• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Pembahasan

4.4.3. Hasil Kelompok Tikus Ovariektomi

Ovariektomi pada kelompok tikus umur 50 hari pada penelitian ini bertujuan untuk membuat kondisi kekurangan hormon estrogen, sehingga tikus

86

tersebut memiliki kondisi hormonal yang mirip dengan wanita pascamenopause. Hasil penelitian tikus ovariektomi yang tidak diberi ESP (OV-1) memberikan gambaran adanya defisiensi estrogen, dan bila berlanjut akan menjadikan tikus tersebut dalam kondisi osteoporosis. Kondisi ini sesuai pernyataan Arjmandi et al. (1996) yang telah membuktikan bahwa ovariektomi pada tikus percobaan menyebabkan kehilangan massa tulang di daerah trabekula sehingga akan menginduksi osteoporosis. Sementara itu, Longcope et al. (1989) dan Lee dan Kanis (1994) juga menyatakan kadar hormon estrogen yang rendah akibat hilangnya fungsi ovarium telah lama diketahui kaitannya dengan kejadian osteoporosis. Defisiensi hormon estrogen akibat ovariektomi pada tikus OV-1 berpengaruh pada pertambahan bobot badan dibandingkan dengan tikus sham, sebagai akibat menurunnya agresivitas tikus ovariektomi. Turunnya agresivitas ini sesuai hasil penelitian Jones et al. (2000) dan Potu et al. (2009) pada pemberian Cissus quadrangularis Linn pada tikus ovariektomi. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pertumbuhan bobot badan dan panjang tulang femur, tikus di akhir penelitian (180 hari) pada tikus OV-1 lebih pendek dibandingkan tikus perlakuan lain maupun tikus sham (OV-0). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi ovariektomi berdampak pada bobot badan lebih besar disertai dengan ukuran tulang femur lebih pendek dibandingkan tikus normal.

Pemeriksaan radiografi tulang bertujuan untuk menentukan kepadatan tulang. Gambaran radiografi tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan densitas yang lebih radiolucent (massa tulang yang kurang padat) pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus sham. Di samping itu, pada tikus ovariektomi yang hanya diberi pakan standar tanpa ESP (OV-1), juga mengalami kekurangan kalsium dan fosfat darah maupun tulang.

Potu et al. (2009) menyatakan bahwa defisiensi estrogen akan meningkatkan produksi parathormon yang akan mengaktifkan osteoklas untuk resorbsi tulang sehingga kalsium dalam darah dapat terjaga homeostasisnya. Sementara itu Guyton (1996) juga menyatakan bahwa estrogen berperan amat penting dalam proses homeostasis, yaitu sebagai penunjang sekresi kalsitonin, dan inhibitor reabsorbsi tulang. Selanjutnya, gambaran mikroskopis sayatan memanjang tulang tibia tikus ovariektomi menunjukkan struktur trabekula yang paling jarang dibandingkan pada tikus sham (Gambar 36) dan diikuti dengan peningkatan osteoklas tetapi tidak diimbangi dengan pembentukan osteoblas (Tabel 8) sehingga menunjukkan kondisi tulang pada tahap resorbsi. Defisiensi estrogen akan menyebabkan peningkatan osteoklastogenesis dan berlanjut sampai ke kehilangan massa tulang (Arjmandi et al. 1996).

87

Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan bobot badan pada tikus ovariektomi yang diberi ESP dengan berbagai rentang waktu pemberian menunjukkan bobot badan yang lebih berat dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1). Pertumbuhan bobot badan meningkat pada tikus perlakuan sejalan dengan lamanya pemberian ESP. Tikus yang diberi ESP selama 120 hari (OV-2) memiliki bobot badan lebih berat 16,99% dari tikus kontrol, diikuti tikus yang diberi ESP selama 90 hari dan 60 hari masing-masing 13,28 % dan 11,61 % lebih berat dari tikus kontrol. Jones et al. (2000); Potu et al. (2009) juga menemukan bahwa pada tikus yang diovariektomi, bobot badannya akan meningkat sebagai akibat dari menurunnya agresivitas. Dengan demikian kandungan ESP baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap kenaikan bobot badan. Nutrisi yang terkandung dalam ESP yaitu kalsium, fosfat dan fitoestrogen secara langsung akan meningkatkan pertumbuhan tulang dan secara tidak langsung, akan meningkatkan pertumbuhan bobot badan akibat peningkatan pertumbuhan tulang. Pemberian ESP pada tikus dalam masa pertumbuhan juga dapat meningkatkan panjang tulang yang diikuti dengan peningkatan bobot badan (Gambar 14 dan 15).

