• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi dan Performa Domba Penelitian

Secara astronomis daerah Kabupaten Bogor terletak diantara 6⁰19'-6⁰47' LS dan 106⁰1'-107⁰103' BT dengan luas wilayah 2.301,95 km2. Sektor peternakan memegang posisi strategis di Kabupaten Bogor. Sektor peternakan merupakan penyumbang kegiatan ekonomi kedua setelah sektor pertanian tanaman. Perkembangan produksi ternak di Kabupaten Bogor terus meningkat setiap tahun. Jenis komoditi yang dihasilkan antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, ayam ras, ayam buras dan itik. Letak kabupaten Bogor yang dekat dengan ibu kota sangat menguntungkan karena merupakan pangsa pasar potensial bagi sektor peternakan (Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM, 2008).

Lokasi penelitian tepatnya berada di Jalan Raya Sukabumi No.32 Desa Cimande Hilir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah barat lokasi peternakan berbatasan dengan Dusun Lemah Duhur, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciderum sedangkan sebelah utara dan selatan adalah Desa Caringin. Keadaan topografi daerah cukup datar. Ketinggiannya berkisar antara 400-700 m di atas permukaan laut. Kisaran suhu antara 17-30⁰C dengan kelembaban udara 70%-80%. Curah hujan mencapai 3000-3400 mm per tahun. Data performa domba penelitian berupa bobot badan yang telah dikelompokkan menjadi tiga grade dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Bobot Badan Ternak Penelitian (dalam Kg)

Grade Bangsa Rataan

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis

A 33,38±1,45 (n = 13) 33,00±1,26 (n = 20) 33,15±1,33 (n = 33) B 30,40±0,97 (n = 10) 29,30±1,03 (n = 20) 29,67±1,12 (n = 30) C 25,67±1,00 (n = 9) 26,50±0,83 (n = 20) 26,24±0,95 (n = 29) Rataan 30,28±3,40 (n = 32) 29,60±2,88 (n = 60)

Pengaruh Grade terhadap Karakteristik Fisik Domba Profil Muka

Tabel 3 menunjukkan komposisi profil muka cembung domba keturunan Garut dalam grade A, B, dan C berturut-turut yaitu 76,92%; 50%, dan 33,33%. Sedangkan profil muka datar didapatkan nilai frekuensi grade A, B dan C masing-masing 23,08%; 50% dan 66,67%. Jika dilihat berdasarkan profil muka, terdapat ciri profil muka dengan frekuensi yang berbeda pada tiap grade. Semakin tinggi grade, frekuensi profil muka cembung semakin meningkat. Kondisi demikian memberi gambaran bahwa pada domba keturunan Garut, untuk mendapatkan grade yang tinggi bisa dilakukan dengan cara melihat profil muka domba tersebut. Profil muka cembung lebih banyak ditemukan pada grade A. Akan tetapi, menurut Diwyanto et al. (1984) ukuran tulang yang besar menjadi indikator domba tersebut berbobot badan besar. Hal ini disebabkan jaringan otot yang melekat pada tulang lebih banyak jumlahnya sehingga berakibat pada tingginya bobot badan. Jadi, hubungan antara profil muka dengan bobot badan hampir bisa dikatakan relatif kecil. Hal ini dapat dipahami karena kemungkinan ciri profil muka merupakan ciri khas dari bangsa domba, dalam hal ini sudah merupakan sifat herediter seperti yang dikatakan oleh Becker dan Dix (Bogart, 1959) bahwa bentuk kepala kemungkinan diatur oleh pasangan gen resesif sederhana.

Profil muka domba lokal ekor tipis pada masing-masing grade menunjukkan nilai yang sama yaitu sebesar 70% muka cembung dan 30% muka datar. Ini artinya tidak ada keterkaitan antara grade dengan profil muka. Sehingga jika berpedoman pada hasil penelitian ini maka penentuan untuk mendapatkan ketegori grade tinggi pada domba lokal ekor tipis kurang tepat apabila dilakukan hanya dengan cara melihat profil muka.

