• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil inventarisasi dan pengamatan lapangan tentang praktek agroforestri di Kabupaten Limapuluh Kota menunjukkan adanya kecenderungan-kecenderungan yang kemudian digunakan sebagai asumsi dasar dalam penetapan model agroforestri untuk penelitian ini, yaitu :

1. Permasalahan yang selalu timbul akibat adanya invasi usaha tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) ke lahan-lahan hutan, terutama di daerah lereng. Kebiasaan petani menanam gambir secara monokultur pada daerah lereng, mengakibatkan berkurangnya lahan hutan baik dari kuantitas maupun kemampuan daya dukung lingkungan kumulatif dari kawasan hutan tersebut. Pembukaan hutan tidak hanya ditujukan untuk lahan penanaman, tetapi juga kebutuhan kayu bakar untuk proses perebusan daun gambir dalam proses pasca panen, yang pada umumnya dilakukan di dekat areal pertanaman gambir. Pertimbangan ini diambil petani karena daun gambir harus diolah dalam waktu relatif singkat sejak pemetikannya agar tidak terjadi penurunan rendemen secara tajam. Pada beberapa lokasi, petani sudah mulai menerapkan pola tumpang sari gambir dengan tanaman lain, terutama dengan tanaman karet (Hevea brasiliensis).

2. Terlihatnya adanya peningkatan preferensi masyarakat untuk membudidayakan tanaman cokelat (Theoroma cacao L) di Sumatera Barat, seiring dengan stabilnya harga komoditi cokelat akhir-akhir ini. Pada tahun 2006 yang lalu, pemerintah daerah Sumatera Barat dan Departemen Pertanian Republik Indonesia telah mencanangkan Revitalisasi Sektor Pertanian termasuk sub-sektor perkebunan dan dalam hal ini propinsi Sumatera Barat diproyeksikan sebagai sentra produksi cokelat di wilayah Indonesia bagian barat pada masa yang akan datang. Sebagai tanaman yang memerlukan naungan, tanaman cokelat banyak ditanam pada lahan-lahan yang sudah ada tanaman pohonnya, sehingga tidak memerlukan penanaman tanaman penaung lagi.

Atas dasar kondisi riil seperti diatas, cokelat dan gambir dijadikan sebagai inti pertimbangan untuk menetapkan bentuk agroforestri yang diamati dalam

27 penelitian ini. Dari peninjauan lapangan, data, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya ditetapkan 5 model agroforestri sebagai sampel pada penelitian ini, seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Model agroforestri sampel penelitian

Opsi Kelompok Komponen Nama latin Lokasi

Kemiri Aleurites moluccana Durian Durio zibethinus

- Tanaman pohon utama

(diameter>5m) Jengkol Phitecellobium jiringa Cokelat Theobroma cacao L.

- Tanaman pohon

(diameter <5m) Kopi Coffea robusta Pisang Musa paradisiaca Jahe Zingiber officinalle Model I

- Tanaman semusim

Cabe rawit Capsicum frutescens L.

Kecamatan Bukit Barisan

Kemiri Aleurites moluccana Durian Durio zibethinus Cengkeh Eugenia aromatica Kayu manis Cinnamomum burmanii Alpukat Persea americana Mahoni Swietenia macrophylla Model II - Tanaman pohon

utama (diameter>5m)

Nangka Artocarpus heterophyllus

- Tanaman pohon (diameter <5m)

Cokelat Theobroma cacao L.

- Tanaman semusim Pisang Musa paradisiaca

Cabe rawit Kecamatan Bukit Barisan Model III - Tanaman pohon utama (diameter>5m)

Kelapa Cocos nucifera

- Tanaman pohon (diameter <5m)

Cokelat Theobroma cacao L.

- Tanaman semusim Pisang Musa paradisiaca

Kecamatan Guguak Model IV - Tanaman pohon utama (diameter>5m)

Karet Hevea brasiliensis

- Tanaman pohon (diameter <5m)

Cokelat Theobroma cacao

Kecamatan Bukit Barisan Model V - Tanaman pohon utama (diameter>5m)

Karet Hevea brasiliensis

- Tanaman pohon (diameter <5m)

Gambir Uncaria gambir Roxb.

