AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK TUMBUHAN
LUMUT HATI (
Marchantia
paleacea
) TERHADAP BAKTERI
PATOGEN DAN PEMBUSUK MAKANAN
REZA FADHILLA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2010
Reza Fadhilla
ABSTRACT
REZA FADHILLA. Antimicrobial Activity of Liverwort (Marchantia paleacea) on Patogenic and Food Spoilage Bacteria. Under direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM and EKA ADITYA PUTRI ISKANDAR
Liverwort (Marchantia paleacea) from Cibodas Botanical Garden was used as raw materials in this research. The objective of this research was to assess the antimicrobial activity of liverwort (M. paleacea). Maceration was used to extract the active compound with 4 different solvents i.e ethanol, methanol, ethyl acetate, and hexane. The potency of antimicrobial activity from extract was assesed by agar diffusion method and direct-contact test by determining the minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC). The effectivity of the best extract as antimicrobial agent was tested at pH 4, 6 and 8, and after heating for 20 minutes at 80C and 100C. S. aureus, S. Typhimurium, and P. aeruginosa were used as tested bacteria. The extract with the best antimicrobial activity was analyzed for its total phenol and phytochemical properties by qualitative analysis. The data showed that extraction with ethanol resulted in the best inhibition zone after tested using three bacteria. The inhibition zone was 10,8 mm, MIC 0,7 mg/ml, and MBC 0,9 mg/ml for S. aureus; 4,5 mm, MIC 8,0 mg/ml, and MBC 10 mg/ml for S. Typhimurium; and 5,8 mm, MIC 5,9 mg/ml, MBC 10 mg/ml for P. aeruginosa, respectively. The total phenol of the extract was 22 mg/gr. Phenolic, triterpenoid and flavonoid was positively detected in the extract. Ethanol extract worked more effective at pH 4 comparing to pH 6 and 8. Heating the extract for 20 minutes at 80C didn’t influence the antimicrobial activity. Moreover, when the extract was heated at 100C for 20 minutes, its activity against S. Typhimurium was reduced.
RINGKASAN
REZA FADHILLA. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantiapaleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan. Dibimbing
Oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan EKA ADITYA PUTRI
ISKANDAR
Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk kedalam divisi bryophyta. Umumnya ekstrak dari lumut hati (hepaticae) mengandung senyawa bioaktif yang efektif menghambat mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat sumber antimikroba tumbuhan lumut hati Marchantia paleacea asal Indonesia dan diharapkan antimikroba dari isolat ekstrak tersebut mempunyai aktivitas secara luas terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif.
Keseluruhan penelitian ini terdiri dari 4 tahap. Penelitian Tahap I merupakan tahap persiapan bahan baku lumut hati spesies M. paleacea yang meliputi proses sortasi, pengeringan (suhu ruang selama 14 hari), analisis kadar air, serta proses ekstraksi dan total rendemen ekstrak. Penelitian Tahap II meliputi uji antimikroba yaitu screening dengan metode agar difusi sumur terhadap bakteri uji S. aureus, P. aeruginosa, S. Typhimurium ATCC 14028 dan penetapan nilai MIC dan MBC dengan menggunakan medium cair TSB. Penelitian Tahap III terdiri dari analisis komponen fitokimia secara kualitatif dan analisis fenol total. Tahap akhir penelitian (Tahap IV) meliputi uji kajian efektifitas ekstrak pada berbagai perlakuan pH (4, 6, dan 8) dan uji stabilitas terhadap pengaruh suhu 80 dan 100C selama 20 menit.
Hasil pengukuran kadar air lumut segar diketahui sebesar 89,02 %, setelah pengeringan 14 hari didapat lumut kering dengan kadar air 17,47 %. Tingginya kadar air pada lumut segar disebabkan karena lumut memiliki struktur permukaan yang unik. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan bersifat higroskopis dan rizoid yang menyerupai benang berfungsi sebagai akar pada lumut sangat mudah untuk menyerap air dan garam-garam mineral. Rendemen tiap ekstrak yang didapat berbeda, ekstrak metanol merupakan rendemen paling tinggi (15,57 %), ekstrak etanol (5,98 %), ekstrak etil asetat (2,30 %), dan ekstrak heksana (0,87 %).
perbedaan konsentrasi sebesar 10 kalinya S. aureus, yang diketahui merupakan bakteri yang paling sensitif terhadap ekstrak etanol.
Kandungan senyawa fenolik, steroid, triterpenoid, tanin dan flavonoid diketahui positif ada dengan analisis fenol total sebesar 22 mg/gr. Perlakuan kombinasi ekstrak etanol dengan pH 4 memberikan efektivitas paling baik dibandingkan dengan pH 6 dan 8 terhadap bakteri uji. Pemanasan suhu 80C selama 20 menit tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba terhadap bakteri uji, sedangkan pada pemanasan 100C selama 20 menit menurunkan aktivitas dari ekstrak hanya terhadap bakteri S. Typhimurium ATCC 14028.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK TUMBUHAN LUMUT HATI (Marchantia
paleacea) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK MAKANAN
REZA FADHILLA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tanggal Ujian: 24 Maret 2010 Tanggal Lulus: 12 April 2010 HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan
Nama : Reza Fadhilla
NRP : F251060241
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc
Ketua
Eka Aditya Putri Iskandar, MSc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh, NAD, tanggal 2 Mei 1979 sebagai anak dari pasangan Ayah Sunari S. Kanen dan Ibu Nursiah Yusuf, dari lima bersaudara.
Penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri I Banda Aceh jurusan IPA pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis lulus seleksi masuk UNSYIAH melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pada tahun 2006, penulis diterima di program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister Sains, selama menempuh program S2 penulis melakukan penelitian dengan judul “Aktivitas Antimikroba Ekstrak Tumbuhan Lumut Hati (Marchantia paleacea) Terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Makanan dibawah bimbingan”
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum dan Eka Aditya Putri Iskandar, M.Sc sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan dukungan, bimbingan, saran dan arahan selama penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Dr. Suliantari, MS selaku dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga untuk menyempurnakan tesis ini.
3. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB: Mas Taufik dan Mbak Ari atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
4. Staf Kebun Raya Cibodas atas kerjasamanya.
5. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, dan adik-adik atas dorongan moril, kasih sayang, perhatian, kesabaran, serta doa-doa yang tulus. Kasih sayang dan doa-doamu adalah sumber kekuatan bagi penulis.
6. Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah di IPB.