Tulang femur pada tikus ovariektomi yang diberi ESP (OV-2, OV-3, dan OV-4) di akhir penelitian masing-masing lebih panjang 4,11 %, 3,70 %, dan 2,12 % dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1). Peningkatan panjang tulang femur ini menunjukkan bahwa tikus yang diberi ESP dalam rentang waktu yang lama dapat meningkatkan pertumbuhan memanjang tulang femur. Pemberian ESP pada tikus ovariektomi dapat meningkatkan kadar mineral kalsium dan fosfat tulang. Kandungan kalsium, fosfat, dan fitoestrogen yang ada dalam ESP memegang peran penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja kedua jenis sel tersebut, dan mempengaruhi pertambahan panjang tulang femur pada tikus perlakuan. Tikus pada masa pertumbuhan yang diberi ESP dapat meningkatkan ketebalan korteks dan trabekula tulang secara signifikan yang turut mendukung peningkatan panjang tulang (Gambar 15), sehingga secara keseluruhan akan meningkatkan ukuran rangka tubuh tikus-tikus ovariektomi yang diberi ESP. Diduga asupan fitoestrogen pada ESP juga dapat mensubstitusi kehilangan estrogen dan efek fitoestrogen ini pada tikus ovariektomi berperan dalam mempertahankan proses keseimbangan remodeling tulang dan bersama-sama

88

dengan kalsitriol membantu mengabsorbsi kalsium di usus, sehingga secara tidak langsung membantu meningkatkan mineralisasi tulang dengan peningkatan deposit kalsium pada permukaan tulang, demikian juga halnya seperti yang dinyatakan oleh Banks (1993) dan Ilich-Ernst & Kerstetter (2000). Hal ini dapat dikaitkan dengan kadar kalsium dan fosfat tulang serta intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat pada pewarnaan trichrome Masson pada trabekula yang diberi ESP pada penelitian ini.

Selain itu, pada hasil pemeriksaan radiografi pada tulang tibia tikus ovariektomi yang diberikan ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari menunjukkan densitas tulang yang radiopaque pada bagian epifisis, metafisis, dan diafisis dibandingkan pada tikus kontrol terlihat adanya penurunan densitas tulang. Penurunan densitas tulang dikaitkan dengan rendahnya kadar hormon estrogen akibat hilangnya fungsi ovarium (Gruber et al. 2002). Kondisi radiopaque tulang tibia tikus OV-2, OV-3, dan OV-4, menunjukkan massa tulang yang lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol. Kondisi radiopaque ini didukung oleh hasil pemeriksaan densitas trabekula tulang. Tikus OV-2 yang diberikan ESP selama 120 hari, memiliki trabekula yang lebih padat dan rapat yang ditunjukkan oleh intensitas warna merah dan biru yang lebih pekat serta semakin besarnya ukuran rangka tubuh dibandingkan dengan tikus OV-1, maupun tikus-tikus grup perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4).

Tulang juga menjadi target dari hormon estrogen, yang memiliki reseptor

estrogen α dan β (Kuiper et al. 1996) yang diduga sebagai reseptor untuk fitoestrogen ESP. Menurut Sulistiawati (2004), mekanisme kerja hormon estrogen secara seluler pada tulang dimulai dengan interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang ditimbulkan merupakan hasil interaksi keduanya. Dari penelitian ini tampak bahwa pemberian ESP dalam waktu yang panjang akan dapat merangsang pembentukan kembali trabekula dan kekurangan estrogen akibat ovariektomi dapat dikompensasikan dengan pemberian ESP. Fitoestrogen yang terkandung dalam ESP juga berperan dalam meningkatkan densitas osteoblas, merangsang dan meningkatkan pembentukan kolagen sebagai bahan dasar dari trabekula tulang (Tabel 5).

