• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Air Lumut Hati M. paleacea

Tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea segar diambil pada musim hujan, kemudian dibersihkan dan dicuci dengan air terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan secara konvensional yaitu dengan membiarkan lumut selama 14 hari pada suhu ruang. Pengeringan yang dilakukan pada temperatur ruang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerusakan terhadap senyawa bioaktif dari penggunaan panas (Harborne 2006). Kandungan air kemudian dianalisis terhadap lumut segar dan lumut kering.

Hasil pengukuran kadar air lumut segar diketahui sebesar 89,02 %, setelah pengeringan 14 hari didapat lumut kering dengan kadar air 17,47 %. Tingginya kadar air pada lumut disebabkan karena lumut memiliki struktur permukaan yang unik. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan bersifat higroskopis dan rizoid yang menyerupai benang berfungsi sebagai akar pada lumut sangat mudah untuk menyerap air dan garam-garam mineral. Pengeringan yang dilakukan secara konvensional diketahui sangat berpengaruh terhadap kadar air lumut kering. Salah satunya faktor kelembaban udara, Kabupaten Bogor diketahui mempunyai RH sekitar 70% yang mana akan memperlambat laju penguapan air pada lumut.

Rendemen Ekstrak Lumut Hati

Ekstrak tumbuhan yang diperoleh melalui ekstraksi dengan pelarut umumnya dilakukan dengan cara mempertemukan bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak. Bahan yang akan diekstrak terlebih dahulu dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahannya (Houghton & Raman 1998).

Sampel lumut dibuat dalam bentuk bubuk kering sebelum diekstraksi dengan maksud untuk memperbesar luas permukaan bahan serta menyeragamkan ukuran partikelnya agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Purseglove et al. 1981). Empat

macam pelarut digunakan dalam proses ekstraksi maserasi berdasarkan derajat polaritas dari masing-masing pelarut, di antaranya etanol, metanol, etil asetat, dan heksana. Proses hasil maserasi kemudian dibuat konsentrasi antimikroba berdasarkan masing-masing pelarut (Gambar 6).

Gambar 6 (A) Tabung-tabung berbagai ekstrak dengan konsentrasi 100 mg/ml, dan (B) evaporasi dengan rotavapor suhu 40C.

Selama proses isolasi terhadap suatu komponen kimia seperti pada proses ekstraksi, sel tumbuhan akan bercampur dan membran menjadi rusak. Senyawa- senyawa golongan fenol cepat sekali membentuk kompleks dengan protein, akibatnya sering terjadi hambatan terhadap kerja enzim pada ekstrak tumbuhan kasar. Sebaliknya fenol sendiri sangat peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase yang terdapat dalam tumbuhan. Ekstraksi senyawa fenol tumbuhan dengan etanol umumnya mencegah terjadinya oksidasi enzim (Harborne 2006).

Gambar 7 memperlihatkan bahwa lumut yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau pekat, dan pelarut metanol dihasilkan larutan ekstrak berwarna hijau pekat gelap. Pekatnya warna hijau yang dihasilkan ekstrak etanol dan metanol disebabkan karena kelarutan klorofil sangat tinggi. Pelarut etil asetat dan heksana menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau muda dan kuning.

Gambar 7 Ekstrak lumut dalam pelarut: (A) etanol, (B) metanol, (C) etil asetat, dan (D) heksana.

Ekstrak metanol menghasilkan rendemen ekstrak paling tinggi (15,57 %), ekstrak etanol (5,98 %), ekstrak etil asetat (2,30 %), dan ekstrak heksana (0,87 %). Rendemen pada setiap perlakuan ekstrak disajikan pada Lampiran 1. Perbedaan rendemen tiap ekstrak disebabkan oleh perbedaan komposisi komponen kimia oleh perbedaan kelarutan dari pelarut yang digunakan (Gambar 8). Farrel (1990) menyatakan bahwa dalam proses ekstraksi komposisi, warna, aroma dan rendemen yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh jenis, ukuran dan tingkat kematangan bahan baku, jenis pelarut, suhu dan waktu ekstraksi serta metode ekstraksi.

Potensi Aktivitas Antimikroba Lumut Hati dari Berbagai Ekstrak

Pada tahap awal untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas senyawa antimikroba maka dilakukan uji kualitatif dengan metode agar difusi sumur. Pada uji ini ekstrak tumbuhan lumut dari pelarut etanol, metanol, etil asetat dan heksana diujikan terhadap bakteri uji S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028 dan P. aeruginosa.

