• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Tujuan penelitian ini ialah untuk mendapatkan galur dihaploid toleran terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit. Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah 60 galur dihaploid hasil kultur antera, Salumpikit (cek toleran kekeringan), dan IR 20 (cek peka kekeringan). Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Berdasarkan indeks terboboti dengan peubah hasil penapisan toleransi kekeringan dan daya tumbuh kembali, terpilih 16 galur dihaploid yang memiliki nilai indeks seleksi tertinggi di atas cek tahan Salumpikit. Galur-galur dihaploid yang terpilih memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan dan memiliki daya tumbuh kembali yang baik. Galur-galur dihaploid tersebut berpotensi untuk diuji toleransi kekeringannya di lahan sawah tadah hujan.

Kata kunci: Dihaploid, daya pulih, seleksi indeks, toleran kekeringan Abstract

The objectives of this research were to obtain doubled haploid lines which have tolerance to drought at seedling stage. The research was conducted in the Muara greenhouse, ICRR from October to December 2014. The materials used in the research were 60 doubled haploid lines (DH), Salumpikit (drought tolerant check), and IR 20 (drought sensitive check).The experiment was arranged in randomized complete block design with three replications. The experiment evaluated the 60 doubled haploid lines obtained from anther culture. Based on selection index of drought tolerance and recovery, 16 doubled haploid lines were selected from the highest selection index value above tolerant check Salumpikit. Sixteen doubled haploid lines were tolerance to drought and had good recovery, which potentially could be evaluated further in rainfed areas.

Keywords: Doubled haploid, recovery, selection index, tolerance to drought Pendahuluan

Lahan sawah tadah hujan di Indonesia dengan luasan 2.1 juta ha merupakan lumbung padi kedua secara nasional setelah lahan sawah irigasi. Kekeringan karena pasokan air hujan yang sulit diprediksi menjadi masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha tani di lahan tadah hujan. Hal ini menyebabkan produktivitas di lahan ini masih rendah (3.0-3.5 t ha-1) (Badan Litbang 2008).

Sekarang ini telah diprediksikan kemungkinan terjadinya kelangkaan air, adapun air irigasi memiliki keterbatasan untuk meringankan masalah kekeringan pada sistem pertumbuhan padi sawah tadah hujan (O’Toole 2004). Cekaman

57 kekeringan menjadi kendala utama dalam pengelolaan padi sawah, gogo rancah dan gogo di lahan tadah hujan yang berada di daerah beriklim kering dengan curah hujan yang rendah dan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Varietas yang ditanam disarankan memiliki umur yang genjah, sehingga potensi hasil akan meningkat. Hal ini akan memberikan sumbangan yang besar terhadap produksi padi nasional (Suardi 2002).

Fukai (1998) menyatakan bahwa varietas padi yang tumbuh baik pada lingkungan dengan curah hujan terbatas dikatakan tanaman ideal, jika : 1) tersedianya air menyebabkan tanaman mampu tumbuh sehingga tanaman mampu terhindar dari kekeringan di akhir pertumbuhannya, 2) tanaman memiliki potensi hasil yang tinggi di lingkungan yang sesuai, selain itu tanaman memiliki postur tidak terlalu tinggi dengan indeks panen yang tinggi, 3) memiliki toleransi terhadap kekeringan dan memiliki kemampuan mempertahankan kehijauan tanaman selama kekeringan.

Karakteristik seperti tebal dan dalamnya akar berkaitan dengan toleransi terhadap kekeringan pada padi lahan kering (Chang et al. 1982). Boling et al. (2000) mengungkapkan bahwa penggunaan varietas berumur genjah dengan perakaran yang mampu menembus lapisan tanah relatif keras mampu meningkatkan hasil karena mampu terhindar dari kekeringan.