Kecamatan Kapur IX

Mean Annual Increment (MAI)

Hasil pengukuran di lapangan tentang potensi biomasa dari masing-masing model agroforestri dengan menggunakan persamaan dari Ketterings (2001), dihasilkan sebagaimana tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Mean Annual Increment (MAI) model agroforestri Model I Model II Model III Model IV Model V MAI (tB/ha/yr) 6,75 6,45 6,48 7,44 7,18

Carbon stock (t/ha/yr) 3,88 3,83 3,24 3,72 3,59

Penentuan biomasa dengan menggunakan persamaan Ketterings (2001) didasarkan kepada nilai kerapatan kayu (wood density) dan diameter batang setinggi dada (diameter at breast height/dbh). Database tentang wood density dari tanaman yang diamati pada penelitian ini tercantum pada Lampiran 3.

MAI/riap untuk model diatas merupakan kumulatif dari riap masing komponen model dengan dasar proporsi penggunaan lahan untuk masing-masing komponen. Pada Model I tanaman pohon utama (tinggi >5m) terdiri dari kemiri, durian dan jengkol dengan karakter potensi MAI masing-masingnya 4,65 tB/ha/th untuk kemiri, 6,22 tB/ha/th untuk durian, dan jengkol sebesar 6,54 tB/ha/th. Model I mempunyai nilai MAI total 6,75 tB/ha/th, lebih tinggi dibandingkan nilai MAI dari Model II sebagai bentuk kebun campuran dengan komponen tanaman pokok yang lebih banyak dengan nilai MAI terendah dari semua Model yaitu 6,45 tB/ha/th..

Model II didominasi oleh tanaman kayu manis dengan karakter biomasa rendah (MAI 1,64 tB/ha/th) dan cengkeh (MAI 5,85 tB/ha/th) masing-masing sebesar 36 % dan 23 %, sedangkan komponen lain kemiri (MAI 5,07 tB/ha/th) 14%, alpukat (MAI 10,44 tB/ha/th) , nangka (MAI 4,45 tB/ha/th), mahoni (MAI 9,28 tB/ha/th), dan durian (MAI 16,11 tB/ha/th) masing-masing sebesar 14%, 8%, 7%, 6%, dan 5% . Komposisi seperti ini menghasilkan nilai MAI total yang terkecil diantara model agroforestri yang diamati. Diduga hal ini disebabkan tidak jelasnya bentuk pengelolaan pada opsi yang dipilih ini diantaranya tidak adanya pencatatan tentang umur tanaman, karena motivasi petani/pemilik kebun lebih kepada bentuk investasi atau sebagai tabungan. Hal ini tergambar dari stuktur tanaman di lapangan serta tingkat keragaman spesies yang tinggi pada satu areal.

Model III, Model IV, dan Model V merupakan bentuk kebun campuan yang diusahakan petani dengan alasan utama untuk usaha komersial. Hal ini terlihat pada struktur kebun yang sudah mempedomani kaedah-kaedah budidaya

29 masing-masing spesies seperti pengaturan jarak tanam, umur tanaman yang seragam, serta unsur-unsur pengelolaan kebun. Pada ketiga model ini, tanaman kelapa (Model III) dan karet (Model IV dan Model V) ditanam dengan jarak tanam yang sama seperti kebun monokultur. Jarak tanam kelapa 8 x 8 m, sedangkan untuk tanaman karet menggunakan jarak tanam 5 x 5 m. Model IV dan Model V mempunyai nilai MAI tertinggi dengan 7,44 tB/ha/th dan 7,18 tB/ha/th, sedangkan Model III mempunyai nilai MAI rendah yaitu 4,48 tB/ha/th.

Pada seluruh model kontribusi tanaman medium (cokelat, kopi, dan gambir), tanaman bawah, dan nekromasa (serasah dan kayu mati) untuk mendapatkan MAI total dihitung mempedomani hasil penelitian Rusolono (2006), dimana komponen tanaman pokok untuk agroforestri dengan pola kebun campuran dan tegakan murni adalah sebesar 80,7 %, sedangkan sisanya berasal dari tanaman pohon bawah 12,9%, serasah dan kayu mati (nekromasa) 5,9 % dan tumbuhan bawah 0,6%. Komposisi dan proporsi komponen masing-masing model seperti tertera pada tabel input COMAP pada Lampiran 1.

