• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penapisan Calon Tetua Padi Sawah yang Toleran Terhadap Cekaman Kekeringan pada Fase Bibit

TOLERAN TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

A. Penapisan Calon Tetua Padi Sawah yang Toleran Terhadap Cekaman Kekeringan pada Fase Bibit

Sebanyak 10 galur, 3 varietas unggul baru (VUB) padi sawah, satu VUB padi gogo dengan Salumpikit (cek toleran kekeringan) dan IR 20 (cek peka kekeringan) telah diuji toleransi kekeringannya di rumah kaca Muara BB Padi pada MK 2013 (Gambar 2). Uji toleransi kekeringan dilakukan setelah bibit mendapatkan penyiraman selama 14 hari, selanjutnya tidak dilakukan penyiraman lagi sampai IR 20 menunjukkan semua daunnya telah mengering (skor 9). Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa pada umur bibit 42 hari setelah tanam (HST), IR 20 telah menunjukkan skor 9. Skor toleransi kekeringan pada 14 genotipe calon tetua ditunjukkan pada Tabel 3.

Gambar 2 Keragaan genotipe padi sawah saat penapisan di rumah kaca Muara Hasil uji toleransi kekeringan menunjukkan bahwa genotipe IR83140-B- 11-B memberikan respon agak toleran, 4 genotipe menunjukkan respon moderat (B12825E-TB-1-25, IR87705-14-11-B-SKI-12, IR87706-215-B-B-B, dan INPAGO 8). Sembilan genotipe lainnya menunjukkan respon agak peka terhadap kekeringan (Tabel 3). Selain itu, pada saat yang sama dilakukan pengukuran kadar air di sepuluh titik pengukuran pada kedalaman 20 cm dan 40 cm (Tabel 4). Nilai kadar air tanah berkisar antara 1.09-6.41%. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tempat pengujian toleransi kekeringan dikategorikan tanah kering karena kadar airnya kurang dari 20%. Tanah yang memiliki kadar air kurang dari 20% layak untuk pengujian cekaman kekeringan. Nilai kadar air tanah berkisar antara 20%- 100% berarti tanah tersebut masih dapat dikatakan normal, tetapi jika kadar air melebihi 100% tanah tersebut dikatakan jenuh air dan jika kurang dari 20% tanah tersebut dikatakan kering. Jumlah kadar air sangat mempengaruhi sifat dari suatu tanah, antara lain konsistensi tanah dan plastisitas tanah tersebut (Sarief 1989).

Genotipe yang telah diamati toleransi kekeringannya, disiram kembali selama 10 hari. Penilaian daya tumbuh kembali (recovery) tanaman calon tetua padi sawah yang telah diberi perlakuan kekeringan, merupakan bagian yang penting untuk melihat kemampuan genotipe-genotipe tersebut tumbuh kembali

23 setelah kekeringan. Hasilnya menunjukkan bahwa genotipe IR87705-14-11-B- SKI-12 memiliki respon daya tumbuh kembali yang lebih baik yaitu toleran, dimana 90-100% tanaman tumbuh kembali. (Gambar 3, Tabel 5). Genotipe B12825E-TB-1-25, IR83140-B-11-B, IR87706-215-B-B-B, INPARI 22, dan INPAGO 8 menunjukkan respon daya tumbuh kembali yang agak toleran. Terdapat 6 genotipe yang menunjukkan respon daya tumbuh kembali yang moderat (SMD9-15D-MR-4, BP10620F-BB4-13-BB8, IR87707-118-B-B-B, BP13990-4B-GRT-3-1-2-2-4, INPARI 13, dan INPARI 18). Chang et al. (1972) melaporkan bahwa daya pemulihan dapat dijadikan indikasi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Genotipe yang memiliki daya pemulihan yang baik memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat setelah terhentinya cekaman kekeringan.

