• Tidak ada hasil yang ditemukan

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan (University Farm), Institut Pertanian Bogor dengan ketinggian tempat 240 m di atas permukaan laut, 06.55 LS dan 106.72 BT yang dimulai pada bulan Januari 2010 – September 2011. Hasil analisis tanah lokasi penelitian yang dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB disajikan lengkap pada Tabel 1.

Tabel 1. Data hasil analisis contoh tanah tempat penelitian

Tanah Hasil Kriteria* C.Organik (%) N – total (%) P Bray (ppm) P HCl 25% (ppm) Ca (me/100g) Mg (me/100g) K (me/100g) Na (me/100g) KTK (me/100g) KB (%) Al (me/100g) H (me/100g) pH H20 Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) 1.44 0.15 3.7 35.4 3.76 0.64 0.19 0.30 15.42 31.71 2.48 0.29 5.00 11.31 15.23 73.46 rendah rendah sangat rendah sedang tinggi rendah rendah rendah rendah rendah sangat rendah masam

 

Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika Dramaga Bogor, Kota Bogor memiliki rata–rata curah hujan tinggi (337.6 mm/bulan), suhu harian antara 23.0oC–31.6oC, jumlah rata–rata bulan basah 12 bulan/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut maka menurut Schmidt dan Ferguson kota Bogor termasuk wilayah yang beriklim basah (Wisnubroto et al. 1983). Data Klimatologi wilayah Darmaga Bogor dari bulan Januari 2010 sampai dengan Juni 2011 disajikan pada Lampiran 3 dan 4.

Hasil Sebelum Pemangkasan

Gambar 1. Penampilan sebelum dipangkas.

Buah jarak pagar akan masak sekitar 40-50 hari setelah pembuahan (Wiessenhutter 2003). Buah berwarna hijau muda , tumbuh dan berkembang menjadi hijau tua (mature) ketika matang (masak fisiologis), kemudian menguning (ripe), warna berubah menjadi hitam atau mulai mengering (senesen). Jika terlalu kering buah akan pecah saat lewat masak (Heller 2000; Henning 2000).

Buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) atau seringkali disebut juga sebagai kapsul serta istilah biologisnya dinamai buah kendaga (rhegma), mempunyai sifat seperti buah berbelah dan tiap bagian buah muda pecah sehingga biji yang terdapat di dalamnya terlepas dari ruang (Tjitrosoepomo 1987). Dalam penelitian ini jumlah rhegma keseluruhan genotipe jarak pagar termasuk buah berkendaga tiga, saat masak terpecah menjadi tiga bagian yakni, masing–masing mengeluarkan satu biji. Bijinya berbentuk bulut lonjong berwarna coklat

kehitaman hingga hitam dengan ukuran panjang 2 cm, tebal 1 cm, dan berat berkisar 0.4-0.6 gram per biji. Warna buah muda dan buah masak antar genotipe tidak berbeda. Warna buah muda dan buah tua atau masak antar genotipe tidak berbeda. Pada buah muda berwarna hijau muda dan masak fisiologis berwarna kuning (Gambar 2).

(a) (b)

(c1) (c2) (d)

Gambar 2. Buah Jarak pagar (a) buah muda, (b) buah masak, (c1,c2) penampakan

biji dalam bilik pada buah muda dan tua, (d) buah kering.

Proses pematangan buah pada setiap tandan atau malai tidak serempak. Proses pemanenan pada tanaman jarak pagar dilakukan secara bertahap. Cara panen dilakukan dengan memetik buah yang telah berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yeyen et al. (2006) bahwa tingkat kemasakan buah kuning memberikan kadar minyak yang paling tinggi. Hasil penelitian Santoso (2009) bobot kapsul pada saat masak kuning rata-rata berkisar 10.2-11.4 g.

Tabel 2 menunjukkan genotipe memberikan efek yang signifikan terhadap bobot buah rata-rata, tetapi tidak memberikan efek yang signifikan terhadap jumlah buah per tanaman dan jumlah biji per tanaman. Bobot buah tertinggi dicapai oleh genotipe IP-1A (7.16 g/buah), IP–2P (6.19 g/buah) dan yang terendah genotipe Bima (1.49 g/buah). Genotipe tidak menunjukkan perbedaan nyata terhadap jumlah buah per tanaman dan jumlah biji per tanaman.