7. Temanku Fauzi D. Anggraini atas motivasi dan dukungannya.
8. Rekan-rekan saya pada Program Studi Ilmu Pangan: Mathelda, Sylviana, Silvana, Ibu Puspita, Rezky, Ibu Sari, Azmier, Isac, yang telah banyak memberikan bantuan selama masa penelitian.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas atas budi baik Bapak/Ibu/ Saudara/i semuanya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, April 2010
DAFTAR ISI
Tujuan dan Manfaat Penelitian... 2
TINJAUAN PUSTAKA... 3
Fisiologis Tumbuhan Lumut (Bryophyta)... 3
Sintesis Metabolit Sekunder Tumbuhan sebagai Senyawa Antimikroba Alami ... 7
Potensi Komponen Aktif Lumut Hati (Hepaticae) ... 15
Mekanisme Senyawa Antimikroba ... 18
Metode Umum Ekstraksi Senyawa Antimikroba ... 21
Karakteristik Bakteri Uji ... 25
Metode Ekstraksi Secara Maserasi dan Rendemen Ekstrak... 30
Penelitian Tahap II... ... 32
Uji Aktivitas Antimikroba dari Ekstrak Dengan Metode Agar Difusi Sumur... 32
Penentuan MIC dan MBC Ekstrak Kasar Terpilih ... 32
Analisis Total Mikroba (Total Plate Count) ... 33
Penelitian Tahap III... 34
Analisis Fitokimia ... 34
Analisis Fenol Total ... 35
Penelitian Tahap IV ... 35
Kajian Efektifitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu... 35
Analisis Data... 36
HASIL DAN PEMBAHASAN... 37
Kadar Air Lumut Hati M. paleacea... 37
Rendemen Ekstrak Lumut Hati... 37
MIC Minimum Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum
Bactericide Concentration) Ekstrak Etanol Lumut ... 44
Kandungan Senyawa Bioaktif dan Fenol Total Lumut Hati M. paleacea... 51
Efektifitas Ekstrak Pada Berbagai Perlakuan pH dan Stabilitasnya Terhadap Pengaruh Suhu... 51
SIMPULAN DAN SARAN... 63
Simpulan... 63
Saran... 63
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Senyawa-senyawa utama antimikroba dari tumbuhan ... 8
2. Sifat berbagai golongan flavonoid ... 11
3. Golongan utama terpenoid tumbuhan... 12
4. Jenis-jenis pelarut untuk ekstraksi komponen aktif ... 23
5. Nilai polaritas beberapa pelarut... 25
6. Komponen Ekstrak Etanol ... 52
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Siklus hidup lumut... 4
2. Lumut hati bertalus Marchantia paleacea (kiri), dan Marchantia emarginata (kanan) atas. Marchantia polymorpha (kiri), talus pada Marchantia sp.(kanan) bawah... 6
3. Target spesifik dari antimikroba ... 18
4. Tahapan penelitian ... 29
5. Diagram alir ekstraksi metode maserasi ... 31
6. Tabung-tabung berbagai ekstrak dengan konsentrasi 100 mg/ml dan evaporasi dengan rotavapor suhu 40C... 38
7. Ekstrak lumut dalam berbagai pelarut ... 39
8. Rendemen dari masing-masing ekstrak lumut ... 39
9. Bioaktivitas antimikroba berbagai ekstrak lumut pada konsentrasi 100 mg/ml terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, dan S. Typhimurium ATCC 14028... 40
10. Zona hambat aktivitas ekstrak etanol terhadap bakteri uji ... 41
11. Perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif ... 42
12. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. aureus dengan inokulum awal 6,3 log koloni/ml Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05... 44
13. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak Etanol lumut terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 7,2 log koloni/ml. Huruf yang berbeda pada setiap faktor perlakuan menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji p = 0,05... 47
15. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. aureus dengan inokulum
awal 8,0 log koloni/ml ... 55
16. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut dengan konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap S. Typhimurium ATCC 14028 dengan inokulum awal 8,5 log
koloni/ml ... 58
17. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut dengan konsentrasi 10 mg/ml pada pH 4, 6, dan 8 terhadap P.
aeruginosa dengan inokulum awal 8,2 log koloni/ml ... 59
18. Aktivitas antimikroba ekstrak etanol lumut konsentrasi 10 mg/ml setelah dipanaskan pada suhu 80ºC dan 100ºC selama 20 menit terhadap S. aureus, S. Typhimurium ATCC 14028
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Rendemen ekstrak tumbuhan lumut hati M. paleacea dengan
menggunakan pelarut etanol, etil asetat, heksana dan methanol... 74
2. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi ekstrak (0.0, 0.5, 0.6, 0.7, 0.8, 0.9, dan 1.0 mg/ml) terhadap
jumlah bakteri S. aureus... 75
3. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi ekstrak (0.0, 5.0, 6.0, 6.3, 6.6, 6.9, 7.0, 8.0, 9.0, dan 10 mg/ml)
terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 76
4. Hasil analisis statistik pengaruh aktivitas berbagai konsentrasi ekstrak (0.0, 5.0, 5.3, 5.6, 5.9, 6.0, 7.0, 8.0, 9.0, dan 10 mg/ml)
terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 77
5. Analisis fenol total... 78
6. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri S. aureus... 79
7. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 80
8. Hasil analisis statistik pengaruh pH terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 81
9. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri S. aureus... 82
10. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri S. Typhimurium ATCC 14028... 83
11. Hasil analisis statistik pengaruh pemanasan terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etanol tumbuhan lumut hati M. paleacea
terhadap jumlah bakteri P. aeruginosa... 84
12. Nilai MIC mikroba berbagai ekstrak tumbuhan lokal terhadap
mikroba patogen dan perusak pangan ... 85
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan-bahan hayati telah lama digunakan oleh manusia untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup. Indonesia beriklim tropis memiliki sumber daya alam
hayati yang sangat beragam yang memproduksi banyak senyawa kimia karbon
alami. Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit
sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, kumarin dan lain-lain.
Umumnya senyawa bioaktif hampir selalu toksik terhadap sel hidup pada dosis
tinggi. Oleh karena itu daya bunuh in vivo suatu senyawa dari ekstrak yang
mempunyai bioaktivitas terhadap organisme tertentu dapat digunakan.
Fitokimia dengan aktivitas biologis memiliki kegunaan besar sebagai
bahan baku farmasitika. Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak
dilakukan penelusuran komponen aktif dari tumbuhan yang dilaporkan bersifat
medicinal (mengobati). Saat ini industri kimia bidang obat-obatan dan pertanian
dalam penelusuran produk sangat bergantung pada pendekatan secara sintetik.
Proses memodifikasi desain molekuler kimiawi secara sintetik umumnya sukses
digunakan dalam bidang farmasitika, akan tetapi kurang disenangi. Maka dari itu
ketertarikan untuk menemukan bahan farmasitika baru, nutrasetika dan komponen
bioaktif alami semakin meningkat tajam.
Ketertarikan ini didasarkan pada faktor-faktor antara lain; kesadaran
bahwa alam telah terlebih dahulu menyeleksi aktivitas biologi tumbuhan,
banyaknya komponen tumbuhan yang belum ditelusuri manfaatnya, serta
komponen-komponen yang telah diketahui memiliki aktivitas belum cukup
dikarakterisasi secara biologi. Akhir-akhir ini eksploitasi tumbuhan dengan
aktivitas antimikroba telah meningkat, terkait dengan adanya bahaya yang
disebabkan infeksi oleh mikroorganisme resisten antibiotik. Banyak penelitian
telah dilakukan dengan mengekstrak dan menguji segala jenis tumbuh-tumbuhan
terhadap kandungan aktivitas antimikrobanya, ini dilakukan untuk mendapatkan
sumber dan potensi antimikroba baru.
Sebagian besar kandungan kimia utama yang diisolasi dari tumbuhan
aktivitas ini perlu untuk didayagunakan sebagai salah satu sumber alternatif baru,
untuk antimikroba salah satunya. Telah dilaporkan pada beberapa literatur adanya
aktivitas bioaktif dari ekstrak bryophyta di antaranya menunjukkan sifat
antitumor, antikanker, antioksidan, dan antimikroba terhadap fungi dan sel-sel
prokariotik.