Pemberian ESP selama 120 hari, 90 hari, dan 60 hari pada tikus betina ovariektomi memberikan efek peningkatan panjang tulang dibandingkan dengan tikus kontrol. Pemberian ESP dalam waktu yang panjang memberikan efek pada

89

deposisi kalsium ke dalam tulang sehingga dapat meningkatkan massa tulang dan mengoptimalkan densitas tulang. Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120 hari tampak peningkatan kadar kalsium darah secara nyata dibandingkan tikus kontrol, disusul tikus-tikus OV-3 dan OV-4. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak ovariektomi dapat dikompensasikan dengan pemberian ESP dan dipengaruhi oleh waktu dan lamanya pemberian ESP selama masa perlakuan. Pada tikus OV-4, peningkatan kadar kalsium darah relatif lebih tinggi dibandingkan pada tikus OV-3, karena pada tikus OV-4 waktu pemberian ESP terlalu singkat dan kadar kalsium darah masih pada masa peningkatan. Tikus ovariektomi tanpa ESP (OV-1) mengalami hipokalsemia karena terjadinya penurunan kadar estrogen yang mengakibatkan proses penyerapan kalsium di usus juga menurun. Kadar fosfat darah tikus OV-2, OV-3, dan OV-4 meningkat selama pemberian ESP dibandingkan dengan tikus kontrol, walaupun pada akhir perlakuan tidak setinggi kadar fosfat darah tikus sham (P>0,05).

Hasil pemeriksan kadar kalsium dan fosfat tulang menunjukkan hasil yang mirip dengan analisis terhadap kadar kalsium dan fosfat darah. Kadar kalsium tulang tikus yang diberi ESP selama 120 hari menunjukkan peningkatan secara signifikan dibandingkan pada tikus kontrol yang justru menurun walaupun belum menyamai level pada tikus sham. Menurut Jubb et al (1993) pada radiografi tulang tibia tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dan hanya akan terlihat nyata pada kasus osteoporosis berlanjut. Kenaikan kadar kalsium tulang paling tinggi selama masa pemberian ESP, yang ditunjukkan oleh tikus OV-2, disusul oleh tikus-tikus OV-3 dan OV-4. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar kalsium tulang dipengaruhi oleh lamanya pemberian ESP selama masa perlakuan. Fitoestrogen ESP berperan sebagai estrogen pada pembentukan tulang untuk menurunkan resorbsi tulang dan di lain pihak Ganong (1995) menyatakan estrogen dapat menghambat aktivitas hormon paratiroid pada proses resorbsi melalui peningkatan kalsitonin. Aktivitas remodeling tulang terhambat juga dengan adanya pemberian ESP, akan meningkat bila terjadi penurunan kadar kalsium darah seperti pada tikus OV-1. Berbeda dari hasil yang diperoleh pada pengukuran kadar kalsium dan fosfat darah dan kadar kalsium tulang, pemberian ESP tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar fosfat tulang karena kadar fosfat tulang sudah berada pada level normal.

