• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT KUALITATIF DA KUA TITATIF DOMBA QURBA PADA GRADE YA G BERBEDA SKRIPSI SUSWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT KUALITATIF DA KUA TITATIF DOMBA QURBA PADA GRADE YA G BERBEDA SKRIPSI SUSWATI"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT KUALITATIF DA KUA TITATIF DOMBA QURBA

PADA GRADE YA G BERBEDA

SKRIPSI SUSWATI

DEPARTEME ILMU PRODUKSI DA TEK OLOGI PETER AKA FAKULTAS PETER AKA

I STITUT PERTA IA BOGOR 2010

(2)

SIFAT KUALITATIF DA KUA TITATIF DOMBA QURBA

PADA GRADE YA G BERBEDA

SUSWATI D14103070

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEME ILMU PRODUKSI DA TEK OLOGI PETER AKA FAKULTAS PETER AKA

I STITUT PERTA IA BOGOR 2010

(3)

Judul : Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Domba Qurban pada Grade yang Berbeda

Nama : Suswati NIM : D14103070

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc) (Drs. H. Bunyamin) NIP: 19630928 198803 1 002

Menyetujui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP: 19591212 198603 1 004

(4)

RI GKASA

SUSWATI. D14103070. 2010. Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Domba Qurban pada Grade yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Drs. H. Bunyamin

Kriteria atau syarat yang harus dipenuhi dalam memilih domba qurban, yaitu domba tidak cacat (rusak matanya, pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga atau ekornya) dan telah mencapai umur satu tahun atau sepasang gigi susunya telah berganti gigi tetap. Domba yang di-sunnah-kan untuk digunakan adalah yang gemuk dan sehat untuk dijadikan hewan qurban. Penelitian mengenai karakteristik domba qurban yang meliputi sifat kualitatif dan kuantitatif penting dilakukan sebagai langkah untuk menyeleksi domba qurban yang berkualitas. Ternak domba yang diamati 92 ekor domba jantan yang akan dipotong sebagai hewan qurban, terdiri dari 32 ekor domba keturunan Garut dan 60 ekor domba lokal ekor tipis. Lokasi penelitian merupakan produsen penjualan domba qurban yang menjual domba qurban dari bangsa domba keturunan Garut dan domba lokal ekor tipis sehingga pengambilan sampel berasal dari kedua bangsa domba tersebut. Masing-masing bangsa domba terbagi menjadi 3 grade, yaitu 32≤A<35 kg; 28≤B<32 kg; dan 24≤C<28 kg. Jumlah domba keturunan Garut yang digunakan sebanyak 13 ekor kategori grade A, 10 ekor kategori grade B dan 9 ekor kategori grade C, sedangkan domba lokal ekor tipis sebanyak 20 ekor pada tiap kategori grade. Tren yang berkembang saat ini harga penjualan domba lebih banyak dijual berdasarkan grade sehingga dilakukan pengelompokan grade.

Peubah yang diamati yaitu sifat kualitatif, meliputi: profil muka, bentuk telinga, warna bulu, bentuk tanduk, bentuk ekor, dan warna tanduk. Sifat kuantitatif meliputi panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada. Data sifat kualitatif dianalisis secara deskriptif dengan frekuensi relatif. Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan untuk mengetahui pengaruh grade terhadap panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada. Analisis beda nyata yang digunakan adalah uji Tukey’s. Kemudian dicari nilai korelasi antara bobot badan dengan ukuran tubuh pada masing-masing grade dan bangsa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori grade A pada domba qurban keturunan Garut memiliki sifat kualitatif dengan komposisi muka cembung sebanyak 76,92%, artinya grade yang tinggi kebanyakan memiliki profil muka cembung. Pada domba qurban lokal ekor tipis, tidak ditemukan kriteria sifat kualitatif yang spesifik pada grade yang berbeda. Pada domba keturunan Garut, grade memiliki perbedaan ukuran tinggi pundak dan lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01) sedangkan peubah panjang badan tidak berbeda diantara grade domba (P>0,05). Pada domba lokal ekor tipis grade juga memiliki perbedaan ukuran tinggi pundak dan lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01) dan tidak memiliki perbedaan ukuran panjang badan yang nyata (P>0,05) pada grade domba yang berbeda. Sifat kuantitatif yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pada kedua bangsa domba adalah tinggi pundak dan lingkar dada.

(5)

ABSTRACT

Qualitative and Quantitative Traits of Qurban Sheeps on Different Grade

Suswati, M. Yamin, and Bunyamin

Healthy and normal physical condition (not disabled) are basic qualifications of qurban sheep. In addition to these, better performance of qurban sheep in producing good quality of meat is also needed. Therefore the research about characteristics of qurban sheep which includes qualitative and quantitative characteristics are importat to conduct. The aims of this experiment were to determine the qualitative and quantitative characteristics of 32 Garut cross rams and 60 local rams used for qurban sheep. The rams were classified into several grades according to body weight; grade A = body weight of 32-35 kg; grade B, 28-31 kg; and grade C, 24-27 kg. Garut cross rams used as much as 13 for grade A, 10 for grade B, and 9 for grade C, while as many as 20 local thin tail sheeps in each grade category.

The qualitative characteristics observed were face profiles, ear types, hair colour, horn types, tail types, and horn colours. The quantitative characteristics observed were body length, shoulder height, and heart girth. The qualitative characteristics of data were descriptively analyzed. Randomized Block Design was used to analyse effecs of grades on the qualitative characteristics. Any significant results were further analyzed by using the Tukey’s test.

The results shown that Garut cross rams had more convex face profil and Garut cross rams had at most on grade A or grade B, so this trait can be used as a selection criteria. While on quantitative characteristics the results shown that in both sheep breed groups grades had high significant differences (p<0,01) on shoulder height and heart girth.

Keywords : qualitative trait, quantitative trait, sheep breed, grade.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Juni 1984 di Majalengka Jawa Barat. Sebagai anak kelima dari tujuh bersaudara. Lahir dari seorang ayah bernama Tarmudi dan ibu Nasima. Penulis menikmati masa kecil dan menempuh pendidikan formal hingga ke tingkat menengah di tanah kelahirannya. Pada tahun 1991 penulis mulai memasuki pendidikan dasar di SDN Prapatan 1 Sumberjaya Majalengka dan lulus tahun 1997. Kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Ciwaringin Cirebon hingga tahun 2000. Pada tahun yang sama meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi di SMAN 1 Palimanan Cirebon yang diselesaikan tahun 2003.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah terlibat aktif sebagai anggota KOPMA IPB (Koperasi Mahasiswa) tahun 2004-2005, IKC (Ikatan Kekeluargaan Cirebon) tahun 2003-2005 dan menjadi pengurus Asrama Putri Darmaga IPB pada tahun 2006 dan 2007. Selain itu, penulis juga pernah dipercaya sebagai enumerator pada pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakan Minyak (PKPS-BBM) tahun 2005, kerjasama antara LPPM IPB dan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.

(7)

KATA PE GA TAR

Rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan limpahan karunia sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Sifat Kualitatif dan Kuantitatif Domba Qurban pada Grade yang Berbeda” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa menyertai Nabi Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya. Skripsi ini adalah tugas akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian tugas akhir dilaksanakan di “Peternakan Tawakkal” yang berlokasi di Desa Cimande Hilir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat yang berlangsung pada bulan Nopember 2008. Penulis menyadari terdapat banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, masukan dari pembaca sekalian sangat penting demi perbaikan selanjutnya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi insan-insan peternakan dan siapapun yang membacanya.

Bogor, Mei 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Hipotesis ... 2 Tujuan ... 2 Manfaat ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Ternak Domba... 3 Jenis-jenis Domba ... 4

Domba Lokal Ekor Tipis ... 4

Domba Priangan/Garut ... 4

Ternak Domba Sebagai Hewan Qurban ... 5

Sifat Kualitatif Domba ... 7

Sifat Kuantitatif Domba ... ... . 7

Pertumbuhan ... 8

METODE ... 13

Lokasi dan waktu ... 13

Materi ... 13 Rancangan ... 13 Peubah ... 14 Analisis Data ... 14 Prosedur ... 14 Persiapan ... 14 Pengumpulan Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Kondisi Umum Lokasi dan Performa Domba Penelitian ... 22

Pengaruh Grade terhadap Karakteristik Fisik Domba ... 23

Profil Muka ... 23

Bentuk Telinga ... 24

(9)

Bentuk Tanduk ... 25

Bentuk Ekor ... 26

Warna Tanduk ... 27

Pengaruh Grade terhadap Ukuran Tubuh ... 27

Domba Keturunan Garut ... 28

Domba Lokal Ekor Tipis ... 29

Analisis Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran-ukuran Tubuh Domba Berdasarkan Perbedaan Bangsa dan Grade ... 30

Penerapan Hasil Penelitian dalam Usaha Peternakan ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpuan ... 34

Saran ... 34

UCAPAN TERIMAKASIH ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pendugaan Umur Domba berdasarkan Kondisi Gigi Seri