Gambar 9 Bioaktivitas antimikroba berbagai ekstrak lumut pada konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028.

Gambar 9 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 100 mg/ml, diameter hambat ekstrak lumut dari masing-masing pelarut berbeda terhadap bakteri uji. Ekstrak etanol merupakan ekstrak dengan zona hambat paling besar terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028, dengan diameter 10,8 mm, 4,5 mm, 5,8 mm. Sedangkan ekstrak lumut dengan pelarut heksana merupakan ekstrak dengan zona hambat paling rendah yaitu 2,7 mm yang hanya diujikan terhadap bakteri S. aureus saja dikarenakan rendemen ekstrak yang dihasilkan sangat rendah yaitu 0,87 %.

Pengaruh dari aktivitas antimikroba ekstrak heksana yang rendah, disebabkan tumbuhan lumut sebagian besar mengandung senyawa polar yang

larut dalam pelarut polar dan semipolar. Aktivitas senyawa antibakteri yang bersifat hidrofobik (nonpolar) relatif lebih terbatas terutama terhadap bakteri- bakteri gram negatif karena kemampuan selektif membran luar dari dinding sel bakteri. Secara umum penurunan polaritas (mendekati nonpolar) dari senyawa antibakteri akan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dibandingkan bakteri gram negatif (Kabara di dalam Branen & Davidson 1983).

Di samping itu komponen senyawa kimia berupa minyak dan lemak yang terekstrak dalam pelarut heksana dapat mengganggu proses difusi komponen bioaktif dan dapat melindungi sel bakteri dari senyawa antimikroba (Moshi & Mbwambo 2005). Conner dan Beuchat (1984) di dalam Elgayyar et al. (2000) membedakan kemampuan aktivitas penghambatan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan terhadap bakteri uji ke dalam menghambat kuat dengan zona penghambatan (>11 mm), sedang (>6 - <11 mm) dan menghambat rendah bila zona penghambatan kurang dari 6 mm. Penghambatan oleh senyawa antimikroba secara umum dapat disebabkan oleh: gangguan pada komponen penyusun sel dan membran sitoplasma, penghambatan sintesis protein, dan gangguan pada fungsi material genetik (Pelczar 1979).

Gambar 10 Zona hambat aktivitas ekstrak etanol terhadap bakteri uji: (A) S. aureus, (B) P. aeruginosa (C) S. Typhimurium ATCC 14028.

Data dari zona hambat tersebut menunjukkan bahwa S. aureus merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak lumut. Selanjutnya tingkat kepekaan bakteri terhadap ekstrak dari masing-masing pelarut adalah sebagai berikut, S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium (Gambar 10). Bakteri uji S. aureus adalah bakteri gram positif, Fardiaz (1989) menyatakan bahwa umumnya bakteri gram positif lebih peka terhadap senyawa antibakteri dibandingkan dengan bakteri

gram negatif karena dinding sel bakteri gram positif mengandung lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan dengan dinding sel pada bakteri gram negatif.

Aktivitas antimikroba ekstrak lumut dari masing-masing pelarut diduga disebabkan oleh adanya komponen senyawa fenolik, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adam dan Beckert (1994) yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa fenolik dari M. polymorpha merupakan sejumlah besar senyawa lipofilik dan hidrofilik, termasuk flavon dan flavon glikosida yang diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol. Asakawa et al. (2000) menyatakan bahwa faktor penting senyawa antimikroba dari ekstrak M. polymorpha terutama disebabkan karena kandungan senyawa fenol sederhana yaitu bis(bibenzil) khususnya marchantin A.

Gambar 11 P erbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif

Gambar 11 memperlihatkan perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif. Pada bakteri gram positif 90% dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan bakteri gram negatif lapisan peptidoglikan hanya sekitar 5-20%. Senyawa antibakteri dapat mencegah sintesis peptidoglikan pada sel yang sedang tumbuh, maka bakteri gram positif umumnya lebih peka dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran luar sel sehingga menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas membran dan akan mengakibatkan sel mengalami kebocoran. Perubahan permeabilitas membran akan menyebabkan keluarnya metabolit seluler seperti protein, asam nukleat dan ion-ion logam (ca2+, k+, dan mg2+) serta perubahan morfologi (Harapini et al. 1996).