90

Aktivitas osteoblas dan osteoklas di daerah metafisis lebih dominan di bagian sentral, jarang ditemukan di bagian perifer tulang. Densitas osteoblas aktif pada tikus OV-2 lebih padat dibandingkan pada tikus kontrol (OV-1), tetapi densitas osteoklas pada tikus OV-2 lebih rendah dibandingkan pada tikus kontrol dan tikus-tikus perlakuan lainnya. Pada tikus ovariektomi yang diberi ESP selama 120 hari, dalam rentang waktu tersebut, asupan fitoestrogen ESP dapat mensubstitusi atau menggantikan sumber estrogen alami yang hilang akibat ovariektomi. Kepadatan osteoblas aktif menunjukkan bahwa pemberian ESP, selain dapat meningkatkan kadar kalsium darah, juga berpengaruh pada pembentukan massa tulang. Hal ini disebabkan oleh proses modeling dan remodeling yang masih berlangsung. Pada tikus ovariektomi tanpa diberi ESP (OV-1) akan terjadi defisiensi estrogen, disertai peningkatan densitas osteoklas (Tabel 8). Kondisi ini akan meningkatkan proses osteoklastogenesis dan bila proses ini berlanjut akan menyebabkan kehilangan massa tulang seperti pernyataan dari Arjmandi et al. (1996) karena rendahnya kadar estrogen akan meningkatkan sitokin yang berperan dalam penyerapan tulang, sesuai pendapat

Potu et al. (2009). Sesuai pernyataan Thuong et al. (2005) dan Jainu et al. (2006) maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kandungan

fitoestrogen ESP diduga dapat menekan produksi sitokin (IL-1, IL-6, dan TNF-α) dan terjadi pembentukan massa tulang kembali setelah ovariektomi. Di sisi lain, Kawiyana (2009) menyatakan bahwa estrogen akan merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan TGF-β pada sel osteoblas dan sel stroma, selanjutnya akan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas. Selain itu, buluh darah juga lebih banyak ditemukan di daerah metafisis (OV-1 dan OV-2), yang berdekatan dengan keberadaan osteoklas dalam proses resorbsi tulang.

Sebagai jaringan yang dinamis, trabekula secara konstan akan selalu memperbaharui dirinya. Pada tikus OV-2 yang memperoleh ESP di awal perlakuan dan waktu yang lebih lama menunjukkan peningkatan panjang tulang, kadar kalsium dan fosfat darah, kadar kalsium tulang, dan peningkatkan osteoblas aktif, dibandingkan dengan kontrol (OV-1) berpengaruh pada massa tulang yang dikaitkan dengan intensitas warna merah serta biru yang lebih pekat dan memiliki trabekula yang lebih padat dan rapat.

Tulang tibia tikus OV-1 menunjukkan struktur trabekula yang paling jarang dibandingkan dengan tikus sham maupun tikus perlakuan lainnya. Tikus sham dan tikus OV-2 menunjukkan densitas trabekula yang rapat dibandingkan pada

91

tikus kontrol maupun pada tikus perlakuan lainnya (OV-3 dan OV-4). Pemberian ESP selama 120 pada tikus perlakuan OV-2 dapat mengurangi kehilangan massa tulang yang ditunjukkan dengan mikrostruktur trabekula yang rapat, dan juga mengurangi aktivitas osteoklas dengan memfasilitasi massa pembentukan tulang dibandingkan dengan tikus kontrol (OV-1). Pemberian ESP di awal perlakuan dan dalam waktu yang lama secara langsung berpengaruh dalam komponen mineral utama pembentukan tulang. Selain itu, keberadaan fitoestrogen ESP membantu pengaturan metabolisme mineral tulang. Pada pemberian ESP selama 120 hari pada tikus OV-2 menunjukkan hasil yang optimal yang ditunjukkan dengan hasil densitas osteoblas dan gambaran tulang yang lebih padat dibandingkan dengan tikus kontrol maupun tikus sham. Efek ini diduga erat hubungannya dengan interaksi fitoestrogen dalam ESP dengan reseptor estrogen alpha atau beta (ER-α, ER-β) pada osteoblas, sesuai dengan pendapat Albert (1998) dan Pollard (1999) sebagaimana estrogen endogen yang dihasilkan oleh ovarium pada tikus yang normal. Hubungan antara hasil pengukuran panjang tulang, kadar kalsium dan fosfat darah, kadar kalsium tulang, dan peningkatkan osteoblas aktif pada trabekula mungkin dapat menjelaskan proses mineralisasi aktif untuk pembentukan massa tulang. Dengan demikian kehilangan atau defisiensi kalsium, fosfat, dan estrogen dapat diatasi dengan pemberian ESP pada tikus perlakuan. Dengan demikian ESP diharapkan dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada kondisi osteoporosis.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Sipatah-patah mengandung kalsium (4,33%), fosfor (0,37%) dari bahan kering. Sipatah-patah mengandung tujuh macam senyawa fitoestrogen yaitu A-norcholestan-3-one,5-ethenyl, Stigmast-5-en-3-ol, Stigmast-4-en-3- one, Lup-20(29)-en-3-ol (3.beta), Ergost-22-en-3-ol, Stigmasta-5,23-dien- 3.beta-ol, dan Methyl (25RS)-3 β-hydroxyl-5 cholesten

2. Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat mencegah osteoporosis pada tikus betina prepubertas dan mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi dengan cara:

a. Biomolekul kalsium dan fosfor yang dikandung sipatah-patah dapat mempertahankan kadar kalsium darah, sehingga trabekula tulang sebagai deposit kalsium tidak banyak mengalami gangguan

b. fitoestrogen yang dikandung sipatah-patah dapat diterima oleh reseptor estrogen pada osteoblas sehingga dapat meningkatkan aktivitas osteoblas dan menurunkan aktivitas osteoklas sehingga proses pembentukan trabekula tulang dapat dipertahankan dengan baik

Oleh karena itu bahan aktif di dalam tanaman sipatah-patah terutama biomolekul kalsium dan fosfor serta fitoestrogen berperan dalam peningkatan kualitas mikrostruktur tulang pada tikus prepubertas dan perbaikan pada tikus osteoporosis.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu:

1. Mempelajari mekanisme kerja zat bioaktif ekstrak sipatah-patah secara seluler

2. Penelitian dengan memakai tikus yang lebih tua (minimal 24 bulan) 3. Penggunaan dosis bertingkat untuk mengetahui dosis optimal dari Cissus

quadrangula Salisb dalam mencegah dan mengobati osteoporosis 4. Pemeriksaan kadar estrogen pada masa diestrus

DAFTAR PUSTAKA

Adlercreutz H, Goldin BR, Gorbach SL. 2002. Soybean phytooestrogens and cancer risk. J Nutr 125:757S–770S.

Akers MR, Denbow MD 2008. Anatomy and physiology of domestic animals. 1ist Ed. Blackwell Publising. Oxford: hlm.133-168.

Albert B. 1998. Molecular biology of the cell. 3rd Ed. Garland Publishing, Inc.New York and London.USA.

Anderson JJB. 1996. Calsium, phosphorus and human bone development. J Nutr 126:1153S-1158S.

Anderson JJB, Garner SC. 1998. The effect of phytoestrogens on bone. J Nutr Res 17:1617-1632.

Anderson PH, Rebecca KS, Alison JM, May BK, O’Loughlin PD, Morris HA.

2008. Vitamin D depletion induces RANK-mediated

osteoclastogenesis and bone loss in a rodent model. J Bone Miner Res. 23 (11):1789-1797.

Arjmandi BH, Alekel L, Hollis BW, Amin D, Stacewiez-Sapuntzakis M, Guo P, Kukreja SC. 1996. Dietary soybean protein prevents bone loss in an ovariectomized rat model of osteoporosis. J Nutr 126:161-167.

Arjmandi BH. 2001. The role of phytoestrogens in the prevention and treatment of osteoporosis in ovarian hormone deficiency. Am J Nutr 20:398S-402S. Attawish A, Chavalittumrong P, Chivapat S, Chuthaputti A, Rattanajarasroj S,

Punyamong S. 2002. Subchronic toxicity of Cissus quadrangularis Linn. J Sei Technol 24(1): 39-51.

Austin A, Jagdeesan M. 2004. Gastric and duodenal antiulcer and cytoprotective effects of Cissus quadrangularis Linn. variant II in rats. Nig J Nat Prod Med 6 :1-7.