Tetap ... 11

2. Data Bobot Badan Ternak Penelitian (dalam Kg) ... 22

3. Frekuensi Profil Muka Domba ... 23

4. Frekuensi Bentuk Telinga Domba ... 24

5. Frekuensi Warna Bulu Domba ... 25

6. Frekuensi Bentuk Tanduk Domba ... 26

7. Frekuensi Bentuk Ekor Domba ... 26

8. Frekuensi Warna Tanduk Domba ... 27

9. Rataan Ukuran Tubuh Domba Keturunan Garut ... 28

10. Rataan Ukuran Tubuh Domba Lokal Ekor Tipis ... 30

11. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh ... 32

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kurva Pertumbuhan Sejak Lahir Sampai Ternak Mati ... 9

2. Pengukuran Bagian-Bagian Tubuh Domba ... 15

3. Warna Bulu Belang Sapi, Hitam, Jogja, Belang Batu, Coklat Tua, Baracak, Putih, Kondang, Laken, Riben dan Sela ... 17

4. Bentuk Tanduk Leang-leang, Sogong, Bendo, Gayor dan Golong Tambang ... 19

5. Bentuk Telinga Rumpung dan Rubak ... 20

6. Bentuk Ekor Gabus,Bagong dan Beurit ... 20

7. Bentuk Muka Cembung dan Datar ... 21

8. Warna Tanduk Cinta, Wulung dan Berumbun ... 21

(12)

DAFTAR LAMPIRA

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Rataan Panjang Badan Domba Keturunan

Garut ... 41 2. Analisis Ragam Rataan Tinggi Pundak Domba Keturunan

Garut ... 41 3. Analisis Ragam Uji Tukey’s Tinggi Pundak Domba Keturunan

Garut ... 41 4. Analisis Ragam Rataan Lingkar Dada Domba Keturunan Garut 42 5. Analisis Ragam Uji Tukey’s Lingkar Dada Domba Keturunan

Garut ... 42 6. Analisis Ragam Rataan Panjang Badan Domba Lokal Ekor

Tipis ... 42 7. Analisis Ragam Rataan Tinggi Pundak Domba Lokal Ekor

Tipis ... 43 8. Analisis Ragam Uji Tukey’s Tinggi Pundak Domba Lokal

Ekor Tipis ... 43 9. Analisis Ragam Rataan Lingkar Dada Domba Lokal Ekor Tipis 43 10. Analisis Ragam Uji Tukey’s Lingkar Dada Domba Lokal Ekor

Tipis ... 44 11. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh

seluruh Data Penelitian ... 44 12. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Keturunan Garut ... 44 13. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Lokal Ekor Tipis ... 45 14. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Grade A ... 45 15. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Grade B ... 45 16. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Grade C ... 45 17. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Keturunan Garut Grade A ... 46 18. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Keturunan Garut Garde B ... 46 19. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

(13)

20. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Lokal Ekor Tipis Grade A ... 46 21. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Lokal Ekor Tipis Grade B ... 47 22. Nilai Korelasi antara Bobot Badan dengan Ukuran Tubuh pada

Domba Lokal Ekor Tipis Grade C ... 47

(14)

PE DAHULUA Latar Belakang

Perayaan Hari Raya Idhul Adha bagi umat Islam seluruh dunia diikuti oleh penyelenggaraan pemotongan hewan qurban untuk disalurkan kepada yang membutuhkan terutama fakir miskin. Kegiatan tersebut sudah merupakan syariat Islam yang senantiasa dijalankan oleh umatnya yang mampu.

Jenis ternak yang bisa dimanfaatkan sebagai hewan qurban antara lain kambing, domba, sapi, kerbau dan unta (khusus di Timur Tengah). Dalam pelaksanaannya, seekor ternak harus memiliki kriteria tertentu sebelum dijadikan sebagai hewan qurban. Menurut Ibnu Abbas dalam buku Fiqih Wanita karangan Uwaidah (2008), disunnahkan berqurban dengan hewan yang gemuk dan baik. Dari segi kualitas, anggota tubuh ternak yang akan digunakan sebagai hewan qurban harus lengkap dan sempurna. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam buku Fiqh Islam karangan Rasjid (1998) bahwa hewan yang sah untuk dijadikan qurban ialah hewan yang tidak cacat, misalnya rusak matanya, pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga atau ekornya dan telah mencapai umur tertentu. Ternak domba harus berumur lebih dari satu tahun atau sudah berganti giginya untuk bisa digunakan sebagai qurban. Dalam riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa Rasulullah melarang menyembelih hewan qurban yang pecah tanduknya dan terbelah telinganya. Qatadah dalam buku Fikih Wanita karangan Uwaidah (2008) menuturkan bahwa jika tanpa sengaja maka diperbolehkan berqurban dengan hewan yang tidak bertanduk atau hewan yang tanduknya patah kurang dari setengahnya, atau yang telinganya terbakar atau putus kurang dari setengahnya, juga yang ekornya terputus.

Kriteria pemilihan domba qurban seperti yang telah disebutkan di atas sudah merupakan syarat mutlak dan menjadi standar minimal dalam menentukan domba untuk qurban. Guna mendapatkan domba qurban dengan kualitas yang baik terutama produk dan kualitas daging maka penilaian hanya dengan menggunakan standar minimal saja tidak cukup. Hasil yang diperoleh pun belum akurat untuk disebut sebagai domba qurban yang berkualitas baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik domba qurban yang meliputi sifat kualitatif dan

(15)

kuantitatif sebagai langkah penting dalam menyeleksi domba qurban yang berkualitas.

Hipotesis

Domba qurban yang berkualitas baik memiliki karakteristik kualitatif dan kuantitatif yang berbeda dengan yang berkualitas standar.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih rinci dan akurat mengenai karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif domba qurban pada bangsa dan grade yang berbeda.

Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih domba qurban berkualitas sesuai yang diharapkan. Informasi mengenai karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif bisa dijadikan acuan untuk mendapatkan domba qurban yang berkualitas, baik bagi produsen maupun konsumen.

(16)

TI JAUA PUSTAKA Ternak Domba

Informasi tentang domestifikasi dan asal-muasal seleksi ternak domba masih minim. Domba yang ada zaman sekarang diduga nenek moyangnya berasal dari beberapa jenis domba liar, diantaranya domba moufflon (Ovis musimon), terdapat di Eropa dan Asia Barat; domba urial (Ovis orientalis, Ovis Vignei), terdapat di Afganistan sampai dengan Asia Barat; domba argali (Ovis ammon), terdapat di Asia Tengah; dan domba bighorn (Ovis Canadensis), terdapat di Asia Tengah. Menurut Johnston (1983), dilihat dari taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku belah dan termasuk pada subfamili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk pada genus Ovis, sedangkan domba yang didomestikasi adalah Ovis aries. Blakely dan Blade (1998), mengklasifikasikan domba sebagai berikut :

Kingdom : Animalia (hewan)

Filum : Chordata (hewan bertulang belakang) Kelas : Mammalia (hewan menyusui)

Ordo : Arthiodactyla (hewan berkuku genap) Famili : Bovidae (hewan memamah biak) Subfamili : Caprinae

Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Ada tiga bangsa domba utama yang ada di Indonesia, yaitu domba jawa ekor kurus, domba priangan, dan domba ekor gemuk (Hardjosworo dan Joel, 1987). Menurut Sutama (1993), di Indonesia terdapat dua jenis domba lokal yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Domba ekor tipis banyak dijumpai pada daerah-daerah yang relatif basah sedangkan domba ekor gemuk tersebar pada daerah-daerah-daerah-daerah kering seperti Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara. Menurut keterangan yang dikemukakan oleh Devendra dan McLeroy (1982), domba ekor gemuk yang ada di Indonesia diduga berasal dari Asia Barat Daya dan Afrika Timur yang dimasukkan pedagang-pedagang Arab. Edey (1983) memberikan keterangan bahwa pada awalnya pulau Madura memiliki populasi domba ekor gemuk terbanyak, kemudian menyebar ke daerah Jawa Timur dan akhirnya domba ekor gemuk menjadi domba khas Jawa

(17)

Timur. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), ekor yang dimiliki domba ekor gemuk mampu menyimpan cadangan lemak dalam jumlah besar sehingga membuat mereka tahan terhadap periode kekurangan pakan yang berkepanjangan, dan tetap dapat bertahan hidup pada suhu yang ekstrim.

Jenis-Jenis Domba Domba Lokal Ekor Tipis

Domba ekor tipis banyak berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekornya tidak menunjukkan adanya tanda-tanda lemak. Menurut Tiesnamurti (1992), domba ekor tipis mempunyai ukuran panjang ekor rata-rata 19,3 cm, lebar pangkal ekor 5,6 cm dan tebalnya 2,7 cm. Domba ekor tipis bertubuh kecil. Pada jantan bobot badan dewasa 15-20 kg. domba ini kurang produktif jika diusahakan secara komersial karena karkas yang dihasilkan sangat rendah (45-55% dari bobot hidup) dan pertumbuhannya lambat (Cahyono, 1998). Namun, domba ekor tipis bisa beranak sepanjang tahun. Umumnya domba ekor tipis betina tidak bertanduk sedangkan jantannya mempunyai tanduk kecil dan melingkar serta memiliki bentuk telinga kecil sampai sedang dengan posisi menggantung (Tillman, 1987). Domba ekor tipis berbulu kasar. Pada tubuh dan kepalanya banyak ditemui warna belang, baik berupa belang bintk-bintik (speckled), belang kecil maupun besar, kemudian diikuti pola satu warna (solid) dan pola lainnya (Sabarni et al., 1982).