 

Tabel 2. Rata – rata pengamatan buah peubah jarak pagar. Genotipe Jumlah buah/tanaman Bobot buah rata-rata (g) Jumlah biji/tanaman IP - 1A 3.3 7.16 a 49.4 IP - 1M 0.8 2.97 bc 11.3 IP - 2P 3.0 6.19 a 48.8 Lombok Timur 1.2 3.04 bc 16.9 Lombok Barat 0.9 2.55 c 13.8 Lombok Tengah 1.7 3.64 b 26.1 Sumbawa 1.2 2.93 bc 18.7 Bima 0.7 1.49 c 9.2

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRTα: 0.05 % , pada peubah; jumlah buah per tanaman, bobot buah rata-rata(g), dan jumlah biji per tanaman.

Biji jarak pagar setelah dipanen tampak berwarna hitam kecoklatan pada genotipe Lombok Timur, Lombok Tengah, berwarna hitam pada aksesi IP–2P, IP – 1M, IP–1A, Lombok Barat, Sumbawa besar dan Bima. Saat biji mulai kering pada permukaan biji akan tampak garis–garis putih dan retak–retak halus pada permukaan biji di saat mulai kering (Gambar 3).

( a) ( b)

Gambar 3. Variasi bentuk biji; (a) biji basah dan (b) biji kering jarak pagar.

Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan perlakuan genotipe menyebabkan perbedaan nyata terhadap bobot kering biji per tanaman (g), bobot kering biji per petak (kg), bobot kering biji per hektar (kg), dan tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap bobot basah biji (g) dan bobot 100 butir (g). Bobot kering biji per tanaman terberat dicapai oleh genotipe IP-1A (35.08 g/tanaman), IP-2P (29.37

g/tanaman) dan terendah diperoleh genotipe Bima (2.30 g/tanaman). Bobot kering biji per petak tertinggi diperoleh dari asal genotipe IP–1A (420.9 g) dan terendah genotipe Bima (27.6 g) sedangkan bobot kering biji per hektar tertinggi dicapai oleh genotipe IP – 1A (87.6 kg/ha) dan terendah ekotipe Bima (5.7 kg/ha).

Tabel 3. Rata – rata pengamatan peubah biji jarak pagar.

Genotipe Bobot basah biji (g) Bobot 100 biji (g) Bobot biji kering/tan aman (g) Bobot kering biji per petak (g) Bobot kering biji per ha (kg) IP - 1A 1.09 62.00 35.08 a 420.9 a 87.7 a IP - 1M 1.10 68.28 4.31 bc 51.7 bc 10.8 bc IP - 2P 1.14 64.00 29.37 b 352.4 ab 73.4 ab Lombok Timur 1.05 73.00 3.76 bc 45.1 bc 9.4 bc Lombok Barat 1.11 66.33 2.83 c 34.0 c 7.1 c Lombok Tengah 1.11 65.79 12.11 abc 145.3 abc 30.3 abc Sumbawa 1.13 69.63 6.10 bc 73.2 bc 15.2 bc Bima 1.03 66.08 2.30 c 27.6 c 5.7 c Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRTα : 0.05 % . Hasil penelitian Arisanti (2010) pada tahun pertama (tanpa pemangkasan) pengujian genotipe dan tempat yang sama menunjukkan produksi biji kering yang tertinggi dicapai oleh genotipe IP-2P (558.33 kg/ha) dan IP-1A (295.83 kg/ha). Namun pada pengujian produksi tahun ke dua justru hasil produksi IP-1A tidak terlalu jauh dibandingkan dengan produktivitas genotipe IP-2P. Genotipe IP- 1A dan IP-2P memiliki produktivitas atau potensi daya hasil hampir sama, hal ini karena merupakan genotipe yang beradaptasi di daerah yang dengan curah hujan tinggi (Bogor).

