• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31 Medan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP

KARAKTERISTIK GURU BIMBINGAN DAN

KONSELING DENGAN SELF DISCLOSURE PADA

SISWA SMP NEGERI 31 MEDAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujia Sarjana Psikologi

Oleh :

NINA KENCANA LUBIS

021301035

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Tujuan Penelitian ... 14

I.C. Manfaat Penelitian ... 14

I. C.1. Manfaat Teoritis ... 14

I. C.2. Manfaat Praktis ... 14

I.D. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 17

II.A. Self Disclosure ... 17

II.A.1. Pengertian Self Disclosure ... ... 17

II.A.2. Dimensi Self Disclosure ... 18

II.A.3. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Self Disclosure ... 19

(3)

II.A.6 Tahapan Self Disclosure ... 24

II.B. Persepsi Saiswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling ... 26

II.B.1. Pengertian Persepsi ... 26

II.B.2.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ... 27

II.B.3. Pengertian BK... 28

II.B.4. Fungsi BK ... 30

II.B.5. Asas-Asas BK ... 31

II.B.6. Guru BK ... 33

II.B.7. Karakteristik Guru BK... 34

II.B.8. Tugas Guru BK ... 36

II.B.9. Pengertian Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik .... 37

II.C. Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru BK Dengan Self Disclosure Pada Siswa SMP Negeri 31 Medan ... 38

II.D. Hipotesa Penelitian ... 38

BAB III METODE PENELITIAN III.A Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

III.B Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

III.C Metode Pengambilan Sampel ... 40

III.D Metode Pengumpulan Data ... 41

III.D.1 Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan Dan Konseling ... 43

(4)

III.E Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

III.F Hasil Uji Alat Coba Ukur ... 47

III.G. Prosedur Penelitian ... 51

III.G.1. Tahap Persiapan ... 51

III.G.2. Tahap Pelaksanaan ... 53

III.G.3. Tahap Pengolahan Data ... 54

III.H. Metode Analisis Data ... 54

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 56

IV.A. Gambaran Subyek Penelitian IV. A. 1. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

IV. A. 2. Gambaran Subyek Penelitian Berdasarkan Usia ... 57

IV. B. Hasil Penelitian IV. B. 1. Uji Normalitas Sebaran ... 57

IV. B. 2. Linieritas Hubungan ... 57

IV. B. 3. Hasil Utama Penelitian... 58

IV. B. 4. Deskripsi Data Penelitian ... 59

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 63

V. A. Kesimpulan ... 63

V. B. Diskusi ... 63

V. C. Saran ... 66

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Persepsi Siswa

Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling

Sebelum Uji Coba ... 44 Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Self Disclosure

Sebelum Uji Coba ... 45 Tabel 3 Distribusi Aitem Skala Persepsi Siswa

Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan

Konseling yang Valid ... 48 Tabel 11 Kategorisasi Data Empirik Variabel Persepsi

(6)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Persepsi Siswa terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31 Medan” adalah hasil karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari karya orang lain.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2008

Yang membuat pernyataan,

NINA KENCANA LBS

(7)

ABSTRAK Fakultas Psikologi

Nina Kencana Lubis : 021301035

Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31 Medan

Xi + 71 Halaman + 14 Tabel + Lampiran Bibliografi 41 ( 1984 – 2005)

Sudah menjadi harapan bagi setiap guru, agar siswanya dapat mencapai hasil belajar yang sebaik – baiknya. Namun, kenyataan yang dihadapi tidak selalu menunjukkan apa yang diharapkan itu dapat terealisir sepenuhnya. Banyak siswa yang menunjukkan tidak dapat mencapai hasil belajar sebagaimana yang diharapkan oleh para guru. Dalam proses belajar mengajar guru sering menghadapi masalah adanya siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran dengan lancar, ada siswa yang memperoleh prestasi belajar yang rendah, dan lain sebagainya. Dalam menghadapi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, pemahaman yang utuh dari guru tentang kesulitan belajar yang dialami siswanya, merupakan dasar dalam usaha memberikan bantuan, bimbingan dan konseling yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteritik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa SMP Negeri 31 Medan.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan VIII SMP Negeri 31 Medan, dimana sampelnya adalah siswa kelas VII-3 dan VIII-2 yang berjumlah 92 orang dan diambil secara Purposive Sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala persepsi siswa terhadap karakteritik guru bimbingan dan konseling dan skala self disclosure pada siswa. Metode analisis data dalam menguji hipotesis menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment.