Domba Priangan/Garut

Domba priangan banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis dan Tasikmalaya. Domba priangan juga dikenal dengan nama yang lebih populer yaitu domba Garut. Sebagai aset plasma nutfah Jawa Barat, domba Garut memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan cukup tanggap terhadap manajemen pemeliharaan yang baik dibandingkan dengan bangsa domba lain di Indonesia. Disamping itu memiliki keunggulan unik yang dapat dijadikan daya tarik pariwisata daerah, khususnya untuk domba Garut tipe tangkas (Heriyadi, 2002). Domba Garut adalah hasil persilangan dari tiga rumpun bangsa domba, yaitu domba merino yang berasal dari Australia, domba Kaapstad yang berasal dari Afrika dan domba jawa ekor gemuk yang berasal dari Indonesia. Domba jawa ekor gemuk sudah ada sebelumnya sejak lama sebagai jenis domba lokal, domba Merino dibawa oleh pedagang Belanda ke Indonesia

(18)

sedangkan domba Kaapstad didatangkan para pedagang Arab ke tanah Jawa sekitar abad-19 (Agusramadas, 2007). Domba Garut yang sekarang ini terbentuk akibat seleksi yang dilakukan bertahun-tahun (Atmadilaga, 1958). Sifat ekor berupa pangkal yang membesar dan pendek merupakan sifat domba Garut yang mirip dengan domba Kaapstad sedangkan dari Merino masih dapat dilihat ikalnya bulu dan bentuk tanduk yang sangat besar. Lebih lanjut penjelasan yang disampaikan oleh Triwulanningsih et al. (1981) bahwa sifat aduan dan warna hitam yang dominan banyak kesamaan dengan domba Kaapstad sedangkan bentuk telinga yang sangat kecil memiliki kemiripan dengan domba Merino. Berdasarkan sifat perlemakannya, Atmadilaga (1958) menyebutkan bahwa pada bagian ekor domba Garut mempunyai banyak persamaannya dengan sifat ekor pada domba Kaapstad dari Afrika, yang juga dikenal dengan domba ekor gemuk. Perlemakan pada ekor tersebut menjadi lebih nyata apabila domba memperoleh gizi yang lebih baik. Penjelasan yang dikemukakan oleh Doho (1994) yang memaparkan bahwa pada domba ekor gemuk, kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan lemak di bagian ekor akan mempengaruhi bobot badan ternak yang bersangkutan. Hal ini diperkuat dengan dugaan bahwa pada domba ekor gemuk, antara panjang dan lebar ekor mempunyai korelasi yang tinggi dengan bobot badan ternak.

Domba Garut ini mempunyai bobot badan rata-rata di atas domba lokal lainnya. Menurut Sugeng (1995), domba Garut jantan dewasa bobot badannya 60-80 kg sedangkan bobot badan betina sekitar 30-40 kg. Ciri fisik domba Garut jantan yaitu bertanduk, berleher besar dan kuat, dengan corak warna putih, hitam, coklat dan campuran ketiganya. Triwulanningsih et al. (1991) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara domba Garut tangkas dengan Garut pedaging dalam hal komposisi warna bulu. Warna bulu pada domba Garut tangkas dominan hitam 51% dan hanya 3,8% putih polos, sedangkan pada domba pedaging warna bulu dominan putih polos 58% dan hitam 7,3%. Ciri domba betina adalah dominan tidak bertanduk, kalaupun bertanduk namun kecil dengan corak warna yang serupa domba jantan.

Ternak Domba Sebagai Hewan Qurban

Ternak domba telah lama dikenal masyarakat sebagai salah satu ternak yang dimanfaatkan untuk hewan qurban disamping untuk ternak pedaging dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perbandingan dengan ternak lain, misalnya sapi,

(19)

kerbau, kambing, dan unta, domba termasuk yang lebih banyak dipilih masyarakat dalam melaksanakan ibadah qurban karena memiliki banyak keunggulan. Harga ternak domba lebih terjangkau, dagingnya relatif lebih disukai masyarakat dan umumnya mencari ternak domba untuk berqurban lebih mudah.

Dalam pelaksanaannya, seekor ternak harus memiliki kriteria tertentu sebelum dijadikan sebagai hewan qurban. Menurut Ibnu Abbas dalam buku Fiqih Wanita karangan Uwaidah (2008), disunnahkan berqurban dengan hewan yang gemuk dan baik. Dari segi kualitas, anggota tubuh ternak yang akan digunakan sebagai hewan qurban harus lengkap dan sempurna. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam buku Fiqh Islam karangan Rasjid (1998) bahwa hewan yang sah untuk dijadikan qurban ialah hewan yang tidak cacat, misalnya rusak matanya, pincang, sangat kurus, sakit, putus telinga atau ekornya dan telah mencapai umur tertentu. Ternak domba harus berumur lebih dari satu tahun atau sudah berganti giginya untuk bisa digunakan sebagai qurban. Dalam riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib menyebutkan bahwa Rasulullah melarang menyembelih hewan qurban yang pecah tanduknya dan terbelah telinganya. Qatadah dalam buku Fikih Wanita karangan Uwaidah (2008) menuturkan bahwa jika tanpa sengaja maka diperbolehkan berqurban dengan hewan yang tidak bertanduk atau hewan yang tanduknya patah kurang dari setengahnya, atau yang telinganya terbakar atau putus kurang dari setengahnya, juga yang ekornya terputus. Dalam memilih hewan qurban penting bagi masyarakat dibekali pengetahuan yang cukup mengenai kriteria hewan qurban yang baik dan sehat. Pemilihan hewan qurban bisa diperoleh berdasarkan hasil judging. Menurut Shiddieqy (2007) judging merupakan penilaian tingkatan ternak untuk tujuan tertentu yang dilakukan secara subjektif berdasarkan beberapa karakteristik penting. Judging dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penilaian melalui kecermatan pandangan (visual), penilaian melalui kecermatan perabaan (palpasi) dan penilaian melalui pengukuran tubuh. Penilaian melalui kecermatan pandangan dapat dilihat dari arah depan, samping dan belakang tubuh ternak. Ternak yang sehat terlihat dari keadaan mata dan kulitnya normal, pergerakannya tidak kaku, tingkah laku dan nafsu makan normal, pengeluaran kotoran dan urine tidak sulit, tidak ada gangguan dalam berjalan dan berdiri, serta memiliki respirasi dan sirkulasi darah yang normal.

(20)

Sifat Kualitatif Domba

Warwick et.el., (1995) mengartikan bahwa sifat kualitatif adalah salah satu sifat dimana individu dapat diklasifikasikan kedalam satu kelompok dari dua atau lebih kelompok. Dalam pengelompokan tersebut terdapat perbedaan yang jelas satu sama lain. Pada hewan ternak, sifat kualitatif dapat berupa sifat luar seperti warna bulu, tipe telinga, bentuk ekor dan lain-lain. Selain itu, sifat kualitatif juga bisa dalam bentuk cacat genetik dan polimorfisme genetik yang hanya dapat diukur melalui penelitian laboratorium pada jaringan atau cairan tubuh (Warwick, 1987).

Salah satu sifat kualitatif yang dinilai dapat menentukan spesifikasi dari bangsa ternak adalah pola warna bulu. Hasil penelitian Einstiana (2006) yang mengamati pola warna bulu domba menunjukkan bahwa terdapat perbedaan warna bulu pada bangsa domba yang berbeda di tiga lokasi yang berbeda. Adanya variasi tersebut diduga karena telah terjadi pencampuran genetik melalui perkawinan silang antar bangsa. Salamahwati (2004), mengatakann bahwa warna bulu pada domba Garut sangat beragam. Secara umum terdapat tiga warna dasar yaitu putih, hitam, dan coklat.

Mulliadi (1996) mengklasifikasikan bentuk ekor domba Garut dibagi kedalam tiga tipe yaitu pangkal gemuk (> 9 cm), sedang (5-8 cm), dan sempit (< 4 cm). Hasil pengamatan Salamahwati (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar domba Garut tipe pedaging bertipe ekor mecut (panjang, tidak lebar, dan ujung mengecil). Persentase domba Garut pedaging dengan tipe mecut pada betina sebesar 42,42%, sebanyak 39,39% bertipe sedang, dan 18,18% bertipe pangkal gemuk. Sedangkn pada domba jantan ditemukan sebanyak 51,85%, tipe sedang 37,04%, dan 11,11% tipe ekor pangkal gemuk.