Penggunaan lumut sebagai tumbuhan obat telah lama diterapkan di Cina,
Eropa dan Amerika Utara. Beberapa jenis dari lumut Fissidens dan Polytrichum
banyak digunakan sebagai obat di Cina. Negara-negara Amerika Utara juga
menggunakan lumut jenis Bryum, Mnium, Philonotis spp., dan Polytrichum
juniperinum, sedangkan di Uni Eropa penggunaan Marchantia sebagai antibiotik
telah secara luas diterapkan khususnya di Perancis (Basile et al. 1998). Indonesia
sebagai negara tropis memiliki penyebaran lumut yang sangat besar, namun
informasi tersebut masih belum tereksploitasi secara penuh sehingga pengetahuan
mengenai lumut di Indonesia masih kurang, termasuk potensi pada komponen
bioaktif yang terkandung pada lumut.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat sumber antimikroba
tumbuhan lumut hati Marchantia paleacea, asal Indonesia dan diharapkan
manfaat dari penelitian ini antimikroba dari isolat ekstrak mempunyai aktivitas
TINJAUAN PUSTAKA
Fisiologis Tumbuhan Lumut (Bryophyta)
Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk
kedalam divisi bryophyta, termasuk tumbuhan darat sejati. Pada umumnya lumut
menyukai tempat-tempat yang basah dan lembab di dataran rendah sampai dataran
tinggi. Tumbuhan ini sering disebut sebagai tumbuhan perintis, karena lumut
dapat tumbuh dengan berbagai kondisi pertumbuhan di tempat tumbuhan tingkat
tinggi tidak bisa tumbuh. Secara ekologi lumut memiliki peranan yang sangat
penting dalam menciptakan habitat primer dan sekunder setelah adanya kerusakan
lingkungan. Tumbuhan lumut merupakan tumbuhan pertama yang tumbuh ketika
awal suksesi pada lahan yang rusak, atau daerah dengan hara yang miskin. Setelah
area ditumbuhi lumut, area tersebut akan menjadi media yang cocok untuk
perkecambahan dan pertumbuhan tumbuhan lainnya (Damayanti 2006).
Tumbuhan lumut memiliki bentuk-bentuk unik yang bisa menjadi
pembeda satu dengan lainnya. Beberapa struktur yang ada pada lumut tidak
dimiliki oleh tumbuhan lain, begitu pula sebaliknya. Lumut termasuk kelompok
tumbuhan dengan ketidakadaan jaringan vaskular. Meskipun beberapa jenis
memiliki batang, tetapi tumbuhan ini tidak memiliki susunan jaringan pembuluh
seperti pada tumbuhan tingkat tinggi. Beberapa lumut ada yang memiliki daun
dan sebagian tidak, tetapi hanya berupa hamparan tubuh yang disebut talus.
Struktur talus yang seperti ini tidak dijumpai pada tumbuhan tingkat tinggi (Smith
2004).
Smith (2004) menyatakan bahwa ciri khas yang dimiliki lumut adalah
sistem reproduksinya. Pada tumbuhan lumut terdapat gametangia (alat-alat
kelamin) yaitu alat kelamin jantan disebut anteridium yang menghasilkan
spermatozoid dan alat kelamin betina disebut arkegonium yang menghasilkan
ovum. Tumbuhan ini memiliki generasi gametofit yang dominan, sedangkan pada
tumbuhan tingkat tinggi generasi gametofitnya tereduksi. Generasi ini memiliki
organ seks (antheridia dan arkegonia) dan gamet (sperma dan sel telur). Generasi
sporofit yang menghasilkan spora tidak dapat hidup sendiri sehingga tetap
pada gametofit, sehingga tumbuhan ini memiliki siklus hidup yang berbeda
dengan tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 1).
Gambar 1 Siklus hidup lumut Sumber: www.wikipedia.com
Akar pada lumut sebenarnya tidak ada, tumbuhan ini melekat dengan
perantaraan rhizoid (akar semu), oleh karena itu tumbuhan lumut merupakan
bentuk peralihan antara tumbuhan talus (talofita) dengan tumbuhan
ber-kormus (kormofita). Daun, batang atau talusnya memiliki pori yang bisa
mengalirkan air, gas dan nutrisi ke sel-sel untuk langsung dipergunakan. Pada
beberapa jenis terdapat modifikasi struktur daun yang berfungsi untuk
memperluas area penyerapan air atau nutrisi. Lumut merupakan rumah bagi
invertebrata yang memiliki peran yang penting dalam menjaga porositas tanah dan
mengatur kelembaban ekosistem, karena kemampuannya dalam menahan dan
menyerap air. Para ahli sudah mulai banyak meneliti komposisi zat yang
dikandung lumut, beberapa di antaranya mengandung senyawa antibiotik, dan zat
Seperti kelompok tumbuhan lainnya, lumut memiliki klorofil sehingga
umumnya memiliki warna hijau dan sifatnya autotrof. Tulang daun biasanya ada
pada kelompok lumut sejati (musci), satu sampai dua tulang daun. Struktur
stomata seperti pada tumbuhan tingkat tinggi umumnya tidak ada, tetapi lumut
memiliki pori yang fungsinya hampir sama seperti stomata. Perbedaannya pori
selalu berada dalam keadaan terbuka dan tidak bisa menutup atau membuka
seperti pada stomata (Smith 2004).
Menurut Conard dan Redfearn (1996), klasifikasi bryophyta terdiri atas
tiga kelas yaitu Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut tanduk), Hepaticae/
Hepaticopsida (Lumut hati) dan Musci/Bryopsida (Lumut sejati). Lumut hati
memiliki anggota sekitar 5000 jenis. Struktur tubuhnya terdiri dari 2 macam
bentuk, yaitu lumut dengan struktur yang memiliki daun dan yang hanya memiliki
talus. Kelompok yang memiliki daun disebut lumut hati berdaun, sedangkan
lumut dengan struktur talus disebut lumut hati bertalus. Lumut ini umumnya
tumbuh secara epifit, bisa tegak ke atas, menjuntai ke bawah, menempel atau
merayap di permukaan substrat (Gradstein 2005).
Lumut hati memiliki rhizoid yang terdiri atas 1 sel (uniseluler) berfungsi
sebagai alat untuk melekatkan diri pada substrat. Beberapa jenis memiliki 2 – 3
baris daun yang melekat pada batang, terbagi atas dua baris daun dorsal (lobe),
satu baris daun ventral (underleaf) yang biasanya memiliki ukuran yang lebih
kecil dari pada daun dorsal, atau bahkan tidak ada. Pada beberapa jenis, daunnya
memiliki modifikasi membentuk cuping yang disebut lobul. Lobul ini adalah
perluasan daun yang bisa menangkap/menampung air yang berada di bagian
ventral (Damayanti 2006).
Pada lumut hati sel-sel daun dapat mengalami penebalan pada sudutnya,
yang disebut trigon. Sel-sel memiliki banyak kloroplas. Selain itu terdapat badan
minyak (oil bodies) yang berfungsi untuk melindungi sel dari kekeringan. Jika
dalam keadaan kering badan minyak ini akan pecah. Jumlah dan bentuk badan
minyak ini sangat penting untuk identifikasi. Pada beberapa jenis terdapat sel
yang memiliki badan minyak yang besar, tanpa kloroplas, sel ini disebut oselli.
Sel ini ukurannya lebih besar dibanding sel daun lainnya (http.comenius.susqu.
Gambar 2 lumut hati bertalus Marchantia paleacea (kiri), dan Marchantia emarginata (kanan) atas. Marchantia polymorpha (kiri), talus pada Marchantia sp.(kanan) bawah.
Sumber: www.hkflora.com
Newby (2006) menyatakan bahwa telah lama golongan lumut jenis
Marchantia diantaranya Marchantia polymorpha, Marchantia emarginata dan
Marchantia paleacea dilaporkan sebagai tumbuhan gulma di wilayah dingin
Amerika bagian utara. Pertumbuhannya yang pesat mengganggu penyerapan
nutrisi beberapa bibit tumbuhan pertanian. Sampai saat ini penggunaan herbisida
belum cukup efektif digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan dari lumut ini.