Potensi mitigasi

Potensi mitigasi (mitigation potential) didefinisikan sebagai kapasitas yang dimiliki suatu sistem hutan atau kawasan vegetasi untuk dapat menyerap emisi karbon (C-sequestration) dari atmosfir. C-sequestration secara umum diartikan sebagai pengambilan CO2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui aktifitas fotosintesa dari atmosfir kedalam komponen organik (Hairiah et al, 2001). Lebih lanjut dijelaskan potensi pengikatan karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur (khusus tanaman hutan), dan kondisi tepat tumbuh.

Dalam kaitannya dengan kegiatan karbon kehutanan, nilai potensi mitigasi sangat penting dan merupakan parameter input utama untuk menganalisa lebih lanjut potensi pengembangan serta efektifitas biaya implementasi proyek karbon tersebut. Nilai potensi mitigasi merupakan penggambaran dari potensi biomasa yang dimiliki suatu individu tanaman ataupun kawasan vegetasi.

Dari hasil analisis potensi mitigasi dengan menggunakan modul COMAP, didapatkan nilai sebagaimana pada Tabel 6.

Tabel 6. Potensi mitigasi masing-masing model Potensi mitigasi (tC/ha)

Model I Model II Model III Model IV Model V

103,5 99,0 99,45 113,85 109,95

Skenario Rehabilitasi Lahan dan Periode Mitigasi

Pengembangan skenario rehabilitasi lahan dilakukan melalui penyusunan 3 skenario rehabilitasi lahan kritis yaitu skenario baseline, skenario pemerintah, dan skenario proyek karbon atau mitigasi. Skenario dikembangkan dengan memperhatikan beberapa faktor yang dalam hal ini meliputi preferensi masyarakat terhadap komoditi tertentu, program pemerintah, dan alokasi lahan. Distribusi alokasi lahan pada masing-masing skenario seperti terdapat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi alokasi lahan untuk opsi mitigasi pada 3 skenario rehabilitasi hutan dan lahan

Baseline (ha)* Pemerintah (ha)** Mitigasi (ha)***

Model I 200 1.625 2.500 Model II 165 1.525 2.000 Model III 150 800 2.500 Model IV 200 1.710 5.840 Model V 200 1.750 6.000 Total**** 915 7.410 18.840

* Berdasarkan data historis realisasi program rehabilitasi hutan dan lahan. ** Proyeksi program pemerintah.

*** Diasumsikan seluruh lahan kritis yang tersedia dijadikan proyek mitigasi. **** Untuk periode rehabilitasi lahan selam 5 tahun.

Dengan pertimbangan agar didapat karbon yang bisa diusulkan untuk mendapat karbon dalam jangka waktu yang lebih cepat dan dapat dijual berdasarkan skema temporary Certified Emision Reduction (tCER), skenario rehabilitasi lahan dikembangkan untuk jangka waktu 5 tahun dan periode mitigasi selama 30 tahun. Periode mitigasi yaitu lama waktu yang direncanakan untuk menjadikan areal yang direhabilitasi dirancang untuk proyek perdagangan karbon. Penetapan jangka waktu mitigasi ini adalah berdasarkan umur rotasi tanaman dari seluruh model agroforestri yang diamati. Pada penelitian ini periode mitigasi

31 dirancang untuk jangka waktu 30 tahun dengan tanaman karet sebagai acuan karena mempunyai umur produksi 25 - 30 tahun. Tanaman lain dari model agroforestri yang diamati dalam penelitian ini mempunyai umur rotasi yang lebih pendek (kopi, coklat, gambir, kayu manis) dan lebih panjang tanaman karet (kelapa, mahoni, jengkol, durian, nangka, alpukat, kemiri).

Pada skema tCER ini besarnya serapan karbon dihitung berdasarkan kondisi persediaan karbon pada tahun dilakukannya verifikasi yang dalam skenario mitigasi pada penelitian ini adalah pada tahun ke 5, 10, 15, 20, 25 dan 30. Dari analisis COMAP dengan menggunakan modul REFREGN diperoleh aliran Annual Carbon Stocks dari ketiga skenario sebagaimana terdapat pada Gambar 3.