Tabel 3. Frekuensi Profil Muka Domba

Profil Muka

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Muka Cembung 76,92 50 33,33 70 70 70

Bentuk Telinga

Tabel 4 menunjukkan hasil bahwa frekuensi bentuk telinga domba keturunan Garut pada masing-masing grade menunjukkan nilai yang seragam yaitu 100% bertelinga rumpung. Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh domba keturunan Garut yang diamati pada penelitian ini memiliki bentuk telinga rumpung. Ini menunjukkan tidak ada hubungan antara grade dengan bentuk telinga.

Hasil juga menunjukkan bahwa seluruh domba lokal ekor tipis pada setiap grade mempunyai bentuk telinga rubak. Pengaruh grade terhadap bentuk telinga dapat dikatakan tidak ada sehingga hal tersebut dapat menunjukkan bahwa sifat kualitatif bentuk telinga tidak tepat untuk digunakan sebagai parameter dalam menentukan grade domba.

Tabel 4. Frekuensi Bentuk Telinga Domba

Bentuk Telinga

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Rumpung 100 100 100 0 0 0

Rubak 0 0 0 100 100 100

Warna Bulu

Warna bulu belang sapi menempati frekuensi tertinggi di tiap ketegori grade pada domba keturunan Garut. Nilai frekuensi tersebut adalah grade A sebesar 38,46%; grade B sebesar 70%; dan grade C 44,44%. Hal ini berarti bahwa pada domba keturunan Garut tidak ditemukan adanya hubungan antara grade dengan karakteristik fisik warna bulu. Nilai frekuensi warna bulu pada domba keturunan Garut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terdapat pada domba lokal ekor tipis. Frekuensi warna bulu belang sapi hampir mendominasi di tiap ketegori grade, kecuali pada grade C. Sebagian besar warna bulu domba lokal ekor tipis pada grade C adalah warna bulu laken (20%) sedangkan pada grade B dan C didominasi warna bulu belang sapi dengan nilai frekuensi masing-masing 30% dan 40%. Ini menunjukkan bahwa pada domba lokal ekor tipis tidak ada keterkaitan antara grade

dengan warna bulu. Frekuensi warna bulu domba keturunan Garut dan domba lokal ekor tipis pada tiap-tiap grade selengkapnya tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Frekuensi Warna Bulu Domba

Warna Bulu

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20) --- Frekuensi (%) --- Belang Sapi 38,46 70 44,44 30 40 15 Hitam 15,38 0 11,11 0 0 0 Jogja 23,08 0 0 0 0 5 Belang Batu 7,69 0 0 10 10 15 Coklat Tua 7,69 0 0 10 5 0 Baracak 7,69 10 11,11 10 10 5 Putih 0 20 33,33 5 0 0 Kondang 0 0 0 10 25 15 Laken 0 0 0 15 10 20 Riben 0 0 0 5 0 15 Sela 0 0 0 5 0 10 Bentuk Tanduk

Hasil pengamatan terhadap bentuk tanduk seperti yang terlihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pada domba keturunan Garut, bentuk tanduk leang-leang mendominasi grade A dengan nilai frekuensi 53,85%. Bentuk tanduk sogong mendominasi grade B dan C masing-masing nilainya yaitu 60% dan 44,44%. Akan tetapi, nilai frekuensi bentuk tanduk pada domba keturunan Garut seperti yang tampak pada Tabel 6 hampir tersebar merata sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa antara grade dan bentuk tanduk tidak memiliki hubungan.

Hal yang hampir sama juga ditemukan pada bentuk tanduk domba lokal ekor tipis. Berdasarkan hasil pengamatan seperti pada Tabel 6 diketahui nilai frekuensi bentuk tanduk tidak merata. Ini berarti pada domba lokal ekor tipis tidak ada hubungan antara grade dengan bentuk tanduk.

Tabel 6. Frekuensi Bentuk Tanduk Domba

Bentuk Tanduk

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis

A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20) --- Frekuensi (%) --- Leang-leang 53,85 20 33,33 50 25 45 Sogong 30,77 60 44,44 30 35 35 Bendo 7,69 0 11,11 5 20 5 Gayor 7,69 10 0 10 20 15 Golong Tambang 0 10 11,11 5 0 0 Bentuk Ekor

Berdasarkan hasil pengamatan yang tercantum pada Tabel 7 nilai frekuensi bentuk ekor bagong grade C pada domba keturunan Garut yaitu 11,11%, kemudian frekuensinya meningkat menjadi 20% pada grade B dan 46,15% pada grade A. Semakin tinggi grade maka frekuensi bentuk ekor bagong pada domba keturunan Garut akan semakin meningkat. Dapat dilihat bahwa kebanyakan domba keturunan Garut grade A memiliki bentuk ekor bagong. Menurut Heriyadi (2003), ciri khas domba Garut adalah kombinasi antara bentuk ekor yang berbentuk segitiga terbalik (berbentuk beurit atau bagong).