Dengan temperatur optimum pertumbuhan 18 - 22C dan ketersediaan sumber
nitrogen yang berlimpah, akan meningkatkan pertumbuhan dari lumut secara
signifikan. Pertumbuhan mungkin akan diperlambat jika kadar nitrogen lebih
rendah dari 75 bagian per juta (ppm) (Gambar 2).
Kemudahan untuk memperoleh nutrisi dan unsur-unsur hara juga sebagai
salah satu pemicu meningkatnya pertumbuhan dari jenis lumut ini. Nutrisi yang
digunakan dalam pertumbuhannya dapat diperoleh diantaranya dari tanah, air
juga beberapa mineral seperti Mn, Cu, Zn, Mo, Ni, Cl, dan Bo. Kebanyakan
mineral ini tersedia berlimpah dan mudah didapat di alam (Glime 2006).
Sintesis Metabolit Sekunder Tumbuhan Sebagai Senyawa Antimikroba Alami
Metabolit sekunder digambarkan sebagai unsur dengan bobot molekul
rendah, bukan merupakan produk dari metabolit primer dari pathway organisme.
Telah diketahui sebelumnya bahwa produk ini tidak berfungsi dalam fungsi
primer organisme. Beberapa pendapat berlawanan, sekarang ini dipertimbangkan
bahwa sel dalam memproduksi metabolit sekunder telah diketahui dapat
memberikan keuntungan bagi organisme tertentu melawan organisme lain dalam
pertumbuhannya. Faktanya, metabolit sekunder merupakan bagian dari produksi
sel berfungsi dalam menghambat organisme lain dalam mendapatkan keperluan
nutrisi atau sebagai proses regulator seluler (Berdy 2005).
Metabolit sekunder tumbuhan disintesis hanya dari beberapa prekursor
pada pathway dalam sejumlah kecil reaksi pada cabang dari jumlah reaksi yang
terbatas dari metabolisme primer. Keragaman struktur tersebut mencerminkan
variasi dari aktivitas biologi, diantaranya sebagai penghambat kerja enzim-enzim,
sebagai antitumor, immonosuppressive dan bahan antiparasit. Metabolit sekunder
telah lama digunakan di bidang kedokteran dan pertanian; sekitar 100.000
metabolit sekunder dari berat molekul rendah yang diteliti, 2500 jenisnya telah
diketahui fungsinya dan sekitar 50.000 berasal dari mikroba dan hanya sebagian
kecil berasal dari tumbuhan (Berdy 2005).
Metabolit sekunder sangat berperan penting karena aktivitasnya sebagai
antimikroba, tetapi terlepas dari aktivitas ini metabolit sekunder menguasai
aktivitas pharmacological dalam bidang medis. Beberapa di antaranya bersifat
karsinogenik sehingga menyebabkan kanker. Umumnya senyawa-senyawa
antikanker sintetik yang digunakan adalah mithramycin, bleomycin, daunomycin
dan adriamycin. Karakteristik lainnya adalah sebagai anabolik, anestetik,
antikoagulan, antiinflamasi, immunosupressant (cyclosporin A dan tacrolimus),
antihemolitik, hipokolesterolemik (statin) dan vasodilator (Berdy 2005).
Penggunaan senyawa antimikroba khususnya yang alami secara umum
terkandung dalam berbagai jenis ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat
beberapa mikroba patogen maupun pembusuk (Branen 1993). Senyawa
antimikroba tersebut dapat berasal dari bagian tumbuhan, seperti bunga, biji,
buah, rimpang, batang, daun dan umbi.
Tabel 1 Senyawa-senyawa utama antimikroba dari tumbuhan
Kelas Subkelas Contoh Mekanisme
Fenolik
Mengikat adhesin kompleks pada dinding sel, inaktif enzim Mengikat adhesin kompleks pada dinding sel
Mengganggu kompleks dinding sel
Merusak membran sel Metal ion complexation
Interaksi dengan DNA eukariotik
Merusak membran sel
Menggangu sintesis DNA dan dinding sel
Block viral fusion atau adsorpsi
Membentuk jembatan disulfida
Tabel 1 menunjukkan bahwa tumbuhan memiliki suatu kemampuan yang
hampir tidak terbatas untuk mensintesis substansi aromatik. Tumbuhan juga dapat
mensintesis berbagai zat bioaktif yang dapat berfungsi untuk hal-hal tertentu.
Sebagian dari zat aktif tersebut sudah diteliti berikut fungsinya, dan umumnya terdiri
dari satu atau campuran senyawa-senyawa seperti fenolik, terpenoid, alkaloid,
polipeptida dan poliasetilen. Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga telah diketahui
dapat berfungsi sebagai antibakteri (Cowan 1999).
Sebagian besar antimikroba tumbuhan diketahui merupakan metabolit
sekunder tumbuhan, terutama dari golongan fenolik dan terpena dalam minyak
atsiri. Sebagian metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer
seperti dari asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat dan metabolit antara.
Kebanyakan senyawa-senyawa fenolik pada tumbuhan adalah isoflavonoid
dengan struktur kerangka dasar C6 – C3 – C6 yang merupakan kelas fitoaleksin
yang dominan (Harborne 1987).
Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik
dengan satu atau lebih substansi gugus hidroksil dan alkil. Senyawa ini
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: fenol sederhana (vanilin, gingerol,
shogaol, guaiakol dan eugenol) dan asam fenol (p-kresol, 3-etilfenol, hidrokuinon,
asam galat dan siringit), turunan asam hidroksisinamat (p-kumarin, kafein dan
ferulin); dan flavonoid (antosianin, flavonon, flavanon, flavanol dan tanin) (Gould
1995). Menurut Shelef (1993) senyawa fenolik merupakan komponen utama
antimikroba tumbuhan. Komponen fenolik tersebar luas pada bagian tumbuhan
dan telah diketahui mempunyai sifat antipatogen, antiherbivor dan bersifat
allelopatik (Oomah et al. 1995).
Suradikusumah (1989) menambahkan fenol dan turunannya memiliki sifat
cenderung larut dalam air. Senyawa fenol di antaranya adalah senyawa fenol
sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol,
3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi
sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin,
proantosianin, antosianidin, dan flavonol), dan tanin yang merupakan senyawa fenol
Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak atsiri
rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol (Beuchat 1994).
Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam
membran sitoplasma mikroba termasuk diantaranya adalah menggangu transpor
aktif dan kekuatan proton (Davidson 1993(b)). Menurut Mukhopadhyay (2002),
polifenol memiliki kemampuan untuk berikatan dengan metabolit lain seperti
protein, lemak dan karbohidrat membentuk senyawa kompleks yang stabil sehingga
menghambat mutagenesis dan karsinogenesis. Polifenol memiliki sifat antioksidan,
antimikroba, dan antitumor. Sedangkan menurut Bidlack dan Wang (2000),
polifenol dapat digunakan sebagai pencegah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Flavonoid
umumnya terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk aglikon maupun terikat pada
gula sebagai glikosida (Middleton & Chitan 1994). Jenis utama flavonoid yang
terdapat pada tumbuhan antara lain dihidrokalkon, kalkon, flavan, katekin
(flavan-3-ol), leukoantosianidin (flavan-3,4-diol), flavanon, flavanonol (dihidroflavonol),
flavon, flavonol, garamflavilium, antosianidin, dan auron. Berdasarkan struktur,
flavonoid dapat diklasifikasikan menjadi flavoid (1,3-diaril propan), isoflavon
(1,2-diarilpropan) dan neoflavonoid (1,1-diarilpropan).