Pengujian suatu aktivitas antimikroba dengan menggunakan metode difusi sumur merupakan pengujian kualitatif, berbeda jika dibandingkan dengan metode kontak langsung pada medium cair (broth) sebagai pengujian kuantitatif yang kemudian dilakukan plating untuk mengetahui seberapa banyak bakteri yang masih hidup. Hal ini karena adanya perbedaan pada laju difusi senyawa antimikroba pada medium padat dan medium cair. Senyawa antimikroba pada uji difusi sumur akan tertahan oleh agar yang padat dalam medium.

Tabak et al. (1996) telah membandingkan pengukuran medium padat dan medium cair untuk melihat pengaruh ekstrak thyme pada bakteri Helicobacter pylori. Disimpulkan bahwa penghambatan timol lebih efektif pada medium cair dibandingkan dengan medium padat pada konsentrasi timol 3,5 mg/ml penghambatannya pada medium padat masih dapat teramati sedangkan pada medium cair sudah membunuh semua bakteri yang ada.

Radiati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengujian aktivitas antimikroba ekstrak diklorometan jahe dengan difusi sumur memerlukan konsentrasi lebih tinggi (90 mg/ml) dibandingkan dengan pengujian metode kontak (5 – 20 mg/ml) terhadap bakteri uji E. coli, S. typhi, dan Vibrio cholera. Lebih lanjut hal ini dikuatkan oleh Wan et al. (1998) yang melaporkan aktivitas minyak atsiri tidak memberi pengaruh penghambatan terhadap P. fluorescens dengan metode difusi agar, sedangkan bila menggunakan medium cair penghambatan dapat teramati.

Selanjutnya, penelitian tahap II, III dan IV dilakukan dengan menggunakan ekstrak terbaik dari uji difusi sumur, yaitu ekstrak etanol.

MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration)Ekstrak Etanol Lumut

Berdasarkan uji kualitatif terhadap kandungan bioaktif dari lumut terhadap berbagai ekstrak, maka hanya ekstrak etanol digunakan untuk uji lanjut dalam penelitian berdasarkan zona penghambatan terbesar. Uji lanjut di antaranya meliputi penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration) terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028, dan P. aeruginosa dengan metode kontak pada media Tryptic Soy Broth (TSB). Dalam penelitian ini MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah ekstrak lumut yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90% (1 log koloni dari jumlah koloni awal), sedangkan nilai MBC ditentukan dari cawan dengan konsentrasi ekstrak terkecil yang tidak dapat ditumbuhi lagi oleh bakteri atau mampu mereduksi 99,9% (103) dari populasi bakteri awal selama inkubasi 24 jam (Kim & Yamamoto 1996).

Gambar 12 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. aureus dengan inokulum awal 6,3 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05

Gambar 12 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 7,76 log koloni/ml. Selanjutnya dikontakkan dengan ekstrak etanol lumut, diketahui bahwa konsentrasi 0,5 mg/ml dan 0,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan S. aureus. Perlakuan dengan konsentrasi 0,7 mg/ml menurunkan jumlah koloni sebanyak 1,0 log koloni/ml, 2,8 log koloni/ml pada konsentrasi 0,9 mg/ml, dan 3,5 log koloni/ml pada konsentrasi 1 mg/ml. Serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 5,0 mg/ml.

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. aureus oleh aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S. aureus adalah pada konsentrasi 0,7 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 0,9 mg/ml.

Nilai MIC sebesar 0,7 mg/ml tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian Xiao et al. (2005) dengan MIC 0,625 mg/ml menggunakan ekstrak M. convoluta. Aktivitas antimikroba lebih baik dilaporkan Mewari et al. (2008) dengan MIC 0,281 mg/ml, serta aktivitas rendah diperlihatkan ekstrak Marchantia sp. dengan MIC 3,13 mg/ml dari hasil penelitian Kaseru et al. (1995) (Lampiran 13). Pada konsentrasi rendah fenol akan bereaksi dengan dinding sel, sedangkan pada konsentrasi tinggi fenol akan merusak membran sitoplasma dan menyebabkan terjadinya denaturasi protein (Murray et al. 1998; Kim et al. 1995).

S. aureus diketahui merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak etanol lumut. Diketahui bahwa dinding sel S. aureus disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-D-isoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen (Thorpe 1995). Unit-unit tersebut merupakan komponen penyusun peptidoglikan yang sangat sensitif terhadap senyawa antimikroba. Peptidoglikan terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin,

dengan lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif (Fardiaz 1992; Madigan et al. 2000).

