• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERBANDINGAN HASIL SIMULASI NUMERIS

B. Hasil Metode Beda Hingga Grid Selang-Seling

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

8 BAB II

TEORI PERSAMAAN DIFERENSIAL

Pada bab ini akan dibahas klasifikasi persamaan diferensial, aturan rantai, integral, penurunan numeris, nilai dan vektor eigen, persamaan diferensial hiperbolik, karakteristik persamaan akustik, bentuk umum hukum kekekalan, domain dependen dan range influence untuk persamaan hiperbolik, kondisi CFL, serta matriks Jacobian. Penjabaran dalan bab ini akan menjadi landasan teori bagi Bab III dan Bab IV.

A. Klasifikasi Persamaan Diferensial

Suatu persamaan menyatakan relasi kesetimbangan antara dua hal. Persamaan diferensial adalah suatu persamaan menyatakan hubungan suatu fungsi terhadap turunan-turunannya. Klasifikasi persamaan diferensial bisa didasarkan pada banyaknya variabel bebas yang terlibat, orde persamaan diferensial, dan berdasarkan sifat linear/nonlinear.

1. Klasifikasi berdasarkan variabel bebas yang terlibat

Fungsi bisa mempunyai satu variabel bebas atau lebih. Jika fungsi hanya mempunyai satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial biasa. Jika fungsi mempunyai lebih dari satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial parsial.

Contoh 2.1

Contoh persamaan diferensial biasa (Ross, 1989)

+ ( ) = .

Persamaan di atas merupakan contoh persamaan diferensial biasa. Terlihat bahwa variabel adalah variabel bebas tunggal dan adalah variabel tidak bebas.

Contoh 2.2

Contoh persamaan diferensial parsial

+ = .

Persamaan di atas merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial. Terlihat bahwa variabel dan adalah variabel bebas dan adalah variabel tidak bebas.

2. Klasifikasi berdasarkan orde persamaan diferensial

Orde persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan fungsi yang terlibat dalam persamaan diferensial. Persamaan diferensial biasa contoh 2.1 mempunyai orde dua, sebab turunan tertinggi dari fungsi yang terlibat adalah turunan kedua. Persamaan diferensial parsial contoh 2.2 mempunyai orde satu.

3. Klasifikasi berdasarkan sifat linear/nonlinear

Persamaan diferensial dapat terbagi menjadi dua, yaitu linear dan nonlinear. Persamaan diferensial biasa linear orde dengan variabel tak bebas dan variabel bebas adalah persamaan diferensial yang dapat dinyatakan dalam bentuk:

+ + + + = ,

dimana tidak sama dengan nol. Jadi, linear disini adalah linear terhadap variable tak bebas dan turunan-turunannya. Persamaan diferensial di atas linear, sebab tidak ada perkalian antara fungsi dan atau dengan turunannya, dan tidak ada fungsi transendental dari atau turunannya.

Contoh 2.3

Persamaan diferensial biasa berikut keduanya linear

+ + = ,

+ + = .

Persamaan diferensial biasa nonlinear adalah persamaan diferensial biasa yang tak linear.

Contoh 2.4

+ + = ,

+ ( ) + = ,

+ + = .

B. Aturan Rantai

Aturan rantai merupakan cara yang digunakan untuk mendiferensialkan suatu fungsi komposisi.

1. Aturan Rantai Kasus I (Leithold, 1986)

Misalkan fungsi dalam , didefinisikan oleh persamaan = , ada dan fungsi dalam didefinisikan oleh persamaan = dengan ada, maka merupakan fungsi dalam , ada dan memenuhi:

= ∙

atau

= ∙ .

Contoh 2.5

Carilah ⁄ dari persamaan = − dan = +

Penyelesaian:

= ( ) . ( )

= ∙

= .

Karena = + , diperoleh

= + .