Harborne (2006) menyatakan bahwa flavonoid memegang peranan penting
dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan,
penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik. Flavonoid pada
tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis,
mengatur kerja antimikroba dan antivirus, serta mengatur kerja anti-serangga
(Tabel 2). Hal ini dikarenakan flavonoid memiliki spektrum aktivitas antimikroba
yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu 2000).
Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tumbuhan dan
memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid
Tabel 2 Sifat berbagai golongan flavonoid
Golongan flavonoid Penyebaran Ciri khas
Antosianin
Terutama tanwarna, dalam galih dan daun tumbuhan
seluruhnya terbatas pada gimnospermae (warna dapat diekstraksi dengan amil alkohol) bila jaringan dipanaskan dalam HCL 2M selama setengah jam
Setelah hidrolisis, berupa bercak kuning pada kromatogram, forestal bila disinari dengan UV; maksimal spektrum pada 350-386 nm
Setelah hidrolisis, berupa bercak kuning pada kromatogram, forestal bila disinari dengan UV; maksimal spektrum pada 330-350 nm
Mengandung gula yang terikat melalui ikatan C-C; bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa
Pada kromatogram BAA berupa bercak redup dengan RF tinggi
Dengan amonia berwarna merah (perubahan warna dapat diamati in situ), maksimal spektrum 370-410 nm
Berwarna merah kuat dengan Mg/HCl; kadang-kadang sangat pahit
Bergerak pada kertas dengan pengembang air; tidak ada uji warna yang khas
Sumber: Harborne 2006.
Senyawa lain yang disintesis dari tumbuhan adalah senyawa terpenoid,
Man (1987) menyatakan bahwa terpenoid merupakan senyawa utama pada
tumbuhan yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Senyawa terpenoid
ko-A, asam mevalonat. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5H8)n atau dengan
satu unit isoprene-2 metil-2,3 butadiena. Harborne (2006) menyatakan bahwa
jumlah n menunjukkan klasifikasi terpenoid yang dikenal dengan monoterpena,
seskuiterpen, diterpena, tetraterpena dan politerpena (Tabel 3).
Tabel 3 Golongan utama terpenoid tumbuhan
Jumlah satuan isoprene
Jumlah
karbon Golongan Jenis utama dan sumbernya
1
Dideteksi dalam daun Hamamelis japonica
Monoterpena dalam minyak atsiri tumbuhan (misalnya mentol dari Mentha), monoterpena lakton (misalnya nepelakton), tropolon (dalam kayu Gymnospermae) Seskuiterpena dalam minyak atsiri, seskuiterpena lakton (terutama dalam Compositae), absisin (misalnya asam absisat) Asam diterpena dalam damar tumbuhan, giberelin (misalnya asam giberelat)
Sterol (misalnya sitosterol), triterpena (misalnya -amirin), saponin (misalnya yamogenin), glikosida jantung
Karotenoid (misalnya -karoten) karet, misalnya dalam Hevea brasiliensis
Sumber: Harborne 2006
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu
skualena (Teisser 1994). Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul
isopren. Secara kimiawi terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel
tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol (-sitosterol),
stigmasterol dan kampesterol. Senyawa terpenoid dapat digunakan untuk
pengobatan dan terapi. Triterpenoid merupakan golongan terpenoid yang berpotensi
sebagai antimikroba. Selain itu senyawa ini banyak digunakan untuk
menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur,
insektisida, antibakteri dan antivirus (Robinson 1995). Senyawa terpenoid yang
mempunyai aktivitas antimikroba antara lain adalah borneol, sineol, pinene,
kamfene dan kamfor (Conner 1993), merediol, linalool, indol dan kadinen.
Senyawa ini efektif untuk menghambat pertumbuhan B. subtilis, S. aureus dan E.
coli (Kuboa et al. 1993)
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid (Harborne 2006).
Senyawa steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak
lebih dari 21 (steroid sederhana) dan steroid dengan atom karbon lebih dari 21
seperti sterol, sapogenin, alkaloid steroid, glikosida jantung dan vitamin D. steroid
alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen yaitu lanosterol dan
sikloartenol. Pada umumnya steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa
steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Hogiono & Dangi
1994).
Senyawa alkaloid adalah senyawa alami amina terdapat banyak pada
tumbuhan dan sedikit pada hewan. Senyawa alkaloid sebagian besar mencakup
senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai
bagian dari sistem siklik (Harborne 2006). Berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen
alkaloid dapat diklasifikasikan antara lain pirolidin, piperidin dan isokuinolin.
Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tumbuhan, memiliki aktivitas
fisiologis sehingga banyak digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid dari
tumbuhan telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba, diantaranya klausenalena
bersifat antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Salmonella lutea, Pseudomonas
vulgaris, Echerichia coli dan Staphylococcus aureus, murayanol juga memiliki
aktivitas antimikroba terhadap S. aureus, E. coli, dan Candida parapsilasis
(Ramsewak 1999).
Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa-senyawa bersifat basa yang
merupakan golongan heterogen, sebagian besar tanwarna dan berbentuk kristal tetapi
hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Penyebaran
alkaloid sangat tidak merata, jumlah besar terdapat pada tumbuhan Angiospermae
dan tidak ditemukan pada tumbuhan Gymnospermae, paku-pakuan, lumut dan
tumbuhan tingkat rendah (Harborne 2006).
Senyawa antimikroba alami tumbuhan pada fraksi minyak atsiri memiliki
spektrum aktivitas antimikroba yang luas diantaranya thymol
(5-metil-2-(1-metiletil) fenol) dari thyme dan oregano, sinamik aldehida (3-fenil-2-propenal)
dari kayu manis, dan eugenol (2-metoksi-4-(2-propenil)fenol) dari cengkeh
(Kyung & Flemming 1994). Senyawa sulfur seperti alisin pada bawang putih dan
S-metyl-L-sulfoksida yang ada pada kubis juga memiliki sifat antimikroba
(Beuchat & Golden 1989).
Penggunaan antimikroba tumbuhan telah banyak diteliti baik dalam bentuk
bubuk atau serbuk maupun dalam bentuk ekstrak dan minyak atsiri. Selain itu
banyak penelitian yang telah diarahkan untuk mengidentifikasi komponen kimia
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba dari masing-masing
tumbuhan tersebut. Menurut Fardiaz (1989) senyawa antimikroba dalam
rempah-rempah dapat bersifat bakterisidal yaitu membunuh bakteri dan bakteristatik yaitu
menghambat pertumbuhan bakteri.
Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan
dipengaruhi oleh faktor antara lain (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) waktu
penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis,
konsentrasi, umur dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan
termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya. Mekanisme
penghambatan antimikroba sebagai target utama adalah dinding sel, membran sel,
enzim metabolik, sintesis protein dan materi genetik (Fardiaz 1989).
Penggunaan senyawa antimikroba sintetis pada makanan dan kosmetika
telah dikenal secara luas dan memberikan hasil yang memuaskan, akan tetapi
keamanannya terhadap tubuh manusia masih diragukan. Oleh sebab itu, setelah
diketahui bahwa senyawa antimikroba juga terkandung dalam bahan-bahan alami
simpan bahan pangan dan kosmetika menggunakan senyawa antimikroba alami,
walaupun belum diperoleh hasil yang memuaskan (Nishina et al. 1993).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan senyawa aktif
tersebut untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen maupun pembusuk,
antara lain terhadap Bacillus cereus, S. aureus, S. Typhimurium, E. coli, Listeria
monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Lactobacillus plantarum,
Bacillus stearothermophilus, Aspergillus niger, Penicillium rubrum, Candida utilis
dan Saccharomyces cerevisiae. Umumnya aktivitas yang tinggi ditunjukkan oleh zat
aktif yang termasuk golongan ekstrak minyak atsiri yang merupakan senyawa
fenolik yaitu cavicol, cavibetol, carvacrol, eugenol dan allilpyrocatechol (Jenie et al.