Tabel 7. Frekuensi Bentuk Ekor Domba

Bentuk Ekor

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Gabus 38,46 60 88,89 35 30 45

Bagong 46,15 20 11,11 50 60 35

Beurit 15,38 20 0 15 10 20

Bentuk ekor bagong masih menempati frekuensi tertinggi pada grade A dan grade B dengan nilai frekuensi masing-masing 50% untuk grade A dan 60% untuk grade B, sementara pada grade C frekuensi tertinggi adalah bentuk ekor gabus sebesar 45%. Frekuensi bentuk ekor pada domba lokal ekor tipis yang disajikan pada

Tabel 7 memperlihatkan komposisi nilai yang acak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan antara grade dengan bentuk ekor.

Warna Tanduk

Apabila dilihat berdasarkan warna tanduk seperti yang tercantum pada Tabel 8, pada domba keturunan Garut frekuensi warna tanduk wulung paling tinggi dibanding warna lain di setiap kategori grade. Secara berurutan nilai frekuensi warna tanduk wulung pada grade A, B dan C yaitu 53,85%; 50%; dan 44,44%. Selain itu, dapat dilihat dari tabel bahwa frekuensi warna tanduk wulung semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya grade. Akan tetapi perbedaan frekuensi tersebut tidak begitu besar sehingga warna tanduk belum bisa diambil sebagai patokan dalam menyeleksi domba ber-grade tinggi.

Jenis warna tanduk yang memiliki frekuensi tertinggi pada domba lokal ekor tipis ialah warna tanduk wulung sebesar 45% pada grade A, warna tanduk berumbun sebesar 40% pada grade B dan warna tanduk wulung sebesar 50% pada grade C. Berdasarkan Tabel 8 jika melihat sebaran frekuensi warna tanduk yang acak pada domba lokal ekor tipis maka hal ini memberi gambaran bahwa pada domba lokal ekor tipis tidak ada hubungan antara grade dengan warna tanduk.

Tabel 8. Frekuensi Warna Tanduk Domba

Warna Tanduk

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Cinta 23,08 40 33,33 30 30 30

Wulung 53,85 50 44,44 45 30 50

Berumbun 23,08 10 22,22 25 40 20

Pengaruh Grade terhadap Ukuran Tubuh Domba

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum grade domba yang berbeda mempunyai sifat kuantitatif yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat baik pada domba keturunan Garut maupun domba lokal.

Domba Keturunan Garut

Hasil uji statistik pada domba keturunan Garut menunjukkan bahwa grade memiliki perbedaan ukuran-ukuran tubuh yang sangat nyata (P<0,01), kecuali pada parameter panjang badan dimana hasilnya tidak berbeda diantara grade domba (P>0,05).

Pada penelitian kali ini grade tidak memiliki perbedaan ukuran panjang badan yang sangat nyata (P>0,05). Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk mendapatkan domba ber-grade tinggi cara yang dilakukan dengan menggunakan parameter panjang badan dinilai kurang tepat. Dari pengalaman posisi berdiri ternak sangat mempengaruhi keakuratan hasil pengukuran (Siregar et al, 1984). Dalam pelaksanannya terkadang sulit mengendalikan posisi ternak terutama karena nervous. Zubardi et al. (1984) telah melakukan penelitian berbagai posisi kaki sapi dan ternyata yang paling dipengaruhi adalah panjang badan.

Ukuran tinggi pundak pada grade A tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan grade B, namun sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding grade C. Sedangkan ukuran tinggi pundak grade B sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding grade C. Rataan ukuran tinggi pundak pada domba keturunan Garut grade A ialah 57,61±4,30 cm, grade B 56,25±3,15 cm dan grade C 50,56±4,36 cm.

