDO, sesuai dengan langkah perjuangan bersenjata, lalu dimobilisasikan ke dalam kesatuan Tentara Resimen Sunda Kecil di bawah komando MBU (Markas Besar Umum).

I Gusti Ketut Kaler sebagai anggota PRI yang termasuk juga dalam Dewan Perjuangan Republik Indonesia turut aktif menjalankan garis perjuanga yang ditetapkan.Ia dan pemuda revolusioner lainnya bertugas menyadarkan masyarakat pentingnya perjuangan, melatih para pemuda lainnya dalam Palang Merah, persiapan persediaan bahan makanan dan pakaian serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perjuangan. Segera pula disusun kesatuan-kesatuan dalam regu dengan pembagian yang rapi, juga direncanakan penyerbuan perang gerilya, baik yang berupa serangan mendadak, cegatan di jalanan, serbuan pos-pos musuh maupun aksi-aksi lainnya dengan cermat dan teliti.

(27)

lain : Kolonel Ngurah Rai, Major Wisnu, Major Debes, Major Sugianyar, Letnan Dwinda dan lain-lain.

Selanjutnya militer Belanda melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda revolusioner lainnya termasuk I Gusti Ketut Kaler.Kaler ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Denpasar dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1948. Selepas dari penjara ia bergabung kembali dengan PDRI yang dipimpin oleh Ida Bagus Tantera dan menjabat sebagai Komandan Awang-awang. PDRI dibawah pimpinan Tantera bertekad untuk memperjuangkan Negara Republik Indonesia dalam bentuk kesatuan dan berseru kepada seluruh rakyat agar tetap tenang dan waspada dari serangan musuh.

Pada tanggal 17 Januari 1948, terjadi perundingan antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Dewan Keamanan Bangsa-Bangsa (PBB) di atas sebuah kapal yang bernama Renville yang kemudian dikenal dengan Persetujuan Renville.Pada tanggal 14 Mei 1948, secara tidak diduga dan membuat kaget seluruh rakyat, Anggota staf pimpinan MBU DPRI memutuskan untuk mengadakan penyerahan umum kepada Dewan Raja-raja Bali.

Keputusan tersebut mereka laksanakan berdasarkan kesadaran untuk merubah bentuk perjuangan kedalam bentuk perjuangan yang lebih nyata.Mereka sadar kemerdekaan ini telah didapatkan, sekarang tinggalah bagaimana menyusun dan membangun, agar kemerdekaan itu betul-betul sempurna dan kuat.

5.3 Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(28)

Pembukaan sekolah-sekolah modern sebagai imbas dari politik etis, lama-kelamaan menjadi boomerang bagi pemerintah colonial karena sedikit demi sedikit para pelajar mulai sadar tentang kehidupan sosia politik bangsanya yang masih terbelakang. Kesadaran politik para pelajar di Bali pada awalnya adalah untuk meningkatkan harkat dan harga diri masyarakat Bali, seperti dapat dilihat dengan berdirinya Perkumpulan Setiti Bali di Singaraja pada tahun 1917.Hal ini sebagai reaksi atas pergerakan Sarekat Islam yang dibawa oleh H.O.S Cokroaminoto di Bali.Perkumpulan ini berdiri sampai tahun 1920, bergerak dalam bidang adat istiadat, agama, dan ekonomi.

Pada tahun 1920 di Denpasar berdiri Perguruan Taman Siswa yang dibawa oleh I Putu Kaler dari Jawa, tetapi mengalami kemacetan.Pada tahun 1924, lahirlah perkumpulan Shanti yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan dan kebudayaan masyarakat Bali, namun perkumpulan ini tidak berlangsung lama karena timbul pertentangan di kalangan anggota-anggotanya. Pertentangan yang tajam mengenai masalah kasta yang menjadi sebab utama, sehingga pada tahun 1924 berdirilah Bali Adnyana yang dipelopori oleh golongan Tri Wangsa seperti I Gusti Cakratanaya. Golongan Jaba juga mendirikan perkumpulan sendiri yakni Suryakanta pada tanggal 1 Nopember 1925 yang dipelopori oleh I Ketut Sandi, Ketut Nasa, I Nengah Metra. Perkumpulan Suryakanta ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal organisasi yang bersifat nasionalisme karena pemimpin-pemimpinnya adalah para pelajar yang lulus dari Jawa dan dapat mengecap pergaulan yang luas dan bersifat nasional.

(29)

warsa tahun 30-an, di kalangan perempuan Bali mulai ada kesadaran berorganisasi, meskipun masih bersifat elit dan terbatas di kalngan intern saja yaitu dengan berdirinya Perkumpulan Peroekoenan Istri di Denpasar tahun 1934. Pada tanggal 14 Juli 1935 di Denpasar berdiri Perkumpulan Eka Laksana yang anggota-anggotanya terdiri dari pelajar-pelajar Bali dan Lombok, mengukuhkan tali persaudaraan anggota-anggotanya.