2. Aturan Rantai Kasus II

Berikut ini merupakan aturan rantai untuk fungsi dua variabel dengan masing-masing variabel juga merupakan fungsi dua variabel. Misalkan fungsi dalam dan , didefinisikan oleh persamaan = , , dan = , , =

, dengan

,

,

,

dan

semuanya ada. Maka juga merupakan fungsi dalam dan , dan memenuhi:

= ( ) ( ) + ( ) ( ) = ( ) ( ) + ( ) ( ). Contoh 2.6

Misalkan = , dengan = dan = . Tentukan ⁄

Penyelesaian:

= ( ) ( ) + ( ) ( )

= +

= +

=

C. Integral

Ada dua macam integral, yaitu integral tak tentu dan integral tentu.

1. Integral Tentu

Definisi 2.1

Sebuah fungsi disebut antiturunan pada interval jika = pada , yakni jika = untuk dalam .

Teorema (Varberg Purcell Rigdon, 2007)

Jika adalah sebarang bilangan rasional kecuali − , maka

∫ = + + .+

Bukti:

Untuk membuktikan = , maka akan dicari turunan untuk ruas kanan

[ + + ] = ++ + = .

Contoh 2.7 (Anton, 2012)

Fungsi = adalah antiturunan dari = pada interval −∞, +∞

karena untuk semua di interval

= [ ] = = .

Namun, = bukan satu-satunya antiturunan dari pada interval. Jika ditambahkan sebarang konstan ke , maka fungsi = + juga antiturunan dari pada interval −∞, +∞ , sebab

= [ + ] = + = .

Pada umumnya setiap antiturunan merupakan suatu yang tunggal, antiturunan lainnya dapat diperoleh dengan menambahkan suatu konstanta untuk antiturunan yang diketahui. Dengan demikian,

, + , − , + √

merupakan antiturunan dari = .

2. Integral Tentu

Luas Daerah (Martono, 1999)

Pada Gambar 2.1 (a) daerah di bidang yang dibatasi grafik fungsi kontinu , garis = , garis = , dan sumbu , dengan pada [ , ], ditulis

Dengan menggunakan limit, luas daerah dihitung dengan langkah konstruksi sebagai berikut:

1. Selang tertutup [ , ] dibagi menjadi bagian yang sama panjang, sehingga

diperoleh titik pembagian

= < < < < < < < = .

Himpunan titik-titik pembagian = { , , , … , } dinamakan partisi untuk

[ , ]. Selang bagian ke- dari partisi adalah [ , ], = , , … , , dan panjang selangnya adalah ∆ = − . Panjang partisi didefinisikan sebagai || || = max≤ ≤ ∆ .

2. Pilih [ , ], = , , … , kemudian dibuat persegi panjang dengan ukuran

alas = ∆ = − , = , , … , ,

dan

Gambar 2.1 (a) Ilustrasi kurva fungsi Gambar 2.1 (b) Ilustrasi partisi kurva fungsi

tinggi = , [ , ], = , , … , .

Luas persegi panjang ke- pada Gambar. 2.1 (b) adalah ∆ = ∆ , sehingga luas daerah yang dihampiri oleh buah persegi panjang adalah

Luas ≈ ∑ ∆

=

.

3. Nilai eksak luas daerah dicapai bila ∞. Untuk partisi yang setiap

selang bagiannya sama panjang, ∞ sama artinya dengan || || , sehingga

Luas = lim∑ ∆ = lim||�|| ∑ ∆

= =

. Definisi 2.2

Integral tentu dari fungsi pada selang tertutup [ , ], ditulis dengan lambang ∫ , didefinisikan sebagai ∫ = lim||�||= ∆ .

D. Penurunan Numeris

Salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan diferensial adalah dengan menggunakan metode beda hingga. Metode ini menggunakan pendekatan ekspansi Taylor di titik acuannya. Deret Taylor dapat memberikan nilai hampiran bagi suatu fungsi pada suatu titik, berdasarkan nilai fungsi dan derivatifnya, dipandang deret Taylor pada persamaan (2.1), yaitu:

+ ≈ + ℎ + ′′ ! ℎ + ′′′! ℎ + + !

+ ,

(2.1)

dengan adalah:

= ++ ! ℎ + , ℎ = + − .