Varietas tersebut dapat diperoleh melalui serangkaian kegiatan pemuliaan. Genotipe-genotipe yang unggul diperoleh dengan cara seleksi, sehingga tahapan seleksi merupakan tahapan yang sangat penting dalam kegiatan pemuliaan. Seleksi juga merupakan salah satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan target lingkungan produksi. Seleksi untuk memperoleh genotipe yang toleran kekeringan dapat dilakukan pada fase perkecambahan seperti menggunakan polietilen glikol (PEG). Selain itu, dapat juga dilakukan pada fase bibit. Sie et al. (2008) melaporkan bahwa metode seleksi yang baik, diharapkan murah, cepat pelaksanaannya dan handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah yang banyak, dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan galur dihaploid yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Bahan dan Metode

Percobaan dilaksanakan di rumah kaca Muara, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Bahan yang digunakan dalam percobaan keempat adalah 60 galur dihaploid (DH) hasil kultur antera, Salumpikit (cek toleran kekeringan), dan IR 20 (cek peka kekeringan) (Lampiran 2). Metode pengujian dan pengamatan serupa dengan metode yang dilakukan pada percobaan pertama (halaman 17-18).

Hasil dan Pembahasan

Sebanyak 60 galur dihaploid generasi pertama (DH0) hasil kultur antera padi sawah tadah hujan telah diuji toleransinya terhadap kekeringan selama 50 hari setelah tanam (HST) di rumah kaca Muara BB Padi (Gambar 12, Tabel 21). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Salumpikit varietas cek toleran kekeringan memberikan respon sangat toleran sedangkan IR 20 varietas cek peka cekaman

58

kekeringan memberikan respon peka terhadap kekeringan selama 50 HST (Gambar 13). Galur-galur dihaploid yang diuji menunjukkan skor toleransi kekeringan yang bervariasi. Galur yang peka memperlihatkan gejala kekeringan yang kuat dengan menggulung dan mengeringnya daun yang merupakan bentuk respon tanaman terhadap kekeringan (Singh et al. 1996). Galur yang toleran kekeringan merupakan tanaman yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan memiliki kapasitas produksi dibawah cekaman kekeringan. Luo (2010) melaporkan bahwa varietas padi yang mampu menyimpan air atau toleran kekeringan telah mengembangkan introgresi kapasitas penyimpanan air dan toleran kekeringan yang sebagian besar berasal dari padi gogo tradisional dengan kultivar padi yang komersil.

Gambar 12 Keragaan galur-galur dihaploid padi pada saat skrining kekeringan di rumah kaca Muara BB Padi

a b c d

e f g h

Gambar 13 Penampilan tanaman padi setelah skrining kekeringan 50 HST. Genotipe dengan (a) skor 0; (b) skor 1; (c) skor 3; (d) skor 5; (e) skor 7; (f) skor 9; (g) IR 20 (cek peka); (h) Salumpikit (cek tahan)