Sifat Kuantitatif Domba

Dalam menentukan domba yang mempunyai produktifitas tinggi, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif maka peubah-peubah yang penting harus diketahui. Sifat yang perlu diketahui untuk kepentingan produksi dan reproduksi dan bisa menjadi ukuran dasar karakteristik suatu ternak adalah ukuran tubuh. Menurut Doho (1994), ukuran-ukuran tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, dapat digunakan untuk menaksir bobot badan dan untuk memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa. Djagra (1994) menjelaskan bahwa

(21)

pengetahuan mengenai ukuran-ukuran tubuh perlu dipelajari untuk menentukan bentuk fisik seekor ternak. Ukuran tubuh yang dimaksud adalah tinggi pundak, tinggi panggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada, lebar dada, lebar panggul, tinggi kanon dan sebagainya. Ukuran tubuh memiliki korelasi yang erat dengan bobot badan. Doho (1994) menyatakan bahwa korelasi yang erat antara bobot badan dan setiap ukuran tubuh merupakan perwujudan dari adanya proses pertumbuhan yang terjadi pada hewan tersebut, karena untuk menjaga keseimbangan biologis maka setiap pertumbuhan komponen-komponen tubuh akan diikuti dengan meningkatnya ukuran-ukuran tubuh. Panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada adalah ukuran tubuh yang paling erat korelasinya dengan bobot badan ternak. Hal tersebut berarti ternak yang mempunyai tubuh besar akan mempunyai tinggi pundak, panjang badan, dan lingkar dada yang lebih besar, sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh dan berat badan merupakan ukuran penting dalam menilai sifat kuantitatif ternak yang akan digunakan untuk program seleksi.

Pertumbuhan

Proses pertumbuhan pada ternak yang berlangsung secara berkesinambungan menghasilkan performa tertentu pada seekor ternak. Namun, menurut Diwyanto (1982), terdapat perbedaan antara kecepatan pertumbuhan dan perkembangan pada setiap komponen tubuh ternak karena adanya pengaruh alam dan lingkungan. Pengertian pertumbuhan sendiri berbeda dengan perkembangan. Menurut Sugeng (1995), pertumbuhan adalah peningkatan berat hidup domba hingga berat tubuhnya mencapai titik tertentu yang sesuai dengan kemasakan tubuhnya. Hafez dan Dyer (1969) menambahkan bahwa pertumbuhan juga menyangkut terjadinya peningkatan bobot badan, pertambahan dalam masa organik, mitosis, migrasi sel, sintesis protein, pertambahan ukuran linear tubuh dan lain-lain. Sedangkan pengertian perkembangan dikemukan oleh Sugeng (1995), menyatakan bahwa perkembangan adalah perubahan bentuk tubuh. Contohnya pada saat domba mengalami kebuntingan maka akan terjadi pertumbuhan jaringan ambing.

Selama ternak tersebut hidup hingga mencapai dewasa kelamin, proses pertumbuhan dan perkembangan akan terjadi secara terus-menerus (Gambar 1). Gatenby (1986) berpendapat bahwa adanya perubahan bentuk tubuh ternak dan pertambahan berat hidupnya merupakan tanda terjadinya pertumbuhan. Jika dilihat,

(22)

kurva pertumbuhan membentuk garis sigmoid apabila kondisi makanan terjamin. Sugeng (1995) juga menambahkan bahwa pada awalnya semua ternak pertumbuhannya sama. Di awal berlangsung lambat kemudian semakin lama akan makin meningkat tapi pada saat ternak mendekati kemasakan tubuh, pertumbuhan tersebut kembali melambat.

Pertumbuhan terdapat dua fase, yaitu: fase pertama self accelerating phase, dimana kecepatan tumbuh meningkat. Fase kedua self inhibiting phase dimana pertambahan ukuran tubuh per unit waktu turun sampai pertambahan ukuran tubuh tersebut menjadi nol atau mencapai ukuran maksimum. Pada fase kedua ukuran tubuh dewasa telah tercapai. Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (inflection point). Brody (1945) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat diukur dengan tiga cara, yakni laju pertumbuhan kumulatif (cumulative growth rate), laju pertumbuhan absolut (absolute growth rate) dan laju pertumbuhan relatif (relative growth rate). Kurva laju pertumbuhan kumulatif merupakan kurva bobot badan versus waktu. Kurva ini berbentuk sigmoid. Menurut Tulloh (1978) pertumbuhan sapi jantan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali dapat digambarkan sebagai kurva yang berbentuk sigmoid (Gambar 1).

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Sejak Lahir Sampai Ternak Mati. Y=Bobot hidup, Pertambahan Bobot Badan Harian atau Persen Laju Pertumbuhan; X=Umur; C=Pembuahan; B=Kelahiran; P=Pubertas; M=Dewasa Tubuh; D=Mati. Sumber: Brody (1945)

(23)

Kurva laju pertumbuhan absolut adalah kurva pertambahan bobot badan per unit waktu. Kurva ini diperoleh dengan cara menggambarkan pertambahan bobot badan harian versus umur. Pada saat lahir sampai pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin tinggi. Kemudian Setelah pubertas, pertambahan bobot badan harian menurun sampai mencapai titik nol setelah dicapainya kedewasaan. Selanjutnya setelah kedewasaan laju pertumbuhannya menjadi negatif (Brody, 1945). Brody (1945) menyatakan bahwa laju pertumbuhan relatif (LPR) pada “self accelerating phase” didefinisikan sebagai kecepatan tumbuh absolut dibagi dengan setengah jumlah bobot badan awal dan bobot badan akhir pengamatan. Persen laju pertumbuhan selalu menurun sepanjang hidup ternak. Laju pertumbuhan tertinggi diperoleh pada saat terjadi pembuahan. Meskipun laju pertumbuhannya sama, ternak yang lebih kecil tumbuh tiga kali lebih cepat bila perbandingan dibuat dalam persen laju pertumbuhan. Pada ternak yang berasal dari bangsa yang besar kerangka tubuhnya meskipun pertambahan bobot badan hariannya lebih tinggi tetapi persen laju pertumbuhannya lebih kecil bila dibandingkan dengan bangsa yang kerangka tubuhnya kecil.

Tingkat pertumbuhan domba bisa dilihat pada umurnya. Pada umur yang berbeda pertumbuhan domba cenderung tidak sama sehingga umur domba penting diketahui agar memudahkan dalam menentukan manajemen pakannya. Menurut Devendra dan McLeroy (1982), umur domba dapat diketahui melalui pendugaan kondisi gigi tetapnya. Gigi yang pertama kali muncul pada ternak domba adalah gigi susu kemudian setelah melalui periode tertentu akan digantikan dengan gigi tetap. Frandson (1992) menerangkan bahwa saat paling baik untuk menentukan umur seekor hewan adalah ketika pemunculan atau manakala ditembusnya gusi. Gigi depan disebut gigi seri (incisor) dan biasanya dinyatakan dengan huruf I. Gigi ini diberi nomor dari arah pusat mulut atau simfisis, ke arah lateral. Pasangan pertama gigi seri diberi kode I1 atau sentral, pasangan kedua I2 disebut intermidiit selanjutnya

I3 disebut intermidiit kedua dan yang terakhir (paling lateral) dengan nomor I4 atau

disebut sudut. Pendugaan umur domba berdasarkan kondisi gigi tetap disajikan pada Tabel 1.

(24)

Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Kondisi Gigi Seri Tetap

Gigi Seri Tetap Umur (tahun) Keterangan

Belum ada gigi seri tetap (gigi susu) <1 I0

Sepasang gigi seri tetap (dua buah) 1-1,5 I1

Dua pasang gigi seri tetap (empat buah) 1,5-2 I2

Tiga pasang gigi seri tetap 2-3 I3

Empat pasang gigi seri tetap 3,5-4 I4

Gigi seri tetap aus dan mulai lepas >4 I5

Sumber: Devendra dan McLeroy (1982)

Atmadilaga (1958) menyatakan bahwa, pertumbuhan dan produksi ternak adalah hasil interaksi antara hereditas dan lingkungan. Secara umum sekitar 30% dipengaruhi oleh faktor hereditas dan 70% oleh faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut berkaitan erat dan saling mempengaruhi ternak. Genetika yang baik tanpa didukung oleh lingkungan yang cocok tidak akan menghasilkan produksi yang tinggi. Menurut Gatenby (1991), bahwa pertambahan bobot badan pada domba dipengaruhi oleh kualitas pakan, gen, jenis kelamin, kesehatan domba tersebut serta manajemen pemeliharaan. Parameter lingkungan yang mempengaruhi faal ternak adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan pergerakan udara (angin). Menurut Hafez (1968) parameter lingkungan ini mempengaruhi ternak melalui dua jalan yaitu kulit dan bulu serta selaput jala mata. Rangsangan ini, melalui susunan syaraf pusat akan diteruskan ke otak, lalu dilanjutkan ke bagian tubuh lain untuk pengaturan proses mekanisme homeostatis, termasuk keseimbangan panas (heat balance), pengaturan suhu tubuh (circulatory balance) dan keseimbangan sirkulasi cairan tubuh (circulatory balance). McDowell et al. (1970) menjelaskan bahwa suhu udara yang tinggi dan konstan dapat menghambat metabolisme tubuh, mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan. Hal tersebut karena terjadi penerimaan panas oleh tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan pelepasan panasnya sehingga proses thermoregulasi bekerja untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap pada kisaran normal. Produktivitas terutama pertambahan bobot badan yang lambat disebabkan penggunaan energi yang dipakai untuk pertumbuhan tidak efisien, sebagian energi tersebut banyak digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisiologis, diantaranya respirasi. Penjelasan yang lebih rinci

(25)

dikemukakan Siregar (1991) bahwa suhu udara yang tinggi akan mengarah pada penurunan daya cerna ternak sehingga turn over menjadi lambat dan akibatnya konsumsi makanan menjadi turun, dengan demikian akan cepat menurunkan bobot badannya.