Tabel 3 Respon genotipe padi terhadap cekaman kekeringan selama 42 HST di rumah kaca Muara, BB Padi

Genotipe Ulangan Modus Kriteria

1 2 3

B12497E-MR-45 9 7 7 7 Agak Peka

B12825E-TB-1-25 7 5 5 5 Moderat

IR87705-14-11-B-SKI-12 5 5 3 5 Moderat

SMD9-15D-MR-4 3 7 7 7 Agak Peka

IR83140-B-11-B 3 3 3 3 Agak Toleran

BP3672-2E-KN-17-3-3*B 7 7 9 7 Agak Peka

IR87706-215-B-B-B 5 7 5 5 Moderat

BP10620F-BB4-13-BB8 7 7 5 7 Agak Peka

IR 87707-118-B-B-B 7 7 5 7 Agak Peka

BP13990-4B-GRT-3-1-2-2-4 7 7 7 7 Agak Peka

INPARI 13 7 7 9 7 Agak Peka

INPARI 18 7 7 7 7 Agak Peka

INPARI 22 7 7 7 7 Agak Peka

INPAGO 8 5 5 5 5 Moderat

SALUMPIKIT 7 7 3 7 Agak Peka

IR20 9 9 7 9 Peka

Tabel 4 Kadar air tanah saat uji toleransi kekeringan selama 42 HST Titik Kedalaman (cm) tanah (%) Kadar air Titik Kedalaman (cm) tanah (%) Kadar air

1 20 2.64 6 20 2.01 40 2.77 40 6.41 2 20 2.88 7 20 1.73 40 1.76 40 2.12 3 20 1.5 8 20 1.78 40 5.68 40 3.25 4 20 2.56 9 20 1.16 40 1.94 40 1.76 5 20 2.22 10 20 2.7 40 2.77 40 1.09

24

Gambar 3 Keragaan kemampuan tumbuh kembali genotipe padi sawah setelah diuji toleransi kekeringannya. (a) tanaman yang toleran; (b) tanaman yang agak toleran; (c) tanaman yang moderat; (d) tanaman peka

Tabel 5 Respon daya tumbuh kembali genotipe padi setelah pengeringan 42 HST di rumah kaca Muara, BB Padi

Genotipe Ulangan Modus Kriteria

1 2 3

B12497E-MR-45 9 9 3 9 Peka

B12825E-TB-1-25 3 3 5 3 Agak Toleran

IR87705-14-11-B-SKI-12 1 3 1 1 Toleran

SMD9-15D-MR-4 1 5 7 5 Moderat

IR83140-B-11-B 1 3 5 3 Agak Toleran

BP3672-2E-KN-17-3-3*B 1 9 7 7 Agak Peka

IR87706-215-B-B-B 3 3 5 3 Agak Toleran

BP10620F-BB4-13-BB8 5 5 5 5 Moderat

IR 87707-118-B-B-B 5 5 3 5 Moderat

BP13990-4B-GRT-3-1-2-2-4 7 5 5 5 Moderat

INPARI 13 5 5 7 5 Moderat

INPARI 18 5 5 3 5 Moderat

INPARI 22 3 3 3 3 Agak Toleran

INPAGO 8 3 5 3 3 Agak Toleran

SALUMPIKIT 9 7 1 7 Agak Peka

IR20 9 9 9 9 Peka

Seleksi calon tetua padi sawah yang toleran kekeringan menggunakan seleksi indeks atau indeks terboboti (Tabel 6). Dalam hal ini peubah respon penapisan kekeringan diberi nilai -2 dan respon daya tumbuh kembali diberi nilai - 1. Berdasarkan indeks terboboti diperoleh lima genotipe yang memiliki nilai indeks seleksi tertinggi yaitu IR83140-B-11-B (7.90) dengan respon agak toleran terhadap kekeringan dan respon daya tumbuh kembali yang agak toleran, diikuti genotipe IR87705-14-11-B-SKI-12 memiliki indeks seleksi 6.10 dengan respon kekeringan yang moderat dan respon daya tumbuh kembali yang toleran, INPAGO 8 memiliki indeks seleksi 3.31 dengan respon kekeringan yang moderat dan respon daya tumbuh kembali yang agak toleran, B12825E-TB-1-25 dan IR87706-215-B-B-B sama-sama memiliki indeks seleksi 1.94 dengan respon moderat terhadap kekeringan dan respon daya tumbuh kembali yang agak toleran (Tabel 6). Diharapkan genotipe yang memiliki daya tumbuh kembali (recovery) yang baik masih mampu mempertahankan kehijauan daun dan menumbuhkan kembali sehingga tanaman dapat bertahan hidup (survive) setelah tercekam kekeringan.