Hipotesis dalam penelitian ini yang berbunyi : “Ada hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa SMP Negeri 31 Medan”, dinyatakan teruji dan diterima.

(8)

ABSTRAK Fakultas Psikologi

Nina Kencana Lubis : 021301035

Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31 Medan

Xi + 71 Halaman + 14 Tabel + Lampiran Bibliografi 41 ( 1984 – 2005)

Sudah menjadi harapan bagi setiap guru, agar siswanya dapat mencapai hasil belajar yang sebaik – baiknya. Namun, kenyataan yang dihadapi tidak selalu menunjukkan apa yang diharapkan itu dapat terealisir sepenuhnya. Banyak siswa yang menunjukkan tidak dapat mencapai hasil belajar sebagaimana yang diharapkan oleh para guru. Dalam proses belajar mengajar guru sering menghadapi masalah adanya siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran dengan lancar, ada siswa yang memperoleh prestasi belajar yang rendah, dan lain sebagainya. Dalam menghadapi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, pemahaman yang utuh dari guru tentang kesulitan belajar yang dialami siswanya, merupakan dasar dalam usaha memberikan bantuan, bimbingan dan konseling yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteritik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa SMP Negeri 31 Medan.

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan VIII SMP Negeri 31 Medan, dimana sampelnya adalah siswa kelas VII-3 dan VIII-2 yang berjumlah 92 orang dan diambil secara Purposive Sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala persepsi siswa terhadap karakteritik guru bimbingan dan konseling dan skala self disclosure pada siswa. Metode analisis data dalam menguji hipotesis menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment.

Hipotesis dalam penelitian ini yang berbunyi : “Ada hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa SMP Negeri 31 Medan”, dinyatakan teruji dan diterima.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia Indonesia yang bermutu adalah pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraannya tidak hanya cukup dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisasi dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan siswa untuk menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi cita – citanya (Nurihsan dan Sudianto, 2005).

Kemampuan tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan intelektual, dan sistem nilai siswa. Berkaitan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di sekolah adalah pendidikan yang menghantarkan siswa pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat dan optimal (Nurihsan dan Sudianto, 2005).

Namun kenyataannya pendidikan belum mampu memerankan tugas dan fungsinya secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prestasi siswa secara umum serta masih banyaknya kenakalan siswa dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan (Rahman, 2003).

(10)

kasus siswa yang melarikan diri dari rumah karena merasa tidak mampu mengatasi kesulitan di rumah, sekolah, atau pergaulan dengan teman; kasus kenakalan remaja, terutama di daerah penduduk yang status sosial ekonominya rendah di kota-kota besar, yang mengakibatkan siswa terpaksa berurusan dengan petugas kepolisian dan pengadilan; kelakuan kasar di sekolah, sampai menyerang tenaga kependidikan secara fisik atau merusak milik sekolah; belum menamatkan jenjang pendidikan menengah, yang akhirnya membuat mereka merasa frustasi selama hidupnya; merasa tidak puas karena pendidikan di sekolah dinilai tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka, sehingga belajar di sekolah meninggalkan kesan negatif. Tidak semua remaja terlibat dalam problematika yang dikemukakan di atas, namun jumlah siswa yang terlibat dalam problematika itu dianggap cukup besar, sehingga memprihatinkan dan menjadi masalah nasional (Winkel, 1997).

(11)

Di dalam lingkungan SMP Negeri 31 Medan, masalah yang sering muncul di sekolah ini selama enam bulan terakhir ini adalah masalah ketidakhadiran siswa (absen) yang hampir mencapai 44,37 % siswa. Banyak siswa yang sering absen hampir pada tiap – tiap kelas, tanpa ada surat atau pemberitahuan dari orang tua siswa. Untuk mencari informasi mengenai siswa yang tidak hadir tanpa izin, guru bimbingan dan konseling akan menghubungi langsung orang tua (wali) pada saat hari pertama itu juga. Kemudian jika siswa melakukan hal yang sama pada hari kedua maka dengan tegas guru bimbingan dan konseling akan mengirimkan surat kepada orang tua siswa. Dan selanjutnya guru menanyakan apa masalah yang dihadapi siswanya, kenapa siswa sering tidak masuk sekolah. Dari data ketidakhadiran siswa (absen), banyak siswa yang dikeluarkan dari sekolah SMPN 31 Medan ini adalah sekitar 1,9 % siswa. Jika ditanyakan pada siswa – siswa tersebut alasan hampir sama semua, ada yang tidak ingin bersekolah di sini karena mereka merasa takut dengan guru mata pelajaran tertentu, dan ada juga mereka sendiri yang memang malas untuk bersekolah. Kemudian pada siswa yang tidak hadir karena kurang sehat (sakit), guru bimbingan dan konseling akan memberikan kebijaksanaan bagi siswa untuk tidak masuk sekolah sampai siswa benar – benar sehat. Hal ini dikarenakan petugas atau guru bimbingan dan konseling tidak ingin penyakit siswa akan menularkan siswa – siswa yang lain... ( komunikasi personal, 5 Februari 2008).