Cox et al. (2001) melaporkan bahwa senyawa fenolik yang berasal dari teh menyebabkan kerusakan membran dan kebocoran ion K+ dari bakteri S. aures NCTC 8325. Kation Ca2+ dan mg2+ terdapat pada bagian fosfolipid membran sel sehingga dengan adanya kerusakan membran maka ikatan kation tersebut akan rusak. Pada bakteri gram positif kation berfungsi untuk menghubungkan asam teikoat, jika terlepasnya ikatan kation akan menyebabkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel. mg2+ dan Ca2+ berfungsi sebagai penghubung fosfolipid dan grup karboksil membran, menjaga kestabilan membran bakteri, dengan adanya kebocoran ion-ion tersebut maka kestabilan membran akan terganggu yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bakteri (Hurst et al. 1974).

Mekanisme masuknya senyawa antimikroba terhadap bakteri gram positif dan gram negatif berbeda. Pada bakteri gram positif seperti S. aureus tidak ada lapisan lipopolisakarida sehingga molekul senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik maupun yang hidrofobik dapat melewatinya (Best 1999). Senyawa antimikroba dapat langsung masuk dan berpenetrasi ke dalam sel dengan cara difusi pasif. Kemudian akan berinteraksi dengan protein pada lapisan peptidoglikan sehingga menyebabkan kerusakan terhadap dinding sel. Hal ini kemudian akan menyebabkan bakteri mengalami lisis akibat tekanan osmotik yang tinggi dari dalam sel (Buck 2001; Setiabudy & Gan 1995).

Gambar 13 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,4 log koloni/ml. Hasil uji kontak pada konsentrasi 5,0, 6,0, 6,3, 6,6, 6,9, dan 7,0 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan S. Typhimurium ATCC 14028. Sedangkan penghambatan sebanyak 1,9 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 8,0 mg/ml, 2,7 log koloni/ml pada 9,0 mg/ml, dan 3,0 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml, serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml.

Gambar 13 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 7,2 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 untuk melihat penurunan jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 terhadap aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan) diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 adalah pada konsentrasi 8,0 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 10 mg/ml.

Dari nilai MIC dan MBC, bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 lebih tahan terhadap ekstrak jika dibandingkan dengan S. aureus. Adanya perbedaan nilai MIC dan MBC antara bakteri gram positif dan gram negatif dapat dihubungkan dengan perbedaan dinding sel pada kedua jenis bakteri tersebut. Bakteri gram negatif mempunyai outer membran yang bersifat lipofilik karena banyak mengandung molekul lipopolisakarida yang memiliki gugus OH-. Dinding sel pada bakteri gram negatif bersifat hidrofilik karena pada dinding selnya terdapat senyawa lipopolisakarida bersifat polar. Sedangkan bakteri gram positif seperti S. aureus memiliki membran luar yang bersifat hidrofobik pada bagian

luarnya sehingga dalam konsentrasi ekstrak yang rendah (<1 mg/ml) akan mampu membunuh seluruh bakteri S. aureus (Madigan et al. 2000).

Nilai MIC pada 8,0 mg/ml yang didapat pada penelitian ini mempunyai aktivitas yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa (2007) dengan MIC sebesar 100 mg/ml menggunakan ekstrak Marchantia sp . dan dengan bakteri yang sama S. Typhimurium (Lampiran 13). S. Typhimurium memiliki membran luar yang mengandung lipopolisakarida dan memiliki pori khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah seperti glukosa, asam amino dan ion-ion tertentu. Protein porin pada S. Typhimurium terdiri dari OmpC, OmpD, OmpF dan PhoE yang merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar (Moat et al. 2002).

Protein porin berbentuk pori-pori yang relatif tidak khusus yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai batas berdifusi yang berbeda dari bobot molekul 600 kda pada S. Typhimurium sampai lebih dari 3000 kda pada P. aeruginosa (Jawetz et al. 1996). Semakin tinggi berat molekul protein porin maka semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghadapi lewatnya molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996).

Buck (2001) menyatakan dalam penelitiannya bahwa awal-awal terjadinya interaksi mekanisme senyawa antimikroba pada bakteri gram negatif umumnya senyawa antimikroba akan dihambat oleh membran luar berupa lipopolisakarida. Kemudian terjadi akumulasi yang kemudian mengganggu ikatan-ikatan hidrofilik membran luar. Secara selektif sebagian dari senyawa antimikroba dengan ukuran molekul kecil masuk melalui protein porin hingga menuju sitoplasma.

Menurut Kanazawa et al. (1995) suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB: hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang

merupakan tempat hidup mikroba; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal (Branen & Davidson 1993).