25 Tabel 6 Indeks seleksi genotipe padi sawah di rumah kaca Muara

Genotipe Kriteria Indeks

UTK DTK

IR83140-B-11-B Agak Toleran Agak Toleran 7.90

IR87705-14-11-B-SKI-12 Moderat Toleran 6.10

INPAGO 8 Moderat Agak Toleran 3.31

B12825E-TB-1-25 Moderat Agak Toleran 1.94

IR87706-215-B-B-B Moderat Agak Toleran 1.94

SMD9-15D-MR-4 Agak Peka Moderat 1.47

SALUMPIKIT Agak Peka Agak Peka 0.52

IR 87707-118-B-B-B Agak Peka Moderat 0.09

INPARI 22 Agak Peka Agak Toleran -0.33

BP10620F-BB4-13-BB8 Agak Peka Moderat -0.38

INPARI 18 Agak Peka Moderat -1.28

BP13990-4B-GRT-3-1-2-2-4 Agak Peka Moderat -2.22

BP3672-2E-KN-17-3-3*B Agak Peka Agak Peka -3.60

INPARI 13 Agak Peka Moderat -3.60

B12497E-MR-45 Agak Peka Peka -4.54

IR20 Peka Peka -7.34

SMD9-15D-MR-4 Agak Peka Moderat 1.47

SALUMPIKIT Agak Peka Agak Peka 0.52

IR 87707-118-B-B-B Agak Peka Moderat 0.09

INPARI 22 Agak Peka Agak Toleran -0.33

BP10620F-BB4-13-BB8 Agak Peka Moderat -0.38

INPARI 18 Agak Peka Moderat -1.28

BP13990-4B-GRT-3-1-2-2-4 Agak Peka Moderat -2.22

BP3672-2E-KN-17-3-3*B Agak Peka Agak Peka -3.60

INPARI 13 Agak Peka Moderat -3.60

Keterangan: UTK=uji toleransi kekeringan; DTK=daya tumbuh kembali

Terpilih tiga genotipe (IR83140-B-11-B, B12825E-TB-1-25, dan IR87705-14-11-B-SKI-12) sebagai calon tetua padi sawah tadah hujan yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit, sehingga diharapkan dari hasil persilangan ketiga calon tetua tersebut dapat diperoleh galur- galur baru padi sawah tadah hujan yang toleran terhadap cekaman kekeringan. B. Pembentukan Galur Dihaploid Padi Sawah Melalui Kultur Antera Induksi Pembentukan Kalus dan Regenerasi Tanaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon pembentukan kalus dari kultur antera enam asal persilangan (F1) membutuhkan waktu lebih lama dan tidak serentak, yaitu lebih dari 7 minggu. Umumnya pembentukan kalus pertama pada media berkisar 3–8 minggu setelah antera ditanam (Dewi dan Purwoko 2008; Safitri et al. 2010). Hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa

26

antera yang telah ditanam pada media, tidak seluruhnya dapat diinduksi membentuk kalus (Gambar 4). Hal ini sejalan dengan penelitian Sasmita et al. (2002) yang melaporkan bahwa antera yang tanggap terhadap perlakuan induksi kalus adalah antera yang tetap berwarna putih kekuningan, tetapi antera yang tidak berhasil mengeluarkan kalus akan berwarna cokelat kehitaman dan mati.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 4 Kultur antera padi. (a) Antera di media induksi kalus; (b) kalus yang beregenerasi menjadi tanaman hijau dan albino; (c,d) tanaman hijau di media perakaran

Asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R8 x O18-b1 mampu menghasilkan kalus paling banyak (36.1 butir kalus dan 26.5 butir kalus) dibandingkan dengan empat asal persilangan (F1) lainnya. Asal persilangan (F1) INPARI 22 x IR83140-B-11-B menghasilkan kalus paling sedikit (3.2 butir kalus) (Tabel 7). Semua genotipe yang diuji menghasilkan kalus dengan jumlah kalus yang bervariasi tergantung dari daya tanggap mikrospora dalam antera yang dikulturkan (Dewi et al. 2009a). Sasmita et al. (2002) melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya, jumlah kalus yang dihasilkan pada kultur antera padi gogo F1 berkisar 22.0–55.0 butir kalus. Rendahnya jumlah kalus yang terbentuk pada beberapa galur tersebut, disebabkan tidak semua mikrospora dalam antera dapat diinduksi menjadi kalus. Hasil yang sama terjadi pada penelitian Safitri et al. (2010) yang melaporkan bahwa jumlah kalus yang dihasilkan dari beberapa persilangan padi gogo dan tipe baru dengan berkisar 28.1–112.2 butir kalus. Keberhasilan perlakuan induksi kalus dari penelitian Safitri et al. (2010) disebabkan latar belakang genetik sebagian tetua padi termasuk subspecies japonica. Sementara itu, keenam asal persilangan (F1) yang digunakan pada penelitian ini termasuk ke dalam subspecies indica yang kurang responsif dalam kultur antera dibandingkan padi subspecies japonica.