(26)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di ”Peternakan Tawakkal”, Kampung Cimande Hilir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Penelitian berlangsung pada bulan Nopember 2008.

Materi

Penelitian ini menggunakan ternak domba yang ada di ”Peternakan Tawakkal”, Kampung Cimande Hilir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor . Ternak domba yang diamati sebanyak 92 ekor domba jantan berumur 1-2 tahun (I1-I2) yang

akan dipotong sebagai hewan qurban. Sampel berupa 32 ekor domba keturunan Garut dan 60 ekor domba lokal ekor tipis. Masing-masing bangsa domba tersebut dibagi menjadi 3 grade, yaitu grade A yang merupakan domba dengan bobot badan 32-35 kg, grade B 28-31 kg dan grade C 24-27 kg. Jumlah domba keturunan Garut yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 13 ekor kategori grade A, 10 ekor kategori grade B dan 9 ekor kategori grade C sedangkan domba lokal ekor tipis yang dipakai sebanyak 20 ekor pada tiap kategori grade.

Ternak domba yang dipelihara di ”Peternakan Tawakkal” diberi pakan berupa hijauan dan pakan tambahan (ampas tahu). Peralatan yang digunakan antara lain pita ukur, tongkat ukur dan kamera digital.

Rancangan

Guna menganalisis pengaruh grade terhadap panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model matematikanya sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991) :

үij = µ + αi + εij

үij : Hasil pengukuran

µ : Nilai rataan umum

αi : Pengaruh grade domba ke-i

εij : Pengaruh galat percobaan

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA). Apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey.

(27)

Peubah

Peubah yang diamati yaitu fenotip dari sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Pengamatan peubah sifat kualitatif meliputi: profil muka, bentuk telinga, warna bulu, bentuk tanduk, bentuk ekor dan warna tanduk. Sedangkan parameter sifat kuantitatif meliputi panjang badan, tinggi pundak, dan lingkar dada.

Analisis Data

Sebelum diolah lebih lanjut, data dikelompokkan berdasarkan grade domba, bangsa domba dan secara keseluruhan data domba. Data sifat kualitatif yang diamati dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Digunakan perhitungan Frekuensi Relatif untuk menghitung persentase dari sifat yang diamati (Mulliadi, 1996) :

Frekuensi Relatif: Frekuensi sifat X = N sifat Χ ∑ x 100%

Keterangan: X= sifat kualitatif yang diamati N= total sampel yang diamati

Sementara untuk melihat korelasi antara beberapa sifat kuantitatif dengan sifat kualitatif maka digunakan analisis korelasi berdasarkan Steel dan Torrie (1981). Analisis korelasi diolah dengan bantuan paket program software (perangkat lunak) MINITAB 14.

Prosedur Persiapan

Tahap awal dilakukan pemilihan domba qurban sebanyak 92 ekor domba jantan berumur 1,5-2,5 tahun (I2). Sampel berupa 32 ekor domba keturunan Garut

dan 60 ekor domba loka ekor tipis. Pengambilan sampel dilakukan secara acak yaitu dengan cara mengambil sampel yang berasal dari seluruh kandang yang ada di ”Peternakan Tawakkal”. Data bobot badan pada masing-masing domba telah diketahui melalui penimbangan yang dilakukan setiap bulan. Berdasarkan data bobot badan tersebut kemudian dilakukan pengelompokkan domba menurut tingkatan bobot badannya atau grade. Pertimbangan pengelompokan berdasarkan grade karena tren yang berkembang saat ini harga pembelian hewan qurban ditetapkan berdasarkan grade.

(28)

Pengumpulan Data

Data yang diambil terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder berasal dari peternak yaitu berupa data bobot badan. Data primer didapatkan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung. Data primer dikelompokkan menjadi dua, yaitu data sifat kualitatif dan data sifat kuantitatif. Data sifat kualitatif merupakan hasil deskripsi mengenai penampilan luar domba yang meliputi profil muka, bentuk telinga, warna bulu, bentuk tanduk, bentuk ekor, dan warna tanduk. Sedangkan data sifat kuantitatif diperoleh dengan melakukan pengukuran bagian-bagian tubuh domba. Data sifat kuantitatif yang diambil ialah ukuran lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak. Berikut ini adalah cara pengukuran sifat kuantitatif dan pengamatan sifat kualitatif:

1) Sifat Kuantitatif, metode pengukurannya (Gambar 1), yaitu : a) Panjang Badan (PB)

Mengukur panjang badan ialah dengan menghitung jarak antara penonjolan tulang bahu (Os scapula) dan penonjolan tulang duduk (Os ischium). Pengukuran menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm.

b) Tinggi Pundak (TP)

Tinggi Pundak diukur menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm. Tinggi pundak adalah jarak antara tanah sampai dengan bagian titik tertinggi dari pundak ternak.

c) Lingkar Dada (LD)

Pengukuran lingkar dada dilakukan dengan menggunakan pita ukur dalam satuan cm. Cara mengukur lingkar dada yaitu melingkarkan pita ukur di sekeliling rongga dada dibelakang bahu dan kaki depan.

(29)

2) Sifat Kualitatif

Pengamatan sifat kualitatif dengan melihat morfologi dari tubuh ternak (bulu, tanduk, telinga, ekor, profil muka dan warna tanduk) meliputi:

a) Bulu: dilihat warna dan motif bulunya, dikelompokkan ke dalam 11 macam pola warna seperti pada Gambar 3, yaitu :

i) Belang Sapi, merupakan kombinasi hitam putih seperti belang batu namun dengan belang yang lebih besar, biasanya terdapat warna hitam yang besar-besar di atas warna putih (mirip sapi FH).

ii) Hitam

iii) Jogja, merupakan warna bulu domba coklat muda pada seluruh tubuhnya iv) Belang Batu, merupakan kombinasi warna bulu domba hitam putih

dengan dominansi salah satu dari keduanya da bercaknya mirip batu-batuan.

v) Coklat Tua

vi) Baracak, merupakan kombinasi warna bulu domba dengan dominasi hitam atau abu-abu dan bercak-bercak kecil putih yang tidak teratur pada sekujur tubuh atau pada sebagian tubuh.

vii)Putih

viii) Kondang, merupakan warna bulu domba putih kekuningan/warna gading pada seluruh tubuhnya.

ix) Laken, merupakan istilah untuk bulu domba dengan warna abu-abu atau hitam mirip topi laken atau sutera yang keputih-putihan.

x) Riben, merupakan warna bulu domba dengan ciri terdapat lingkaran warna bulu hitam di sekitar mata.

xi) Sela, merupakan kombinasi warna bulu putih hitam atau putih coklat dengan warna putih pada tubuh sedangkan pada bagian kaki dan leher berwarna hitam atau coklat.

(30)

a. Warna Bulu Belang Sapi b. Warna Bulu Hitam

c. Warna Bulu Jogja d. Warna Bulu Belang Batu

e. Warna Bulu Coklat Tua f. Warna Bulu Baracak

g. Warna Bulu Putih h. Warna Bulu kondang

i. Warna Bulu laken j. Warna Bulu Riben

k. Warna Bulu Sela

Gambar 3. Warna Bulu Belang Sapi (a), Hitam (b), Jogja (c), Belang Batu (d), Coklat Tua (e), Baracak (f), Putih (g), Kondang (h), Laken (i), Riben (j), dan Sela (k).