Annual Carbon Stocks

0 500 1000 1500 2000 2500 1 5 9 13 17 21 25 29 (ooo tC) Baseline Government Mitigation

Gambar 3. Annual Carbon Stocks pada 3 skenario rehabilitasi lahan

Potensi Carbon Credit

Dengan menggunakan skema perdagangan karbon tCER, jumlah karbon yang dapat dijual dapat menggunakan 2 kemungkinan :

- Skenario penjualan tCER I. Sebagian besar lahan kritis yang diproyeksikan

untuk kegiatan perdagangan karbon di Kabupaten Limapuluh Kota ini berada di luar kawasan hutan, kemungkinan besar rehabilitasi lahan hanya berlangsung menurut skenario baseline. Jumlah karbon yang dapat disertifikasi melalui skema tCER adalah additional annual carbon stocks dari skenario baseline ke skenario mitigasi. Total potensi Carbon Credit Kabupaten Limapuluh Kota adalah 11.961.611 tC atau setara dengan

43.899.113 tCO2e. Proyeksi stok karbon terhadap potensi perdagangan karbon dengan skenario ini dapat dilihat pada Gambar 4.

-1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 1 5 9 13 17 21 25 29 year (000 tCO2e) -1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 (000 tCO2e) tCER Mitigation Gambar 4. Potensi Carbon Stocks terhadap tCER dihitung sebagai

additional dari stok karbon skenario baseline

Skenario penjualan tCER II. Bila yang menjadi acuan untuk pengukuran

additionally adalah skenario pemerintah, maka karbon yang dapat dijual pada tahun penjualan tCER adalah selisih antara stok karbon skenrio mitigasi dengan skenario pemerintah. Pada skenario ini total potensi Credit Carbon Kabupaten Limapuluh Kota adalah 9.190.881 tC atau setara dengan 32.730.534 tCO2e. Proyeksi stok karbon terhadap potensi perdagangan karbon dengan skenario ini dapat dilihat pada Gambar 5.

-1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 1 5 9 13 17 21 25 29 year (000 tCO2e) -1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 (000 tCO2e) tCER Mitigation

Gambar 5. Potensi Carbon Stocks terhadap tCER dihitung sebagai additional dari stok karbon skenario pemerintah

33 Potensi Carbon Credit dari Kabupaten Limapuluh Kota lebih rinci diuraikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Potensi Carbon Credit Kabupaten Limapuluh Kota Potensi Carbon Credit Kabupaten Limapuluh Kota (tCO2e)

Tahun Ke Skenario penjualan tCER 5 10 15 20 25 30 Total (tCO2e) I 5.155.026 6.511.611 7.813.934 8.139.514 8.139.514 8.139.514 43.899.113 II 3.931.628 4.992.378 6.010.697 6.265.277 6.265.277 6.265.277 32.730.534 Catatan : Angka-angka diatas merupakan angka potensi, dengan mengabaikan kemungkinan

adanya emisi yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan budidaya yang berlangsung khususnya untuk tanaman menengah dan tanaman semusim.

Kelayakan Finansial

Analisis finansial dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang kelayakan finansial proyek pada kegiatan tanpa dan dengan CER. Parameter output yang akan dijadikan acuan untuk memperoleh kesimpulan atas kegiatan proyek adalah Net Present Value (NPV) of Benefit, Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (B/C). NPV merupakan nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama periode pengusahaan dengan menghitung nilai waktu dari uang. IRR adalah gambaran tentang nilai suku bunga tertinggi yang dapat dibayar oleh satu proyek, sedangkan B/C menunjukkan perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu (Suharjito et al, 2003)

Tabel 9 di bawah ini memperlihatkan perbandingan elemen-elemen kelayakan finansial pada tanpa penjualan CER dan dengan penjualan CER.

Tabel 9. NPV, IRR, B/C opsi mitigasi tanpa dan dengan penjualan CER

Model I Model II Model III Model IV Model V

Non CER - NPV (US$) 1.254 319 778 1.951 3.494 - IRR (%) 26 20 22 25 29 - B/C 1,34 1,09 1,1 1,23 1,42 CER - NPV (US$) 1.425 675 1.023 2.571 4.251 - IRR (%) 25 20 22 27 29 - B/C 1,33 1,2 1,13 1,29 1,51 Discount rate = 17%

Untuk mendapatkan gambaran tentang nilai tambah yang dihasilkan dari karbon yang dijual dengan skema tCER, secara kumulatif tergambar dari grafik cashflow pada Gambar 6. Harga karbon diasumsikan 4 US$ per tCO2e atau setara dengan 15 US$ per tC (1 tC setara dengan 3,67 t CO2e). Nilai tambah yang didapat dari masing-masing opsi dengan adanya proyek karbon rata-rata sebesar 211 - 290 US$/ha/th dengan biaya transaksi berkisar antara 60 sampai 76 US$/ha/th. Apabila kelima opsi mitigasi dilaksanakan dalam satu kerangka proyek, nilai tambah pendapatan yang diterima petani menjadi 679 US$/ha/th dengan biaya transaksi 228 US$/ha/th untuk skenario tCER I, sedangkan untuk skenario tCER II, dengan beban biaya transaksi 269 US$/ha/th, nilai tambah yang diperoleh dari penjualan CER adalah 1.070 US$/ha/th.