Pada akhir tahun 1935 berdiri satu perkumpulan profesi yaitu Persatoean Goeroe-Goeroe Denpasar yang dipelopori oleh guru-guru H.I.S. seperti : I Nyoman Merta dan I Gusti Putu Merta. Pada tanggal 26 Juli 1936 berdiri perkumpulan Bali Dharma Laksana sebagai hasil fusi dari 2 buah organisasi yang bertujuan sama yaitu memperluas Studie Fond, untuk memperluas pendidikan dan pengajaran di kalangan rakyat Bali. Fusi ini dilakukan oleh Bali Studi Fond Singaraja dengan Eka Laksana Denpasar. Perkumpulan ini adalah perkumpulan yang terbesar dan terluas selama masa penjajahan Belanda dan mempunyai pengaruh yang cukup mendalam tidak hanya di pulau Bali saja, tetapi juga pada masyarakat Bali di luar pulau seperti Yogyakarta, Surabaya, ataupun Makasar. Untuk menerangkan dan menyebarkan ide-idenya, Bali Dharma Laksana mempunyai majalah yang terbit setiap bulan sekali yang bernama Djatajoe.Bali Dharma Laksana pada mulanya adalah perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial, tetapi lama kelamaan mulai terpengaruh oleh unsur-unsur politik karena banyak anggota-anggotanya yang terlibat dalam partai politik.

(30)

organisasi sosial politik Parrindo (Partai Rakyat Indonesia) di Denpasar pada tanggal 6 Desember 1946 yang diketuai oleh I Gusti Putu Merta. Parrindo didirikan dengan tujuan memperjuangkan Indonesia Merdeka dan menghapuskan penjajahan di atas bumi Indonesia.Dalam geraknya Parrindo lebih berorientasi memperjuangkan kemerdekaan melalui pendidikan rakyat.Langkah nyata yang dilakukan Parrindo, yakni pada tanggal 8 Desember 1946 Parrindo mendirikan Sekolah Lanjut Umum dan Kursus-kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH).Dengan konsep perjuangan yang dilakukan Parrindo inilah menarik masyarakat luas hingga menyebar hampir di seluruh Bali.

Melihat gerak inilah pemerintah Belanda mulai resah.Untuk itu pemerintah mulai melakukan ganjalan-ganjalan terhadap program-program Parrindo.Taktik pertama adalah dengan mendirikan organisasi tandingan yaitu PADI (Partai Demokrasi Indonesia) yang dipimpin oleh Dewa Agung Gde Oka yang tujuannya bekerjasama dengan NICA.Taktik Belanda ini kurang berhasil malah Parrindo semakin lama semakin besar.Oleh karena itu Belanda menggunakan taktik kedua yaitu memfitnah para pemimpin Parrindo dan menuduh partai ini mempunyai niat tidak baik dan mempunyai hubungan dengan para perusuh dan perampok. Dengan tuduhan itu Parrindo dinyatakan sebagai partai terlarang dan I Gusti Putu Merta beserta pemimpin yang lain ditangkap dan dipenjarakan. Tahun 1949 I Gusti Putu Merta dibebaskan oleh pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT).

(31)

terbentuknya RIS menyebabkan suatu kestabilan, sehingga pada tanggal 15 Mei 1949 Gubernur Sunda Kecil mengumumkan dicabutnya keadaan Darurat Perang atau Staat Orloog Van Beleg (SOB) hingga memungkinkan terbentuknya partai-partai politik seperti : Partai Nasional Indonesia (PNI), Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia (KPNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Rakyat Murba Indonesia (IRMI), dan lain sebagainya.

Terbentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bali diawali dengan PNI cabang Singaraja pada tanggal 27 Maret 1950 yang kemudian disusul pembentukan PNI cabang Jembrana, Tabanan, dan Badung. Dengan terbentuknya cabang PNI di beberapa daerah di Bali muncul gagasan dari I Gusti Putu Merta untuk mendrikan Dewan Pimpinan Daerah Bali.Atas usulan tersebut pada pertengahan bulan Mei 1950 diadakan pertemuan di Denpasar untuk pembentukan DPD PNI daerah Bali. Dalam pertemuan itu berhasil ditetapkan susunan pengurus DPD PNI daerah Bali yakni Ketua : I Gusti Putu Merta; Sekretaris : I Gede Putu Kamayana; Bendahara : I Ketut Kaut.

Secara hitungan waktu, PNI adalah organisasi yang cepat berkembang dan mendapatkan dukungan yang luas dari segala lapisan masyarakat Bali.Hal itu tidak terlepas dari masuknya para elit bangsawan yang mempunyai pengaruh yang luas terhadap rakyatnya.Selain itu PNI sebagai organisasi politik terbuka yang tidak membedakan agama, suku dan ras, menarik minat rakyat Bali untuk bergabung.Seperti juga rakyat Bali pada umumnya, I Gusti Ketut Kaler juga tertarik untuk masuk PNI dan langsung menjadi Ketua Ranting PNI Blahkiuh, Badung, tempat dia berdomisili.

(32)

pemerintahan yang baru sesuai dengan kehendak perjuangan dan jiwa nasional bangsa Indonesia.

