• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL KARYA DALAM BIDANG AGAMA

BAB VI BEBERAPA HASIL KARYA I GUSTI KETUT KALER

6.1 HASIL KARYA DALAM BIDANG AGAMA

Dengan latar belakang jabatan yang pernah disandangnya di Kantor Urusan Agama, sedikit banyak dapatlah dipahami konstribusi pemikirannya dalam bidang agama.Salah satu wujud nyatanya tersebut yakni perjuangannya untuk menuntut pengakuan Agama Hindu sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Ia dipercaya untuk mengkoordinir suatu aksi yang dikenal dengan “Gerakan aksi bersama menuntut bagian Hindu dalam Kementerian Agama Republik Indonesia”, pada than 1958, dan perjuangannya ketika menjabat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera) yang dijabatanya dari tahun 1960-1968. Semasa menjabat di MPRS, I Gusti Ketut Kaler turut mengkonsep dan memperjuangkan

Rancangan Ketetapan (Rantap) MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1967, tentang peningkatan Biro Hindu Bali Departemen Agama menjadi Direktorat bahkan menjadi Direktorat Jenderal. Sedangkan hasil karya tulisannya dalam bidang agama adalah, seperti misalnya :Tuntunan Muspa yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1971 oleh penerbit Guna Agung, Denpasar.

Pada masa itu Kaler menyadari bahwa telah cukup banyak buku yang berisikan tuntunan dan bimbingan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu.Akan tetapi buku tersebut huruf dan bahasanya masih menggunakan sistematika lontar.I Gusti Ketut Kaler mempunyai kesimpulan bahwa generasi muda kebanyakan tidak dapat membaca dan memahami apalagi untuk mengambil pelajaran dari padanya.Keadaan seperti inilah yang mendorong I Gusti Ketut Kaler menulis buku-buku tuntunan ajaran Agama Hindu ke dalam bahasa yang mudah dipahami.Terbukti setelah buku tersebut diterbitkan, sambutan masyarakat begitu besar.

Selain alasan tersbeut di atas penyusunan buku Tuntunan Muspa, sebagaimana ditulis dalam kata pendahuluannya, Kaler mempunyai harapan agar masyarakat Hindu khususnya di Bali melaksanakan ajaran agama dengan baik, mengerti apa yang dilakukannya, tidak sekedar Mulo keto, memang begitu adanya tanpa ada usaha untuk mengetahui latar belakang perintah ajaran tersebut. Buku Tuntunan Muspa ini memberikan gambaran atau cara-cara bersembahyang umat Hindu kepada Tuhannya secara lebih praktis dalam pemahamannya.

Kaler memberikan keterangan mengenai Muspa menjadi beberapa bagian, bagian pertama mengenai persiapan Muspa.Persiapan yang harus dilakukan oleh umat sebelum Muspa pertama adalah Wahya, yakni persiapan pengetahuan mengenai gerak dan sikap diri mengenai pelaksanaan Muspa.Kedua, Adyamika atau sikap batin yang baik.Untuk melakukan sembah yang baik adalah ketenangan hati.

Lebih jelasnya Kaler memberikan penjabaran langkah-langkah persiapan Muspa serta alat-alat yang digunakan sebagai berikut :

1. Asuci Laksana, mandi atau membersihkan tubuh serta berpakaian bersih dan sopan.

2. Bunga, adalah lambang dari kesucian hati dan jiwa. Gunakanlah bunga yang segar sebagai bentuk dari kesungguhan hati.

3. Dupa, apinya dupa adalah Angga Sarira Hyang Agni. Api dengan sinarnya, adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti bahwa Hyang Agni adalah maha melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia.

4. Air, hendaklah air yang digunakan adalah air bersih. Walaupun sebelumnya sudah mandi dan menyucikan diri, maka pada permulaan Muspa hendaknya berkumur dan cuci tangan. Ini penting dilakukan karena dalam Muspa kedua indra inilah yang paling besar peranannya.

Dalam bab lain Kaler juga, menerangkan mengenai sikap Muspa yang baik. Sikap Muspa yang baik yaitu :

1. Tempat duduk atau posisi duduk. Hendaklah dalam menentukan tempat duduk atau posisi duduk di depan atau menghadap Pelinggih atau Stana dari Ida Sanghyang Widhi dalam jarak seperlunya.

2. Sikap duduk. Cara duduk untuk Muspa yang baik adalah masila untuk pria dan matimpuh untuk wanita. Usahakan sikap duduk tersebut dengan badan yang tegak tetapi tidak kaku.

3. Katupan tangan. Kiranya sudah jelas, bahwa Muspa diwujudkan dengan mengatupkan yang pada ujung jarinya berisi sedikit bunga serta diangkat naik setinggi kepala.

4. Letak bunga. Dalam Muspa bunga digunakan dengan cara menjepitnya di ujung jari. Bunga adalah perwujudan dari kesucian hati. Oleh karena itu jepitlah bunga di antara jari tengah kedua belah tangan. Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga merupakan tajuk dari pelaksanaan Muspa.