Hasil Setelah Pemangkasan

Tabel 4 menunjukkan perlakuan genotipe memberikan efek yang signifikan terhadap jumlah cabang sekunder dan jumlah cabang produktif, tetapi tidak memberikan efek yang signifikan jumlah cabang primer, panjang cabang minggu ke – 2 sampai minggu minggu ke–8. Jumlah cabang produktif tertinggi terdapat pada genotipe IP-2P (2.3), dan terendah genotipe Bima (1.0) (Tabel 4).

 

Tabel 4. Rata – rata pengamatan peubah cabang tanaman jarak pagar.

Genotipe JCP JCS PC PC PC PC CP 2MSP 4MSP 6MSP 8MSP IP – 1A 4.8 6.0 a 3.6 16.6 26.8 35.6 1.9 b IP – 1M 4.2 5.0 b 3.8 12.2 25.6 30.0 1.4 c IP – 2P 4.8 6.2 a 2.6 15.6 17.7 25.4 2.3 a Lombok Timur 3.7 5.0 b 3.5 13.4 22.5 25.6 1.0 d Lombok Barat 3.4 3.6 c 3.7 13.7 27.1 35.9 1.0 d Lombok Tengah 3.8 4.8 bc 3.6 17.9 27.1 37.8 1.1 d Sumbawa Besar 3.3 4.2 bc 3.7 15.6 24.3 30.7 1.3 cd Bima 3.1 4.0 c 3.6 12.3 22.1 26.8 1.0 d Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05; JCP= jumlah cabang primer, JCS= jumlah cabang sekunder, PC= panjang cabang, CP= cabang produktif, MSP = minggu setelah pemangkasan (cm).

Pemangkasan total batang utama dapat meningkatkan jumlah cabang primer yang tidak dibatasi dan jumlah cabang tertinggi hampir dicapai pada semua genotipe. Peningkatan jumlah cabang primer dan sekunder pada tanaman yang dipangkas, sejalan dengan pendapat Marini (2003) yang menyatakan bahwa pemangkasan batang utama akan merangsang pembentukan cabang yang lebih banyak dan lebih cepat dibandingkan dengan tidak dipangkas. Penambahan jumlah cabang ini dapat terjadi karena hilangnya dominasi apikal akibat pemangkasan tunas batang utama. Hal ini disebabkan tunas – tunas lateral pada batang utama tumbuh dan berkembang yang pada akhirnya membentuk cabang utama (Salisbury, Ross 1995 dan Widodo 1995). Model hubungan distribusi cahaya dengan proses fungsi fisiologi seperti induksi pucuk bunga, jumlah bunga menjadi buah (fruit set), dan kualitas buah menjadi nilai yang berguna. Aplikasi model intersepsi cahaya dan distribusi cahaya dalam memodifikasi kanopi pohon secara signifikan dapat meningkatkan kualitas buah. George et al. 1993 dan Mowat dan George (1994) menyatakan bahwa mikroklimat di dalam kanopi pohon dapat mempengaruhi inisiasi pembungaan, perubahan bunga menjadi buah (fruit set) dan kualitas buah. Guillermo (2000) menyatakan bahwa intersepsi photosynthetically active radiation (PAR) selama proses pengisian biji meningkatkan bobot biji dan konsentrasi minyak pada bunga matahari.

Gambar 4. Penampilan tanaman setelah dipangkas.

Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan genotipe menyebabkan perbedaan terhadap diameter cabang (cm) minggu ke–X, tetapi tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap: diameter cabang minggu ke– IV, diameter cabang minggu (cm) ke–VI, dan diameter cabang minggu (cm) ke– VIII. Diameter dan panjang cabang tertinggi terjadi pada genotipe Lombok Tengah (1.50 cm) dan terendah genotipe IP–1A (1.20 cm).