Tuntutan rakyat mengenai perubahan ketatanegaraan di Bali ditanggapi pemerintah dengan mengadakan siding Peruman Agung pada tanggal 6 Juni 1950.Siding tersebut pada intinya menyetujui adanya perubahan di dalam susunan pemerintahan di Bali.

Salah satu perubahan tersebut diantaranya adalah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali.Pembentukan lembaga ini adalah masih bersifat sementara dan pembagian kursi dewan diputuskan melalui kompromi politik.Kursi-kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dibagi antara organisasi-organisasi politik dan organisasi-organisasi lainnya yang ada tanpa memperhatikan besar kecilnya keanggotaan.

Berdasarkan kompromi politik tersebut terbentuklah DPRD Bali dengan 41 anggota yang keanggotaannya terdiri dari : Partai Nasional Indonesia, Masyumi, KPNI, IRMI, GBI, Persatuan Wanita Indonesia, Golongan Tani, serta orang-orang yang tidak terikat partai dan organisasi.

Pelantikan anggota DPRD Bali yang pertama dilaksanakan pada tanggal 25 September 1950 di Pendopo Bali Hotel Denpasar.I Gusti Ketut Kaler adalah salah seorang yang terpilih untuk duduk di kursi DPRD Bali mewakili organisasi politik PNI.Dipercayakannya Kaler mewakili PNI di DPRD Bali yang pertama, adalah berdasarkan pertimbangan sikapnya yang tegas dalam mempertahankan pendapat.Orang yang mempunyai sikap tegas dan mewakili suara rakyat yang pantas duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat.

(33)

dalam Lembaga Perwakilan Rakyat adalah bersifat kolektif, artiya hasil-hasil keputusan yang diambil DRPD adalah bersifat bersama.Akan tetapi ada beberapa keputusan penting yang dihasilkan DPRD Bali atas usaha PNI untuk meningkatkan kesejahteraan petani.Salah satu keputusan tersebut adalah ditetapkannya peraturan tentang penyakap.Peraturan ini dibuat karena sering terjadinya pencabutan tanah garapan secara sewenang-wenang oleh pemilik tanah. Selanjutnya DPRD Bali juga menghasilkan suatu keputusan yang berkaitan dengna martabat wanita Bali yakni, peraturan mengenai larangan memotret wanita Bali. Pelarangan yang dimaksud adalah pemotretan wanita Bali dalam keadaan terbuka dadanya lebih-lebih dalam keadaan telanjang.

Di samping itu, PNI lewat wakil-wakilnya di DPRD juga telah memperjuangkan pengembangan Industri Kecil dan sektor pariwisata di Bali.I Gusti Ketut Kaler aktif menjadi anggota DPRD Bali sejak DPRD Bali yang pertama sampai dengan tahun 1960. Dalam kurun waktu tersebut telah banyak yang ia sumbangkan bagi masyarakat Bali. Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir jabatannya di DPRD sebagai wakil ketua dewan.Sebagai anggota dewan, I Gusti Ketut Kaler pada masa situ dikenal sebagai anggota yang rajin turun ke desa-desa.Tujuannya turun ke desa adalah untuk lebih dekat dengan rakyatnya dan mensosialisasikan keputusan-keputusan dewan.

Tak lama setelah lepas dari jabatan tersebut, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1960 I Gusti Ketut Kaler diangkat kembali sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).Ia diangkat sebagai utusan alim ulama Hindu Bali. Pada posisinya yang baru inilah peranannya cukup dirasakan bagi proses pengakuan agama Hindu di Indonesia.

(34)

Daerah Bali untuk membentuk Dinas Agama Otonom Daerah Bali. Usulan tersebut disetujui dengan dikeluarkannya surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali tanggal 24 Maret 1953. Dengan dibentuknya Dinas Agama Otonom Daerah Bali, pelayanan keagamaan umat Hindu lebih baik dari yang sebelumnya.

Memasuki tahun 1957, kaum intelektual Hindu lebih banyak mengadakan konferensi untuk membicarakan perjuangan memperoleh pengakuan dan kedudukan Agama Hindu Bali dalam Kementerian Agama.Pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juli 1957 berlangsung Konferensi Angkatan Muda Hindu Bali.Konferensi ini berlangsung di Denpasar atas inisiatif dari gerakan Kumara Bhavana yang dipimpin oleh Wedastera Suyasa. Masalah yang dibahas dalam konferensi ini adalah : pertama, Agama Hindu dan perjuangannya; kedua, masalah pendidikan, kebudayaan, tourisme dan perjuangannya; ketiga, organisasi-organisasi dan perjuangannya.

Pada tahun 1958 pihak Kementerian Agama Republik Indonesia meminta agar Jawatan Agama Hindu Bali yang otonom itu segera dibubarkan, karena memang sudah tidak disetujui dari sejak berdirinya. Sementara itu, pihak Kementerian Agama belum memberikan kepastian tentang diterimanya Agama Hindu Bali menjadi bagian dalam Kementerian Agama.Oleh karena itu, Kaum Intelektual Hindu memandang perlu mengadakan Gerakan Aksi Bersama. Gerakan ini dipimpin oleh I Gusti Ketut Kaler dari Dinas Agama dan akan segera mengirimkan delegasinya ke Jakarta.

