• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

5.1. Hasil

5.1.1. Perubahan Lahan Hutan Mangrove Menjadi Lahan Berbagai Peruntukan Berdampak pada Produksi Perikanan

Kondisi hutan mangrove pada tahun 2001 seluas 13.869 Ha, namun kini kondisinya sudah sangat memprihatinkan akibat dikonversi untuk berbagai kegiatan perekonomian, dan pada saat ini (tahun 2007) luas hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang hanya tinggal 4.525 Ha, ini berarti kerusakan hutan mangrove setiap tahunnya berkisar 1557,3 Ha, salah satu dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan mangrove adalah penurunan produksi perikanan pada tahun 2004 sebanyak 41.521,60 ton sedangkan produksi perikanan pada tahun 2005 sebanyak 20.204,60 ton, ini berarti produksi perikanan mengalami penurunan yang sangat besar.

Tabel 14. Perkembangan Produksi Perikanan di 4 Kecamatan Pesisir Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004 – 2008

Perkembangan Produksi Perikanan

No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 1 Tangkapan dari laut (ton) 37,225.40 16.677.7 17.097.31 18.396.1 19.873,28 2 Budidaya tambak (ton) 4.296,2 3.526.9 3.527 3.703.37 3.703,08 Jumlah 41.521,60 20.204.6 20.624.31 22.099.47 23.576,36

Gambar 2. Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Empat Kecamatan Lokasi Penelitian

Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir Kabupaten Deli Serdang telah mengalami degradasi, terutama hutan mangrove sebagai akibat pemanfaatan atau konversi menjadi peruntukan lain (pertambakan, pemukiman, perkebunan, pertanian, pariwisata dan pertambangan) yang tidak sesuai dengan peruntukannya, salah satu penyebab konversi hutan mangrove menjadi lahan peruntukan lain adalah belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, penyusunan tata ruang yang dilakukan selama ini belum mengintegrasikan wilayah pesisir, baik dalam rencana tata ruang kabupaten maupun kecamatan. Kenyataannya pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyak terjadi pelanggaran misalnya pendirian bangunan atau pengusahaan tambak di sempadan pantai yang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalur hijau. Belum adanya penyusunan rencana tata ruang wilayah pesisir berkaitan erat dengan belum adanya peraturan yang mendukung secara tegas upaya penataan ruang

wilayah pesisir tersebut. Penataan ruang merupakan salah satu usaha untuk menekan terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang di wilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya pesisir semakin meningkat, sedangkan sumberdaya pesisir cenderung berkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya pesisir yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan usaha rehabilitasi hutan mangrove, Kusmana (2002) menyatakan bahwa ekosistem mangrove baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, di samping itu ekositem mangrove merupakan sumber plasma nuftah yang cukup tinggi. Karena karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) serta daerah pemijahan (spauning ground) bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, juga sebagai pemasok larva, ikan dan udang, kini kondisinya sudah pada tingkat kerusakan yang sangat memprihatinkan. Peta sebaran hutan mangrove di Kabupaten Deli Serdang dapat dilihat pada (Lampiran 27).

Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup para nelayan (responden) yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya perikanan, maka mereka mengganti jenis alat tangkap maupun kapal penangkap ikan serta jumlah armada, walaupun

dengan biaya dan resiko yang lebih besar. Jenis alat tangkap yang dipergunakan oleh kapal motor adalah jenis pukat layang (mini beam trawl) dan fish net atau otter trawl, baik pukat layang maupun otter trawl merupakan alat tangkap yang secara hukum berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1980 dilarang penggunaannya, karena alat tangkap ini dapat merusak sumberdaya perikanan secara luas serta memutus siklus regenerasi ikan dan bertentangan dengan visi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merupakan visi dunia internasional maupun visi nasional.

Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam.

Dengan demikian, generasi mendatang tetap memiliki asset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sama atau kalau dapat lebih baik dari pada generasi yang hidup sekarang.

Sedangkan kalau dilihat produksi tahun 2006 – 2008 yang mengalami

peningkatan, hal ini berhubungan dengan peningkatan jumlah nelayan dan armada penangkapan yang terus meningkat, hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16.

Tabel 15. Perkembangan Nelayan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004-2008 Tahun

No Uraian

2004 2005 2006 2007 2008

1 Jumlah nelayan 2.269 2.424 2.601 2.791 2.985

Tabel 16. Perkembangan Perahu Penangkap Ikan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004 – 2008

Tahun

No Uraian 2004 2005 2006 2007 2008

1 Perahu tanpa motor 1.576 1.710 1.768 1.799 1.869

2 Perahu Motor 91 94 99 105 109

3 Kapal Motor 985 1.068 1.104 1.124 1.169

Sumber: Statistik Perikanan Tahun 2008.