Tabel 5. Rata – rata peubah pengamatan diameter batang tanaman jarak pagar. Genotipe Diameter cabang minggu.IV (cm) Diameter cabang minggu VI (cm) Diameter cabang minggVIII (cm) Diameter cabang minggu X (cm) IP – 1A 0.80 0.87 1.03 1.20 b IP – 1M 0.80 0.87 1.07 1.33 ab IP – 2P 0.87 1.00 1.13 1.27 ab Lombok Timur 0.90 1.00 1.05 1.23 b Lombok Barat 0.87 1.00 1.02 1.23 b Lombok Tengah 0.90 1.03 1.23 1.50 a Sumbawa Besar 0.97 1.00 1.16 1.33 ab Bima 0.93 1.03 1.07 1.37ab

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05.

Keaktifan pertumbuhan dan perkembangan ini sangat didukung oleh ketersediaan hasil fotosintat yang tersimpan pada cabang tersebut serta zat hara dan air. Hal ini sesuai dengan pendapat Marini (2003) yang menyatakan bahwa pertumbuhan diameter batang dan panjang tajuk tanaman membutuhkan pembelahan sel yang diikuti pembesaran sel dan diferensiasi sel yang akan berimplikasi pada pertumbuhan primer dan sekunder cabang tanaman jarak pagar.

 

(a) (b) (c) (d)

(e) (f) (g) (h)

Gambar 5. Daun beberapa genotipe jarak pagar; (a) IP-1A, (b) IP-1M, (c) IP-2P, (d) Lombok Timur, (e) Lombok Barat, (f) Lombok Tengah, (g) Sumbawa, dan (h) Bima

(a) (b) (c) (d)

Gambar 6. Permukaan daun tanaman jarak pagar; (a) daun muda licin berwarna kekuningan, (b) permukaan atas daun muda licin berwarna coklat, (c) permukaan bawah daun muda licin dan berwarna coklat, (d) permukaan atas daun tua licin dan berwarna hijau.

Daun jarak pagar bertipe daun tunggal yang terletak pada buku batang yang didukung oleh tangkai daun, dengan tangkai daun berbentuk silinder dan tidak berongga. Daun jarak pagar berbentuk bulat dengan bentuk ujung daun yang runcing dan pada pangkal daun berlekuk dalam, memiliki tipe tulang daun menjari dengan 5 tulang daun utama. Daun muda tidak memiliki bulu daun. Jika dilihat dari permukaan daun, tanaman ini memiliki tekstur permukaan bawah daun muda dan daun tua yang licin (Gambar 6). Daun muda tanaman ini umumnya berwarna

coklat pada genotipe IP-1A, IP-1M, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Sumbawa, Bima dan warna hijau kekuningan pada aksesi IP-2P. Daun tua berwarna hijau muda pada genotipe IP-1M, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, Sumbawa Besar dan Bima. Karakter jumlah daun muncul setelah dipangkas antar aksesi terdapat perbedaan. Dari beberapa genotipe jumlah daun yang muncul pertama dan yang paling banyak berasal provenan IP-2P, yang paling lama muncul dan sedikit adalah genotipe Bima.

Tabel 6. Jumlah daun beberapa genotipe jarak pagar. Genotipe JD II (MSP) JD III (MSP) JD IV (MSP) JD VI (MSP) JD VIII (MSP) JD X (MSP) IP – 1A 11.7 18.9 19.9 22.9 47.2 67.1 ab IP – 1M 11.0 14.4 16.6 21.1 36.8 66.5 ab IP – 2P 13.6 16.4 20.2 22.9 61.5 83.8 a Lombok Timur 7.6 12.7 14.6 22.3 54.3 61.7 b Lombok Barat 7.4 13.0 18.8 21.5 51.4 56.1 b Lombok Tengah 5.9 11.8 15.9 24.2 59.3 61.6 b Sumbawa Besar 9.7 15.6 20.3 25.3 53.7 63.6 ab Bima 6.4 12.1 17.7 21.1 57.3 46.8 b Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05; JD=jumlah daun dan MSP= Minggu setelah pemangkasan.

Hasil yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan genotipe memberikan efek yang signifikan terhadap jumlah daun minggu ke–X, tetapi tidak memberikan efek yang tidak signifikan terhadap; jumlah daun minggu ke–II, jumlah daun minggu ke–III, jumlah daun minggu ke–IV, jumlah daun minggu ke–VI, dan jumlah daun minggu ke–VIII. Jumlah daun tertinggi minggu ke–X adalah genotipe IP–2P (83.8), dan terendah genotipe Bima (46.8).