Penurunan numeris pada metode beda hingga dapat diambil salah satu dari tiga pendekatan, yaitu

1. Beda maju Dipandang = + ++ + (2.2) atau = ℎ + ℎ , (2.3) dengan ∆ = + − .

Persamaan (2.2) dan (2.3) menggunakan data ke- dan + untuk menghampiri turunan pertama dari . Persamaan ini disebut aproksimasi diferensiasi maju dari turunan pertama.

turunan sebenarnya

aproksimasi

+

2. Beda mundur Dipandang

= − ℎ + ′′ ! ℎ − (2.4)

Persamaan (2.4) merupakan deret Taylor yang diperluas mundur untuk menghitung nilai sebelumnya menggunakan nilai sekarang. Deret (2.4) dipotong setelah suku turunan pertama, maka diperoleh:

+ ℎ = ℎ + ℎ , (2.5)

dengan = − .

Persamaan (2.5) merupakan aproksimasi diferensiasi beda mundur dari turunan pertama.

3. Beda Pusat

Akan dikurangkan persamaan (2.29) dari deret maju Taylor (2.26), maka:

+ = ( − ) − ℎ + ℎ + ′′ ! ℎ − ′′ ! ℎ − ′′′ ! ℎ − turunan sebenarnya aproksimasi

Setelah beberapa perhitungan dan operasi aljabar, maka diperoleh + = + ℎ + ′′′! ℎ + (2.6) = + ′′′ ℎ + (2.7) atau = + − ℎ . (2.8)

Persamaan (2.8) merupakan aproksimasi diferensiasi tengah (pusat) dari turunan pertama.

Contoh 2.8

Gunakan aproksimasi beda maju, beda mundur dan beda pusat untuk menghampiri turunan pertama dari:

= − . − . − . − . + .

Pada titik = . dengan ukuran langkah ℎ = . . Turunan dari dapat dihitung secara langsung, yakni:

= − . − . − . − . ,

sehingga nilai eksak . = − . . Untuk ℎ = . , maka: turunan sebenarnya aproksimasi +

= = .

= . = .

+ = + = .

Aproksimasi beda maju dari persamaan (2.27), yaitu:

. = . − .. = − .

dengan error relatif sebesar � = − . %.

Aproksimasi beda mundur dari persamaan (2.30), yaitu:

. ≈ . .− . = − .

dengan error relatif sebesar � = . %.

Aproksimasi beda pusat dari persamaan (2.33), yaitu:

. ≈ . − . = −

dengan error relatif sebesar � = − . %.

Terlihat bahwa aproksimasi beda pusat memberikan hampiran bagi turunan pertama dengan error yang paling kecil, artinya aproksimasi beda pusat ini memberikan penyelesaian yang paling mendekati nilai eksaknya. Teori tentang penurunan numeris ini merujuk dari buku Setiawan (2006)

E. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Bagian ini menjelaskan pengertian nilai eigen dan vektor eigen suatu matriks.

Definisi 2.3 (Leon, 2001)

Misalkan � adalah suatu matriks × . Skalar � disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari � jika terdapat suatu vektor taknol �, sehingga �� = ��. Vektor � disebut vektor eigen atau vektor karakteristik dari �.

Contoh 2.9

Misalkan

� = − dan � =

dapat dilihat bahwa

�� = = = = �

dengan demikian � = adalah nilai eigen dari � dan � = , merupakan

vektor eigen dari �. Sebarang kelipatan taknol dari � akan menjadi vektor eigen, karena

� �� = ��� = ��� = � �� .

Jadi, , juga vektor eigen milik � = .

= = .

Misalkan � adalah matriks × dan � adalah suatu skalar, persamaan

�� = �� dapat ditulis dalam bentuk

� − � � = . (2.9)

det � − � =

dapat ditentukan sebuah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks �.

Contoh 2.10

Carilah nilai-nilai eigen dan vektor eigen yang bersesuaian dari matriks

� = − .

Penyelesaian: Persamaan karakteristiknya adalah

| − � − − �| = atau λ − � − = .