Tabel 9. Rataan Ukuran Tubuh Domba Keturunan Garut

Grade Panjang Badan Tinggi Pundak Lingkar Dada --- cm ---

A (n = 13) 48,50±3,76 57,61±4,30A 80,23±2,52A

B (n = 10) 49,65±3,17 56,25±3,15A 76,90±3,11AB

C (n = 9) 48,78±2,81 50,56±4,36B 73,56±6,00B

Rataan 48,94±3,27 55,20±4,90 77,31±4,72

Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), bila diikuti huruf besar yang berbeda menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01)

Seperti halnya pada ukuran tinggi pundak, grade domba yang berbeda juga sangat nyata (P<0,01) memiliki ukuran lingkar dada yang berbeda. Rataan ukuran lingkar dada domba keturunan Garut grade A, B, dan C masing-masing adalah 80,23±2,52 cm; 76,90±3,11 cm; dan 73,56±6,00 cm. Ukuran lingkar dada grade A

tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan grade B. Demikian pula sebaliknya grade A memiliki ukuran lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi jika dibandingkan dengan grade C. Seperti yang dikemukan oleh Tragedi (2007) bahwa pertumbuhan lingkar dada lebih didasari karena pengaruh pertumbuhan daging atau otot. Johansen dan Rendel (1968) dalam Zubaidah (1984) menyatakan pertumbuhan lingkar dada tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan kerangka tulang tetapi dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan. Lebih jelasnya Doho (1994) menerangan bahwa pertambahan bobot badan pada ternak akan menyebabkan ternak menjadi besar. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin bertambahnya kekuatan dan kesuburan otot-otot penggantung Musculus serratus ventralis dan Musculus pectoralis yang terdapat di daerah dada, sehingga pada gilirannya ukuran lingkar dada semakin meningkat.

Djagra (1994) mengatakan bahwa ada keterkaitan erat antara ukuran tubuh dengan bobot badan. Diantara banyaknya parameter ukuran tubuh, panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang memiliki korelasi erat dengan bobot badan. Lebih lanjut Djagra (1994) menyimpulkan bahwa ternak yang bertubuh besar mempunyai tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan yang relatif besar. Ini merupakan indikasi telah terjadi proses pertumbuhan pada ternak tersebut. Demi menjaga keseimbangan biologis maka setiap pertumbuhan komponen-komponen tubuh akan diikuti dengan peningkatan ukuran-ukuran tubuh (Doho, 1994). Hal ini berarti bahwa ukuran tinggi pundak dan lingkar dada bisa digunakan sebagai acuan dalam menilai grade domba. Maka untuk mendapatkan domba keturunan Garut dengan performa yang baik, dalam hal ini grade yang tinggi bisa dilakukan dengan memilih domba yang ukuran tinggi pundak dan lingkar dadanya lebih besar.

Domba LokalEkor Tipis

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa pada grade domba yang berbeda tidak ditemukan perbedaan ukuran panjang badan yang nyata (P>0,05). Adanya pengaruh yang tidak nyata antara grade dengan ukuran panjang badan menjadikan ketidaktepatan ukuran panjang badan jika dipakai sebagai pembeda dalam menentukan domba lokal ekor tipis ber-grade tinggi.

Grade memiliki perbedaan ukuran tinggi pundak yang sangat nyata (P<0,01). Ini menunjukkan informasi besarnya ukuran tinggi pundak penting diketahui dan

menjadi pembeda dalam memilih domba lokal ekor tipis ber-grade tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara ukuran tinggi pundak grade A dengan grade B. Perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) ditemukan pada ukuran tinggi pundak grade A dengan grade C dan antara grade B dengan grade C. Secara berurutan, rataan ukuran tinggi pundak grade A, B, dan C yaitu 55,70±3,00 cm; 55,60±3,21 cm; dan 51,62±3,61 cm.

Pada parameter lingkar dada, didapatkan hasil bahwa grade memiliki perbedaan ukuran lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01). Lingkar dada grade A sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada grade B maupun grade C. Sementara antara grade B dengan grade C tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan ukuran lingkar dada domba lokal ekor tipis grade A, B, dan C masing-masing adalah 79,35±3,36 cm; 76,50±2,26 cm; dan 74,80±2,73 cm.