59 Tabel 21 Respon galur-galur dihaploid padi terhadap kekeringan setelah 50 HST

di rumah kaca Muara, BB Padi

No Genotipe Ulangan Modus Respon

1 2 3 Tanaman 1 HR7-8-3-3 1 1 3 1 Toleran 2 HR7-12-2-1 1 1 9 1 Toleran 3 HR7-15-1-1 1 0 3 1 Toleran 4 HR7-15-1-2 1 1 3 1 Toleran 5 HR7-15-1-3 3 1 3 3 Agak Toleran 6 HR7-15-2-3 1 0 1 1 Toleran 7 HR7-15-2-4 1 3 3 3 Agak Toleran 8 HR7-32-1-4 7 3 3 3 Agak Toleran 9 HR7-32-1-5 3 7 7 7 Agak Peka 10 HR8-1-2-1 1 3 3 3 Agak Toleran 11 HR8-4-1-1 1 1 3 1 Toleran 12 HR8-5-2-2 3 3 3 3 Agak Toleran 13 HR8-9-3-1 1 1 3 1 Toleran 14 HR8-11-1-1 3 5 3 3 Agak Toleran 15 HR8-16-1-1 3 3 1 3 Agak Toleran 16 HR8-16-1-3 5 1 1 1 Toleran 17 HR8-16-1-4 7 1 1 1 Toleran 18 HR8-17-1-2 5 3 3 3 Agak Toleran 19 HR8-21-1-1 5 1 3 5 Moderat 20 HR8-21-1-2 1 1 3 1 Toleran 21 HR8-22-1-1 3 7 7 7 Agak Peka 22 HR8-22-1-2 5 3 5 5 Moderat 23 HR8-22-1-3 5 3 7 5 Moderat 24 HR8-22-1-4 3 3 5 3 Agak Toleran 25 HR8-22-1-5 3 3 9 3 Agak Toleran 26 HR8-22-1-6 5 3 9 5 Moderat 27 HR8-22-2-3 1 7 3 3 Agak Toleran 28 HR8-26-1-1 1 3 3 3 Agak Toleran 29 HR8-28-2-1 5 3 3 3 Agak Toleran 30 HR8-32-1-3 5 1 7 5 Moderat 31 HR8-33-3-1 7 3 9 7 Agak Peka 32 HR8-40-1-1 1 3 5 3 Agak Toleran 33 HR8-44-1-1 7 3 5 5 Moderat 34 HR8-44-2-1 7 3 5 5 Moderat 35 HR8-44-2-3 1 3 7 3 Agak Toleran 36 CG1-12-1-1 5 1 3 3 Agak Toleran 37 CG1-12-1-2 7 3 7 7 Agak Peka 38 CG2-14-1-1 5 1 7 5 Moderat 39 CG2-14-1-2 3 3 3 3 Agak Toleran 40 CG2-14-1-3 3 1 5 3 Agak Toleran 41 CG2-14-1-4 5 1 5 5 Moderat 42 CG8-18-1-4 0 1 1 1 Toleran 43 CG8-35-1-1 7 7 5 7 Agak Peka 44 CG9-12-1-1 3 1 7 3 Agak Toleran 45 CG9-16-1-1 7 3 9 7 Agak Peka 46 CG9-2-1-1 7 3 9 7 Agak Peka 47 CG9-2-1-3 5 3 9 5 Moderat 48 CG9-2-1-4 5 3 7 5 Moderat 49 CG9-34-1-1 3 7 5 5 Moderat 50 CG9-38-1-1 3 3 5 3 Agak Toleran 51 CG9-38-1-2 3 3 7 3 Agak Toleran 52 CG9-47-1-2 3 3 9 3 Agak Toleran 53 CG9-8-1-1 3 1 9 3 Agak Toleran

60

Tabel 21 (Lanjutan)

No Genotipe Ulangan Modus Respon

1 2 3 Tanaman 54 CG9-8-1-2 3 3 7 3 Agak Toleran 55 CG10-13-1-2 3 3 7 3 Agak Toleran 56 CG10-13-1-3 3 3 3 3 Agak Toleran 57 CG10-13-1-5 3 3 7 3 Agak Toleran 58 CG10-20-1-1 3 1 9 3 Agak Toleran 59 CG10-21-1-1 3 1 3 3 Agak Toleran 60 CG12-30-1-1 7 3 5 5 Moderat 61 CIHERANG 5 3 5 5 Moderat 62 INPARI 13 5 3 5 5 Moderat

63 Salumpikit 0 0 7 0 Sangat Toleran

64 IR20 9 9 9 9 Peka

Hasil uji toleransi terhadap kekeringan menunjukkan bahwa terdapat 12 galur dihaploid yang memberikan respon toleran, 31 galur dihaploid memberikan respon agak toleran, 15 galur dihaploid memberikan respon moderat, dan 7 galur dihaploid memberikan respon agak peka (Gambar 13, Tabel 21). Pada saat yang sama, dilakukan pengukuran kadar air tanah pada sepuluh titik dengan kedalaman 20 cm dan 40 cm (Tabel 22). Kisaran kadar air tanah antara 3.14–11.47%, hal ini menunjukkan bahwa kadar air tanah pada saat skrining kekeringan termasuk kategori di bawah 20% yang artinya kondisi tanah kering.