Peningkatan produksi perikanan ini tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup nelayan (responden), hal ini disebabkan karena jenis ikan yang tertangkap kurang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan ukurannya relatif lebih kecil. Secara umum keragaman jenis tangkapan nelayan di Kabupaten Deli Serdang mengalami penurunan. Jenis ikan yang mengalami penurunan diantaranya: ikan pari, ikan merah, ikan ketang, ikan sembilang, cumi-cumi dan lain-lain (Utomo, 2009). Jenis ikan yang sering tertangkap oleh para responden dapat dilihat pada (Lampiran 31).

Untuk produksi budidaya air payau (tambak) dilihat dari data sekunder pada tahun 2004 sebesar 4.296,20 ton dan pada tahun 2005 sebesar 3.526,90 ton hal ini juga mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi ini juga terkait dengan degradasi kawasan pesisir terutama hutan mangrove yang secara fisik, kimia dan biologi tidak dapat lagi menunjang keberhasilan budidaya. Sebaran (peta) tambak dapat dilihat pada Lampiran 28.

Eksploitasi sumberdaya alam dalam dekade terakhir ini menunjukkan trend yang semakin meningkat dan pemanfaatan maksimum, yaitu titik di mana eksploitasi telah mendekati kondisi yang membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan

sumberdaya alam. Berbagai resiko dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut apabila dibiarkan akan menjadi ancaman bagi kelestarian sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kondisi di atas dapat terjadi antara lain dikarenakan oleh anggapan masyarakat bahwa sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sehingga setiap orang atau pemanfaat berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa adanya satu aturan yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pemanfaat mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. 5.1.2. Karakteristik Secara Individu Mempunyai Hubungan dengan Tingkat

Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan Mangrove Peran serta secara individu dalam pelestarian ekosistem hutan mangrove yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah meliputi frekuensi dan aktivitas masyarakat mengikuti kegiatan penyuluhan, penanaman/pemeliharaan hutan mangrove yang dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga desa serta kegiatan penanaman hutan mangrove oleh kehendak sendiri sehingga diharapkan pemanfaatan hutan mangrove dapat optimal dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung.

Dengan demikian fungsi fisik, biologis, ekologis dan ekonomis dari hutan mangrove itu sendiri dapat memberikan kontribusi positif terhadap kelestarian lingkungan. Dalam kaitannya dengan pelestarian hutan mangrove maka yang menjadi indikator dari penelitian ini adalah karakteristik individu yang meliputi: a. umur, b. jumlah anggota keluarga, c. masa lama bermukim, d. pendidikan, dan e. tingkat

pendapatan sedangkan karakteristik kelompok masyarakat dalam suatu organisasi yang meliputi: a. aktivitas/kegiatan, b. kelembagaan, dan c. manfaat yang di peroleh baik langsung maupun tidak langsung secara ekonomis maupun ekologis.

a). Analisis hubungan antara tingkat pendapatan dengan peran serta

Rata-rata tingkat pendapatan responden yang dihitung berdasarkan penghasilan setiap bulannya pada umumnya termasuk kategori rendah yaitu berada

pada rentangan 500.000 - 1.000.000,- dari hasil uji Chi-kuadrat (Lampiran 13). X2

hitung 133.705 > X2 tabel 28.296, maka Hi diterima ada hubungan antara tingkat

pendapatan terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalui frekuensi kegiatan penyuluhan menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove, pendapatan seseorang yang meningkat akan meningkat pula tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. Hasil ini memberikan implikasi bahwa tingkat pendapatan masyarakat di sekitar wilayah pesisir berorientasi kepada penghasilan pokok yang secara umum dari hasil menangkap ikan (nelayan) dan pertanian. Menurut sebagian responden selain pendapatan dari pekerjaan pokok yang diterima oleh warga masyarakat, tidak banyak penghasilan tambahan yang diperoleh, sebagian responden di samping sebagai nelayan juga sebagai petani, namun hasil yang diperoleh tidak banyak meningkatkan pendapatan dan tidak menentu.