(35)

BAB VI

BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER

Semasa hidupnya I Gusti Ketut Kaler selain dikenal sebagai budayawan, pemerhati masalah adat istiadat, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif. apabila dipilah-pilah karyanya yang terpenting adalah : (1) Dalam bidang Agama ; (2) dan bidang Kebudayaan khususnya masalah adat. Hasil karya I Gusti Ketut Kaler tersebut berupa artikel yang dimuat di majalah ataupun surat kabar dan juga dalam bentuk buku yang telah diperbanyak.

Untuk mengetahui ide-ide pemikiran I Gusti Ketut Kaler, dalam bab ini akan diungkapkan hasil karya I Gusti Ketut Kaler; seperti kumpulan tulisannya di Harian Bali Post mulai tahun 1979 sampai dengan tahun 1981, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh percetakan CV. Kayumas Agung Denpasar.

6.1 Hasil Karya Dalam Bidang Agama

Dengan latar belakang jabatan yang pernah disandangnya di Kantor Urusan Agama, sedikit banyak dapatlah dipahami konstribusi pemikirannya dalam bidang agama.Salah satu wujud nyatanya tersebut yakni perjuangannya untuk menuntut pengakuan Agama Hindu sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Ia dipercaya untuk mengkoordinir suatu aksi yang dikenal dengan “Gerakan aksi bersama menuntut bagian Hindu dalam Kementerian Agama Republik Indonesia”,

(36)

Rancangan Ketetapan (Rantap) MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1967, tentang peningkatan Biro Hindu Bali Departemen Agama menjadi Direktorat bahkan menjadi Direktorat Jenderal. Sedangkan hasil karya tulisannya dalam bidang agama adalah, seperti misalnya :Tuntunan Muspa yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1971 oleh penerbit Guna Agung, Denpasar.

Pada masa itu Kaler menyadari bahwa telah cukup banyak buku yang berisikan tuntunan dan bimbingan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu.Akan tetapi buku tersebut huruf dan bahasanya masih menggunakan sistematika lontar.I Gusti Ketut Kaler mempunyai kesimpulan bahwa generasi muda kebanyakan tidak dapat membaca dan memahami apalagi untuk mengambil pelajaran dari padanya.Keadaan seperti inilah yang mendorong I Gusti Ketut Kaler menulis buku-buku tuntunan ajaran Agama Hindu ke dalam bahasa yang mudah dipahami.Terbukti setelah buku tersebut diterbitkan, sambutan masyarakat begitu besar.

Selain alasan tersbeut di atas penyusunan buku Tuntunan Muspa, sebagaimana ditulis dalam kata pendahuluannya, Kaler mempunyai harapan agar masyarakat Hindu khususnya di Bali melaksanakan ajaran agama dengan baik, mengerti apa yang dilakukannya, tidak sekedar Mulo keto, memang begitu adanya tanpa ada usaha untuk mengetahui latar belakang perintah ajaran tersebut. Buku Tuntunan Muspa ini memberikan gambaran atau cara-cara bersembahyang umat Hindu kepada Tuhannya secara lebih praktis dalam pemahamannya.

(37)

Lebih jelasnya Kaler memberikan penjabaran langkah-langkah persiapan Muspa serta alat-alat yang digunakan sebagai berikut :

1. Asuci Laksana, mandi atau membersihkan tubuh serta berpakaian bersih dan sopan.

2. Bunga, adalah lambang dari kesucian hati dan jiwa. Gunakanlah bunga yang segar sebagai bentuk dari kesungguhan hati.

3. Dupa, apinya dupa adalah Angga Sarira Hyang Agni. Api dengan sinarnya, adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti bahwa Hyang Agni adalah maha melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia.

4. Air, hendaklah air yang digunakan adalah air bersih. Walaupun sebelumnya sudah mandi dan menyucikan diri, maka pada permulaan Muspa hendaknya berkumur dan cuci tangan. Ini penting dilakukan karena dalam Muspa kedua indra inilah yang paling besar peranannya.

Dalam bab lain Kaler juga, menerangkan mengenai sikap Muspa yang baik. Sikap Muspa yang baik yaitu :

1. Tempat duduk atau posisi duduk. Hendaklah dalam menentukan tempat duduk atau posisi duduk di depan atau menghadap Pelinggih atau Stana dari Ida Sanghyang Widhi dalam jarak seperlunya.

2. Sikap duduk. Cara duduk untuk Muspa yang baik adalah masila untuk pria dan matimpuh untuk wanita. Usahakan sikap duduk tersebut dengan badan yang tegak tetapi tidak kaku.

(38)

4. Letak bunga. Dalam Muspa bunga digunakan dengan cara menjepitnya di ujung jari. Bunga adalah perwujudan dari kesucian hati. Oleh karena itu jepitlah bunga di antara jari tengah kedua belah tangan. Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga merupakan tajuk dari pelaksanaan Muspa.

5. Sikap hati. Muspa harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati. Ketenangan hati dapat dicapai dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang menyentuh hati. Pengaruh itu biasanya datang dari Panca Indra terutama mata. Untuk ketenangan hati hendaklah mata dipejamkan waktu melaksanakan Muspa. Pernapasan yang teratur juga merupakan usaha untuk menenangkan hati.