Tabel 22 Kadar air tanah saat skoring kekeringan (50 HST)

Titik Kedalaman (cm) Kadar Air

Tanah (%) Titik Kedalaman (cm)

Kadar Air Tanah (%) 1 20 7.0 6 20 5.1 40 11.5 40 7.7 2 20 10.7 7 20 4.4 40 8.3 40 3.9 3 20 8.3 8 20 3.2 40 7.8 40 9.4 4 20 9.0 9 20 6.3 40 8.2 40 9.8 5 20 3.1 10 20 6.5 40 5.8 40 10.8

Hasil pengamatan daya tumbuh kembali (recovery) galur-galur dihaploid setelah perlakuan kekeringan, menunjukkan bahwa varietas Salumpikit terlihat konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan karena memiliki daya tumbuh kembali yang tinggi (skor 1), sedangkan varietas IR 20 menunjukkan respon agak peka terhadap kekeringan karena memiliki daya tumbuh kembali yang rendah (skor 7) (Tabel 23). Berdasarkan respon daya tumbuh kembali sebanyak 29 galur dihaploid toleran terhadap kekeringan, 24 galur dihaploid agak toleran, dan 12 galur dihaploid moderat. Hal ini menunjukkan bahwa dari 60 galur dihaploid yang diuji hampir sebagian besar memiliki daya tumbuh kembali yang baik setelah perlakuan cekaman kekeringan.

Chang et al. (1972) melaporkan bahwa daya tumbuh kembali setelah cekaman kekeringan dapat dijadikan petunjuk tentang toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Galur yang memiliki daya tumbuh kembali yang tinggi setelah cekaman kekeringan umumnya memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat setelah terhentinya cekaman kekeringan. Fukai (1998) melaporkan bahwa

61 varietas padi yang toleran terhadap kekeringan dan mampu mempertahankan kehijauan daun selama kekeringan diharapkan akan tumbuh baik pada lingkungan dengan curah hujan terbatas.

Tabel 23 Respon daya tumbuh kembali (recovery) galur-galur dihaploid padi terhadap kekeringan di rumah kaca Muara, BB Padi

No Genotipe Ulangan Modus Respon

1 2 3 Daya Tumbuh 1 HR7-8-3-3 1 1 5 1 Toleran 2 HR7-12-2-1 1 1 7 1 Toleran 3 HR7-15-1-1 3 1 3 3 Agak Toleran 4 HR7-15-1-2 1 1 3 1 Toleran 5 HR7-15-1-3 1 1 7 1 Toleran 6 HR7-15-2-3 1 1 3 1 Toleran 7 HR7-15-2-4 1 3 3 3 Agak Toleran 8 HR7-32-1-4 1 5 7 5 Moderat 9 HR7-32-1-5 3 5 5 5 Moderat 10 HR8-1-2-1 1 1 3 1 Toleran 11 HR8-4-1-1 1 1 5 1 Toleran 12 HR8-5-2-2 1 5 5 5 Moderat 13 HR8-9-3-1 1 1 3 1 Toleran 14 HR8-11-1-1 1 3 9 3 Agak Toleran 15 HR8-16-1-1 1 3 5 3 Agak Toleran 16 HR8-16-1-3 1 1 5 1 Toleran 17 HR8-16-1-4 1 1 5 1 Toleran 18 HR8-17-1-2 1 1 3 1 Toleran 19 HR8-21-1-1 1 1 9 1 Toleran 20 HR8-21-1-2 1 1 5 1 Toleran 21 HR8-22-1-1 1 3 7 3 Agak Toleran 22 HR8-22-1-2 1 1 5 1 Toleran 23 HR8-22-1-3 1 3 7 3 Agak Toleran 24 HR8-22-1-4 1 1 7 1 Toleran 25 HR8-22-1-5 1 1 9 1 Toleran 26 HR8-22-1-6 1 1 9 1 Toleran 27 HR8-22-2-3 1 5 5 5 Moderat 28 HR8-26-1-1 1 1 5 1 Toleran 29 HR8-28-2-1 1 1 1 1 Toleran 30 HR8-32-1-3 1 1 7 1 Toleran 31 HR8-33-3-1 3 1 9 3 Agak Toleran 32 HR8-40-1-1 1 1 5 1 Toleran 33 HR8-44-1-1 3 1 9 3 Agak Toleran 34 HR8-44-2-1 3 1 7 3 Agak Toleran 35 HR8-44-2-3 1 3 5 3 Agak Toleran 36 CG1-12-1-1 5 1 7 5 Moderat 37 CG1-12-1-2 5 3 9 5 Moderat

62

Tabel 23 (Lanjutan )