(12)

dan handphone tersebut isinya ada video porno, tetapi guru bimbingan dan konseling langsung mengambil handphone tersebut dan memberikan hukuman kepada siswa tersebut, dan sampai sekarang tidak ada lagi kejadian seperti itu... ( komunikasi personal, 5 Februari 2008).

Di SMP Negeri 31 guru bimbingan dan konseling yang sering memeriksa tas siswa –siswa pada jam tertentu. Kemudian masalah atribut pakaian sekolah yang kurang lengkap. Masalah rambut panjang pada laki – laki. Masalah siswa dengan keluarganya, seperti orangtua siswa yang lambat dalam memberikan keperluan untuk anaknya misalnya uang sekolah ataupun uang buku. Adapun permasalahan yang lain yang sering muncul yaitu masalah keributan di kelas yang terjadi pada saat pergantian guru untuk pergantian mata pelajaran dan masalah merokok di dalam kelas ketika guru tidak ada. Sementara permasalahan yang lain seperti pemakaian obat – obat terlarang, sampai saat ini belum pernah terjadi di sekolah ini.

Menurut Syahril & Ahmad (1986) masalah-masalah yang terjadi pada remaja seperti sering mendongkol terhadap orang tua bahkan melawan secara fisik, bolos dari sekolah, merokok di sekolah, minum-minuman keras, membentuk gang-gang, berfoya-foya, menyendiri (lari dari pergaulan hidup) dan sebagainya menunjukkan bahwa dalam diri para remaja sedang terjadi perubahan baik fisik maupun psikis. Hal ini menyebabkan timbulnya kegocangan-kegoncangan, kekacau-kekacauan dalam pikiran. Keadaan seperti ini dikenal dengan istilah ”storm and stress”.

(13)

disebabkan karena remaja di bawah tekanan sosial, juga diakibatkan dari kecenderungan remaja dalam memandang kehidupan menurut apa yang mereka inginkan. Mereka melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan bukan sebagaimana adanya (Hurlock, 2001). Awal masa “storm and stress” merupakan ciri dari awal masa remaja yang berkisar dari usia 12 sampai

15 tahun. Masa ini mempunyai arti yang lebih luas karena remaja lebih melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, ia cenderung menunjukkan kekuatan yang ada pada dirinya terlebih dalam hal harapan dan citi – cita (Ridwan, 2004).

Tantangan pokok bagi siswa selam rentang umur ini terletak dalam menghadapi diri sendiri bila sudah mulai memasuki masa pubertas, yaitu mengalami segala gejala kematangan seksual, yang sering disertai aneka gejala sekunder seperti berkurang semangat untuk bekerja keras, kegelisahan, kepekaan perasaan, kurang percaya diri, dan penantangan terhadap kewibawaan orang dewasa. Masalah memuncak pada siswa di kelas dua dan tiga (fase negatif), yang biasanya menimbulkan kesulitan bagi guru dalam menghadapi siswa, misalnya bila mereka suka protes dan berontak, menunjukkan kekuatan dirinya dengan berkata-kata yang tajam dan kurang sopan, suka malas-malasan di kelas dan melamun ketika guru sedang menerangkan pelajaran, dan melakukan hal-hal yang serba berani. Siswa-siswi di sekolah menengah pertama biasanya menimbulkan kesan seolah-olah sudah menguasai dunia ini dan mampu melakukan apa saja (Winkel & Hastuti, 2006).