Selanjutnya mengenai Muspa itu sendiri Kaler menerangkan urutan pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Muspa puyung (pendahuluan sembah), dengan tangan lebih tinggi dari ubun-ubun dan mengucapkan puja ; “Om, atma tatwatma suddhamam ya nama swaha”. Yang mempunyai arti ; “Ya Tuhan, jiwatma hamba pada hakekatnya suci, hingga wajarlah hamba berhubungan dengan Dikau” kemudian tangan diturunkan.

b. Melakukan sembah. Sembah dilakukan dengan bunga di tangan dan mengangkatnya lebih tinggi dari ubun-ubun dengan membaca puja-puja.

c. Muspa puyung (penutup sembah) dengan tangan lebih tinggi dari ubun-ubun dan mengucapkan puja ; “Om, dewa suksma parama cintia ya nama swaha; Om,

canti, canti, canti”. Yang artinya ; “Ya Tuhan, dipersilahkan kembali secara gaib ke kahyangan, hamba telah selesaikan Muspa yang kita lakukan”.

(39)

Hasil karya yang lain, adalah Cudami Pewiwahan / Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu di Bali. Buku ini mengungkapkan tentang masalah agama dan kaitannya dengan masalah budaya khususnya mengenai perkawinan dalam masyarakat Hindu di Bali.Dalam tulisannya ini I Gusti Ketut Kaler menerangkan masalah makna perkawinan yakni, ikatan lahir batin, bahkan kemanggulangan pribadi antara seornag laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kaler dalam bukunya juga menerangkan syarat dan larangan perkawinan dalam masyarakat Hindu Bali. Syarat perkawinan tersebut ialah :

1. Tentang Umur. Secara pasti mengenai umur berapa angka tahun tertentu memang tidak ada, akan tetapi seorang wanita boleh melakukan perkawinan apabila telah dewasa. Kedewasaan wanita ditandai dengan datang bulan/menstruasi, sedangkan pada kaum laki-laki apabila sudah bekerja atau berpenghasilan.

2. Kesehatan. Kesehatan yang dimaksud disini adalah keadaan fisik atau jasmani yang sehat dan tidak memiliki cacat atau penyakit menahun. Contoh dari penyakit menahun tersebut antara lain : a). Gila atau sakit ingatan; b) Lelaki mandul atau impoten; c). Lelaki yang basur atau buah pelir membesar; dan d). Wanita kuming atau tidak pernah datang bulan.

(40)

mempelai, selaku upaya keagamaan untuk mengikat kedua pribadi yang bersangkutan guna menjadi tunggal selaku suami istri.

Setelah selesai upacara perkawinan khusus dalam lingkungan keluarga, selanjutnya dilaksanakan acara yang melibatkan masyarakat. Tujuan dari pelaksanaan upacara yang melibatkan masyarakat adalah :

1. Untuk memberitahukan kepada masyarakat lingkungan mengenai telah terjadinya perkawinan tersebut, sehingga keabsahannya mendapatkan dukungan, pengakuan, dan penghormatan masyarakat.

2. Dengan terjadinya perkawinan tersebut berubahlah kedudukan masing-masing yang bersangkutan dalam keluarganya. Secara langsung berubah pulalah kewajibannya dalam masyarakat desa atau banjar.

Dari tulisannya ini, I Gusti Ketut Kaler menyumbangkan pemikirannya mengenai pelaksanaan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Hindu di Bali.Ia berharap buku ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu sekaligus sejalan dengan budaya masyarakat Bali.

6.2 Hasil Karya dalam Bidang Kebudayaan

Salah satu perhatian yang besar I Gusti Ketut Kaler dalam wujud kebudayaan adalah dalam wujud permasalahan adat.Menurut Koentjaraningrat ada tiga wujud kebudayaan. Wujud pertama adalah, cultural system (ide-ide), gagasan, nilai, norma, peraturan ; kedua, cocial system (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dan masyarakat); dan ketiga, artifacts (kebudayaan fisik).

(41)

adat merupakan suatu gagasan, nilai, norma yang berisi peraturan yang berlaku pada masyarakat tertentu.

Masalah adat menjadi salah satu perhatian I Gusti Ketut Kaler.Bentuk perhatiannya itu diwujudkan dalam tulisan mengenai adat yang dimuat dalam Harian Umum Bali Post.Hasil karya I Gusti Ketut Kaler dalam bidang Adat Bali yang dirasakan kegunaannya bagi usaha pelestarian adat kehidupan umat Beragama Hindu di Bali, adalah bukunya yang berjudul Butir-buti Tercecer Tentang Adat Bali.Buku ini diterbitkan dalam 2 jilid oleh percetakan CV. Kayumas Agung, dan merupakan kumpulan tulisannya di harian Bali Post tahun 1979-1981.Buku Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali diterbitkan pertama kali tahun 1982 dan kemudian atas permintaan masyarakat buku tersebut dicetak kembali pada tahun 1994.