No Genotipe Ulangan Modus Respon

1 2 3 Daya Tumbuh 38 CG2-14-1-1 3 3 5 3 Agak Toleran 39 CG2-14-1-2 3 1 5 3 Agak Toleran 40 CG2-14-1-3 1 1 7 1 Toleran 41 CG2-14-1-4 3 1 5 3 Agak Toleran 42 CG8-18-1-4 1 3 5 3 Agak Toleran 43 CG8-35-1-1 1 3 7 3 Agak Toleran 44 CG9-12-1-1 3 1 5 3 Agak Toleran 45 CG9-16-1-1 5 1 7 5 Moderat 46 CG9-2-1-1 3 1 9 3 Agak Toleran 47 CG9-2-1-3 5 3 9 5 Moderat 48 CG9-2-1-4 5 3 7 5 Moderat 49 CG9-34-1-1 1 3 5 3 Agak Toleran 50 CG9-38-1-1 1 1 5 1 Toleran 51 CG9-38-1-2 3 1 7 3 Agak Toleran 52 CG9-47-1-2 3 7 5 5 Moderat 53 CG9-8-1-1 1 1 9 1 Toleran 54 CG9-8-1-2 1 1 7 1 Toleran 55 CG10-13-1-2 3 1 7 3 Agak Toleran 56 CG10-13-1-3 3 3 9 3 Agak Toleran 57 CG10-13-1-5 3 3 7 3 Agak Toleran 58 CG10-20-1-1 5 1 9 5 Moderat 59 CG10-21-1-1 3 1 7 3 Agak Toleran 60 CG12-30-1-1 5 3 7 5 Moderat 61 CIHERANG 1 1 5 1 Toleran

62 INPARI 13 3 1 7 3 Agak Toleran

63 Salumpikit 1 1 7 1 Toleran

64 IR20 9 5 7 7 Agak Peka

Seleksi galur-galur dihaploid berdasarkan peubah hasil penapisan toleransi kekeringan dan daya tumbuh kembali tersebut, dilakukan dengan menggunakan seleksi indeks atau seleksi terboboti (Tabel 24). Peubah respon skor toleransi kekeringan diberi nilai -2 dan respon daya tumbuh kembali diberi nilai -1.

Berdasarkan indeks terboboti diperoleh 14 galur dihaploid yang memiliki nilai indeks seleksi tertinggi di atas cek tahan Salumpikit (Tabel 24). Keempatbelas galur tersebut yaitu, HR7-15-2-3, CG8-18-1-4, HR7-15-1-1, HR7- 15-1-2, HR8-9-3-1, HR8-21-1-2, HR7-8-3-3, HR8-4-1-1, HR8-1-2-1, HR8-16-1- 3, HR7-15-2-4, HR8-26-1-1, HR8-16-1-1, dan HR7-15-1-3.

63 Tabel 24 Indeks seleksi galur-galur dihaploid padi berdasarkan respon kekeringan

dan daya tumbuh kembali di rumah kaca Muara, BB Padi

No Genotipe Respon Indeks

Kekeringan Daya Tumbuh Kembali

1 HR7-15-2-3 Toleran Toleran 5.65

2 CG8-18-1-4 Toleran Agak Toleran 4.75

3 HR7-15-1-1 Toleran Agak Toleran 4.24

4 HR7-15-1-2 Toleran Toleran 4.21

5 HR8-9-3-1 Toleran Toleran 4.21

6 HR8-21-1-2 Toleran Toleran 3.76

7 HR7-8-3-3 Toleran Toleran 3.76

8 HR8-4-1-1 Toleran Toleran 3.76

9 HR8-1-2-1 Agak Toleran Toleran 3.25

10 HR8-16-1-3 Toleran Toleran 2.81

11 HR7-15-2-4 Agak Toleran Agak Toleran 2.81

12 HR8-26-1-1 Agak Toleran Toleran 2.81

13 HR8-16-1-1 Agak Toleran Agak Toleran 2.36

14 HR7-15-1-3 Agak Toleran Toleran 2.36

15 Salumpikit Sangat Toleran Toleran 2.36

Galur dihaploid yang terpilih, selain memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan juga memiliki daya tumbuh kembali (recovery) yang baik. Diharapkan galur-galur tersebut masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehijauan daun dan menumbuhkan kembali supaya dapat bertahan hidup (survive) setelah tercekam kekeringan. Tersedianya galur-galur dihaploid yang toleran terhadap kekeringan akan meningkatkan kemampuan galur tersebut dalam adaptasinya. Dengan demikian, galur-galur padi dihaploid yang terpilih tersebut ketika ditanam gogo rancah memiliki toleransi terhadap kekeringan di awal pertumbuhan, karena tidak dilakukan penggenangan, dan saat fase inisiasi bunga sampai reproduktif akhir baru digenangi sekitar 5-25 cm.