Di samping kondisi hutan mangrove yang tidak dapat lagi diandalkan untuk mendukung ekonomi keluarga karena sudah mulai habis populasinya atau rusak, juga

warga tidak mempunyai peluang untuk memperoleh tambahan pendapatan dari sektor lain misalnya sebagai buruh pada tambak-tambak yang ada di sekitar desa, justru buruh pada tambak-tambak yang ada adalah pendatang dari luar yang diupah pemodal tambak, di samping itu tambak-tambak tersebut sebagian sudah tidak berproduksi lagi.

Menurut penelitian Hagul (1992) tentang pembangunan desa, secara umum kehidupan di pedesaan sangat identik dengan kemiskinan dan kemelaratan yang kalau disederhanakan masalah pokok di pedesaan adalah tingkat pendapatan yang rendah, adanya kesenjangan antara kaya dan miskin dan yang miskin adalah mayoritas sehingga membuat partisipasi masyarakat cenderung minim dalam usaha-usaha pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

b). Analisis hubungan antara tingkat pendidikan dengan peran serta

Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan dengan peran serta. Dari hasil

uji chi – kuadrat (Lampiran 10), X2 hitung 32.020 > X2 tabel 28.296, maka Hi

diterima ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalaui kegiatan penyuluhan. Dari hasil tabulasi, bila dihubungkan antara tingkat pendidikan dengan tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove memberikan implikasi bahwa semakin tinggi tingkat pendidkan akan memberikan peran serta yang tinggi pula. Masyarakat yang berpendidikan yang baik akan lebih memahami tentang pentingnya melestarikan hutan mangrove, selain itu

mereka yang berpendidikan tinggi lebih menerima kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan di desanya serta lebih mudah untuk diajak bermusyawarah dalam menentukan kegiatan yang akan dilaksanakan dan lebih menghargai pendatang. Tingkat pendidikan di wilayah pesisir Kabupaten Deli Serdang sangat memprihatinkan, hal ini dikarenakan ketidakmampuan menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Melihat signifikannya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove memberikan implikasi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan memberikan peran serta yang semakin tinggi pula.

c). Analisis hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat peran serta

Dari uji Chi-kuadrat (Lampiran 4), X2 hitung 76.317 > X2 tabel 28.296, maka

Hi diterima, ada hubungan antara jumlah anggota keluarga terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalui kegiatan penyuluhan. Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang besar mempunyai peluang yang sangat besar untuk turut berperan serta terhadap tingkat peran serta.

Menurut pendapat Roucek dan Warren (1963) dalam Leibo (1995) mengatakan secara fisiologis bahwa kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan perikanan ataupun mencari nafkah memenuhi ekonomi keluarga membuat rendahnya tingkat peran serta dalam pelestarian hutan mangrove,

di satu sisi anggota keluarga di tuntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga demi kelangsungan hidup keluarganya, di sisi lain untuk melakukan aktivitas pelestarian hutan mangrove dibutuhkan pengorbanan serta pemahaman akan pentingnya lingkungan lestari yang tentunya tidak begitu saja dapat memberikan hasil yang memuaskan guna pemenuhan kebutuhan keluarganya dalam waktu singkat.

Yacub et al (1995) mengatakan bahwa pertambahan jumlah anggota keluarga yang tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan yang ada dalam keluarga tersebut mengakibatkan keluarga tersebut hanya dapat melangsungkan hidupnya dalam kondisi yang rendah. Rendahnya mutu hidup tercermin dalam kemelaratan dan kemiskinan, kebodohan yang pada akhirnya menimbulkan sikap masa bodoh dan sikap yang menggantungkan nasib kepada takdir, sementara itu untuk kegiatan pelestarian hutan mangrove membutuhkan pengorbanan tidak hanya waktu, tenaga tetapi juga biaya, hal ini diduga penyebab rendahnya tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang.

d). Analisis hubungan antara umur dengan tingkat peran serta

Dari hasil uji Chi-kuadrat (Lampiran 1), X2 hitung 33.607 > X2 tabel 28.296,

maka Hi diterima ada hubungan antara umur terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalui kegiatan penyuluhan, ini dapat diartikan dengan bertambahnya umur seseorang memberikan peran serta meskipun kecil untuk ikut ambil bagian dalam pelestarian hutan mangrove. Artinya seseorang yang telah berumur lebih tinggi telah merasakan, membandingkan kondisi hutan mangrove pada saat masih dalam keadaan baik dan sekarang kondisinya yang sudah

rusak, dengan demikian mereka yang umurnya lebih tua lebih aktif berperan serta yang umurnya masih mudah enggan melaksanakan program penanaman dan pemeliharaan.