(14)

cenderung mengembangkan kebiasaan yang makin mempersulit keadaannya, sementara dia sendiri tidak percaya pada bantuan orang lain. Alasan siswa tersebut karena ia merasa bisa mandiri, sehingga ia ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang lain dan guru pembimbing (Ridwan, 2004). Hal ini di dukung oleh pendapat Luthans (dalam Thoha 1993) bahwa persepsi merupakan suatu bentuk tingkah laku dalam mengartikan suatu perubahan yang lebih dari sekedar mendengar, melihat, dan merasakan. Karena siswa – siswi sebenarnya hanya ingin mendapatkan rasa perhatian dari guru pembimbing tentang perbuatan yang membuat mereka senang.

Pemahaman siswa kepada guru pembimbing haruslah yang dapat mengerti dan dapat mengkomunikasikan pengertian itu kepada mereka sehingga membuat siswa merasa diterima dan siswa ingin menceritakan permasalahannya kepada guru pembimbingnya. Guru pembimbing menurut siswa adalah guru yang disenangi siswa, dengan demikian ia dapat mengembangkan hubungan konseling yang memungkinkan terjadinya saling pengertian dan keterbukaan (Badawi, 2004). Karena menurut pemahaman siswa tentang guru pembimbing adalah guru sabar, perhatian dan selektif dalam membimbing siswanya. Pada dasarnya persepsi juga diproses yang dimulai dengan cara memberi perhatian dari pengamatan selektif ( Chaplin, 1991 ). Oleh karena itu guru bimbingan dan konseling harus lebih dapat memberikan perhatian kepada siswa – siswi secara memadai.

(15)

berkesinambungan, supaya mereka dapat memahami dirinya sehingga mereka sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar sesuai dengan tuntutan dan keadaaan lingkungan SMP, keluarga dan masyarakat serta kehidupan pada umumnya.

Pada dasarnya bimbingan merupakan bantuan yang dapat menyadarkan individu akan pribadinya sendiri (bakat, minat, kecakapan dan kemampuannya) sehingga dengan demikian ia sanggup memecahkan sendiri kesukaran – kesukaran yang dihadapinya. Bimbingan itu bukanlah pemberian arah yang telah ditentukan oleh pembimbing, bukan suatu paksaan pandangan kepada seseorang, dan bukan pula suatu pengambilan keputusan yang diperuntukkan bagi seseorang. Dalam rangka bimbingan yang memilih ini hendaknya individu diberi kebebasan untuk memilih. Pembimbing menentukan menetapkan suatu pilihan, tetapi tidak berarti pembimbing itu sendiri yang memilih, siswa sendirilah yang harus menetapkan dan menentukan sikapnya. Sehingga ia dapat mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal di sekolah, keluarga dan masyarakat (Ahmadi, 1991).

(16)

mendalam dan menetapkan tujuan yang ingin dicapai, serta membentuk nilai – nilai yang akan menjadi pegangan selama hidupnya.

Riyanto (2002) menambahkan bahwa suatu bimbingan berperan ketika peserta didik meminta bantuan untuk memperoleh informasi tertentu, untuk dapat mengambil suatu keputusan tertentu,untuk dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi, bahkan juga kalau butuh untuk didengarkan atau untuk menumpahkan perasaan – perasaan yang sedang dialami. Penting untuk disadari bahwa tujuan dari segala bimbingan adalah demi pembimbingan itu sendiri, sehingga orang yang dibimbing akhirnya mampu membimbing dirinya sendiri.

Bimbingan di sekolah menengah hanya akan efisien dan efektif bila bimbingan itu mendapat dukungan penuh dari pimpinan sekolah dan seluruh staf pengajar, serta koordinasi yang baik. Di samping itu, semua tenaga yang terlibat dalam bidang pembinaan siswa harus mengarahkan segala usahanya ketujuan yang sama (Winkel, 1997).

(17)

kesulitan belajar, perencanaan dan pengembangan karir, pemecahan masalah atau kesulitan sosial dan penanganan masalah atau kesulitan pribadi.

Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan (Slameto, 2003). Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru yang merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktifdan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang (Sardiman, 2003).

Guru pembimbing yang kompeten dan memenuhi kualifikasi guru pembimbing yang profesional diperlukan agar tugas bimbingan dan konseling efektif. Pekerjaan guru pembimbing bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan ringan, sebab individu-individu (siswa) yang dihadapi dan ditangani di SMP sehari-hari satu dengan yang lainnya memiliki latar belakang permasalahan yang berbeda-beda, keunikan, atau kekhasan kepribadian masing-masing (Nurihsan & Sudianto, 2005).