Simpulan

Berdasarkan indeks terboboti diperoleh 14 galur dihaploid yang memiliki nilai indeks seleksi tertinggi dibandingkan cek tahan kekeringan Salumpikit. Keempatbelas galur tersebut yaitu, HR7-15-2-3, CG8-18-1-4, HR7-15-1-1, HR7- 15-1-2, HR8-9-3-1, HR8-21-1-2, HR7-8-3-3, HR8-4-1-1, HR8-1-2-1, HR8-16-1- 3, HR7-15-2-4, HR8-26-1-1, HR8-16-1-1, dan HR7-15-1-3. Tersedianya galur- galur yang memiliki karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan akan meningkatkan kemampuan galur-galur tersebut dalam beradaptasi di lahan sawah tadah hujan.

64

6

PEMBAHASAN UMUM

Kekeringan merupakan salah satu kendala utama yang mengurangi produksi padi (Pantuwan et al. 2002). Pelepasan varietas padi unggul baru dengan potensi hasil tinggi dan memiliki toleransi terhadap kekeringan merupakan salah satu jalan yang sangat efisien untuk peningkatan produksi padi (Xu et al. 2011). Pemanfaatan bioteknologi melalui kultur antera dapat mempersingkat siklus pemuliaan tanaman karena kegiatan seleksi dilakukan pada tanaman yang homozigos (Dewi dan Purwoko 2012). Seleksi merupakan salah satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai dengan target lingkungan produksi. Metode seleksi yang baik, diharapkan murah, cepat pelaksanaannya dan handal untuk menyeleksi genotipe dalam jumlah yang banyak, dan dapat memisahkan genotipe toleran dan peka (Sie et al. 2008).

Pembentukan galur-galur dihaploid padi sawah tadah hujan yang memiliki toleransi terhadap kekeringan dilakukan melalui serangkaian penelitian. Penelitian pertama terdiri atas dua kegiatan yaitu, penapisan calon tetua padi sawah yang toleran terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit, dan pembentukan galur dihaploid padi sawah melalui kultur antera.

Berdasarkan indeks terboboti diperoleh lima genotipe yang memiliki nilai indeks tertinggi yaitu IR83140-B-11-B, IR87705-14-11-B-SKI-12, INPAGO 8, B12825E-TB-1-25 dan IR87706-215-B-B-B. Terpilih tiga genotipe (IR83140-B- 11-B, B12825E-TB-1-25, dan IR87705-14-11-B-SKI-12) sebagai calon tetua padi sawah yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit dan daya tumbuh kembali yang baik (Tabel 24). Diharapkan dari hasil persilangan calon tetua terpilih tersebut, diperoleh galur-galur harapan padi sawah tadah hujan yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Tabel 25 Indeks seleksi untuk ketiga calon tetua padi yang terpilih

Genotipe Kriteria Indeks

UTK DTK

IR83140-B-11-B Agak Toleran Agak Toleran 7.90

IR87705-14-11-B-SKI-12 Moderat Toleran 6.10

B12825E-TB-1-25 Moderat Agak Toleran 1.94

Keterangan: UTK= uji toleransi kekeringan; DTK= daya tumbuh kembali

Pembentukan galur-galur dihaploid padi sawah melalui kultur antera diawali dengan menyiapkan populasi F1 dengan teknik persilangan. Benih F1 yang dihasilkan sebagai bahan percobaan kultur antera. Hasil pengamatan secara visual pada penelitian kultur antera menunjukkan bahwa antera yang telah ditanam pada media, tidak seluruhnya dapat diinduksi membentuk kalus. Populasi asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R8 x O18-b1 mampu menghasilkan kalus paling banyak (36.1 butir kalus dan 26.5 butir kalus) dibandingkan dengan empat populasi asal persilangan (F1) lainnya. Selain itu kedua asal persilangan (F1) tersebut memberikan rata-rata jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau yang paling banyak yaitu 1.7 butir kalus (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa kedua populasi asal persilangan (F1) yang digunakan pada penelitian ini memiliki daya kultur antera yang cukup tinggi.