Hartono dan Azis (1990) berpendapat bahwa seseorang dikatakan matang atau dewasa untuk melakukan sesuatu aktivitas atau kegiatan tidak diukur dari umur seseorang melainkan dilihat dari tingkat berpikirnya. Budiman (2000) mengatakan memang manusia dapat dirubah setelah dewasa, bagaimanapun juga pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif dan untuk bisa kreatif manusia tersebut harus merasa bahagia, aman dan terbebas dari rasa takut.

e). Analisis hubungan antara lama bermukim dengan tingkat peran serta Lama masa bermukim juga mempengaruhi tingkat peran serta dalam hal penenanaman dan pemeliharaan hutan mangrove. Dari hasil uji Chi-kuadrat

(Lampiran 7), X2 hitung 28.870 > X2 hitung 28.296, maka Hi diterima, ada hubungan

antara masa lama bermukim terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalui kegiatan penyuluhan, hal ini dimungkinkan karena responden telah merasakan dan membandingkan manfaat dan kegunaan dari hutan mangrove sehingga mereka terpanggil untuk dapat memelihara, menanam dan melestarikan hutan mangrove, sedangkan untuk frekuensi aktivitas mengikuti penanaman dan pemeliharaan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa atau lembaga desa menunjukkan ada hubungan antara masa lama bermukim dengan tingkat peran serta masyarakat memberikan peran serta yang positif maka dapat diartikan masa

bermukim seseorang di suatu tempat yang cukup lama cenderung untuk memberikan peran serta.

Sunarto et al (1998) berpendapat bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan atau komunitas di lokasi yang sama dan telah berlangsung cukup lama, dengan sendirinya akan menghasilkan suatu ikatan yang secara fisikologis apabila dilakukan secara terus-menerus akan menjadi akrab dengan kondisi tersebut.

Lebih lanjut Sunarto et al (1998) juga berpendapat bahwa terjadinya perlawanan petani karena ketegangan yang dipendam dalam waktu lama (kumulatif), dan tidak dapat diatasi. Perlawanan terjadi oleh karena adanya ketidakpuasan akan kondisi yang terjadi.

Dari kenyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa masa lama bermukim mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat peran serta masyarakat. Rendahnya tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove ini dikarenakan adanya kecemburuan masyarakat sekitar dan ketidakpuasan akan kondisi yang terjadi, karena selama ini masyarakat hanya menjadi korban pelaku pembangunan, sedangkan masyarakat di luar kawasan yang menikmati hasil dari eksploitasi pembangunan.

5.13. Karakteristik Secara Kelompok Sebagai Suatu Organisasi dalam Masyarakat Mempunyai Hubungan dengan Tingkat Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan Mangrove dan Perbaikan Lingkungan

a). Analisis hubungan antara aktivitas/kegiatan dengan tingkat peran serta

Dari hasil uji Chi-kuadrat (Lampiran 16), X2 hitung 22.684 < X2 tabel 28.296,

maka Ho diterima, tidak ada hubungan antara tingkat aktivitas/kegiatan terhadap tingkat peran serta masyarakat, artinya bahwa kegiatan yang semakin tinggi tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan peran serta yang lebih tinggi malah sebaliknya dapat memberikan tingkat peran serta yang semakin rendah. Hal ini juga dibuktikan bahwa aktivitas atau kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh petugas maupun oleh kelompok masyarakat di sekitar kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang tidak diarahkan pada menumbuhkan peningkatan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove.

Hasil data angket responden menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas penyuluhan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam suatu organisasi

di daerah kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang “tidak pernah” berhubungan

dengan pelestarian hutan mangrove dengan kata lain masyarakat tidak pernah dilibatkan. Salah satu kegiatan kegiatan guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove dapat dilakukan dengan menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya hutan mangrove melalui pembinaan dan penyuluhan.

Kegiatan pembinaan dan penyuluhan adalah komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan berbagai informasi sehingga masyarakat mengetahui dan memberikan peran sertanya dalam pelestarian hutan mangrove. Hal ini sejalan dengan pendapat (Aripin, 2000) yang mengatakan supaya masyarakat mengetahui norma-norma yang berkembang dewasa ini, maka perlu dilaksanakan sosialisasi terhadap norma-norma yang berkembang, baik itu dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam kebijaksanaan Pemerintah. Sangat disayangkan bahwa umumnya warga tidak pernah/belum mengetahui adanya kelompok sosial masyarakat seperti LSM yang pernah melakukan aktivitas penyuluhan tentang pelestarian hutan mangrove, bahkan sebagian besar warga tidak mengetahui apa itu LSM, warga hanya mengetahui sebatas nama namun tidak pernah berhubungan dengan LSM atau kegiatannya dengan pelestarian hutan mangrove.