Jadi, nilai-nilai eigen dari � adalah � = dan � = − . Untuk mencari vektor eigen yang dimiliki oleh � = , harus ditentukan ruang nol dari � − .

� − = − − .

Dengan menyelesaikan � − � = , dengan � = x , x , akan didapatkan

� = x , x .

Jadi semua kelipatan taknol dari , adalah vektor eigen milik � dan { , }

adalah suatu basis untuk ruang eigen yang bersesuaian dengan � . Dengan cara yang sama, untuk mendapatkan vektor eigen bagi � , harus diselesaikan

� + � = .

Pada kasus ini { − , } adalah basis untuk � + dan sembarang kelipatan taknol dari − , adalah vektor eigen yang bersesuaian � .

F. Persamaan Diferensial Hiperbolik

Sistem hiperbolik pada persamaan diferensial parsial dapat digunakan untuk memodelkan berbagai macam fenomena yang melibatkan gerakan gelombang. Masalah yang diangkat umumnya tergantung pada waktu, sehingga solusinya tergantung pada waktu serta satu atau lebih variabel spasial. Dalam ruang dimensi satu, sistem orde pertama persamaan diferensial parsial homogen di

dan memiliki bentuk

, + � , = , (2.10)

disini : ℝ × ℝ ℝ adalah vektor dengan komponen yang mewakili fungsi yang tidak diketahui (tekanan, kecepatan, dan lainnya) yang akan ditentukan, dan

� adalah sebuah matriks konstan yang berukuran × .

G. Karakteristik Persamaan Akustik

Dipandang persamaan akustik

+ � = , (2.11)

+ � = . (2.12)

Persamaan di atas dapat ditulis ulang dengan memperkenalkan vektor seperti yang terlihat pada persamaan (2.13)

+ � = , (2.13)

Nilai eigen dan vektor eigen berkorespondensi dengan matriks �

dilambangkan , dan ̅ , ̅ masing-masing. Matriks dan adalah matriks eigen didefinisikan pada persamaan (2.14)

= ̅ ̅ , = ( ). (2.14)

Asumsikan matriks � mempunyai dua nilai eigen real berbeda dengan persamaan diagonalisasi dari matriks � dapat dilihat pada persamaan (2.15)

� = . (2.15)

Menggunakan sifat diagonalisasi, maka persamaan (2.15) dapat ditulis ulang menjadi:

+ =

atau

+ = .

Substitusi variabel = = hasil pada persamaan akhir dipisahkan (2.16)

+ =

(2.16)

+ = .

Persamaan (2.11) dan (2.12) dalam bentuk (2.12) dengan = ,

� = ( ). Nilai eigen , dan berkorespondensi vektor eigen ̅ , ̅

= ̅ = �

(2.17)

= − ̅ = −�

Solusi persamaan adveksi (2.13), ditulis dalam variabel baru berjalan dengan kecepatan dan − . Solusi variabel baru = terdiri dari dua gelombang yang sesuai dengan masing-masing komponen , yaitu berjalan dengan kecepatan dan berjalan dengan kecepatan − .

H. Bentuk Umum Hukum Kekekalan

Dalam ruang dimensi satu, metode volume hingga didasarkan pada membagi domain spasial ke dalam interval (grid sel) dan mengaproksimasi integral untuk masing-masing volume grid sel tersebut. Dalam setiap langkah waktu, nilai-nilai integral tersebut diperbaharui dengan melakukan pendekatan terhadap fluks di titik akhir interval.

Misal sel ke- dinotasikan dengan = ( − ⁄ , + ⁄ ), yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Nilai akan mengaproksimasi dengan nilai rata-rata sepanjang interval ke- pada waktu :

≈ ∆ ∫ �+ ⁄ ,

�− ⁄ ≡ ∆ ∫ , ,

(2.18)

dengan ∆ = + ⁄− ⁄ adalah panjang sel.

Jika , adalah sebuah fungsi halus, maka integral (2.18) sesuai dengan nilai dari pada titik tengah dari interval ke ∆ .

Dipandang hukum kekekalan

∫ , = − .