65 Begitupun dengan efisiensi pembentukan kalus paling tinggi pada penelitian ini masih dihasilkan oleh populasi asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R81 x O18-b1, berturut-turut sebesar 25.70% dan 16.91% (Tabel 9). Keduanya menunjukkan persen kalus yang menghasilkan tanaman sebesar 12.28% dan 14.56% (Tabel 9), dengan rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman masing-masing 1.74 dan 1.89, serta persen tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasikan masing-masing sebesar 5.50, dan 4.65%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua populasi asal persilangan tersebut dalam menghasilkan tanaman hijau lebih baik dibandingkan dengan keempat populasi lainnya.

Genotipe tanaman donor memegang peranan penting dalam keberhasilan membentuk tanaman hijau pada kultur antera padi, termasuk padi subspecies indica yang memiliki daya kultur antera yang rendah (Dewi et al. 2009a). Latar belakang genetik dari keenam populasi asal persilangan (F1) yang digunakan pada penelitian kultur antera ini termasuk padi subspesies indica. Padi subspesies jenis ini yang merupakan genotipe rekalsitran yang sulit menghasilkan regeneran tanaman hijau, sedangkan padi subspecies japonica merupakan genotipe padi yang dikategorikan memiliki high culturability, yaitu genotipe yang mudah menghasilkan tanaman hijau (Chung 1992). Respon androgenik padi subspecies indica yang rendah dalam kultur antera berkaitan dengan terjadinya nekrosis yang lebih awal atau terjadinya senesen pada antera yang dihasilkan dari laju produksi etilen yang lebih tinggi dibandingkan subspecies japonica (Dewi et al. 2008).

Jumlah tanaman yang berhasil diaklimatisasi sebanyak 247 tanaman, sebanyak 156 tanaman (63.16%) yang berhasil hidup dan hanya 53 tanaman (33.97%) yang termasuk tanaman padi dihaploid (Tabel 10, Gambar 5). Dari keenam populasi asal persilangan (F1) yang diuji hanya empat populasi yang menghasilkan tanaman dihaploid, dengan total 53 tanaman dihaploid. Menurut Safitri et al. (2010) menyatakan bahwa rendahnya jumlah tanaman dihaploid yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan oleh faktor genetik dan rendahnya keberhasilan aklimatisasi di rumah kaca.

Rangkaian penelitian kedua adalah mengevaluasi dan menyeleksi karakter agronomi galur-galur dihaploid yang telah diperoleh dari penelitian pertama. Pengamatan dilakukan pada karakter komponen hasil dan hasil, data yang diperoleh dilanjutkan dengan analisis ragam, dan diuji lanjut dengan uji Dunnett. Selanjutnya dilakukan pendugaan pada beberapa parameter genetik, yaitu ragam genetik, ragam lingkungan, ragam fenotipe, nilai heritabilitas arti luas dan koefisien keragaman genetik. Analisis ragam pada galur-galur dihaploid generasi pertama (DH0) menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Genotipe berpengaruh nyata hanya pada peubah hasil gabah kering per rumpun. Roy (2002) menyatakan bahwa keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh adanya keragaman yang dikendalikan oleh faktor genetik.

Analisis ragam menunjukkan nilai keragaman genetik dari semua peubah yang diamati memiliki kriteria luas. Selain itu nilai heritabilitas pada karakter yang diamati tergolong tinggi dan sedang. Karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, panjang malai, umur 50% berbunga, umur panen, jumlah gabah hampa per malai, dan bobot 1000 butir tergolong nilai heritabilitas tinggi. Nilai heritabilitas untuk karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai, persentase gabah isi per malai, dan hasil gabah kering per rumpun tergolong

66

sedang. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi menunjukkan faktor genetik lebih dominan atau faktor genetik memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor lingkungan (Rachmadi et al. 1990; Wicaksana 2001). Seleksi akan efektif jika nilai duga heritabilitas karakter pada kriteria sedang hingga tinggi.