(31)

b) Tanduk: memperhatikan sifat penampakannya yaitu ada tidaknya tanduk atau hanya berupa tonjolan kecil serta bentuk tanduk, berdasarkan bentuknya diklasifikasikan menjadi empat model bentuk tanduk seperti pada Gambar 4, antara lain:

i) Leang-leang, merupakan bentuk tanduk domba dengan sedikit lengkungan mulai dari bagian bawah telinga mengarah ke samping dan tidak melebihi lebar muka.

ii) Sogong, merupakan bentuk tanduk domba yang melengkung ke arah depan dan jatuh lurus ke arah bawah sampai melebihi lebar muka, ujung tanduk lurus tidak ada lengkungan ke arah samping (mirip gayor).

iii) Bendo, merupakan bentuk tanduk yang melingkar ke arah belakang satu putaran dan ujungnya tidak melebihi batas mulut.

iv) Gayor, merupakan bentuk tanduk domba yang mengarah ke bawah sampai melebihi lebar muka dan bagian akhir tanduk sedikit melengkung ke luar (nanggeuy pipi, seperti posisi tangan orang yang sedang berdo’a, di daerah Bogor terkenal dengan tanduk hamin lebe).

v) Golong Tambang, merupakan bentuk tanduk domba yang melingkar satu putaran (ngagolong), termasuk bentuk tanduk yang tergolong gayor, japlang, atau leang-leang namun bila ada satu putaran maka dimasukkan pada golong tambang.

(32)

a. Bentuk Tanduk Leang-leang b. Bentuk Tanduk Sogong

c. Bentuk Tanduk Bendo d. Bentuk Tanduk Gayor

e. Bentuk Tanduk Golong Tambang

Gambar 4. Bentuk Tanduk Leang-leang (a), Sogong (b), Bendo (c), Gayor (d), dan Golong Tambang (e).

c) Telinga: melihat tipe telinganya dibagi dalam dua kelompok seperti pada Gambar 5, yaitu:

i) Rumpung, yaitu bentuk daun telinga menguncup (seperti bunga ros) atau menggulung, berukuran pendek, kecil, daun telinga tidak tampak jelas dan tampak hampir seperti tidak berdaun telinga (Salamena, 2006).

ii) Rubak, yaitu bentuk daun telinga lebar dan panjang, ujung telinga tidak runcing (bulat) dan lubang telinga tampak jelas (Salamena, 2006).

(33)

a. Bentuk Telinga Rumpung b. Bentuk Telinga Rubak

Gambar 4. Bentuk telinga Rumpung (a) dan Rubak (b).

d) Ekor: diklasifikasikan menjadi tiga seperti pada Gambar 6, yaitu:

i) Gabus, pangkal ekor hingga ujungnya memiliki ketebalan yang hampir sama.

ii) Bagong, bagian pangkal ekor lebih tebal dan semakin ke ujung ketebalan ekornya semakin berkurang.

iii) Beurit, bagian tengah ekornya lebih tipis dibandingkan bagian pangkal dan ujung.

a. Bentuk Ekor Gabus b. Bentuk Ekor Bagong

c. Bentuk Ekor Beurit

(34)

e) Profil muka: dikelompokkan menjadi dua (Gambar 7), yaitu;

i) Cembung, yaitu jika dilihat dari samping terdapat penonjolan tulang hidung yang melebihi tulang dahi.

ii) Datar, yaitu jika dilihat dari samping penonjolan tulang hidung sama rata dengan tulang dahi.

a. Bentuk Muka Cembung b. BentukMuka Datar Gambar 7. Bentuk Muka Cembung (a) dan Muka Datar (b).

f) Warna tanduk: digolongkan kedalam tiga jenis warna (Gambar 8), yaitu: i) Cinta, warna untuk tanduk domba kombinasi hitam dengan kuning

keputihan/warna gading.

ii) Wulung, warna untuk tanduk domba berwarna hitam.

iii) Berumbun, warna untuk tanduk domba berwarna kuning keputihan/warna gading.

a.Warna Tanduk Cinta b. Warna Tanduk Wulung

c. Warna Tanduk Berumbun

(35)

HASIL DA PEMBAHASA

Kondisi Umum Lokasi dan Performa Domba Penelitian

Secara astronomis daerah Kabupaten Bogor terletak diantara 619'-647' LS dan 1061'-107103' BT dengan luas wilayah 2.301,95 km2. Sektor peternakan memegang posisi strategis di Kabupaten Bogor. Sektor peternakan merupakan penyumbang kegiatan ekonomi kedua setelah sektor pertanian tanaman. Perkembangan produksi ternak di Kabupaten Bogor terus meningkat setiap tahun. Jenis komoditi yang dihasilkan antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, ayam ras, ayam buras dan itik. Letak kabupaten Bogor yang dekat dengan ibu kota sangat menguntungkan karena merupakan pangsa pasar potensial bagi sektor peternakan (Direktorat Pengembangan Potensi Daerah BKPM, 2008).

Lokasi penelitian tepatnya berada di Jalan Raya Sukabumi No.32 Desa Cimande Hilir Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah barat lokasi peternakan berbatasan dengan Dusun Lemah Duhur, di sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciderum sedangkan sebelah utara dan selatan adalah Desa Caringin. Keadaan topografi daerah cukup datar. Ketinggiannya berkisar antara 400-700 m di atas permukaan laut. Kisaran suhu antara 17-30C dengan kelembaban udara 70%-80%. Curah hujan mencapai 3000-3400 mm per tahun. Data performa domba penelitian berupa bobot badan yang telah dikelompokkan menjadi tiga grade dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data Bobot Badan Ternak Penelitian (dalam Kg)

Grade Bangsa Rataan

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis

A 33,38±1,45 (n = 13) 33,00±1,26 (n = 20) 33,15±1,33 (n = 33) B 30,40±0,97 (n = 10) 29,30±1,03 (n = 20) 29,67±1,12 (n = 30) C 25,67±1,00 (n = 9) 26,50±0,83 (n = 20) 26,24±0,95 (n = 29) Rataan 30,28±3,40 (n = 32) 29,60±2,88 (n = 60)

(36)

Pengaruh Grade terhadap Karakteristik Fisik Domba Profil Muka

Tabel 3 menunjukkan komposisi profil muka cembung domba keturunan Garut dalam grade A, B, dan C berturut-turut yaitu 76,92%; 50%, dan 33,33%. Sedangkan profil muka datar didapatkan nilai frekuensi grade A, B dan C masing-masing 23,08%; 50% dan 66,67%. Jika dilihat berdasarkan profil muka, terdapat ciri profil muka dengan frekuensi yang berbeda pada tiap grade. Semakin tinggi grade, frekuensi profil muka cembung semakin meningkat. Kondisi demikian memberi gambaran bahwa pada domba keturunan Garut, untuk mendapatkan grade yang tinggi bisa dilakukan dengan cara melihat profil muka domba tersebut. Profil muka cembung lebih banyak ditemukan pada grade A. Akan tetapi, menurut Diwyanto et al. (1984) ukuran tulang yang besar menjadi indikator domba tersebut berbobot badan besar. Hal ini disebabkan jaringan otot yang melekat pada tulang lebih banyak jumlahnya sehingga berakibat pada tingginya bobot badan. Jadi, hubungan antara profil muka dengan bobot badan hampir bisa dikatakan relatif kecil. Hal ini dapat dipahami karena kemungkinan ciri profil muka merupakan ciri khas dari bangsa domba, dalam hal ini sudah merupakan sifat herediter seperti yang dikatakan oleh Becker dan Dix (Bogart, 1959) bahwa bentuk kepala kemungkinan diatur oleh pasangan gen resesif sederhana.

Profil muka domba lokal ekor tipis pada masing-masing grade menunjukkan nilai yang sama yaitu sebesar 70% muka cembung dan 30% muka datar. Ini artinya tidak ada keterkaitan antara grade dengan profil muka. Sehingga jika berpedoman pada hasil penelitian ini maka penentuan untuk mendapatkan ketegori grade tinggi pada domba lokal ekor tipis kurang tepat apabila dilakukan hanya dengan cara melihat profil muka.

Tabel 3. Frekuensi Profil Muka Domba

Profil Muka

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Muka Cembung 76,92 50 33,33 70 70 70

(37)

Bentuk Telinga

Tabel 4 menunjukkan hasil bahwa frekuensi bentuk telinga domba keturunan Garut pada masing-masing grade menunjukkan nilai yang seragam yaitu 100% bertelinga rumpung. Jadi, dapat dikatakan bahwa seluruh domba keturunan Garut yang diamati pada penelitian ini memiliki bentuk telinga rumpung. Ini menunjukkan tidak ada hubungan antara grade dengan bentuk telinga.

Hasil juga menunjukkan bahwa seluruh domba lokal ekor tipis pada setiap grade mempunyai bentuk telinga rubak. Pengaruh grade terhadap bentuk telinga dapat dikatakan tidak ada sehingga hal tersebut dapat menunjukkan bahwa sifat kualitatif bentuk telinga tidak tepat untuk digunakan sebagai parameter dalam menentukan grade domba.