Banks WJ. 1993. Applied veterinary histology. 3rd Ed. Mosby Year Book.

Toronto: hlm.107-126.

Baylink DJ. 2000. The diagnosis and management of osteoporosis.J Rheumatol Suppl 1 59:42S- 44S

Boskey AL. 1992. Mineral-matrix interaction in bone and cartilago. Clin Orthop 281:244-274

Bringhurst FR. 1995. Calcium and phosphate distribution, turnover and metabolic actions. Di dalam: Endocrinology, 3rd Ed. DeGroot, LJ, editor. Saunders, Philadelphia, hlm.1015–1043.

Burger EH, Klein-Nulend A, Van Der Plast J, Nijwede PJ. 1995. Function of osteocytes in bone, their role in mechano transduction. J Nutr 125:2020S– 2023S.

96

Calvo MS, Kumar R, Heath H. 1988. Elevated secretion and action of serum parathyroid hormone in young adults consuming high phosphorus, low calcium diets assembled from common food. J Clin Endocrin Metab. 66:823-829

Calvo MS, Park YK. 1996. Changing phosphorus content of the U.S. Diet : potential for adverse effects on bone. J Nutr 126:1168 S–1180S.

Carola R, Harley JP, Nobac CR. 1990. Human anatomy and physiology. McGraw-Hill Publishing Inc. hlm.148-162.

Cassidy A, Bingham S, Setchell KD. 1994. Biological effects of diet of soy protein rich in isoflavones on the menstrual cycle of premenopausal women. Am J Clin Nutr 60(3):333-340.

Cesnjaj M, Stavljhenic A, Vukicevic S. 1991. In vivo models in the study of osteopenias. Eur J Clin Chem & Clin Biochem 29(4):221-229.

Combaret L, Taillandier D, Dardevet D, Bechet D, Ralliere C, Claustre A, Grizard J, Attaix D. 2004. Glucocorticoids regulate mRNA levels for subunits of the 19 S regulatory complex of the 26 S proteasome in fast-twitch skeletal muscles. J Biochem 378:239-246.

Compston JE, Garraham NJ, Croucher PI, Wright CDP, Yamaguchi K. 1993. Quantitative analysis of trabecular bone structure. Bone 14:187-192. Croucher PI, Garraham NJ, Compston JE. 1994. Structural mechanisms of

trabecular bone loss in primary osteoporosis: Specific disease mechanism or early ageing. J Bone Miner 25:111-121.

Cseke LJ, Ara K, Peter BK, Sara LW, James AD, Harry LB. 2006. Natural Product from Plant. 2nd Ed. LLC.Boca Raton.London. hlm.611-642.

Cunningham JG.1992. Textbook of veterinary physiology. Philadelphia : W.B. Saunders Company. hlm.416-423.

Dalimartha S. 2003. Atlas tumbuhan obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus Agriwidya.

Dawson-Hughes B. 1996. Calcium and vitamin nutritional needs of elderly woman. J Nutr 126:165S-1167S.

Dawson-Hughes B, Harris SS, Krall EA, Dallal GE. 1997. Effect of calcium and vitamin D supplementation on bone density in men and women 65 years of age or older. J Med 337:670-676.

Deka DK, Lahon LC, Saikia J, Mukit A. 1994. Effect of Cissus quadrangularis in accelerating healing process of experimentally fractured radius - ulna of dog: A preliminary study. Ind J Pharmacol 26:44-8.

Dempster DW, Birehman R, Xu R, Lindsay R, Shen V. 1995. Temporal changes in cancellous bone structure of rats immediately after ovariectomy. Bone 16 (1):157-161.

97

Devareddy L, Hooshmand S, Collins JK, Lucas EA, Chai SC, Arjmandi BH. 2008.

Blueberry prevents bone loss in ovariectomized rat model of postmenopausal osteoporosis. J Nutr Biochem 10:694-9.

Dewell A, Clarie BH, Bonnie B. 2002. The effects of soy-derived phytoestrogens on serum lipids and lipoproteins in moderately hypercholesterolemic postmenopausal women. J Clin Endocrin Metab 87 (1):118-121.