2001).
Pelczar et al. (1993) menyatakan bahwa beberapa senyawa kimia yang
memiliki sifat sebagai antimikroba adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol,
halogen, logam berat, deterjen dan senyawa ammonium kuartener. Pemakaian
antibiotik yang berlebihan menyebabkan bakteri yang semula sensitif menjadi
resisten, oleh karena itu senyawa antibakteri baru diperlukan untuk mengatasi bakteri
resisten tersebut.
Potensi Komponen Aktif Lumut Hati (Hepaticae)
Umumnya ekstrak dari lumut hati mengandung isoflavonoid, flavonoid
dan bioflavonoid yang efektif menghambat mikroorganisme. Senyawa terpenoid
dan fenolik serta unsur–unsur yang mudah menguap terdapat pada beberapa jenis
lumut (Ilhan et al. 2006). Aktivitas antibakteri, antikapang dan antivirus juga
diketahui pada beberapa hepaticae dan ekstrak beberapa jenis musci. Banyak
penelitian mengenai isolasi, identifikasi dan penentuan struktur kimia telah
dilakukan pada molekul-molekul yang berpotensi terhadap sifat karakteristik
aktivitasnya. Sifat substansi aktif dari Atrichum, Dicranum, Mnium, Polytrichum
dan Sphagnum spp. telah diketahui sebagai senyawa polifenolik. Molekul seperti
marchantin A, asam lemak cyclopentanol dan beberapa prekursor ditemukan
Beberapa senyawa yang diekstrak dari lumut dan berpotensi sebagai
senyawa antimikroba di antaranya senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon
(PAHs), hipnogenol, bioflavonoid dan dihidroflavanol dari lumut Hypnum
cupressiforme. Flavonoid C-glikosida dan flavonoid jenis lainnya juga terdapat
pada Mnium undulatum (Dulger et al. 2005). Unsur utama pada Marchantia
convoluta adalah flavonoid, triterpenoid dan steroid. Flavonoid yang berasal dari
M. convoluta sebagian besar terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O- dan
C-glycosida. Sangat kuat menghambat colibacillus, bacillus, Staphyloccus aureus,
Bacillus enteritidis, hemolytic Streptococci type B, Diplococcus pneumoniae serta
mempunyai zat-zat antibiotik, antiinflammatory dan pengaruh-pengaruh diuretik
pada tikus (Xiao et al. 2006).
Komponen utama esensial oil yang diidentifikasi dari ekstraksi
Marchantia convulata secara Supercritical fluid extraction (SFE) diantaranya
adalah benzothiazole (11.82%), 2-ethylhexanoic acid (9.82%),
ethylphenoxybenzene (8.99%), acetic acid octadecyl ester (8.82%),
4-cyanothiophenol (5.49%), cedrol (4.60%), 9,12-octadecadienoic acid ethyl ester
(3.25%), 2(3H)-benzothiazolone (2.79%), octadecanoic acid ethyl ester (2.39%),
n-hexadecanoic acid (2.08%), 1,1'-(3-methyl-1-propene-1,3-diyl) bis-benzene
(2.07%). Kandungan total adalah asam organik dan ester 32.19% (Xiao et al.
2007).
Senyawa-senyawa aktif yang ditemukan pada lumut memiliki beragam
aktivitas biologi. Diantaranya mempunyai aktivitas antitumor pada jenis lumut
Plagiochasma japonica dan aktivitas antikapang dan antimikroba, pada
Marchantia tosana (Lahlou et al. 2000). Menurut Ilhan et al. (2006), ekstrak
metanol dari Plagiochasma commutata mempunyai potensi aktivitas antibakteri
secara in vitro terhadap 5 bakteri yang diujikan, sedangkan ekstrak dengan pelarut
aseton mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih luas lagi terhadap 9 bakteri
yang diujikan. Ini diperkuat oleh penelitian Cobianchi et al. (1988) yang
melaporkan bahwa ekstrak dari beberapa lumut menunjukkan aktivitas antifungi.
Basile et al. (1998) melaporkan bakteri gram positif kecuali B. subtilis
yang diuji tidak menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap ekstrak P.
dan S. aureus dapat dihambat hanya dengan konsentrasi tinggi dari ekstrak (MIC 512 µg/ml). Umumnya bakteri gram negatif menunjukkan lebih resisten daripada gram positif, khususnya E. coli, P. mirabilis, Ent. cloacae dan B. subtilis.
Beberapa bakteri seperti Salmonella typhi, Pr. vulgaris dan P. aeruginosa tidak
dipengaruhi ekstrak P. squarrosa. Aktivitas antibakteri dari lumut terhadap
bakteri gram negatif telah dikemukakan dalam beberapa studi antara lain: ekstrak
Leptodictyum riparium mempunyai kemampuan untuk menghambat gram negatif
dari pada bakteri gram positif, ekstrak juga mampu menghambat bakteri resisten
antibiotik seperti P. aeruginosa. Ini perlu dipertimbangkan sejak antibiotik
konvensional secara reguler lebih aktif terhadap bakteri gram positif daripada
gram negatif.
Ilhan et al. (2006) dalam penelitiannya dengan metode difusi cakram
menyatakan bahwa bakteri gram positif B. mycoides lebih sensitif terhadap
ekstrak aseton dari Plagiochasma commutata dengan zona penghambatan paling
besar yaitu 12 mm. Terhadap B. cereus (11 mm), B. subtilis (11 mm) dan aktivitas
yang rendah pada Micrococcus luteus (7 mm). Sedangkan jenis bakteri gram
negatif Yersinia enterocolitica dan Klebsiella pneumoniae secara umum lebih
sensitif di antara bakteri gram negatif yang diuji dengan zona penghambatan
sebesar 11 mm, diikuti oleh P. aeruginosa (9 mm), E. coli (8 mm) dan E.
aerogenes (7 mm).
Dulger at al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari delapan jenis
lumut yaitu Grimmia pulvinata, Tortula subulata, Weisia controversa, Leucodon
sciuroides, Hypnum cupressiforme, Homalothecium sericium, Neckera
complanata, dan Mnium undulatum yang berasal dari Turki menunjukkan potensi
aktivitas antimikroba yang besar terhadap bakteri gram negatif dan gram positif.
Mikroorganisme yang paling sensitif diperlihatkan oleh B. subtilis dan P.
aeruginosa, sedangkan terhadap kapang uji Candida albicans, Rhodotorula rubra
dan Kluyveromyces fragilis menunjukkan aktivitas yang rendah.
Senyawa-senyawa fenolik dari Marchantia polymorpha sejumlah besar dikarakteristik
dalam bentuk senyawa lipofilik dan hidrofilik, termasuk flavon dan flavon
glikosida yang diekstrak dengan menggunakan pelarut metanol (Adam & Beckert
Mekanisme Senyawa Antimikroba
Senyawa antimikroba didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia
yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Pelczar & Reid
1979). Kriteria umum yang digunakan sebagai antimikroba antara lain: tidak
bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan
aroma, cita rasa dan tekstur makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten
dan sebaliknya baik jika mempunyai kemampuan membunuh dibanding
menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier & Westhoff. 1978).