Perbedaan respon kultur antera antara tetua indica juga mempengaruhi respon F1 hasil persilangannya (Herath dan Bandara 2011). Grewal et al. (2011) melaporkan bahwa kultivar indica menunjukkan daya kultur antera lebih rendah (persentase pembentukan kalus hanya mencapai 1.2%) dibandingkan tetua japonica yang mencapai 20 kali lipat lebih tinggi (28.1%). Genotipe F1 yang melibatkan tetua japonica dan indica menunjukkan daya kultur antera lebih tinggi dibandingkan F1 yang hanya melibatkan tetua indica saja. Kaushal et al. (2014) telah menguji 13 genotipe padi indica (7 tetua dan 6 F1 nya) dengan perlakuan suhu rendah pada beberapa level suhu dan durasi. Respon terbaik pada penelitian ini ditunjukkan pada perlakuan suhu rendah dengan 12 0C selama 5 hari yang dapat memberikan frekuensi terbentuknya kalus mencapai 10.07-30.44%.

27 Tabel 7 Hasil induksi kalus dari enam asal persilangan (F1) padi sawah hasil

kultur antera

Asal Persilangan (F1) JK JKMT JKMTH JKMTA KTT

# (%) KTH# (%) KTA# (%) INPARI 18 x B12825E-TB-1-25 4.0c 0.2c 0.1b 0.1b 5.36 1.79 3.57 INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 3.4c 0.9c 0.2b 0.7b 27.08 6.25 20.83

INPARI 18 x IR83140-B-11-B 10.2c 2.6b 0.3b 2.3a 25.18 2.80 22.38

INPARI 22 x IR83140-B-11-B 3.2c 0.7c 0.4b 0.4b 22.22 11.11 11.11

Bio-R81 x O18-b1 26.5b 3.9a 1.7a 2.1a 14.56 6.47 8.09

Bio-R82-2 x O18-b1 36.1a 4.4a 1.7a 2.7a 12.28 4.75 7.52

Keterangan: JK = jumlah kalus; JKMT = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman (hijau dan albino); JKMTH = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau; JKMTA = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino; KTT = persentase kalus menghasilkan tanaman hijau dan albino; KTH =persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau; KTA = persentase kalus

menghasilkan tanaman albino, # tidak diuji statistik. Data ditransformasi = akar kuadrat. Angka

dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada

taraf α 5%.

Tingkat respon kultur antera pada tanaman padi dilaporkan bahwa frekuensi induksi kalus dan regenerasi tanaman telah diketahui menurun sesuai dengan urutan japonica/japonica > japonica> indica/japonica > indica/indica > indica (Guiderdoni et al. 1992; Yan et al. 1996). Secara umum, perakitan tanaman padi di Indonesia merupakan turunan dari persilangan antara subspecies indica. Namun, subspecies indica menunjukkan respon androgenesisnya sangat rendah daya kulturnya dibandingkan japonica. Subspesies indica diketahui merupakan genotipe yang rekalsitran, dengan nekrosis antera yang lebih awal, proliferasi kalus yang rendah, dan tingginya regenerasi tanaman albino (Dewi et al. 2006). Sementara itu, genotipe japonica sangat responsif terhadap kultur antera atau memiliki daya kultur yang tinggi dibandingkan indica (Bishnoi et al. 2000).