Pembebanan biaya transaksi dihitung per kegiatan proyek sehingga bila proyek mitigasi dengan penjualan CER dilakukan untuk masing-masing opsi, perbandingan antara biaya transaksi dengan nilai tambah dari penjualan CER menjadi tinggi walaupun terlihat nilai biaya transaksi menjadi lebih kecil. Pada pelaksanaan proyek dalam satu skema untuk seluruh model, biaya transaksi menjadi tinggi disebabkan pengenaan Executive Board administration fee dan registration fee yang diberlakukan secara progresif. Kedua jenis biaya ini merupakan komponen biaya terbesar dari biaya transaksi pada proyek dengan skala besar. Untuk proyek karbon dengan skala lebih dari 15.000 t CO2 biaya registrasi yang dibebankan kepada proyek adalah 0,1 US$/tCO2 untuk 15.000 tCO2 pertama dan kelebihannya 0,2 US$/tCO2. Sebagai perbandingan biaya registrasi untuk Model I dengan total karbon 477.816 t CO2, biaya administrasi yang harus ditanggung proyek adalah 49 US$/ha/th, sedangkan untuk proyek mitigasi dalam satu skema dengan basis skenario pemerintah (skenario tCER II) dengan total karbon 32.730.534 tCO2 biaya administrasi yang menjadi beban proyek adalah 268 US$/ha/th. Untuk lebih jelasnya perbandingan antara nilai keuntungan antara proyek yang dilakukan per opsi mitigasi dengan pelaksanaan proyek dalam satu skema untuk setiap skenario dapat dilihat pada Tabel 10. Sedangkan asumsi biaya transaksi atau biaya-biaya yang diperlukan sejak tahap pre-development sampai dengan verifikasi dan lainnya, dirinci pada Lampiran 4.

35

Net Income (Compilation)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US $/ha NonCER CER

Net Income (Model I)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US$/ha NonCER CER (a) (b) Net Income (Model II)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US$/ha NonCER CER

Net Income (Model III)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US$/ha NonCER CER (c) (d) Net Income (Model IV)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US$/ha

Non CER CER

Net Income (model V)

(2.000) (1.000) -1.000 2.000 3.000 4.000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 year US $/ha NonCER CER (e) (f)

Gambar 6. Grafik pendapatan bersih masing-masing model agroforestri dengan dan tanpa CER: (a) Gabungan, (b) Model I, (c) Model II, (d) Model III, (e) Model IV, (f) Model V. Pada Model II terdapat pemanenan kayu manis pada tahun ke 10, 20 dan 30, bersamaan dengan penerimaan pendapatan dari tCER.

Tabel 10. Kegiatan mitigasi dengan penjualan CER berdasarkan skenario rehabilitasi lahan Model Agroforestri/Skenario tCER Luas lahan (ha) Total karbon (t CO2) Biaya transaksi (US$/ ha/th) Keuntungan (US$/ha/th) Model I 875 447.816 62 211 Model II 475 247.857 61 200 Model III 1700 891.194 60 203 Model IV 4130 3.385.304 63 238 Model V 4250 3.342.384 76 290 Skenario tCER I 17.925 43.899.113 228 679 Skenario tCER II 11.430 32.730.534 269 1070 Keterangan:

* Luas lahan dan total karbon merupakan additional dai skenario pemerintah untuk masing-masing model agroforestri. ** Luas lahan dan total karbon merupakan additional dari skenario baseline

*** Luas lahan dan total karbon merupakan additional dari skenario pemerintah

Secara keseluruhan nilai kelayakan finansial dari seluruh model agroforestri yang diamati memberikan nilai positif, walaupun pada Model I nilai IRR dan B/C dengan penjualan karbon mengalami penurunan. Namun Model I masih memiliki potensi keuntungan yang cukup baik pada pengusahaan dengan penjualan potensi karbonnya.