Kecenderungannya untuk menulis mengenai adat yang tercecer timbul dari rasa tanggung jawabnya untuk mewariskan nilai-nilai budaya dalam hal ini adalah masalah adat.Kaler menyadari adanya pergeseran jaman pada masa ini, dimana orang tua hampir tidak ada waktu untuk bercerita tentang adat yang berlaku pada masyarakat. Oleh karena itu ia berkenan untuk menuliskannya dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh generasi sekarang.

(42)

Jelas disini Tri Hita Karana adalah yang menjadi landasan untuk mencapai kebahagiaan manusia lahir dan bathin.Ketiga sebab utama tersebut dapat dicerminkan dalam hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), antara manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya (Palemahan).

Manusia tetap manusia.Ia dilengkapi oleh cipta, rasa dan karsa, selaku daya kemampuan jiwa sesuai dengan anugerah-Nya. Manusia, tidaklah puas hanya dengan menempati Bhuana Agung dalam keadaan alamiah semata sebagai wadah baginya.Dari hasil interaksi sesama manusia, mereka mulai membuat rumah, banjar, desa, dan bahkan membentuk suatu negara sebagai wadah bersama.

Sejalan dengan pembentukan wadah tersebut konsep Tri Hita Karana selaku unsur tri tunggal diterapkan pula dalam bentuk wadah tersebut misalnya :

1. Rumah

a. Unsur Tuhan (Parahyangan) dilambangkan dalam bentuk Pemrajan / Sanggah (tempat umat Hindu bersembahyang sehari-hari).

b. Unsur manusia (Pawongan) sebagai yang menempati rumah tersebut. c. Dan bangunan rumah secara keseluruhan sebagai wujud dari Palemahan.

2. Desa

a. Unsur Tuhan (Parahyangan) diwujudkan dalam bentuk Pura Desa. b. Semua warga desa merupakan perwujudan dari Pawongan.

c. Tanah wilayah desa termasuk di dalamnya daerah pemukiman adalah palemahannya.

(43)

Kesepakatan tokoh-tokoh Bali mengenai keselarasan konsep ini dengan permasalahan pembangunan, tercermin dalam Diskusi Terbatas bertema “Tri Hita

Karana, Tafsir Konstektual dan Tantangan Dalam Penerapannya”, yang diadakan oleh

Harian Umum Bali Post di Rumah Makan Sari Warta Boga, Sabtu, 9 Agustus 1997.

Menurut Ketut Wiana, Tri Hita Karana merupakan konsep yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hidup yaitu :Dharma, Artha, Kama, dan Moksha. Pencapaian tujuan ini memerlukan suasana keharmonisan yang bisa dicapai dengan konsep Tri Hita Karana, oleh karena itu konsep ini harus dijabarkan dalam konsep tata ruang, sehingga terwujud kehidupan yang harmonis.

Sedangkan Ir. Nyoman Gelebet berbicara lebih kongret mengenai masalah ini, menurutnya bagaimanapun konsep Tri Hita Karana harus diwujudkan menjadi Peraturan Daerah (PERDA) Tata Ruang dan Pola Dasar Pembangunan Bali agar tidak hanya menjadi pasal karet.

Ibu Gedong Bagoes Oka dalam pendapatnya mengenai konsep Tri Hita Karana adalah, sesungguhnya jiwa dari konsep ini ada dalam Veda/Vedanta.Konsep ini hendaknya dipakai sebagai pegangan Umat Hindu dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, Jagat Thita.Sejahtera menurut Visi Vedanta ialah, hidup manusia dimana dirangsang pemikiran dan sikapnya untuk meningkatkan diri, hingga menuju dan menempuh jalan ke Widhi (Tuhan).Konsep Tri Hita Karana memberikan petunjuk singkat dan jelas bagaimana manusia bisa menciptakan keharmonisan.

Pada diskusi ini sempat muncul polemik terhadap permasalahan siapa yang sesungguhnya memunculkan konsep Tri Hita Karana tersebut.

(44)

Komunis Indonesia.Masyarakat satu dengan yang lainnya saling curiga, terjadi perkelahian hampir setiap hari antar banjar bahkan antar desa.

Akibat situasi yang semakin memanas tersebut, para tokoh Bali seperti Ida Bagus Mantra, I Gusti Ngurah Pindha dan I Gusti Ketut Kaler berinisiatif membentuk Badan Perjuangan Umat Hindu Bali (BPUHB) dan Badan Perjuangan Umat Hindu Dharma).Kedua organisasi ini bertugas memberikan pemikiran dan rumusan pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat.

I Gusti Ketut Kaler selaku Pimpinan Kantor Agama Daerah (KAD) turun ke desa-desa untuk memberikan penyuluhan dengan mengacu pada konsep Tri Hita Karana. Dengan adanya penyuluhan dan proses sosialisasi konsep Tri Hita Karana oleh I Gusti Ketut Kaler, masyarakat Bali mulai hidup dengan tenang. Atas dasar keberhasilan inilah, kedua organisasi perjuangan umat Hindu sepakat bahwa konsep Tri Hita Karana dijadikan acuan dalam pelaksanaan penyuluhan agama dan adat di desa-desa.