Tabel 4. Frekuensi Bentuk Telinga Domba

Bentuk Telinga

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Rumpung 100 100 100 0 0 0

Rubak 0 0 0 100 100 100

Warna Bulu

Warna bulu belang sapi menempati frekuensi tertinggi di tiap ketegori grade pada domba keturunan Garut. Nilai frekuensi tersebut adalah grade A sebesar 38,46%; grade B sebesar 70%; dan grade C 44,44%. Hal ini berarti bahwa pada domba keturunan Garut tidak ditemukan adanya hubungan antara grade dengan karakteristik fisik warna bulu. Nilai frekuensi warna bulu pada domba keturunan Garut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terdapat pada domba lokal ekor tipis. Frekuensi warna bulu belang sapi hampir mendominasi di tiap ketegori grade, kecuali pada grade C. Sebagian besar warna bulu domba lokal ekor tipis pada grade C adalah warna bulu laken (20%) sedangkan pada grade B dan C didominasi warna bulu belang sapi dengan nilai frekuensi masing-masing 30% dan 40%. Ini menunjukkan bahwa pada domba lokal ekor tipis tidak ada keterkaitan antara grade

(38)

dengan warna bulu. Frekuensi warna bulu domba keturunan Garut dan domba lokal ekor tipis pada tiap-tiap grade selengkapnya tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Frekuensi Warna Bulu Domba

Warna Bulu

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20) --- Frekuensi (%) --- Belang Sapi 38,46 70 44,44 30 40 15 Hitam 15,38 0 11,11 0 0 0 Jogja 23,08 0 0 0 0 5 Belang Batu 7,69 0 0 10 10 15 Coklat Tua 7,69 0 0 10 5 0 Baracak 7,69 10 11,11 10 10 5 Putih 0 20 33,33 5 0 0 Kondang 0 0 0 10 25 15 Laken 0 0 0 15 10 20 Riben 0 0 0 5 0 15 Sela 0 0 0 5 0 10 Bentuk Tanduk

Hasil pengamatan terhadap bentuk tanduk seperti yang terlihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pada domba keturunan Garut, bentuk tanduk leang-leang mendominasi grade A dengan nilai frekuensi 53,85%. Bentuk tanduk sogong mendominasi grade B dan C masing-masing nilainya yaitu 60% dan 44,44%. Akan tetapi, nilai frekuensi bentuk tanduk pada domba keturunan Garut seperti yang tampak pada Tabel 6 hampir tersebar merata sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa antara grade dan bentuk tanduk tidak memiliki hubungan.

Hal yang hampir sama juga ditemukan pada bentuk tanduk domba lokal ekor tipis. Berdasarkan hasil pengamatan seperti pada Tabel 6 diketahui nilai frekuensi bentuk tanduk tidak merata. Ini berarti pada domba lokal ekor tipis tidak ada hubungan antara grade dengan bentuk tanduk.

(39)

Tabel 6. Frekuensi Bentuk Tanduk Domba

Bentuk Tanduk

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis

A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20) --- Frekuensi (%) --- Leang-leang 53,85 20 33,33 50 25 45 Sogong 30,77 60 44,44 30 35 35 Bendo 7,69 0 11,11 5 20 5 Gayor 7,69 10 0 10 20 15 Golong Tambang 0 10 11,11 5 0 0 Bentuk Ekor

Berdasarkan hasil pengamatan yang tercantum pada Tabel 7 nilai frekuensi bentuk ekor bagong grade C pada domba keturunan Garut yaitu 11,11%, kemudian frekuensinya meningkat menjadi 20% pada grade B dan 46,15% pada grade A. Semakin tinggi grade maka frekuensi bentuk ekor bagong pada domba keturunan Garut akan semakin meningkat. Dapat dilihat bahwa kebanyakan domba keturunan Garut grade A memiliki bentuk ekor bagong. Menurut Heriyadi (2003), ciri khas domba Garut adalah kombinasi antara bentuk ekor yang berbentuk segitiga terbalik (berbentuk beurit atau bagong).

Tabel 7. Frekuensi Bentuk Ekor Domba

Bentuk Ekor

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Gabus 38,46 60 88,89 35 30 45

Bagong 46,15 20 11,11 50 60 35

Beurit 15,38 20 0 15 10 20

Bentuk ekor bagong masih menempati frekuensi tertinggi pada grade A dan grade B dengan nilai frekuensi masing-masing 50% untuk grade A dan 60% untuk grade B, sementara pada grade C frekuensi tertinggi adalah bentuk ekor gabus sebesar 45%. Frekuensi bentuk ekor pada domba lokal ekor tipis yang disajikan pada

(40)

Tabel 7 memperlihatkan komposisi nilai yang acak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada keterkaitan antara grade dengan bentuk ekor.

Warna Tanduk

Apabila dilihat berdasarkan warna tanduk seperti yang tercantum pada Tabel 8, pada domba keturunan Garut frekuensi warna tanduk wulung paling tinggi dibanding warna lain di setiap kategori grade. Secara berurutan nilai frekuensi warna tanduk wulung pada grade A, B dan C yaitu 53,85%; 50%; dan 44,44%. Selain itu, dapat dilihat dari tabel bahwa frekuensi warna tanduk wulung semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya grade. Akan tetapi perbedaan frekuensi tersebut tidak begitu besar sehingga warna tanduk belum bisa diambil sebagai patokan dalam menyeleksi domba ber-grade tinggi.

Jenis warna tanduk yang memiliki frekuensi tertinggi pada domba lokal ekor tipis ialah warna tanduk wulung sebesar 45% pada grade A, warna tanduk berumbun sebesar 40% pada grade B dan warna tanduk wulung sebesar 50% pada grade C. Berdasarkan Tabel 8 jika melihat sebaran frekuensi warna tanduk yang acak pada domba lokal ekor tipis maka hal ini memberi gambaran bahwa pada domba lokal ekor tipis tidak ada hubungan antara grade dengan warna tanduk.

Tabel 8. Frekuensi Warna Tanduk Domba

Warna Tanduk

Keturunan Garut Lokal Ekor Tipis A(n=13) B(n=10) C(n=9) A(n=20) B(n=20) C(n=20)

--- Frekuensi (%) ---

Cinta 23,08 40 33,33 30 30 30

Wulung 53,85 50 44,44 45 30 50

Berumbun 23,08 10 22,22 25 40 20

Pengaruh Grade terhadap Ukuran Tubuh Domba

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum grade domba yang berbeda mempunyai sifat kuantitatif yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat baik pada domba keturunan Garut maupun domba lokal.

(41)

Domba Keturunan Garut

Hasil uji statistik pada domba keturunan Garut menunjukkan bahwa grade memiliki perbedaan ukuran-ukuran tubuh yang sangat nyata (P<0,01), kecuali pada parameter panjang badan dimana hasilnya tidak berbeda diantara grade domba (P>0,05).

Pada penelitian kali ini grade tidak memiliki perbedaan ukuran panjang badan yang sangat nyata (P>0,05). Dengan demikian dapat diartikan bahwa untuk mendapatkan domba ber-grade tinggi cara yang dilakukan dengan menggunakan parameter panjang badan dinilai kurang tepat. Dari pengalaman posisi berdiri ternak sangat mempengaruhi keakuratan hasil pengukuran (Siregar et al, 1984). Dalam pelaksanannya terkadang sulit mengendalikan posisi ternak terutama karena nervous. Zubardi et al. (1984) telah melakukan penelitian berbagai posisi kaki sapi dan ternyata yang paling dipengaruhi adalah panjang badan.

Ukuran tinggi pundak pada grade A tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan grade B, namun sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding grade C. Sedangkan ukuran tinggi pundak grade B sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding grade C. Rataan ukuran tinggi pundak pada domba keturunan Garut grade A ialah 57,61±4,30 cm, grade B 56,25±3,15 cm dan grade C 50,56±4,36 cm.

Tabel 9. Rataan Ukuran Tubuh Domba Keturunan Garut

Grade Panjang Badan Tinggi Pundak Lingkar Dada --- cm ---

A (n = 13) 48,50±3,76 57,61±4,30A 80,23±2,52A

B (n = 10) 49,65±3,17 56,25±3,15A 76,90±3,11AB

C (n = 9) 48,78±2,81 50,56±4,36B 73,56±6,00B

Rataan 48,94±3,27 55,20±4,90 77,31±4,72

Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), bila diikuti huruf besar yang berbeda menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01)

Seperti halnya pada ukuran tinggi pundak, grade domba yang berbeda juga sangat nyata (P<0,01) memiliki ukuran lingkar dada yang berbeda. Rataan ukuran lingkar dada domba keturunan Garut grade A, B, dan C masing-masing adalah 80,23±2,52 cm; 76,90±3,11 cm; dan 73,56±6,00 cm. Ukuran lingkar dada grade A

(42)

tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan grade B. Demikian pula sebaliknya grade A memiliki ukuran lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi jika dibandingkan dengan grade C. Seperti yang dikemukan oleh Tragedi (2007) bahwa pertumbuhan lingkar dada lebih didasari karena pengaruh pertumbuhan daging atau otot. Johansen dan Rendel (1968) dalam Zubaidah (1984) menyatakan pertumbuhan lingkar dada tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan kerangka tulang tetapi dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan. Lebih jelasnya Doho (1994) menerangan bahwa pertambahan bobot badan pada ternak akan menyebabkan ternak menjadi besar. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin bertambahnya kekuatan dan kesuburan otot-otot penggantung Musculus serratus ventralis dan Musculus pectoralis yang terdapat di daerah dada, sehingga pada gilirannya ukuran lingkar dada semakin meningkat.