5. Sikap hati. Muspa harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati. Ketenangan hati dapat dicapai dengan mengurangi pengaruh-pengaruh yang menyentuh hati. Pengaruh itu biasanya datang dari Panca Indra terutama mata. Untuk ketenangan hati hendaklah mata dipejamkan waktu melaksanakan Muspa. Pernapasan yang teratur juga merupakan usaha untuk menenangkan hati.

Selanjutnya mengenai Muspa itu sendiri Kaler menerangkan urutan pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Muspa puyung (pendahuluan sembah), dengan tangan lebih tinggi dari ubun-ubun dan mengucapkan puja ; “Om, atma tatwatma suddhamam ya nama swaha”. Yang mempunyai arti ; “Ya Tuhan, jiwatma hamba pada hakekatnya suci, hingga wajarlah hamba berhubungan dengan Dikau” kemudian tangan diturunkan.

b. Melakukan sembah. Sembah dilakukan dengan bunga di tangan dan mengangkatnya lebih tinggi dari ubun-ubun dengan membaca puja-puja.

c. Muspa puyung (penutup sembah) dengan tangan lebih tinggi dari ubun-ubun dan mengucapkan puja ; “Om, dewa suksma parama cintia ya nama swaha; Om, canti, canti, canti”. Yang artinya ; “Ya Tuhan, dipersilahkan kembali secara gaib ke kahyangan, hamba telah selesaikan Muspa yang kita lakukan”.

Dari buku Tuntunan Muspa ini bisa digambarkan mengenai ide-ide I Gusti Ketut Kaler untuk memudahkan pemahaman perintah agama untuk dilaksanakan. Idenya itu diwujudkan ke dalam buku hasil dari alih bahasa yang mudah dimengerti oleh generasi sekarang.

Hasil karya yang lain, adalah Cudami Pewiwahan / Perkawinan Dalam Masyarakat Hindu di Bali. Buku ini mengungkapkan tentang masalah agama dan kaitannya dengan masalah budaya khususnya mengenai perkawinan dalam masyarakat Hindu di Bali.Dalam tulisannya ini I Gusti Ketut Kaler menerangkan masalah makna perkawinan yakni, ikatan lahir batin, bahkan kemanggulangan pribadi antara seornag laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kaler dalam bukunya juga menerangkan syarat dan larangan perkawinan dalam masyarakat Hindu Bali. Syarat perkawinan tersebut ialah :

1. Tentang Umur. Secara pasti mengenai umur berapa angka tahun tertentu memang tidak ada, akan tetapi seorang wanita boleh melakukan perkawinan apabila telah dewasa. Kedewasaan wanita ditandai dengan datang bulan/menstruasi, sedangkan pada kaum laki-laki apabila sudah bekerja atau berpenghasilan.

2. Kesehatan. Kesehatan yang dimaksud disini adalah keadaan fisik atau jasmani yang sehat dan tidak memiliki cacat atau penyakit menahun. Contoh dari penyakit menahun tersebut antara lain : a). Gila atau sakit ingatan; b) Lelaki mandul atau impoten; c). Lelaki yang basur atau buah pelir membesar; dan d). Wanita kuming atau tidak pernah datang bulan.

Dalam sub bab upacara pokok dalam perkawinan I Gusti Ketut Kaler mengungkapkan unsur-unsur upacara apa yang harus dilaksanakan. Unsur-unsur upacara tersebut antara lain adalah : 1). Adanya sesajen yang dihaturkan ke Surya (matahari) dan di Pemerajan (tempat sembahyang keluarga). 2). Hadirnya wakil masyarakat (biasanya Prajuru Desa minimal Kelihan Desa) selaku unsur Manusa Sakti dalam wujud yang sebenarnya. 3). Disajikannya Sajen Byakala / P ekala -kalaan oleh kedua mempelai selaku sarana penyucian. 4). Disajikannya sajen sesayut oleh kedua

mempelai, selaku upaya keagamaan untuk mengikat kedua pribadi yang bersangkutan guna menjadi tunggal selaku suami istri.

Setelah selesai upacara perkawinan khusus dalam lingkungan keluarga, selanjutnya dilaksanakan acara yang melibatkan masyarakat. Tujuan dari pelaksanaan upacara yang melibatkan masyarakat adalah :

1. Untuk memberitahukan kepada masyarakat lingkungan mengenai telah terjadinya perkawinan tersebut, sehingga keabsahannya mendapatkan dukungan, pengakuan, dan penghormatan masyarakat.

2. Dengan terjadinya perkawinan tersebut berubahlah kedudukan masing-masing yang bersangkutan dalam keluarganya. Secara langsung berubah pulalah kewajibannya dalam masyarakat desa atau banjar.

Dari tulisannya ini, I Gusti Ketut Kaler menyumbangkan pemikirannya mengenai pelaksanaan perkawinan yang berlaku pada masyarakat Hindu di Bali.Ia berharap buku ini dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu sekaligus sejalan dengan budaya masyarakat Bali.

Dokumen terkait