Kalus yang beregenerasi akan membentuk tanaman hijau, tanaman albino atau bahkan tidak menghasilkan tanaman sama sekali (Gambar 4). Sejalan dengan penelitian Sasmita et al. (2002) bahwa kalus embriogenik yang berwarna hijau beregenerasi menjadi tanaman hijau, sedangkan kalus yang berwarna putih bening beregenerasi menjadi tanaman albino. Sebagian besar kalus yang dihasilkan ternyata hanya sedikit yang beregenerasi menjadi tanaman hijau dan tanaman albino. Asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan F1 Bio-R81 x O18-b1 memberikan rata-rata jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau yang paling banyak yaitu 1.7 butir kalus (Tabel 7). Zhou (1996) mengungkapkan bahwa diantara genotipe bahkan subspecies terdapat perbedaan yang nyata dalam regenerasi tanaman hijau. Genotipe tanaman donor memegang peranan penting dalam keberhasilan membentuk tanaman hijau pada kultur antera padi, termasuk padi subspecies indica yang memiliki daya kultur antera yang rendah (Dewi et al. 2009a). Latar belakang genetik dari keenam asal persilangan (F1) yang digunakan pada penelitian kultur antera ini termasuk padi subspesies indica. Padi subspesies jenis ini yang merupakan genotipe rekalsitran yang sulit menghasilkan regeneran tanaman hijau, sedangkan padi subspecies japonica merupakan genotipe padi yang dikategorikan memiliki high culturability, yaitu genotipe yang mudah menghasilkan tanaman hijau (Chung 1992). Rendahnya respon androgenik padi subspecies indica dalam kultur antera berkaitan dengan nekrosis yang lebih awal atau senesen pada antera yang dihasilkan dari laju produksi etilen yang lebih tinggi dibandingkan subspecies japonica (Dewi dan Purwoko 2008).

28

Persentase kalus menghasilkan tanaman hijau ditunjukkan oleh tiga asal persilangan (F1) yaitu INPARI 22 x IR83140-B-11-B, F1 Bio-R81 x O18-b1 dan F1 Bio-R82-2 x O18-b1 masing-masing sebesar 11.11%, 6.47%, dan 6.25% lebih tinggi dibandingkan tiga genotipe F1 lainnya. Asal persilangan (F1) INPARI 18 x IR83140-B-11-B (22.38%) dan F1 INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 (20.83%) memberikan persentase tertinggi untuk jumlah kalus menghasilkan tanaman albino dibandingkan dengan empat asal persilangan (F1) lainnya (Tabel 7). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino secara umum lebih tinggi (3.57-22.38%) dibandingkan nilai persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau (1.79- 11.11%).

Tanaman padi yang diregenerasikan melalui kultur antera menghasilkan tanaman hijau dan tanaman albino (Dewi et al. 2004). Frekuensi kejadian tanaman albino yang tinggi dipengaruhi oleh genotipe yang dikulturkan (Chung 1992; Chen 1983). Zhou (1996) melaporkan bahwa tanaman albino mirip dengan tanaman hijau, namun tanaman albino defisiensi kandungan klorofil, disebabkan plastid yang tidak berkembang menjadi kloroplas dan tidak terjadinya sintesis klorofil.

Pada penelitian ini setiap asal persilangan (F1) menghasilkan jumlah tanaman yang bervariasi, baik jumlah tanaman hijau maupun jumlah tanaman albino (Tabel 8). Jumlah tanaman hijau paling banyak dihasilkan oleh asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan asal persilangan (F1) Bio-R81 x O18- b1 yaitu 7.7 tanaman (40.30%) dan 7.3 tanaman (44.16%). Jumlah tanaman yang dihasilkan dari kedua asal persilangan (F1) tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan keempat asal persilangan (F1) lainnya.

Perbedaan genotipe pada kultur antera padi akan menghasilkan kemampuan yang berbeda dalam menginduksi kalus dan meregenerasikan kalus menjadi tanaman (Dewi et al. 2006). Kisaran nilai persentase jumlah tanaman hijau yang diperoleh pada penelitian ini untuk padi indica relatif lebih baik (6.85- 55.52%). He et al. (2006) melaporkan bahwa dari tujuh varietas indica yang diuji, dihasilkan frekuensi pembentukan kalus yang bervariasi antara 3.6–51.7%, sementara efisiensi regenerasi tanaman hijau berkisar antara 1.6–82.9%. Hal ini mengindikasikan bahwa asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan F1 Bio- R81 x O18-b1 yang digunakan pada penelitian ini memiliki daya kultur antera yang cukup tinggi.