Bentuk integral dari hukum kekekalan di atas memberikan

∫ ,

= ( − ⁄ , ) − ( + ⁄ , ) . (2.19)

Dapat digunakan bentuk ini untuk membangun suatu algoritma. Diberikan , rata-rata sel pada waktu , akan mengaproksimasi + , rata-rata sel pada waktu

selanjutnya + dengan panjang langkah waktu ∆ = + − . Integralkan (2.19) pada waktu sampai + diperoleh

∫ , + − ∫ , = ∫ �+ − ⁄ , − ∫ �+ ( + ⁄ , ) .

Persamaan di atas dibagi dengan ∆ , maka diperoleh

+

+

− ⁄

+

+ ⁄

Gambar 2.3. Ilustrasi metode volume hingga untuk memperbaharui rata-rata sel oleh fluks pada tepi sel, pada ruang − .

∆ ∫ , + = ∆ ∫ , − ∆ [∫�+ ( + ⁄ , ) − ∫ �+ ( − ⁄ , ) ]. (2.20)

Hal ini memberitahu bahwa rata-rata dari (2.18) harus diperbaharui dalam satu langkah waktu. Secara umum, tidak bisa ditentukan secara langsung integral waktu pada sisi kanan (2.20), karena ± ⁄ , bervariasi terhadap waktu sepanjang setiap tepi sel dan tidak ada solusi eksaknya, tetapi ini menunjukkan bahwa harus dipelajari metode numerik dalam bentuk

+ = −Δ (Δ + ⁄− ⁄ ), (2.21)

dengan − ⁄ adalah aproksimasi rata-rata fluks sepanjang = − ⁄ :

− ⁄ ≈ ∆ ∫ �+ ( − ⁄ , ) .

Jika mengaproksimasi rata-rata fluks berdasarkan pada nilai , maka diperoleh metode yang sepenuhnya diskret.

Misalkan − ⁄ dapat dihasilkan dengan hanya bergantung pada nilai dan , rata-rata sel pada kedua sisi dari interface ini. Maka

− ⁄ = Ӻ , ,

dengan Ӻ adalah suatu fungsi fluks. Metode (2.21) menjadi

Metode tertentu yang diperoleh tergantung pada pemilihan rumus Ӻ, tetapi secara umum metode ini merupakan metode eksplisit stensil tiga titik, yang berarti bahwa nilai + akan bergantung pada tiga nilai

, , dan + pada level

waktu sebelumnya. Metode (2.22) dapat dilihat sebagai aproksimasi beda hingga untuk hukum kekekalan + = , yang memberikan

+

+ + ⁄

− ⁄

= . (2.23)

I. Domain Dependen dan Range Influence untuk Persamaan Hiperbolik

Domain dependen pada titik �, didefinisikan sebagai berikut:

� �, = {� − � : = , , … , },

dengan �, adalah titik yang ditetapkan pada ruang-waktu dan � adalah

kecepatan gelombang, ilustrasi domain dependen dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Sekarang fokus pada titik tunggal pada waktu = . Pilihan data pada saat ini hanya akan mempengaruhi sinar karakteristik + � untuk = , , … , .

�,

(a) � − � � − � � − �

+ � + � + �

(b)

Gambar 2.4. Sistem hiperbolik khusus tiga persamaan dengan � < < � < � , (a) menunjukkan domain dependen dari titik �, , dan (b) menunjukkan range influence titik .

Himpunan titik-titik ini disebut range influence titik , yang diilustrasikan pada Gambar 2.4 (b).

J. Kondisi CFL

Kondisi CFL merupakan syarat perlu yang harus dipenuhi oleh metode volume hingga atau metode beda hingga jika diinginkan solusi yang stabil dan konvergen ke solusi persamaan diferensial, yaitu ketika grid diperkecil atau ∆

diperkecil.