Eastwood M. 2003. Principles of human nutrition. 2nd Ed. Blackwell Publishing, Malden UK.

Einhorn. 1996. Cellular control of bone homeostasis. Di dalam: Mishell’s Textbook of infertility, Contraception and Reproductive Endocrinology. 4th Ed. New York: Blackwell Science. hlm.8-16.

Endris DB, Rude RK. 1994. Mineral and bone metabolism. Di dalam: Tietz Textbook Clinical Chemistry. CA. Burtis and ER Ashwood, editors. 2nd Ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. hlm.1939-1957.

Erickson EF, Kasem L, Aarhus.1992. The celluler basis of bone remodeling. Triangle. hlm.45-57.

Eriksen EF, Axelrod DW, Melsen F. 1994. Bone histomorphometry. New York:Raven press. hlm.1-54.

Favus MJ. 1993. Primary on the metabolic bone disease and disorder of mineral metabolism. New York : Raven 3-9 and 34-40.

Fitzpatrick LA. 2003. Phytoestrogens-mechanism of action and effect on bone markers and bone mineral density. Endocrin Metab Clin 32(1):233-52. Fleisch H. 1993. Biphosphonates in bone disease. Berne, Switzerland: Graphic

Enterprise. hlm.8-25.

Freskanich D, Wilet WC, Colditz GA. 2003. Calcium, vitamin D, milk consumption, and hip fractures : a prospective study among postmenopausal women. Am J Clin Nutr 77:504-511.

Gallaher JC. 1986. Estrogen : Prevention and treatment of osteoporosis. Di dalam: Osteoporosis. Markus R, Fieldman D, Kelsey J, editors. San Diego: Academic Press Inc. hlm.1191-208.

Ganong WF. 1995. Fisiologi kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Gass R, Neff M. 1995. Prevention of menopausal osteoporosis. Schiweiz Med Wochenschr 125(34):1538-1591.

Genant HK, Bay Link DJ, Gallagher JC. 1998. Estrogens in the prevention of osteoporosis in postmenopausal women. Am J Obs and Gyn 161:1842- 1846.

98

Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s The Anatomy of the Domestic Animals. 4rd Ed. Philadelphia and London. W.B. Saunders Company.

Glover A, Assinder S.J. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormon receptor expression. J Endoc 189: 565-573.

Goldberg G. 2004. Nutrition and bone. Women’s Health Medicine 1(1):25-29. Greenspan FS, Strewler GJ. 1993. Basic and clinical endrocrinology. Fifth Ed.

Appleton and Lange, Stanford. hlm. 263-279

Gruber CJ, Tschugguei W, Schneebeger C, Huber JC. 2002. Production and action of estrogens. N Engl J Med 346:340-50.

Gupta MM, Verma RK. 1990. Unsymmetric tetracyclic triterpenoids from Cissus quadrangularis. Phytochem 29: 336–7.

Guyton AC. 1996. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit (Human physiology and mechanism of disease). Terjemahan. Ed ke-3 Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Hollick MF. 1996. Vitamin D in health and prevention of metabolic bone disease Di dalam: Osteoporosis, Diagnostic and Theurapeutic Principles. Rosen CJ, editor. Totowa: Hamaxia Pres. hlm.9-128.

Hosking DJ. 1994. Osteoporosis. Medicine International 26:209-12.

Humason GL. 1967. Animal tissue technique. 2nd Ed. San Francisco: WH Freeman.

Ilich JZ, Kerstetter JE. 2000. Nutrition in bone health revisited : a story beyond calcium. Rev. J Am Coll Nutr 19(6):715-737.

Ishida H, Uesugi T, Hirai K, Toda T, Nukaya H, Yokotsuka K, Tsuji K. 1998. Preventive effects of the plant isoflavones, daidzin and genistin on bone loss in ovariectomized rats fed a calcium-deficient diet. Biol Pharm Bull

Dokumen terkait