Nilai NPV pada Model I sebagai model agroforestri kompleks lebih baik daripada Model III yang merupakan bentuk kebun campuran dengan penerapan kaedah-kaedah budidaya, baik pada proyek tanpa CER maupun dengan penjualan CER. Hal ini karena terdapatnya komponen kakao dan kopi pada Model I, dimana pada saat penelitian harga kopi mencapai Rp. 15.000/kg kering. Dengan penjualan CER, Model I pun memperlihatkan peningkatan tambahan pendapatan yang lebih besar daripada Model III, dimana setiap tahunnya akan diperoleh tambahan pendapatan dari penjualan CER sebesar 211 US$/ha dengan biaya 62 US$/ha/th, sementara Model III dengan biaya 62 US$/ha/th akan diperoleh tambahan pendapatan usaha tani yang lebih kecil yaiti 200 US$/ha/th.

Nilai Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR) dan untuk pelaksanaan seluruh opsi mitigasi dengan dan tanpa penjualan CER dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8..

37

Net Present value (NPV) of Benefit

0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500

Model I Model II Model III Model IV Model V

US

$

Non CER CER

Gambar 7. Grafik Net Present Value (NPV) of Benefit 5 model agroforestri dengan dan tanpa CER

Internal rate of Return (IRR)

0 5 10 15 20 25 30 35

Model I Model II Model III Model IV Model V

%

Non CER CER

Gambar 8. Grafik Internal Rate of Return (IRR) 5 model agroforestri dengan dan tanpa CER

Potensi untuk implementasi proyek karbon kehutanan

Untuk memperoleh gambaran tentang potensi pelaksanaan kegiatan proyek karbon, disamping potensi secara fisik kegiatan mitigasi, juga perlu diketahui faktor-faktor yang bisa mendukung dan menjadi kendala daam pelaksanaan nantinya di lapangan, diantaranya kondisi sosial ekonomi masyarakat, peluang dan kemungkinan kendala pelaksanaannya. Dari hasil survei mengenai kondisi sosial ekonomi daerah penelitian diperoleh gambaran tersebut yaitu :

Ukuran Keluarga. Data kependudukan menunjukkan pada lokasi survei rata-rata

responden merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga antara 2 sampai 5 orang. Sebanyak 33.33 % diantara responden mempunyai anggota keluarga 4 orang, 28,57 % berjumlah 3 orang per keluarga, dan masing-masing 19.05 % untuk keluarga dengan jumlah anggota 2 dan 5 orang (Gambar 9).

0 5 10 15 20 25 30 35

2 org 3 org 4 org 5 org

jumlah anggota keluarga

% r es pon de n

Gambar 9. Grafik Ukuran Keluarga

Penguasaan Lahan. Sebagian besar responden (61,9 %) menguasai lahan antara

5000 m sampai dengan 10.000 m². Masing-masing 9,52 %, 14,29 %, 9,52 % menguasai lahan pada kategori luas lahan < 1000 m², 1000 – 3000 m², dan 3000 – 5000 m² (Gambar 10). Hanya 4,76 % diantara responden yang menguasai lahan lebih dari 1 ha. Sebagian besar dari lahan yang dikuasai merupakan lahan pekarangan dan ladang dan sawah dengan status hak milik. Hanya sebagian kecil yang menyatakan lahan yang mereka kuasai adalah lahan sewa baik berupa ladang, sawah maupun untuk keperluan penggunaan lain.

39 9,52 14,29 9,52 61,90 4,76 0 10 20 30 40 50 60 70

luas penguasaan lahan

% r e s ponden < 1000 m2 1000 - 3000 m2 3000 - 5000 m2 5000 - 10000 m2 > 10000 m2

Gambar 10. Grafik Luas Penguasaan lahan

Tingkat Pendapatan. Dari sebaran tingkat pendapatan masyarakat, sebagian

besar responden mempunyai tingkat pendapatan yang cukup baik yaitu di atas Rp. 1.000.000.- per bulan, dimana 38,10 % pada kelompok pendapatan Rp. 1.000.000.- s/d Rp. 1.500.000.- per bulan, dan masing-masing 14,29 % dan 4,76 % pada kelompok pendapatan Rp. 1.500.000.- s/d Rp. 2.000.000.- dan diatas Rp. 2.000.000.- per bulan (Gambar 11.a).