Tabel 8 Regenerasi tanaman dari enam asal persilangan (F1) padi sawah hasil kultur antera

Asal Persilangan (F1)

Jumlah Tanaman Hijau +

Albino Hijau Albino

Hijau# (%) Albino# (%) INPARI 18 x B12825E-TB-1-25 0.9c 0.2b 0.6c 24.97 75.03 INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 3.9c 0.4b 3.4bc 11.12 88.90

INPARI 18 x IR83140-B-11-B 10.4b 0.7b 9.7a 6.85 93.14

INPARI 22 x IR83140-B-11-B 1.9c 1.1b 0.9c 55.52 44.43

Bio-R81 x O18-b1 16.5ab 7.3a 9.2ab 44.16 55.84

Bio-R82-2 x O18-b1 19.1ab 7.7a 11.4a 40.30 59.70

Keterangan: # tidak diuji statistik. Data ditransformasi = akar kuadrat. Angka dalam satu kolom yang diikuti

29 Tanaman albino paling banyak dihasilkan oleh tiga asal persilangan (F1) yaitu Bio-R82-2 x O18-b1, Bio-R81 x O18-b1 dan INPARI 18 x IR83140-B-11-B berturut-turut 11.4 tanaman (59.70%), 9.7 tanaman (93.14%) dan 9.2 tanaman (55.84%) (Tabel 8). Persentase tanaman albino tertinggi dicapai oleh asal persilangan (F1) INPARI 18 x IR83140-B-11-B yaitu sebesar 93.14%, diikuti oleh asal persilangan (F1) INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 yaitu sebesar 88.90%. Kisaran nilai persentase jumlah tanaman albino yang diperoleh pada penelitian ini untuk padi indica sangat tinggi (44.43-93.14%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Talebi et al. (2007) yang melaporkan bahwa pada kultivar padi indica cenderung menghasilkan frekuensi tanaman albino lebih besar dibandingkan varietas japonica, dengan kisaran jumlah tanaman albino antara 5– 100%.

Pembentukan tanaman albino dapat ditekan dengan penggunaan poliamin, diantaranya pemberian 10-3 M Putresin (Dewi et al. 2004; Dewi dan Purwoko 2012). Beberapa strategi lain untuk meningkatkan perolehan tanaman hijau pada kultur antera subspecies padi indica, diantaranya adalah perbaikan latar belakang genetik melalui rekombinasi atau transfer gen, memanipulasi komponen media kultur terutama nitrogen dan sumber karbon, serta penyesuaian kondisi sebelum dan setelah kultur antera (da Silva 2010; Cha-Um et al. 2009).

Efisiensi Pembentukan Kalus dan Tanaman Hijau

Efisiensi pembentukan kalus untuk setiap asal persilangan (F1) yang dikulturkan dapat dihitung berdasarkan persentase jumlah kalus terbentuk terhadap jumlah antera yang ditanam. Efisiensi pembentukan kalus paling tinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R81 x O18-b1, berturut-turut sebesar 25.70% dan 16.91%. Persentase efisiensi pembentukan kalus terhadap jumlah antera terendah dicapai oleh asal persilangan (F1) INPARI 22 x R83140-B-11-B yaitu sebesar 2.13% (Tabel 9).

Tabel 9 Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi

Asal Persilangan (F1) JA (butir) EPK (%) KTT (%) Rasio TH: KMT EPTH (%) INPARI 18 x B12825E-TB-1-25 140.2 2.85 5.36 1.00 0.15 INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 146.2 2.35 27.08 0.46 0.29 INPARI 18 x IR83140-B-11-B 143.3 7.13 25.18 0.28 0.50 INPARI 22 x IR83140-B-11-B 150.9 2.13 22.22 1.50 0.71 Bio-R81 x O18-b1 156.7 16.91 14.56 1.89 4.65 Bio-R82-2 x O18-b1 140.4 25.70 12.28 1.74 5.50

Keterangan: JA= jumlah antera; EPK= efisiensi pembentukan kalus; KTT = persentase kalus menghasilkan tanaman hijau dan albino; TH:KMT= rasio tanaman hijau:KMT; EPTH=

efisiensi pembentukan tanaman hijau

Kalus yang terbentuk dalam kultur antera hanya sebagian yang menghasilkan tanaman (Gambar 4). Persentase kalus yang menghasilkan tanaman tertinggi dicapai oleh asal persilangan (F1) INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI- 12 (27.08%), INPARI 18 x IR83140-B-11-B (25.18%) dan INPARI 22 x IR83140-B-11-B (22.22%), namun rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman berturut-turut hanya sebesar 0.46, 0.28, dan 1.50. Persentase tanaman hijau yang dihasilkan dari jumlah antera pada ketiga asal persilangan (F1) tersebut berturut-turut hanya sebesar 0.29, 0.50, dan 0.71 (Tabel

30

9). Penelitian Dewi et al. (2006) melaporkan bahwa regenerasi tanaman pada kultur antera beberapa aksesi padi indica toleran aluminium dipengaruhi oleh perbedaan genotipe yang diuji.

Asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R81 x O18-b1 menunjukkan persen kalus yang menghasilkan tanaman sebesar 12.28% dan 14.56% (Tabel 9), tetapi rasio tanaman hijau terhadap kalus menghasilkan tanaman masing-masing 1.74 dan 1.89, serta persen tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasikan masing-masing sebesar 5.50, dan 4.65%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua asal persilangan (F1) tersebut dalam menghasilkan tanaman hijau lebih baik dibandingkan dengan keempat asal persilangan (F1) lainnya.

Aklimatisasi dan Tanaman Dihaploid

Tanaman padi haploid dan dihaploid dapat dibedakan dari penampilan fenotipiknya. Diantaranya melalui bentuk tanaman (stature), warna daun, bentuk daun, perkembangan anakan dan akar, pembentukan biji, serta jumlah dan ukuran stomata (Dewi dan Purwoko 2011).

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 5 Proses aklimatisasi dan pertumbuhan tanaman hijau hasil kultur antera padi di rumah kaca; (a) Aklimatisasi dengan air steril dalam tabung reaksi; (b) Aklimatisasi dengan tanah lumpur dalam bak semai; (c) Aklimatisasi dengan tanah lumpur dalam pot; (d) Tanaman haploid (kanan) dengan dihaploid (kiri) hasil aklimatisasi; (e) Penampilan tanaman dihaploid spontan hasil kultur antera

Hal ini memudahkan dalam menyeleksi tanaman dihaploid spontan pada generasi pertama (DH0) hasil kultur antera. Jumlah tanaman yang berhasil diaklimatisasi sebanyak 247 tanaman, sebanyak 156 tanaman (63.2%) yang berhasil hidup dan hanya 53 tanaman (34.0%) yang termasuk tanaman padi dihaploid. Jumlah tanaman tertinggi yang berhasil diaklimatisasi diperoleh dari

31 genotipe F1 Bio-R82-2 x O18-b1 dan F1 Bio-R81 x O18-b1 masing-masing sebanyak 108 tanaman dan 102 tanaman (Tabel 10, Gambar 5).

Tabel 10 Hasil aklimatisasi dan tanaman dihaploid yang dihasilkan pada kultur antera padi

Asal Persilangan (F1)

Jumlah Tanaman Hijau

Aklimatisasi Hidup Dihaploid Hidup

(%) Dihaploid (%) INPARI 18 x B12825E-TB-1-25 3 2 2 66.7 100.0 INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 5 4 4 80.0 100.0 INPARI 18 x IR83140-B-11-B 6 4 0 66.7 0.0 INPARI 22 x IR83140-B-11-B 23 19 0 82.6 0.0 Bio-R81 x O18-b1 102 51 21 50.0 41.2 Bio-R82-2 x O18-b1 108 76 26 70.4 34.2 Total 247 156 53 63.2 34.0

Asal persilangan (F1) INPARI 22 x IR83140-B-11-B memberikan nilai persentase keberhasilan aklimatisasi tertinggi, yaitu 82.6% (19 tanaman), diikuti oleh asal persilangan (F1) INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 sebanyak 4 tanaman (80.0%) (Tabel 10). Pada variabel jumlah tanaman yang hidup, asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 memberikan jumlah tanaman hidup paling banyak sebanyak 76 tanaman (70.4%).

Asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 juga memberikan jumlah tanaman dihaploid yang paling banyak sebanyak 26 tanaman (34.2%). Asal persilangan (F1) Bio-R81 x O18-b1 menghasilkan tanaman hijau yang hidup sebanyak 51 tanaman (50.0%) dan tanaman yang dihaploid sebanyak 21 tanaman (41.2%). Dari keenam asal persilangan (F1) yang diuji hanya empat asal persilangan (F1) yang menghasilkan tanaman dihaploid, dengan total 53 tanaman dihaploid yaitu berasal dari asal persilangan (F1) INPARI 18 x B12825E-TB-1-25 (2 tanaman), INPARI 18 x IR87705-14-11-B-SKI-12 (4 tanaman), Bio-R81 x O18-b1 (21 tanaman), dan Bio-R82-2 x O18-b1 (26 tanaman). Rendahnya jumlah tanaman dihaploid yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan oleh faktor genetik dan rendahnya keberhasilan aklimatisasi di rumah kaca (Safitri et al. 2010).

Simpulan

Seleksi indeks berdasarkan variabel respon toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit selama 42 HST dan respon daya tumbuh kembali diperoleh lima genotipe terbaik yaitu IR83140-B-11-B, IR87705-14-11-B-SKI-12, INPAGO 8, B12825E-TB-1-25 dan IR87706-215-B-B-B. Terpilih tiga genotipe (IR83140-B-11-B, B12825E-TB-1-25, dan IR87705-14-11-B-SKI-12) sebagai calon tetua padi sawah tadah hujan yang memiliki toleransi terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit dan daya tumbuh kembali yang baik.

Hasil penelitian kultur antera enam asal persilangan (F1) menunjukkan bahwa keenam asal persilangan (F1) tersebut memberikan respon yang bervariasi. Asal persilangan (F1) Bio-R82-2 x O18-b1 dan Bio-R8 x O18-b1 menghasilkan respon induksi kalus dan regenerasi tanaman paling baik. Kedua asal persilangan (F1) tersebut juga memberikan jumlah tanaman tertinggi yang berhasil diaklimatisasi sebanyak 108 tanaman dan 102 tanaman. Sebanyak 53 tanaman dihaploid (34.0% dari total tanaman hijau) telah berhasil diidentifikasi.

32

4

EVALUASI DAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI

GALUR DIHAPLOID PADI GENERASI PERTAMA (DH

0

)

Abstrak

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik terhadap karakter agronomi dan hasil galur-galur dihaploid. Percobaan dilakukan, di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor pada bulan September 2014 sampai Januari 2015. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua ulangan. Percobaan menguji 60 genotipe dihaploid hasil kultur antera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya keragaman karakter agronomi dan hasil antara genotipe dihaploid yang diuji. Karakter-karakter yang diamati memiliki variabilitas genetik luas, kecuali hasil gabah kering per rumpun (HGKR). Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yaitu, tinggi tanaman (TT), panjang daun bendera (PDB), panjang malai (PM), umur 50% berbunga (UB), umur panen (UP), jumlah gabah hampa per malai (JGHM), dan bobot 1000 butir (B1000). Karakter yang memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu, jumlah anakan produktif (JAP), jumlah gabah isi per malai (JGIM), persentase gabah isi per malai (PGI), dan hasil gabah kering per rumpun (HGKR). Hasil gabah kering per rumpun berkorelasi positif nyata dengan TT, JAP, PDB, JGIM, PGI, dan B1000, dan berkorelasi negatif nyata dengan JGHM. Analisis sidik lintas memberikan informasi yang berguna dalam penetapan kriteria seleksi. Hasil analisis sidik lintas menunjukkan bahwa karakter TT, JAP, PGI, B1000, PDB dan JGIM memiliki nilai koefisien lintas yang positif dengan nilai sumbangan terhadap karakter hasil gabah per rumpun baik secara langsung maupun tidak langsung yang berbeda- beda. Seleksi indeks dilakukan berdasarkan hasil analisis sidik lintas. Karakter PGI, JAP, B1000 dan TT terpilih sebagai kriteria seleksi yang efektif, karena karakter tersebut memberikan nilai sumbangan pengaruh langsung yang besar terhadap HGKR. Berdasarkan nilai indeks terboboti diperoleh 19 galur dihaploid yang memiliki nilai indeks tertinggi dan berpotensi untuk dievaluasi di lahan sawah tadah hujan.

Kata kunci: Dihaploid, heritabilitas, korelasi, sawah tadah hujan, variabilitas genetik

Abstract

The objectives of this research were to obtain information on the genetic parameters of agronomic and yield characters of doubled haploid lines. An experiment was carried out in BB Biogen green house, Bogor from September 2014 to January 2015. The experiment was arranged in completely randomized

Dokumen terkait