Dengan metode eksplisit (2.22) nilai + hanya bergantung pada tiga

nilai , , dan + pada waktu sebelumnya. Misal pengaplikasian metode

tersebut untuk persamaan adveksi + ̅ = dengan ̅ > sehingga penyelesaian eksaknya hanya didefinisikan pada kecepatan ̅ dan bergerak sejauh

̅∆ dalam satu langkah waktu. Gambar 2.5 (a) menunjukkan situasi dimana

̅∆ < ∆ , sehingga informasi yang menyebar kurang dari satu grid sel dalam langkah waktu. Dalam hal ini, akan mendefinisikan fluks pada − ⁄ di dan

saja. Pada Gambar 2.5 (b), sebuah langkah waktu yang besar dengan ̅∆ > ∆ . Pada kasus ini, fluks pada − ⁄ jelas bergantung pada nilai , dan

menjadi rata-rata sel baru + . Metode (2.22) akan tidak stabil ketika

diaplikasikan untuk langkah waktu yang besar, tidak peduli bagaimana fluks (2.21) harus ditentukan, jika fluks numeris ini hanya bergantung pada dan

Hal ini merupakan akibat dari kondisi CFL, yang dinamai atas Courant, Friedrichs, dan Lewy. Mereka menulis paper pertama mengenai metode beda hingga untuk persamaan diferensial parsial. Mereka menggunakan metode beda hingga sebagai alat analitik untuk membuktikan keberadaan dari solusi eksak persamaan diferensial parsial. Idenya adalah untuk mendefinisikan barisan dari aproksimasi penyelesaian (menggunakan metode beda hingga), membuktikan bahwa mereka konvergen ketika grid diperkecil, dan menunjukkan bahwa limit fungsinya memenuhi persamaan diferensial parsial, memberikan keberadaan dari suatu solusi. Dalam proses membuktikan konvergensi barisan ini, mereka mengakui kondisi stabilitas yang diperlukan untuk setiap metode numeris:

Kondisi CFL: Suatu metode numeris akan konvergen hanya jika domain

dependen numerisnya memuat domain dependen sebenarnya dari persamaan diferensial parsial, setidaknya limit dan menuju ke nol.

+ − ⁄ (a) + − ⁄ (b)

Gambar 2.5. Karakteristik untuk persamaan adveksi, menunjukkan informasi yang mengalir ke dalam sel selama langkah waktu tunggal. (a) Untuk langkah waktu yang cukup kecil, fluks pada − ⁄ hanya bergantung pada nilai-nilai sel

didekatnya, yaitu hanya bergantung pada pada kasus ini ̅ > . (b) Untuk langkah waktu yang cukup besar, fluks akan bergantung pada nilai-nilai yang lebih jauh.

Domain dependen � �, untuk persamaan diferensial parsial telah didefinisikan pada subbab sebelumnya. Domain dependen numeris dari metode dapat didefinisikan dengan cara yang sama sebagai himpunan titik-titik dimana data awal mungkin dapat mempengaruhi solusi numeris pada titik �, . Ilustrasi ini mudah untuk menggambarkan metode beda hingga dimana nilai titik demi titik dari digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 untuk metode tiga titik. Pada Gambar 2.6 (a) terlihat bahwa bergantung pada

, , + dan juga pada , . . . , + . Hanya data awal pada interval � − ∆ � + ∆ dapat mempengaruhi solusi numeris di �, = , . Jika grid diperkecil dengan faktor kedua dalam ruang dan waktu ∆ = ∆ ⁄ , tapi selanjutnya akan fokus pada titik �, , maka lihat Gambar 2.6 (b) bahwa aproksimasi numeris pada titik tersebut bergantung pada data awal di lebih banyak titik pada interval � − ∆ � + ∆ . Tapi ini interval yang sama dengan sebelumnya. Jika terus menyempurnakan grid dengan rasio

∆ ∆⁄ ≡ yang tetap, maka domain dependen numeris dari titik �, adalah

� − ⁄ � + ⁄ . Agar kondisi CFL dipenuhi, domain dependen dari penyelesaian harus berada dalam interval ini. Untuk persamaan adveksi +

̅ = , misalnya � �, adalah titik tunggal � − ̅ , karena �, = ̆ � − ̅ . Kondisi CFL kemudian mengharuskan

� − ⁄ � − ̅ � + ⁄

dan karena

Rasio di atas disebut bilangan CFL, atau biasanya disebut bilangan Courant. Diingat bahwa merupakan syarat perlu kestabilan; artinya meskipun syarat ini dipenuhi, syarat ini tidak menjamin suatu kestabilan. Akan tetapi metode numeris yang stabil, pasti memenuhi syarat ini.