Antimikroba digambarkan sebagai produk alami organik dengan berat
molekul rendah dibentuk oleh mikroorganisme dan tumbuhan yang aktif melawan
mikroorganisme lain pada konsentrasi rendah. Pengembangan aktivitas ini melalui
jumlah terbatas dari mekanisme antimikroba yang dapat mempengaruhi sintesis
dinding sel, integritas membran sel, sintesis protein, replikasi DNA dan repair,
transkripsi dan metabolit intermediate (Gambar 3) (Wax et al. 2008).
Gambar 3 Target spesifik dari antimikroba Sumber: Wax et al. 2008
Metabolit sekunder akan memblok biosintesis dinding sel dengan
menghambat kerja enzim dalam mensintesis komponen berbeda dari dinding sel.
Jika metabolit ini dapat mempengaruhi integritas membran sel maka akan
Antimikroba yang mempengaruhi sintesis protein bertindak sebagai perusak unit
ribosom, mengikat pada unit 50S dan mencegah translasi dan mengikat unit 30S
menyebabkan terjadinya kesalahan translasi, memproduksi racun dan
mempengaruhi protein. Senyawa antimikroba akan mempengaruhi fungsi
replikasi DNA dan repair, menghambat enzim girase dan topoisomerase dan
N-metiltransferase. Akhirnya beberapa antimikroba mengganggu metabolisme
intermediate dengan menghambat enzim dalam biosintesis dari substansi berbeda
(Berdy 2005).
Senyawa fenolik merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas
membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler,
kemudian mendenaturasi dan menginaktifkan protein seperti enzim. Senyawa ini
juga mampu memutuskan ikatan silang peptidoglikan oleh usahanya menerobos
dinding sel. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol menyebabkan kebocoran
nutrien sel dengan merusak ikatan hidrofobik komponen penghasil membran sel
seperti protein dan fosfolipida serta larutnya komponen-komponen yang berikatan
secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Terjadinya
kerusakan pada membran berakibat terhambatnya aktivitas dan biosintesis
enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Ingram 1981).
Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan
gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta asam amino
L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin (Fardiaz 1992). Bakteri gram positif
mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam
teikuronat yang bermuatan negatif. Pada bakteri gram negatif terdapat lapisan
diluar dinding sel yang mengandung 5-20% peptidoglikan, lapisan ini merupakan
lapisan lipid kedua yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini
tersusun oleh fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2000).
Dalam upaya mencapai sasaran, senyawa antimikroba dapat menembus
lipopolisakarida dari dinding sel tersebut. Molekul-molekul yang bersifat
hidrofilik lebih mudah melewati lipopolisakarida dibandingkan dengan yang
hidrofobik. Pada bakteri gram positif tidak ada lapisan lipopolisakarida sehingga
molekul senyawa antimikroba yang bersifat hidrofilik maupun yang hidrofobik
Kemampuan suatu senyawa antimikroba untuk mempengaruhi dinding sel
mikroba (Ultee et al. 2000). Nychas dan Tassou (2000) menyatakan bahwa
minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan
pembentukan komponen struktural, sehingga pembentukan dinding sel bakteri
terganggu. Mekanisme kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya
akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel,
sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel.
Membran sitoplasma yang berperan pada keutuhan sel dapat terganggu
permeabilitasnya oleh beberapa senyawa antimikroba yang dapat menyebabkan
kobocoran isi sel sehingga transfer isi sel tidak terkontrol. Bocornya membran
sitoplasma dapat dideteksi dengan adanya perubahan jumlah asam nukleat dan
protein dalam medium seperti telah dibuktikan oleh Bunduki et al. (1995).
Kerusakan pada membran ini umumnya mengakibatkan peningkatan
permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya materi
intraseluler. Mekanisme antimikroba minyak atsiri (karvakrol, sitral dan geraniol)
adalah mengganggu lapisan fosfolipid dari membran sel yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas sehingga kehilangan unsur penyusun sel (Kim et al.
2001).
Sintesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida dari asam-asam
amino melalui ikatan peptida (Prindle 1983). Proses sintesis tersebut terdiri atas
beberapa tahap yaitu inisiasi, penggabungan kompleks asam amino, pembentukan
ikatan peptida, translokasi dan terminasi. Menurut Kanazawa et al. (1995),
senyawa antimikroba dapat menghambat sintesis protein bakteri pada saat telah
berdifusi ke dalam sel yaitu senyawa tersebut bereaksi dengan komponen sel
ribosom 50 S yang membentuk kompleks pada tahap inisiasi (tahap awal sintesis
protein), sehingga menstimulasi translasi yang salah, selanjutnya terjadi
penyimpangan dalam ribosom yang mengakibatkan sintesis protein dilanjutkan
dengan pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu pembentukan
protein (Nychas & Tassou 2000).
Kemampuan senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan
bakteri dipengaruhi oleh kestabilan terhadap protein, lipid, garam dan tingkat
penelitian menunjukkan bahwa garam dapat meningkatkan daya hambat senyawa
fenolik atau minyak atsiri. Pengaruh yang sama dari garam terhadap daya hambat
senyawa fenolik juga dilaporkan oleh Campo et al. (2000). Garam juga
memberikan pengaruh sinergisme terhadap senyawa fenolik Butil Hidroksil Amin
(BHA). Peningkatan konsentrasi garam dari 3% menjadi 7% akan menurunkan
jumlah BHA yang dibutuhkan untuk menghambat S. aureus sebesar dua kali
(Stern et al. 1979).
Suhu dan waktu pemanasan juga mempengaruhi stabilitas senyawa
antimikroba. Senyawa antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang
jika dipanaskan (Branen 1993). Ewald (1999) melaporkan bahwa aktivitas
antibakteri kuersetin dan kaemferol dari golongan flavonoid menurun sebesar
48% dan 68% dengan adanya pemanasan pada suhu 60°C selama 2 jam.
Metode Umum Ekstraksi Senyawa Antimikroba
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan
perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut. Pelarut yang digunakan merupakan
pelarut organik yang mempunyai titik didih rendah, tidak beracun dan tidak
mudah terbakar. Kelarutan zat dalam pelarut tergantung dari ikatan polar dan
nonpolar. Zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat nonpolar
hanya larut dalam pelarut nonpolar. Pemilihan pelarut organik yang digunakan
dalam mengekstrak komponen bioaktif merupakan faktor penentu untuk
pencapaian tujuan dan sasaran ekstraksi komponen. Untuk memperoleh ekstrak
yang baik dapat dilakukan ekstraksi secara bertingkat dimulai dari pelarut non
polar (n-heksana, sikloheksana, toluena dan kloroform), lalu dengan pelarut semi
polar (diklorometan, dietil eter dan etil asetat) dan polar (metanol, etanol dan air)
sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar,
semipolar dan polar (Houghton & Raman 1998).
Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi.
Perbandingan yang baik antara bahan dan pelarut adalah 1 : 10 (Cowley 1973),
dimana konsenterasi pelarut akan mempengaruhi ekstrak. Penggunaan pelarut
gum sehingga mempersulit penyaringan. Penggunaan alkohol dengan konsentrasi
lebih dari 70% akan menghasilkan ekstrak dengan kandungan fixed oil tinggi,
yang akan mengendap pada bagian bawah ekstrak (Purseglove et al. 1981).
Berdasarkan penelitian Sofiah et al. (1986), konsentrasi etanol terbaik adalah 50 –
60 %.
Beberapa tahapan isolasi senyawa antimikroba dari tumbuhan yaitu
dimulai dengan ekstraksi, pemisahan dan fraksinasi, serta pemurnian komponen.