Tabel 10. Rataan Ukuran Tubuh Domba Lokal Ekor Tipis

Grade Panjang Badan Tinggi Pundak Lingkar Dada --- cm ---

A (n = 20) 48,12±2,37 55,70±3,00A 79,35±3,36A

B (n = 20) 47,17±3,35 55,60±3,21A 76,50±2,26BC

C (n = 20) 46,62±4,67 51,62±3,61B 74,80±2,73C

Rataan 47,31±3,58 54,31±3,75 76,88±3,36

Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), bila diikuti huruf besar yang berbeda menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01)

Salamena (2006) yang telah melakukan penelitian mengenai karakteristik fenotipik domba kisar menjelaskan bahwa panjang badan, lebar dada, lingkar dada, dan lebar ekor sangat mempengaruhi bobot badan. Karakter ini bisa digunakan sebagai sifat seleksi bagi bobot badan. Terdapatnya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Salamena (2006) kemungkinan disebabkan kualitas domba yang diamati berbeda.

Analisis Korelasi Antara Bobot Badan dengan Ukuran-ukuran Tubuh Domba Berdasarkan Perbedaan Bangsa dan Grade

Pada Tabel 11 terlihat bahwa secara umum setiap parameter memiliki nilai korelasi yang hampir seragam untuk setiap ukuran tubuh. Hasil analisis korelasi

berdasarkan keseluruhan data yang diambil pada penelitian ini menunjukkan bahwa panjang badan tidak berkorelasi nyata (P>0,05) dengan bobot badan. Hasil pengelompokkan berdasarkan bangsa domba juga diketahui tidak ada korelasi yang nyata (P>0,05) antara panjang badan dengan bobot badan pada masing-masing bangsa domba. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuswandi et al. (1991) yang menyatakan bahwa panjang badan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot badan dan bobot karkas (P>0,05). Namun demikian hal ini bertentangan dengan rumus Johnston yang menetapkan panjang badan sebagai faktor penting dalam mempengaruhi bobot badan sehingga dipakai untuk menduga bobot badan (Siregar et al., 1984). Diwyanto (1984) memberikan penjelasan bahwa terbatasnya jumlah pengamatan dapat menunjukkan rendahnya hubungan tersebut, jumlah pengamatan yang lebih banyak juga tidak membuktikan keeratan hubungan tersebut, kecuali untuk dataran tinggi. Kuswandi et al. (1991) menambahkan bahwa pendugaan bobot badan dengan menggunakan parameter panjang badan sulit mendapatkan ketepatan yang tinggi untuk ternak ruminanasia kecil. Alasan lain menurut Kuswandi et al (1991) hasil pengukuran yang akurat untuk ternak ruminansia kecil biasanya sulit dilakukan karena dapat menghasilkan bias yang lebih besar daripada sapi.

Hasil analisis korelasi berdasarkan keseluruhan data yang diambil pada penelitian ini menunjukkan tinggi pundak dan lingkar dada sangat nyata (P<0,01) berkorelasi positif terhadap bobot badan. Pada domba Garut terdapat korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara bobot badan dengan tinggi pundak dan lingkar dada. Pada kelompok domba lokal korelasi yang sangat nyata (P<0,01) juga tampak antara bobot badan dengan tinggi pundak dan lingkar dada. Berdasarkan keseluruhan data penelitian didapatkan nilai korelasi antara bobot badan dan tinggi pundak sebesar 0,480 lebih rendah jika dibandingkan dengan lingkar dada yaitu sebesar 0,548. Pengelompokan berdasarkan bangsa domba diperoleh nilai korelasi antara bobot badan dengan tinggi pundak sebesar 0,549 dan antara bobot badan dengan lingkar dada sebesar 0,559 masing-masing untuk domba keturunan Garut. Pada domba lokal yakni 0,414 untuk nilai korelasi antara bobot badan dengan tinggi pundak dan 0,539 untuk nilai korelasi antara bobot badan dengan lingkar dada. Seperti terlihat pada Tabel 11 Nilai korelasi yang lebih tinggi dicapai pada hasil korelasi antara bobot badan dengan ukuran lingkar dada jika dibandingkan dengan hasil korelasi antara

bobot badan dengan tinggi pundak. Dengan demikian ukuran tubuh yang hendaknya dipilih sebagai parameter untuk mendapatkan bobot badan yang besar adalah lingkar dada.