K. Matriks Jacobian

Matriks Jacobian dari sistem persamaan (Muqtadiroh, Fatmawati, dan Windarto, 2013) { = ( , , … , ), = ( , , … , ), = ( , , … , ), = (b)

Gambar 2.6. (a) Domain dependen numeris dari titik grid ketika menggunakan metode beda hingga eksplisit, dengan jarak ∆ . (b) Pada grid yang lebih halus jaraknya ∆ = ∆ .

=

(a)

adalah = ( … ⋱ … ) .

Adapun determinan dari matriks (Yoman, 2014), yaitu

| | = | , … , |., … , Contoh 2.11

Dipandang sistem persamaan

= +

= − .

Sistem tersebut mempunyai matriks Jacobian

= ( − )

dengan determinan dari matriks adalah

BAB III

PERSAMAAN AKUSTIK DAN METODE NUMERISNYA

Pada bab ini akan dibahas hukum kekekalan, hukum kekekalan dan persamaan diferensial, persamaan adveksi, persamaan nonlinear dalam dinamika fluida, akustik linear, gelombang suara, persamaan gelombang orde kedua, pecahnya membran dalam pipa, metode beda hingga, metode volume hingga Lax-Friedrichs, serta residual lokal lemah.

A. Hukum Kekekalan

Sebuah sistem linear berbentuk

+ � = , (3.1)

dikatakan hiperbolik jika × matriks � dapat didiagonalisasi dengan nilai eigen real. Contoh paling sederhana dari hukum kekekalan satu dimensi adalah persamaan diferensial parsial

, + , =

dengan adalah fungsi fluks. Dapat ditulis ulang dalam bentuk kuasilinear

+ = . (3.2)

Bahkan masalah linear

, + � , = (3.3)

adalah hukum kekekalan dengan fungsi fluks linear = � . Banyak masalah fisika menimbulkan hukum kekekalan nonlinear dengan adalah fungsi nonlinear dari , sebuah vektor dari kuantitas kekal.

Hukum kekekalan biasanya muncul paling alami dari hukum-hukum fisika dalam bentuk integral, yang menyatakan bahwa untuk setiap dua titik dan ,

∫ , = ( , ) − ( , ). (3.4)

Setiap komponen dari mengukur massa jenis beberapa kuantitas kekal, dan persamaan (3.4) hanya menyatakan bahwa massa total kuantitas ini diantara dua titik dapat berubah hanya karena fluks melewati titik akhir.

Sebuah alat mendasar dalam pengembangan metode volume hingga adalah masalah Riemann, yang merupakan persamaan hiperbolik bersama-sama dengan data awal khusus. Data yang sesepenggal konstan dengan lompatan diskontinuitas di beberapa titik, misalkan =

, = { jika < ,

jika > . (3.5)

Jika dan merupakan rata-rata sel di dua sel grid berdekatan pada grid

volume hingga, maka dengan memecahkan masalah Riemann dengan =

dan = , akan diperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menghitung fluks numeris dan memperbarui rata-rata sel selama langkah waktu. Untuk sistem hiperbolik linear, masalah Riemann mudah diselesaikan dengan nilai eigen dan vektor eigen matriks �.

B. Hukum Kekekalan dan Persamaan Diferensial

Untuk melihat bagaimana hukum kekekalan timbul dari prinsip-prinsip fisika, akan dimulai dengan mempertimbangkan masalah dinamika fluida, dimana gas atau cairan mengalir melalui pipa satu dimensi dengan kecepatan yang dikenal

, , yang diasumsikan bervariasi hanya atas jarak sepanjang pipa dan waktu . Biasanya masalah dinamika fluida harus menentukan gerak cairan, yaitu fungsi kecepatan , sebagai bagian dari solusi, tapi akan diasumsikan ini sudah diketahui dan hanya model konsentrasi atau kepadatan beberapa zat kimia dalam cairan ini. Misalkan , merupakan konsentrasi pelacak, fungsi ini yang akan ditentukan.