Kelompok bakteri gram negatif umumnya relatif lebih tahan terhadap senyawa-senyawa antibakteri ekstrak tumbuhan yang bersifat semipolar mendekati nonpolar dibandingkan kolompok bakteri gram positif. Hal tersebut erat kaitannya dengan struktur dinding sel bakteri gram negatif yang berlapis-lapis tersusun dari beberapa senyawa antara lain: lipopolisakarida, peptidoglikan dan lipoprotein (Fardiaz 1989). Sedangkan pada bakteri gram positif sebagian besar terdiri dari lapisan peptidoglikan yang banyak mengandung asam amino alanin yang cenderung bersifat hidrofobik (Cano & Colome 1986).

Gambar 14 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa dengan inokulum awal 6,8 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05

Gambar 14 menunjukkan bahwa konsentrasi 0,0 mg/ml dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni sebanyak 8,6 log koloni/ml. Perlakuan uji kontak pada konsentrasi 5,0, 5,3, dan 5,6 mg/ml tidak mempengaruhi pertumbuhan P. aeruginosa. Penghambatan oleh ekstrak terhadap pertumbuhan P. aeruginosa sebanyak 1,2 log koloni/ml terjadi pada konsentrasi 5,9 mg/ml, 1,6 log koloni/ml

pada 6,0 mg/ml, 1,5 log koloni/ml pada 7,0 mg/ml, 2,5 log koloni/ml pada 8,0 mg/ml, 2,6 log koloni/ml pada 9,0 mg/ml, dan 4,3 log koloni/ml pada 10,0 mg/ml, serta tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 15,0 mg/ml.

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 untuk melihat penurunan jumlah bakteri P. aeruginosa terhadap aktivitas dari berbagai konsentrasi ekstrak menunjukkan perbedaan secara nyata pada taraf uji p = 0,05. Dari data percobaan nilai MIC dan MBC ekstrak etanol lumut (data tidak ditampilkan), diperoleh kesimpulan bahwa nilai MIC terhadap bakteri P. aeruginosa adalah pada konsentrasi 5,9 mg/ml, sedangkan untuk nilai MBC adalah pada konsentrasi 10 mg/ml.

Nilai MIC didapat pada konsentrasi 5,9 mg/ml mempunyai aktivitas yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asakawa (2007) dengan MIC 100 mg/ml, dan tidak ada aktivitas dari ekstrak M. convoluta terhadap P. aeruginosa yang dilaporkan Xiao et al. (2005) dalam penelitiannya (Lampiran 13). Nychas (1995) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba dari komponen fenolik terhadap membran sel bakteri P. aeruginosa adalah bereaksi dengan komponen fosfolipid sehingga menyebabkan peningkatan status permeabilitas sel membran atau dapat menyebabkan perubahan pada komponen asam lemak dan kandungan fosfolipid selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan pada sistem membran sel.

Dibanding bakteri S. Typhimurium ATCC 14028, P. aeruginosa lebih sensitif terhadap ekstrak etanol lumut. Diduga senyawa antimikroba ekstrak etanol dapat menyebabkan kerusakan pada dinding sel dengan cara bereaksi dengan komponen fospolipid dari membran sel, selanjutnya akan berdifusi melalui membran sitoplasma dan mempengaruhi materi genetik sehingga mengakibatkan sel menjadi lisis. Kemungkinan lainnya adalah ukuran dari protein porin, senyawa antimikroba dapat masuk ke dalam sel melalui protein porin dari membran luar sel (Helender et al. 1998). Menurut Davidson dan Branen (1993) P. aureginosa mempunyai ukuran protein porin lebih besar dibandingkan Salmonella sp. Protein porin PAO1 pada P. aureginosa adalah 2 nm, lebih besar daripada protein porin S. Typhimurium dengan diameter 1,4 nm (Benz 1984).

Menurut Nikaido (1985), komponen penyusun membran luar bakteri P. aureginosa adalah asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh ini dapat berubah dari bentuk trans menjadi bentuk sis. Apabila perubahan ini terjadi maka senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik akan lebih mudah masuk ke dalam membran luar sel bakteri. Senyawa hidrofilik seperti golongan fenolik akan merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler, kemudian mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Senyawa ini juga mampu memutuskan ikatan silang peptidoglikan oleh usahanya menerobos dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran nutrien sel dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penghasil membran sel seperti protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim- enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Ingram 1981).

Dari hasil analisis kandungan kimia secara kualitatif diketahui bahwa tumbuhan lumut hati jenis M. paleacea mengandung komponen fenolik,

Dokumen terkait