Permasalahan dalam proses persiapan isolasi komponen tumbuhan adalah teknik
mendapatkan bahan sampel yang proporsional dari jumlah sampel yang besar dan
beragam, kehilangan sebagian besar tumbuhan, perubahan-perubahan enzimatik
sebelum dan selama isolasi, perubahan-perubahan komponen bahan selama
penggilingan, kontaminasi bahan peralatan penggilingan dan perubahan
komponen-komponen yang tidak stabil (Pomeranz & Meloan 1994).
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk mengekstrak antara
lain: tidak berbau dan tidak berasa, sehingga tidak mempengaruhi mutu produk
akhir, mudah berpenetrasi karena viskositasnya rendah sehingga efisiensi
ekstraksi tinggi, mudah dipisahkan tanpa menimbulkan residu sehingga produk
dapat bebas dari pelarut dan dapat digunakan secara selektif dengan berbagai
kondisi suhu dan tekanan ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak dengan mutu
terbaik (Moyler 1994).
Selain itu untuk mengekstrak suatu bahan yang belum diketahui
kandungan kimianya secara jelas diharuskan menggunakan pelarut etanol atau air
untuk alasan keamanan (DepKes 2000). Pelarut etanol digunakan karena memiliki
polaritas lebih tinggi dari pada aquades sehingga akan lebih banyak melarutkan
komponen polar. Etanol mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak,
asam lemak, dan senyawa organik lainnya, serta merupakan pelarut yang aman
dalam arti tidak toksik (Somaatmadja 1981).
Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa pemilihan pelarut yang
akan dipakai dalam proses ekstraksi, harus memperhatikan sifat kandungan
senyawa yang akan diisolasi. Sifat yang penting adalah polaritas dan gugus polar
dari suatu senyawa. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan
bergantung pada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar
pelarut tersebut (Tabel 4) (Murphy 1999).
Tabel 4 Jenis-jenis pelarut untuk ekstraksi komponen aktif.
Air Etanol Metanol Kloroform Dikloro
Metanol Eter aseton
Keterangan: Senyawa yang umum di ekstrak (huruf tebal). Sumber: Murphy 1999.
Secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian
tumbuhan seperti daun, batang dan akar umumnya dilakukan secara maserasi
menggunakan pelarut organik polar seperti metanol. Beberapa metode ekstraksi
senyawa organik bahan alam yang umum digunakan antara lain (Darwis 2000):
1. Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang
digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam
isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan
akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan
antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam
sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan
sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan
pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi
dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut.
Senyawa umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena dapat
2. Perkolasi
Merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel sehingga pelarut
akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut. Tetapi efektivitas
dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat
mudah larut dalam pelarut yang digunakan.
3. Metode Soklet
Menggunakan soklet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat
karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini
sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh panas.
4. Destilasi Uap
Proses destilasi lebih banyak digunakan untuk senyawa organik yang tahan
pada suhu yang cukup tinggi, yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang
digunakan. Pada umumnya lebih banyak digunakan untuk minyak atsiri.
5. Pengempaan
Metode ini lebih banyak digunakan dalam proses industri seperti pada isolasi
Crude Palm Oil (CPO) dari buah kelapa sawit dan isolasi katecin dari daun
gambir, dimana pada proses ini tidak menggunakan pelarut.
Umumnya proses ekstraksi secara maserasi diawali dengan penghancuran
sampel, perendaman dengan menggunakan pelarut sampai beberapa hari dan
dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan
sehingga diperoleh cairan. Pelarut yang sering digunakan adalah heksana, etil
asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa nonpolar,
semi polar, dan polar. Heksana merupakan pelarut yang bersifat nonpolar dan
berfungsi melarutkan lemak. Heksana terdiri dari hidokarbon alkana dengan
rumus molekul C6H14. Heksana yang digunakan sebagai pelarut berupa cairan tak
berwarna dan memiliki titik didih 69C serta larut dalam air. Sedangkan etil asetat
merupakan komponen organik semi polar dengan rumus C4H8O2. Etil asetat
bersifat volatil, nontoksik, dan tidak higroskopis. Pelarut ketiga adalah etanol
dengan rumus molekul C2H5OH bersifat volatil (Nielsen 2003).
Beberapa pelarut organik yang digunakan untuk mengekstrak senyawa
benzena, toluena, etanol, isopropanol, aseton, dan air (Mukhopadhyay 2002).
Nilai polaritas beberapa pelarut tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai polaritas beberapa pelarut
Pelarut Titik didih (°C) Polaritas (E°C)
Etanol
Beberapa mikroba patogen dan pembusuk makanan yang digunakan untuk
uji bioaktivitas antimikroba ekstrak dalam penelitian ini diantaranya :
a. Salmonella Typhimurium
Salmonella spp. merupakan bakteri patogen yang digolongkan ke dalam
suku Enterobacteriaceae dan tidak berspora, termasuk bakteri gram negatif,
berbentuk batang. S. Typhimurium bersifat motil dengan flagela peritrikat,
anaerob fakultatif dan harus negatif pada produk makanan. Salmonella terbagi
menjadi 3 jenis yaitu Salmonella typhi, Salmonella enterica dan S. enteritidis. S.
Typhimurium merupakan jenis Salmonella enterica serovar Typhimurium (D’Aost
2000).
S. Typhimurium menghasilkan H2S dan asam hasil fermentasi glukosa,
maltose, manitol dan sorbitol. Bakteri ini mampu menggunakan sitrat sebagai
sumber karbon, tetapi tidak dapat memfermentasi salisin, sukrosa dan laktosa
(Fardiaz 1989). Pertumbuhan S. Typhimurium mencapai keadaan optimum pada
suhu 37°C suhu terendah yang masih memungkinkan pertumbuhan adalah 6 –
Typhimurium paling tahan terhadap panas kering dibandingkan dengan jenis
Salmonella lainnya (Jay 1996).
Pada kondisi optimum S. Typhimurium tumbuh pada media dengan pH 4,0
sampai pH 9,0. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan bakteri ini adalah pada
kisaran pH 6.0 – 8.0. Pada umumnya media yang digunakan untuk isolasi dan
identifikasi bakteri ini diatur pada pH 6.8 – 7.2. Viabilitas Salmonella menurun
selama penyimpanan beku (Portillo 2000). Infeksi Salmonella pada bahan pangan
banyak mendapat perhatian, karena bakteri ini seringkali menjadi penyebab Food
borne disease. Diperkirakan lebih dari 1/3 kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi
disebabkan karena konsumsi makanan terinfeksi oleh Salmonella spp. Insiden ini
terjadi dan cenderung semakin meningkat terutama di negara-negara industri
(Stock & Stolle 2001).
b. Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan mikro flora normal yang terdapat pada permukaan
tubuh seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan tenggorokan. S.
aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0,7 – 0,9 µm dan termasuk dalam suku Micrococcaceae. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan sel-sel dan sering ditemukan
pada makanan yang mengandung protein tinggi, misalnya sosis, telur dan
sebagainya (Fardiaz 1989).
S. aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung
7,5% NaCl serta dapat memfermentasi manitol, umumnya memproduksi pigmen
kuning keemasan dan koagulase, sehingga dapat dibedakan atas beberapa group
berdasarkan sifat imunitas koagulasenya yaitu koagulase tipe I sampai VIII. S.
aureus membutuhkan aw minimal 0,86 untuk pertumbuhannya dengan aw
optimum 0,990 – 0.995 sedangkan suhu optimum pertumbuhannya adalah 35 °C -
38°C. Bakteri S. aureus dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum
sekitar 7,0 – 7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila
substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhan (Fardiaz &
Jenie 1988).
Ada enam macam enterotoksin yang diproduksi S. aureus di dalam