Secara umum, konsentrasi harus diukur dalam satuan massa per satuan volume, misalnya gram per meter kubik, tetapi dalam mempelajari pipa satu dimensi dengan variasi hanya di , dianggap yang diukur dalam satuan berat per satuan panjang, misalnya gram per meter. Kepadatan ini dapat diperoleh dengan mengalikan kepadatan tiga dimensi dengan luas penampang pipa (satuan meter persegi). Kemudian

∫ , (3.6)

merupakan massa total pelacak di bagian pipa antara dan pada waktu , dan memiliki satuan massa.

Perhatikan bagian pipa < < dan bahwa integral (3.6) berubah terhadap waktu. Misalkan menjadi tingkat dimana pelacak mengalir

melewati titik tetap untuk = , (diukur dalam gram per detik). Akan digunakan konvensi yang > untuk aliran yang mengalir ke kanan, sedangkan < berarti untuk fluks ke kiri, dari | | gram per detik. Massa total di bagian [ , ] berubah hanya karena fluks pada titik akhir, diperoleh

∫ , = − . (3.7)

Perhatikan bahwa + dan − keduanya merupakan fluks.

Persamaan (3.7) adalah dasar bentuk integral dari hukum kekekalan. Laju perubahan dari massa total melalui titik akhir ini adalah dasar dari kekekalan. Akan ditentukan fluks fungsi terkait dengan , , sehingga akan diperoleh persamaan yang bisa dipecahkan untuk . Dalam kasus aliran fluida, fluks pada setiap titik pada waktu hanya diberikan oleh massa jenis , dan kecepatan , :

fluks pada , = , , . (3.8)

Kecepatan disini memberitahukan seberapa cepat partikel bergerak melewati titik (dalam meter per detik), dan massa jenis menerangkan berapa gram cairan kimia yang terkandung, sehingga produk diukur dalam gram per detik.

Misalnya , adalah fungsi yang diketahui, maka fungsi fluks bisa ditulis sebagai

fluks = , , = , . (3.9)

Secara khusus, jika kecepatan tidak bergantung pada dan , sehingga , = ̅ adalah sebuah konstan, maka dapat ditulis

fluks = = ̅ . (3.10) Disini, fluks pada setiap titik dan waktu dapat ditentukan langsung dari nilai kuantitas kekal pada titik, dan tidak tergantung sama sekali pada lokasi dalam ruang waktu. Dalam hal ini, persamaan disebut otonom. Persamaan otonom banyak muncul dalam banyak aplikasi dan lebih sederhana untuk menangani persamaan non otonom atau variabel-koefisien. Untuk persamaan otonom fluks hanya bergantung pada nilai , maka hukum kekekalan (3.7) ditulis ulang sebagai

∫ , = ( , ) − ( , ). (3.11)

Sisi kanan dari persamaan ini dapat ditulis ulang dengan menggunakan notasi standar dari kalkulus:

∫ , = − , | . (3.12)

Asumsikan bahwa dan adalah fungsi halus, maka persamaan dapat ditulis ulang menjadi

∫ , = − ∫ , , (3.13)

dengan beberapa modifikasi lebih lanjut,

∫ [ , + , ] = . (3.14)

Misalnya integral (3.14) harus bernilai nol untuk semua nilai dan , maka integral harus identik dengan nol. Persamaan diferensial menjadi

, + ( , ) = . (3.15) Persamaan (3.15) disebut bentuk diferensial hukum kekekalan, dan bisa ditulis ulang menjadi:

, + , = . (3.16)

Berikut merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial hukum kekekalan: 1. Persamaan adveksi dengan = dan = . yaitu:

+ = ,

dengan konstan.

Persamaan di atas memodelkan aliran zat dengan kecepatan .

Dokumen terkait