Perakitan varietas berdaya hasil tinggi dapat dilakukan melalui seleksi secara langsung terhadap daya hasil atau tidak langsung melalui beberapa karakter lain yang terkait dengan daya hasil (Falconer dan Mackay 1996). Jika dibandingkan dengan seleksi berdasarkan satu karakter atau kombinasi dua karakter saja, seleksi secara tidak langsung atau simultan untuk meningkatkan daya hasil berdasarkan seleksi indeks lebih efisien (Moeljopawiro 2002).

Karakter yang akan digunakan sebagai kriteria seleksi harus dipilih berdasarkan nilai heritabilitas, dan keeratan hubungan dengan karakter yang diinginkan. Setelah diperoleh karakter yang dipilih dapat disusun suatu indeks seleksi yang efektif (Wricke dan Weber 1985). Analisis korelasi dan analisis sidik lintas digunakan pada penelitian ini untuk melihat hubungan antar karakter hasil dengan karakter lainnya. Nilai koefisien korelasi yang menunjukkan keeratan hubungan antar karakter. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang daun bendera, jumlah gabah isi per malai, persentase jumlah gabah isi per malai, dan bobot 1000 butir memiliki korelasi positif dan sangat nyata terhadap hasil gabah kering per rumpun. Karakter jumlah gabah hampa per malai berkorelasi negatif terhadap hasil gabah kering per rumpun.

Hasil sidik lintas menunjukkan bahwa karakter yang memiliki nilai pengaruh langsung yang besar terhadap hasil gabah kering per rumpun adalah karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah isi per malai, bobot 1000 butir, dan tinggi tanaman. Karakter panjang daun bendera dan jumlah gabah isi per malai memiliki nilai pengaruh langsung yang lebih kecil dibandingkan nilai pengaruh totalnya, sehingga kedua karakter tersebut dapat digunakan sebagai karakter seleksi tak langsung yang efektif untuk menduga hasil. Jumlah gabah isi per malai mempunyai pengaruh tidak langsung yang besar melalui persentase gabah isi per malai dan tinggi tanaman. Begitupun karakter panjang daun bendera memiliki pengaruh tidak langsung yang besar terhadap tinggi tanaman dan persentase gabah isi per malai.

Berdasarkan nilai heritabilitas, nilai koefisien korelasi, koefisien sidik lintas maka karakter yang dapat digunakan untuk menyusun indeks seleksi bagi hasil gabah kering per rumpun pada galur-galur dihaploid hasil kultur antera adalah karakter persentase gabah isi per malai, jumlah anakan produktif, bobot 1000 butir, dan tinggi tanaman. Pemilihan karakter yang digunakan untuk menyusun indeks seleksi juga dapat berdasarkan nilai ekonomi masing-masing karakter. Seleksi secara simultan dilakukan karena karakter yang diinginkan sangat lambat terekspresinya, misalnya karakter hasil, sehingga seleksi secara tidak langsung lebih menguntungkan melalui karakter lain yang berkorelasi dengan hasil (Biswaa et al. 2001). Hasil penelitian Wirnas et al. (2006) menunjukkan bahwa karakter jumlah cabang, jumlah buku total, jumlah polong isi, jumlah polong total, dan persentase polong isi digunakan dalam membentuk seleksi indeks dalam rangka pengembangan kedelai berdaya hasil tinggi.

67 Rabiei et al. (2004) menyatakan bahwa berdasarkan nilai heritabilitas arti luas, nilai koefisien korelasi dan sidik lintas, juga berdasarkan nilai ekonomi masing-masing karakter maka karakter yang dapat digunakan untuk menyusun seleksi indeks bagi karakter bentuk gabah adalah karakter panjang gabah, lebar gabah, dan tinggi tanaman dalam rangka perbaikan bentuk gabah pada program pemuliaan tanaman padi populasi F2.

Berdasarkan seleksi indeks, setiap peubah yang terpilih diberikan nilai

Dokumen terkait