Genotipe IP–2P lebih cepat berbunga (32.7 MSP), dan yang paling lambat genotipe Sumbawa Besar (52.0 MSP) dan Bima (52.0 MSP) (Tabel 7). Jarak pagar yang ditanam di wilayah beriklim basah baik dipangkas maupun tidak dipangkas akan tetap berbunga pertama pada bulan Maret – April. Tampak ada perbedaan umur saat berbunga pertama diantara ekotipe. Provenan IP-2P waktu berbunganya lebih cepat dibandingkan dengan ekotipe yang berasal dari Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah serta Sumbawa Besar dan Bima. Kemudian bunga terbentuk dan berkembang pada periode itu juga terus

 

berkembang membentuk kapsul, sehingga dapat dipanen pada bulan April – Juni. Panen kedua (sekitar bulan Juni – Agustus) dapat dilakukan karena pembungaan kedua terjadi pada bulan April – Juni.

Tabel 7. Rata – rata peubah pengamatan buah jarak pagar. Genotipe Umur berbunga (HSP) Jumlah tandan/tanaman Jumlah buah/tandan Jumlah buah/tanaman IP – 1A 40.0 ab 2.3 a 6.9 b 15.9 a IP – 1M 44.3 a 2.1 ab 2.9 c 6.1 b IP – 2P 32.7 b 2.8 a 10.4 a 29.1 a Lombok Timur 46.3 a 0.7 c 1.4 c 0.9 b Lombok Barat 45.0 a 0.4 c 1.3 c 0.5 b Lombok Tengah 47.7 a 0.4 c 0.7 c 0.3 b Sumbawa Besar 52.0 a 0.4 c 2.4 c 0.9 b Bima 52.0 a 1.1 c 1.1 c 1.2 b Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05. HSP= Hari setelah pangkas.

Tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah tandan per tanaman, jumlah buah per tandan, dan jumlah buah per tanaman. Jumlah tandan per tanaman tertinggi dicapai oleh genotipe IP – 2P (2.8 tandan/tanaman) dan terendah diperoleh genotipe Lombok Barat, Lombok Tengah dan Sumbawa Besar (0.4). Jumlah kapsul per tandan tertinggi dicapai oleh provenan IP-2P (10.4), dan jumlah kapsul terendah ditemui pada genotipe Lombok Tengah (0.7). Jumlah buah per tanaman tertinggi yaitu genotipe IP–2P (29.1), terendah genotipe Lombok Tengah (0.3). Keunggulan ke dua genotipe (IP– 1A dan IP–2P) tersebut dibanding ekotipe lainnya ialah pada variabel jumlah kapsul telah terlihat dari sejak tahun kedua hingga tahun ketiga.

Tabel 8 menunjukkan genotipe memberikan hasil yang berbeda secara signifikan terhadap bobot buah (g), bobot basah biji (g), jumlah biji per tanaman, dan tetapi tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap bobot 100 butir (g). Bobot buah tertinggi dicapai oleh genotipe IP–1A (8.80 g), IP–2P (7.80 g) dan terendah pada genotipe Bima (2.24 g). Bobot basah biji tertinggi genotipe IP–2P (1.33 g) dan terendah genotipe Bima (0.11 g). Jumlah biji per tanaman tertinggi dicapai oleh genotipe IP–2P (906.3) dan terendah pada genotipe Lombok Barat (71.3 ).

Tabel 8. Rata – rata pengamatan peubah biji jarak pagar. Genotipe Bobot buah

(g) Bobot basah biji (g) Jumlah biji/tanaman Bobot 100 biji (g) IP – 1A 8.80 a 1.10 b 640.7 a 72.4 IP – 1M 4.01 c 0.33 ab 277.7 b 67.4 IP – 2P 7.80 a 1.33 a 906.3 a 67.0 Lombok Timur 3.39 c 0.88 abc 84.0 b 72.6 Lombok Barat 2.65 c 0.33 abc 71.3 b 70.4 Lombok Tengah 4.69 abc 0.33 bc 132.0 b 69.0 Sumbawa Besar 6.43 abc 0.11 c 203.0 b 66.1 Bima 2.24 c 1.06 b 78.0 b 64.9 Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05.