Bahkan menurut Ngurah Oka Supartha, I Gusti Ketut Kaler telah menyusun buku mengenai awig-awig desa di Bali.Buku ini berisi pedoman dalam penyusunan peraturan desa.

Sedangkan menurut Merta Sutedja, konsep Tri Hita Karana adalah hasil pemikirannya yang ia rumuskan pada tahun 1968. Konsep ini Ia ciptakan dari rasa keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Bali pada masa itu. Untuk pertama kali konsep ini ditulisnya dengan ejaan Tri Ita Karana dengan unsurnya manusia, urip dan bhuana. Konsep Tri Hita Karana menurut Merta Sutedja adalah hasil pemahamannya mengenai terhadap Lontar Sutasoma dan Lontar Ramayana.

(45)

gurunya di Sekolah Dasar Kayumas Kelod Denpasar.Kedua tokoh ini sangat senang dan mendorong Merta Sutedja untuk terus menggali kebudayaan Bali.

Berdasarkan data yang ada untuk menentukan pencetus konsep Tri Hita Karana memanglah sulit. Dari kedua belah pihak mempunyai bukti-bukti yang mendukung, akan tetapi untuk saat ini permasalahan tersebut tidaklah begitu penting untuk dipermasalahkan. Seperti juga kesepakatan yang terjadi dalam diskusi mengenai konsep Tri Hita Karana.Peserta diskusi tersebut seperti Ir. Nyoman Gelebet dan Ibu Gedoeng Bagoes Oka sepakat bahwa permasalahan tersebut tidak perlu dimunculkan, karena sekarang yang terpenting adalah bagaimana menerapkan konsep tersebut secara nyata.

Pada dasarnya konsep ini pada tataran ide memang cukup baik.Konsep Tri Hita Karana memberikan gambaran kepada masyarakat Bali tentang pentingnya keseimbangan.Batasan-batasan terhadap eksploitasi alam, hubungan dengan sesama manusia dan rasa syukur kepada penciptanya.Niat baik pemerintah daerah Bali untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai landasan pembangunan daerah adalah langkah yang baik.Akan tetapi tidaklah hanya sekedar wacana belaka yang hanya dibicarakan dalam forum diskusi tanpa ada wujud nyata pelaksanaanya.

Perkembangan Pariwisata Budaya yang dicanangkan pemerintah daerah Bali sudah seharusnya memikirkan konsep Tri Hita Karana menjadi Peraturan Daerah (PERDA), yang mendukung perkembangan Pariwisata Budaya.

(46)

Contoh kasus, apabila ada pohon buah yang mana batang dahannya melewati batas tanah pekarangan orang lain, apabila ada kesepakatan diantara keduanya (pemilik pohon dan pemilik tanah yang dilanggar) membiarkan dahan yang melanggar untuk tidak dipotong dengan syarat buah dahan tersebut menjadi milik tanah yang dilanggar. Dalam hal bangunan Hukum Adat Sepat Gantung adalah suatu acuan bagi seseorang dalam mendirikan bangunan, seperti bagian atap atau talang melanggar batas tanah orang lain.

Ide pemikiran I Gusti Ketut Kaler dalambidang kebudayaan tidak saja terbatas pada permasalahan adat saja melainkan juga bentuk kebudayaan lainnya.Kebudayaan bercocok tanam pada masyarakat Bali yang berciri khas pengairan yang dikenal dengan Subak menjadi perhatiannya juga. Wujud perhatiannya dapat dilihat dari surat bertanggal 17 Agustus 1975, yang dikirim kepada Instansi Pertanian mengenai “Satu gagasan tentang Cagar Budaya” (Museum Subak). Kaler memandang perlu didirikan

museum Subak di Bali dengan beberapa pertimbangan :

1. Subak, adalah suatu lembaga pengaturan perairan sawah yang hanya ada di Bali.

2. Sebagai suatu lembaga asli / tradisional, ia tidak terlepas dari terjangan proses akulturasi kebudayaan.

3. Oleh karena itu selagi masih ada informan, data, dan kelengkapannya yang berkaitan dengan Subak perlu didirikannya museum Subak.

Secara lebih jelasnya mengenai tujuan pendirian Museum Subak, Kaler memberikan penjelasannya :

(47)

2. Menyelamatkan / mengamankan berbagai benda tentang dan yang bertalian dengan Subak, khususnya yang mempunyai nilai sejarah.

3. Menyuguhkan penerangan secara visual dan dramatisasi tentang dan yang bertalian dengan Subak, baik untuk pelajaran / penelitian maupun bagi wisatawan.

Usulan mengenai pembangunan Museum Subak ini ditanggapi dan diterima oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, pada masa itu.

Pada musim tanam tahun 1979, Subak Rijasa memperoleh juara I Supra Insus Tingkat Nasional, berhubungan dengan hal tersebut, gubernur mempunyai gagasan untuk mendirikan Museum Subak di Desa Sanggulan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan. Pada tahun 1979 pembangunan Museum Subak ini mulai dilaksanakan, dan secara resmi dibuka pada tanggal 13 Oktober 1981.