b). Analisis hubungan antara kelembagaan dengan tingkat peran serta

Dari hasil uji Chi-kuadrat (Lampiran 19), X2 hitung 32.160 > X2 tabel 28.296,

maka Hi diterima, ada hubungan antara kelembagaan terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove, artinya bahwa kelembagaan sangat erat hubungannya dengan tingkat peran serta, kelembagaan yang aktif dapat memberikan tingkat peran serta yang aktif pula dan demikian pula sebaliknya aktivitas kelembagaan yang rendah akan memberikan aktivitas peran serta yang rendah. Apabila hipotesis mengatakan bahwa kelembagaan dapat mempengaruhi tingkat peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove, hipotesis ini dapat diterima. Berdasarkan hasil angket dari responden dapat diketahui bahwa frekuensi

aktivitas yang dilaksanakan oleh kelembagaan rendah apakah itu kelembagaan formal seperti pemerintahan dasa maupun kelembagaan lainnya. Hal ini membuktikan rendahnya aktivitas-aktivitas kelembagaan dalam meningkatkan peran serta masyarakat guna pelestarian hutan mangrove sejalan dengan tingkat kerusakan hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang.

David et al (1984) mengatakan kurangnya pemunculan informasi yang tidak sesuai karena tingkat pemahaman yang rendah adalah salah satu hambatan untuk mengadakan perubahan sikap dalam dunia nyata. Hal ini juga didukung oleh sikap dan peran serta masyarakat melaksanakan penanaman dan pemeliharaan hutan mangrove atas kehendak sendiri rendah. Lebih lanjut dikatakannya semakin tinggi tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungannya dengan individu akan meningkatkan tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapat mereka.

c). Analisis hubungan antara manfaat dengan tingkat peran serta

Pengukuran variabel manfaat ini diperoleh dari hasil perhitungan jumlah skor masing-masing indikator yang diperoleh responden dan dibagi dengan skor maksimum yang harus dicapai, kemudian diberikan pembobotan dan dikelompokkan kedalam lima kategori yaitu: sangat tinggi (> 80%), tinggi (61-80%), sedang (41-60 %), rendah (21-40%), sangat rendah (< 20%). Dari hasil uji Chi-kuadrat (Lampiran

22) X2 hitung 84.509 > X2 tabel 28.296, maka Hi diterima ada hubungan antara

manfaat terhadap tingkat peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan mangrove melalui kegiatan penyuluhan menunjukkan ada hubungan antara manfaat

dengan tingkat peran serta masyarakat, artinya manfaat yang tinggi dapat memberikan tingkat peran serta yang tinggi pula dan sebaliknya manfaat yang rendah akan memberikan tingkat peran serta yang rendah.

Narayan (1994) dalam Bengen, (2004) menyatakan, jika manfaat yang dirasakan lebih besar dari harga yang harus dibayar/diberikan, masyarakat akan ikut berperan serta. Jika tidak, masyarakat kurang intensif untuk ikut berpartisipasi, atau menghindari kegiatan tersebut. Manfaat atau keuntungan selain dalam arti ekonomi, juga dapat bersifat sosial, seperti pengetahuan, ketrampilan dalam memecahkan masalah dan sebagainya. Jika memang dirasakan menjadi kebutuhan bersama, tetapi masyarakat tidak merasakan sebagai kebutuhan, mereka tidak berminat untuk ikut. Kebutuhan selain hanya dapat dirasakan oleh sekelompok orang saja (wanita, kelompok dari ekonomi rendah dan sebagainya), juga dapat menjadi kebutuhan semua. Keberhasilan pendekatan berbasis masyarakat akan lebih besar, jika kebutuhan dirasakan oleh semua kelompok masyarakat.

Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir, baik itu sumberdaya alam maupun masyarakatnya, mutlak memerlukan suatu pengelolaan yang tepat dan terpadu, bagi keberlanjutan pembangunan pesisir berdasarkan pada karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahan pembangunan, serta banyaknya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan wilayah pesisir, baik dari masyarakat maupun pemerintah, maka pencapaian pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir terpadu.

Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir ini mencakup 4 (empat) aspek, yaitu:

1. Keterpaduan Wilayah/Ekologis

Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut.

Dokumen terkait