Hasil analisis (Tabel 9) menunjukkan bahwa perlakuan genotipe memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bobot kering biji per tanaman, bobot kering biji per petak dan bobot kering biji per hektar. Bobot kering biji per tanaman tertinggi diperoleh dari genotipe IP–2P (498.46 g) dan terendah genotipe Bima (16.38 g). Bobot biji kering per petak tertinggi dicapai oleh genotipe IP–2P (4.87 kg), terendah genotipe Lombok Timur (0.30 kg). Bobot biji kering per hektar tertinggi dapat dicapai oleh genotipe IP-2P ( 1014.2 kg/ha), IP–1A (949.2 kg/ha) sedangkan terendah pada genotipe Bima (43.7 kg/ha).

Tabel 9. Rata – rata hasil biji jarak pagar. Genotipe Bobot kering biji

per tanaman (g)

Bobot biji kering per petak (kg)

Bobot kering biji per hektar (kg) IP – 1A 365.20 a 4.56 a 949.2 a IP – 1M 108.30 b 1.47 b 307.2 b IP – 2P 498.46 a 4.87 a 1014.2 a Lombok Timur 21.84 b 0.30 b 62.3 b Lombok Barat 27.09 b 0.48 b 99.2 b Lombok Tengah 44.88 b 0.38 b 78.5 b Sumbawa Besar 79.17 b 1.07 b 222.1 b Bima 16.38 b 0.21 b 43.7 c

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05.

Hasil yang diperoleh setelah pemangkasan lebih tinggi dibanding sebelum pemangkasan. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi pangkasan 30 cm dari batang utama dan pemeliharaan 3-5 cabang memiliki potensi produksi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahmud (2006) dan Ginwal et al. (2004) dan

 

Raden et al. (2008) yang menyatakan bahwa semakin banyak cabang produktif yang dihasilkan pada tanaman jarak pagar maka buah dan biji yang dihasilkan akan semakin banyak pula. Selanjutnya, Ferry (2006) menyatakan bahwa jumlah cabang primer yang perlu dipelihara untuk mendukung produksi yang tinggi pada tanaman jarak pagar adalah 3–5 cabang primer.

Kandungan Minyak Biji Jarak Pagar

Genotipe berpengaruh signifikan terhadap kandungan minyak biji, tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar minyak kernel jarak pagar. Kandungan minyak berbasis biji tertinggi dicapai oleh genotipe Lombok Tengah (32.61%) dan terendah genotipe Sumbawa Besar (26.21 %). Kadar minyak kernel berkisar antara 48.89-53.34% (Tabel 10).

Tabel 10. Rata – rata peubah kadar minyak dan hasil minyak jarak pagar.

Genotipe Minyak biji (whole seed)

(%)

Minyak kernel (%)

Hasil minyak biji/ha (Kg) IP – 1A 29.25 ab 48.89 278.12 a IP – 1M 27.86 ab 50.26 85.59 ab IP – 2P 28.93 ab 49.54 293.44 a Lombok Timur 29.59 ab 52.73 18.45 c Lombok Barat 31.34 ab 52.42 31.11 b Lombok Tengah 32.61 a 53.34 25.67 b Sumbawa Besar 26.21 b 49.30 58.23 ab Bima 29.83 ab 49.71 13.05 c

Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT α : 0.05.

Tabel 4 dan 10 menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan tanaman yang memiliki jumlah cabang, baik cabang primer, sekunder maupun cabang produktif yang banyak mempunyai kandungan minyak biji yang lebih rendah dibandingkan dengan yang memiliki cabang lebih sedikit, tetapi setelah dikonversikan ke satuan hektar hasil minyak yang diperoleh tanaman yang cabang banyak memiliki hasil minyak biji per hektar lebih tinggi (Tabel 10).

Dokumen terkait