Usaha pertanian dan perdagangan merupakan sumber pendapatan utama sebagian besar responden dengan perolehan per bulan pada kisaran Rp. 500.000. dan Rp. 1.000.000.- Pada sebagian besar kelompok sumber pendapatan, perolehan pendapatan perbulan umumnya berada dibawah Rp. 500.000.- (Gambar 11.b). Adapun kelompok sumber pendapatan dimaksud adalah usaha pertanian, buruh tani, peternakan, tukang, perdagangan, pegawai, usaha jasa, serta kelompok usaha lainnya. 9,52 33,33 38,10 14,29 4,76 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 <500 rb 500 rb-1jt 1 jt-1,5 jt 1.5 jt-2 jt > 2 jt % r e s po nde n 0% 20% 40% 60% 80% 100% Lainnya Jasa Pegawai Perdagangan Tukang Peternakan Buruh Tani Pertanian % responden 1.5 jt-2 jt 1 jt-1,5 jt 500 rb-1jt <500 rb (a) (b)

Gambar 11. Grafik tingkat pendapatan (a) dan sebaran pendapatan masyarakat berdasarkan kelompok sumber pendapatan (b).

Tingkat Konsumsi. Dari survei yang dilakukan melalui wawancara terhadap responden untuk mengetahui tingkat pengeluaran guna keperluan konsumsi, sebagian besar (50%) menyatakan mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 500.000.- per bulan untuk konsumsi pada kelompok makanan, 35,7 % menyatakan biaya konsumsi kelompok makanan yang dikeluarkan per bulan berkisar Rp. 300.000.- sampai Rp. 500.000.-, dan masing-masing 7,1 % pada kelompok Rp. 200.000.- s/d Rp. 300.000, dan antara Rp. 150.000.- s/d Rp. 200.000.-.

Untuk biaya konsumsi pada kelompok bukan makanan seperti perumahan, barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, pakaian, barang tahan lama, pajak & asuransi, keperluan pesta, dan transportasi lebih dari 70% responden mengatakan hanya mengeluarkan biaya kurang dari Rp. 40.000.- per bulannya. Sedangkan untuk keperluan energi seperti biaya listrik dan minyak tanah sebagian besar responden (92,9 %) mengeluarkan biaya antara Rp. 40.000.- s/d Rp. 60.000.- per bulan.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Makanan Perumahan Barang & Jasa Pendidikan Kesehatan Pakaian Barang Tahan Lama Pajak & Asuransi Pesta Energi Transportasi (Rp.000.-) % Responden ≤ 40 40-59,9 60-79,9 80-99,9 100-149,9 150-199,9 200-299,9 300-499,9 ≥500 Gambar 12. Grafik Gabungan Tingkat Konsumsi Masyarakat

Pembukaan Lahan Baru. Dari wawancara yang dilakukan dengan pihak Dinas

Kehutanan Kabupaten Limapuluh Kota dan juga masyarakat di daerah survei diungkapkan bahwa pembukaan lahan hutan baru tetap berlangsung sampai saat ini, terutama untuk kegiatan perkebunan rakyat. Pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat atau perorangan dilakukan tanpa izin dengan cara penebangan pohon besar serta pembersihan lahan dari semak belukar, walaupun

41 sesungguhnya mereka tahu adanya larangan untuk membuka lahan baru terutama pada areal hutan lindung. Sebagian masyarakat membuka lahan semak belukar dengan cara membakar. Lahan yang dibuka umumnya digunakan untuk perladangan terutama berbentuk kebun campuran berbagai tanaman perkebunan seperti cokelat, kemiri. Untuk pembukaan lahan hutan umumnya untuk penanaman gambir sebagai komoditi perkebunan utama di Kabupaten Limapuluh Kota, dimana petani juga memanfaatkan kayu hasil tebangan sebagai kayu bakar untuk pengolahan getah gambir.

Interaksi Masyarakat dengan Hutan. Masyarakat secara umum sangat

menyadari manfaat hutan, terutama dari fungsi ekonomi hutan sebagai sumber kayu dan non kayu seperti getah, buah, kulit kayu, tanaman obat, dan tanaman hias serta fungsi ekologi sebagai sumber air. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat merupakan kegiatan turun temurun yang sudah berlangsung lama. Disamping itu hutan juga merupakan areal yang sering dimasuki para penduduk setempat yang menggemari kegiatan berburu hewan terutama babi. Pada lokasi survei responden

Dokumen terkait