Tabel 11. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh

Peubah Ukuran Tubuh

PB TP LD

Keseluruhan Data 0,088tn 0,480** 0,548**

Bangsa Domba

Keturunan Garut -0,035tn 0,549** 0,559**

Lokal Ekor Tipis 0,125tn 0,414** 0,539**

Grade

A 0,037tn 0,105tn 0,236tn

B 0,102tn 0,099tn 0,004tn

C -0,287tn -0,074tn -0,056tn

Domba Keturunan Garut

Grade A -0,023tn -0.115tn 0,362tn

Grade B 0,432tn 0,384tn 0,052tn

Grade C -0,542tn -0.282tn -0,257tn

Domba Lokal Ekor Tipis

Grade A 0,088tn 0,265tn 0,150tn

Grade B -0,282tn -0,081tn -0,090tn

Grade C -0,126tn -0,057tn -0.000tn

Keterangan : PB = Panjang Badan; TP = Tinggi Pundak; LD = Lingkar Dada; (*) = perbedaan nyata (P< 0,05); (**) = perbedaan sangat nyata (P< 0,01); (tn) = tidak nyata

Penerapan Hasil Penelitian dalam Usaha Peternakan

Baik para penjual maupun calon konsumen di pasaran yang hendak membeli hewan qurban biasanya mempunyai kriteria tertentu dalam memilih hewan qurban. Dalam pembelian hewan qurban umumnya berlaku dua metode transaksi jual beli yang berlaku guna menentukan harga yakni metode timbang hidup (bobot badan) dan metode taksiran. Metode timbang hidup adalah pihak penjual akan menentukan harga jual hewan qurban berdasarkan berat kg hidup yang dimiliki domba bersangkutan. Sedangkan metode taksiran adalah pihak penjual akan menentukan harga hewan

qurban berdasarkan performa atau tampilan fisik domba, artinya semakin bagus performa atau tampilan fisiknya maka akan semakin mahal harganya. Akan tetapi dalam penerapan metode timbang hidup ataupun metode taksiran sikap kehati-hatian dan ketelitian bagi calon konsumen merupakan hal yang sangat penting demi menghindari penipuan oleh para penjual yang nakal terutama terkait dengan kualitas domba qurban yang akan dibeli. Demikian pula halnya bagi para penjual dan produsen, sikap hati-hati dan teliti tetap diperlukan agar dapat lebih memahami kebutuhan konsumen. Dengan demikian konsumen pun akan loyal dan besar kemungkinan dengan mudah merekomendasikan calon konsumen lain untuk membeli hewan qurban kepada penjual atau produsen yang bersangkutan yang pada gilirannya usaha penjualan atau penggemukan domba qurban tersebut lebih mampu untuk berkembang dengan baik.

Berkaitan dengan kualitas domba qurban terutama dalam hal bobot badan sebagai landasan dalam menentukan harga, ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini. Pertama, bahwa pada domba keturunan Garut, domba yang bobot badannya lebih tinggi kebanyakan memiliki ciri profil muka cembung, bentuk ekor bagong dan warna tanduk wulung. Oleh karena itu, ciri karakter fisik tersebut dapat dimanfaatkan dalam penilaian kualitas domba keturunan Garut terkait dengan bobot badan. Namun, rekomendasi ini tidak mutlak karena ternyata pada grade yang tinggi juga masih ditemukan ciri profil muka datar, bentuk ekor selain bagong dan warna tanduk selain wulung. Kedua, bahwa bobot badan domba ternyata berhubungan dengan besarnya ukuran tinggi pundak dan lingkar dada. Domba yang memiliki bobot badan tinggi cenderung ukuran tinggi pundak dan lingkar dadanya lebih besar. Bagi para penjual, konsumen dan produsen dalam hal ini pelaku usaha penggemukan domba maka informasi tersebut dapat dipakai sebagai rujukan dalam menilai atau menduga bobot badan domba.

KESIMPULA DA SARA

Dokumen terkait