Museum Subak ini terdiri dari :

1. Bangunan atau komplek suci dengan Padmasana, Bedugul dan lainnya. Tata Ruang dan Tata Letak dari bangunan-bangunan dimaksud disesuaikan dengan lingkungan di sekitarnya dengan mengikuti pola pembangunan tradisional :Tri Mandala, Tri Angga, dan Asta Kosala Kosali.

2. Bangunan utama terdiri dari dua gedung yaitu, gedung pusat informasi dan gedung pameran.

3. Museum Terbuka yang diwujudkan sebagai Subak Mini, yang dipakai sebagai peragaan kegiatan Subak mulai dari sistem irigrasi sampai proses kegiatan petani di sawah.

(48)

a. Pura Bedugul, yang dibangun pada setiap tempat pembagian air dan bangunan bendungan.

b. Pura Ulun Siwi, yang dibangun pada setiap wilayah Subak atau beberapa Subak yang mempunyai sumber air yang sama.

c. Pura Ulun Danu, yang terdapat pada keempat danau yang ada di Bali yaitu : Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan.

Unsur Pawongan pada sistem Subak terwujud dalam : (1) Awig-awig, yang memuat bentuk hukum tertulis yaitu seperangkat kaedah-kaedah sebagai pedoman bertingkah laku dalam masyarakat petani, dan disertai sanksi-sanksi yang dilaksanakan secara tegas dan nyata. (2). Anggota, secara umum anggota Subak dapat dibedakan atas tiga kelompok, (a), Krama Pengayah / Anggota Aktif yaitu anggota Subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Subak. (b). Krama Pengampel/ Anggota Pasif yaitu, anggota Subak yang karena alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan Subak. (c). Krama leleputan / Anggota Khusus yaitu, anggota Subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban Subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat, seperti pemangku, bendesa adat, ataupun sulinggih.

Adapun unsur Palemahan di dalam sistem Subak adalah : (1). Irigrasi, irigrasi adalah sistem pengairan untuk keperluan bercocok tanam. Sistem Irigasi Subak terdiri dari ;empalan / bending dam yang berfungsi sebagai bangunan pengambil air dari sumbernya (sungai), dan aungan / terowongan, tempat air dialirkan. (2). Tanah, unsur ini merupakan tempat utama bagi para petani untuk bercocok tanam.

(49)
(50)

KESIMPULAN

I Gusti Ketut Kaler dilahirkan dari kelurga Puri yang cukup terpandang.Ayahnya menjabat sebagai Kelian Desa yang cukup disegani.Ayahnya mempunyai pengetahuan yang baik tentang adat dan agama.Aktifitas ayahnya sebagai tokoh adat, menarik minat Kaler muda untuk mempedalam pengetahuan tentang adat, agama, dan budaya.

Sarana untuk menambah pengetahuan mengenai alat dan buaya cukup tersedia dirumahnya, yaitu berupa lontar-lontar koleksi ayahnya.Disamping itu yang membentuk kepribadian Kaler muda adalah gurunya di sekolah desa dan juga sekolah Jeoang yang disamakan dengan SGB (Sekolah Guru Barwah). Guru pada jaman itu mampu membentuk karakter anak didiknya.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1978. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta : LP3ES.

________. 1978. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Beerling, R.F. 1950. Filsafat Dewasa Ini. Djakarta : Balai Pustaka.

Parimartha, I Gde. 1998. Prof. Dr. I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah :Sebuah Biografi Pendidikan. Denpasar : Upada Sastra.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia :Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.

_______________. 1970. “Max Weber dan Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah No. 6 Yogyakarta : UGM.

Referensi

Dokumen terkait

Apa yang akan terjadi bila anda menggantikan sikring yang lebih besar, misalnya 1 ampere diganti dengan sikring 5 ampere pada rangkaian hubung

Jika toko roti tersebut tidak menghitung  biaya biaya air per unit roti dan hanya memiliki informasi mengenai angka total biaya air maka biaya air untuk pembuatan roti

Program Virtual Literacy (VL) adalah kegiatan literasi pertanian berbasis komunikasi interaktif untuk mendekatkan PUSTAKA kepada khalayak yang membutuhkan informasi pertanian

Mengingat etnografi berfokus pada pemahaman tentang apa yang dipikirkan dan diyakini masyarakat dan bagaimana mereka menjalani kehidupan keseharian (Brennen, 2003),

Keberhasilan pelaksanaan PMW dapat dilihat melalui 3 indikator yaitu (1) peran serta mahasiswa mengikuti PMW; (2) keberhasilan mahasiswa menjalankan usahanya sebagai

Pada Gambar 2.10 merupakan contoh graf berbobot dimana bobot pada setiap sisi yang menghubungkan simpul menyatakan jarak (dalam km).. Graf Lengkap

Untuk Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha , diperoleh kesimpulan bahwa setidaknya terdapat beberapa pemberdayaan perempuan di komunitas

Penelitian utama dilakukan dengan pemurnian minyak ikan dengan adsorben yaitu sebanyak 50 gram minyak ikan hasil samping penepungan lemuru dimasukkan ke dalam erlenmeyer