Djagra (1994) mengatakan bahwa ada keterkaitan erat antara ukuran tubuh dengan bobot badan. Diantara banyaknya parameter ukuran tubuh, panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang memiliki korelasi erat dengan bobot badan. Lebih lanjut Djagra (1994) menyimpulkan bahwa ternak yang bertubuh besar mempunyai tinggi pundak, lingkar dada dan panjang badan yang relatif besar. Ini merupakan indikasi telah terjadi proses pertumbuhan pada ternak tersebut. Demi menjaga keseimbangan biologis maka setiap pertumbuhan komponen-komponen tubuh akan diikuti dengan peningkatan ukuran-ukuran tubuh (Doho, 1994). Hal ini berarti bahwa ukuran tinggi pundak dan lingkar dada bisa digunakan sebagai acuan dalam menilai grade domba. Maka untuk mendapatkan domba keturunan Garut dengan performa yang baik, dalam hal ini grade yang tinggi bisa dilakukan dengan memilih domba yang ukuran tinggi pundak dan lingkar dadanya lebih besar.

Domba LokalEkor Tipis

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa pada grade domba yang berbeda tidak ditemukan perbedaan ukuran panjang badan yang nyata (P>0,05). Adanya pengaruh yang tidak nyata antara grade dengan ukuran panjang badan menjadikan ketidaktepatan ukuran panjang badan jika dipakai sebagai pembeda dalam menentukan domba lokal ekor tipis ber-grade tinggi.

Grade memiliki perbedaan ukuran tinggi pundak yang sangat nyata (P<0,01). Ini menunjukkan informasi besarnya ukuran tinggi pundak penting diketahui dan

(43)

menjadi pembeda dalam memilih domba lokal ekor tipis ber-grade tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara ukuran tinggi pundak grade A dengan grade B. Perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) ditemukan pada ukuran tinggi pundak grade A dengan grade C dan antara grade B dengan grade C. Secara berurutan, rataan ukuran tinggi pundak grade A, B, dan C yaitu 55,70±3,00 cm; 55,60±3,21 cm; dan 51,62±3,61 cm.

Pada parameter lingkar dada, didapatkan hasil bahwa grade memiliki perbedaan ukuran lingkar dada yang sangat nyata (P<0,01). Lingkar dada grade A sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi daripada grade B maupun grade C. Sementara antara grade B dengan grade C tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan ukuran lingkar dada domba lokal ekor tipis grade A, B, dan C masing-masing adalah 79,35±3,36 cm; 76,50±2,26 cm; dan 74,80±2,73 cm.

Tabel 10. Rataan Ukuran Tubuh Domba Lokal Ekor Tipis

Grade Panjang Badan Tinggi Pundak Lingkar Dada --- cm ---

A (n = 20) 48,12±2,37 55,70±3,00A 79,35±3,36A

B (n = 20) 47,17±3,35 55,60±3,21A 76,50±2,26BC

C (n = 20) 46,62±4,67 51,62±3,61B 74,80±2,73C

Rataan 47,31±3,58 54,31±3,75 76,88±3,36

Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,05), bila diikuti huruf besar yang berbeda menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0,01)

Salamena (2006) yang telah melakukan penelitian mengenai karakteristik fenotipik domba kisar menjelaskan bahwa panjang badan, lebar dada, lingkar dada, dan lebar ekor sangat mempengaruhi bobot badan. Karakter ini bisa digunakan sebagai sifat seleksi bagi bobot badan. Terdapatnya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Salamena (2006) kemungkinan disebabkan kualitas domba yang diamati berbeda.

Analisis Korelasi Antara Bobot Badan dengan Ukuran-ukuran Tubuh Domba Berdasarkan Perbedaan Bangsa dan Grade

Pada Tabel 11 terlihat bahwa secara umum setiap parameter memiliki nilai korelasi yang hampir seragam untuk setiap ukuran tubuh. Hasil analisis korelasi

(44)

berdasarkan keseluruhan data yang diambil pada penelitian ini menunjukkan bahwa panjang badan tidak berkorelasi nyata (P>0,05) dengan bobot badan. Hasil pengelompokkan berdasarkan bangsa domba juga diketahui tidak ada korelasi yang nyata (P>0,05) antara panjang badan dengan bobot badan pada masing-masing bangsa domba. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuswandi et al. (1991) yang menyatakan bahwa panjang badan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot badan dan bobot karkas (P>0,05). Namun demikian hal ini bertentangan dengan rumus Johnston yang menetapkan panjang badan sebagai faktor penting dalam mempengaruhi bobot badan sehingga dipakai untuk menduga bobot badan (Siregar et al., 1984). Diwyanto (1984) memberikan penjelasan bahwa terbatasnya jumlah pengamatan dapat menunjukkan rendahnya hubungan tersebut, jumlah pengamatan yang lebih banyak juga tidak membuktikan keeratan hubungan tersebut, kecuali untuk dataran tinggi. Kuswandi et al. (1991) menambahkan bahwa pendugaan bobot badan dengan menggunakan parameter panjang badan sulit mendapatkan ketepatan yang tinggi untuk ternak ruminanasia kecil. Alasan lain menurut Kuswandi et al (1991) hasil pengukuran yang akurat untuk ternak ruminansia kecil biasanya sulit dilakukan karena dapat menghasilkan bias yang lebih besar daripada sapi.

Hasil analisis korelasi berdasarkan keseluruhan data yang diambil pada penelitian ini menunjukkan tinggi pundak dan lingkar dada sangat nyata (P<0,01) berkorelasi positif terhadap bobot badan. Pada domba Garut terdapat korelasi yang sangat nyata (P<0,01) antara bobot badan dengan tinggi pundak dan lingkar dada. Pada kelompok domba lokal korelasi yang sangat nyata (P<0,01) juga tampak antara bobot badan dengan tinggi pundak dan lingkar dada. Berdasarkan keseluruhan data penelitian didapatkan nilai korelasi antara bobot badan dan tinggi pundak sebesar 0,480 lebih rendah jika dibandingkan dengan lingkar dada yaitu sebesar 0,548. Pengelompokan berdasarkan bangsa domba diperoleh nilai korelasi antara bobot badan dengan tinggi pundak sebesar 0,549 dan antara bobot badan dengan lingkar dada sebesar 0,559 masing-masing untuk domba keturunan Garut. Pada domba lokal yakni 0,414 untuk nilai korelasi antara bobot badan dengan tinggi pundak dan 0,539 untuk nilai korelasi antara bobot badan dengan lingkar dada. Seperti terlihat pada Tabel 11 Nilai korelasi yang lebih tinggi dicapai pada hasil korelasi antara bobot badan dengan ukuran lingkar dada jika dibandingkan dengan hasil korelasi antara

Gambar

Gambar  1.  Kurva  Pertumbuhan  Sejak  Lahir  Sampai  Ternak  Mati.  Y=Bobot  hidup,  Pertambahan  Bobot  Badan  Harian  atau  Persen  Laju  Pertumbuhan;  X=Umur;  C=Pembuahan;
Gambar  3.  Warna  Bulu  Belang  Sapi  (a),  Hitam  (b),  Jogj a  (c),  Belang  Batu  (d),  Coklat Tua (e),  Baracak  (f), Putih (g),  Kondang  (h),  Laken  (i),  Riben  (j),  dan  Sela  (k).
Gambar 6.  Bentuk Ekor  Gabus  (a) , Bagong  (b) ,  dan  Beurit  (c).
Gambar 8.  Warna Tanduk  Cinta  (a),  Wulung  (b), dan  Berumbun  (c).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian kon fi gurasi politik da- lam pemberantasan tindak pidana korupsi lebih baik dan meningkat dibanding- kan dengan kon fi gurasi politik dalam era orde lama dan orde

Dengan demikian program pendidikan mempunyai andil besar terhadap kemajuan bangsa, baik di bidang ekonomi maupun sosial Dua indikator utama dalam mengukur derajat

Keistimewaan ikan glodok ini yaitu hanya dapat dijumpai di kawasan pesisir hutan mangrove serta memiliki kemampuan merangkak naik ke darat atau bertengger ke

Adapun hasil wawancara bersama Bapak Indrah Dehimeli pada tanggal 19 juni 2017 mengenai pemahaman dan amalan ibadah kaum muslimin, beliau mengatakan bahwa

Konsep manajemen diri sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep manajemen dalam ilmu ekonomi, karena dalam konsep manajemen diri yang dalam penelitian komunikasi

Kinerja paralel perhitungan kritikalitas dan distribusi fluks menggunakan metoda Modified Gauss Seidel dinyatakan pada tabel 1 pada sistem kluster untuk penyelesaian sistim

Juga terlihat bahwa dengan sistem padi organik, kebutuhan dan frekuensi pengairan mengalami penurunan, tenaga kerja yang digunakan cukup dengan hanya bersumber pada tenaga

Adapun konsep diri dari aspek fisik yang dirasakan oleh responden 2 sesuai dengan hasil wawancara adalah :Bahwa Septi merasa kalau ia berjilbab mode, ia akan terlihat