(18)

Sifat-sifat pribadi atau kualifikasi pribadi yang harus dimiliki oleh seorang guru pembimbing, yaitu : memiliki bakat skolastik yang baik, memiliki minat yang mendalam untuk dapat bekerja sama dengan orang lain dan memiliki kematangan emosi, kesabaran, keramahan, keseimbangan batin, tidak lekas menarik diri dari situasi yang rawan, cepat tanggap terhadap kritik, memiliki rasa humor (Nurishan & Sudianto, 2005). Kemudian terdapat sembilan karakteristik dalam diri guru bimbingan dan konseling yang dapat menumbuhkan siswa, yaitu : empati, respek, keaslian (genuiness), kekongkretan (concreteness), konfrontasi (confrontation), membuka diri (self-disclosure), kesanggupan (potency), kesiapan (immediacy), dan aktualisasi diri (self actualization) ( Dahlan, 1992 ).

Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap stimulus yang datang pada dirinya. Dalam hal ini siswa SMP juga mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang guru bimbingan dan konseling mereka. Hal ini didukung oleh Rahmat (1996) yang mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman mengenai suatu objek maupun peristiwa yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Bagi mereka yang menafsirkan negatif karakteristik guru bimbingan dan konselingnya, membuat siswa sulit untuk mengungkapkan masalahnya.

(19)

guru bimbingan dan konseling selama ini hanya menangani dan menghadapi siswa – siswi nakal, dan menghukum siswa yang nakal saja.

Hal ini diungkapkan seorang siswa kelas VII-1 mengatakan bahwa terbukanya terhadap masalah yang dialaminya tergantung pada karakteristik guru bimbingan dan konseling.

“Saya melihat selama ini guru BK kami sangat akrab dengan saya. Pak BK mempunyai waktu untuk dekat dengan anak muridnya. Bapak itu selalu dapat membantu dan mengarah siswa – siswi di sekolah ini. Tapi kadang – kadang pun ada aja yang gak suka dengan aturan atau cara – cara yang dilakukannya. Tapi dengan saya bapak itu selalu memberikan solusi terhadap apa masalah yang saya hadapi. Pernah saya cerita – cerita dengan pak BK tentang keluarga saya, dan pak BK pun memberikan solusi yang bagus kak. Jadinya sedih saya agak berkurang. Dan saya pun kembali percaya dengan keluarga saya...”(komunikasi personal, 6 Februari 2008).

Kemudian pendapat lain juga dikemukakan oleh siswa kelas VIII.

” Pak BK kadang – kadang menyeramkan kalo mod nya lagi gak enak, trus marah – marah gitu. Itu biasanya kalo akhir bulan, hehehe.. Dia suka menjewer kuping pada anak muridnya, yang bajunya tidak rapi. Kayak baju yang belakangnya keluar – keluar, pake rok pendek, baju yang tipis gitu. Kami kan yang cewek – cewek malu kalo dijewer gitu...” (komunikasi personal, 6 Februari 2008).

Penerimaan hubungan (receiver relationship) adalah salah satu yang berpengaruh dalam pengungkapan seseorang (Devito, 1986). Menurut Morton (dalam Sears, dkk,. 1989) self disclosure adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Bagi siswa yang tidak terbuka kepada guru bimbingan dan konseling, maka akan membuat siswa sulit untuk mengungkapkan permasalahannya.

(20)

individu terhadap situasi yang sedang dihadapinya serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau berguna untuk memahami tanggapan individu tersebut (Johson, dalam Supratiknya, 1995).

Berbagai hal yang menyebabkan seseorang melakukan self disclosure. Seperti yang dikatakan Holt (dalam Myers, 1996) bahwa setelah melakukan self disclosure, seseorang akan merasakan peningkatan positif. Sebab mengungkapkan

berbagai perasaaan, seperti ketakutan ataupun masalah kepada orang lain yang kita percaya, dapat menurunkan stress.

Selain itu, self disclosure juga membawa kita pada rasa kedekatan, selama lawan bicara kita mengerti dan menerima (Myers, 1996). Sehingga melalui self disclosure ini kita dapat melihat seerat apa hubungan guru bimbingan dan

konseling dengan siswa – siswinya, sehingga membuat siswa tersebut mau mengungkapkan informasi ataupun hal – hal yang pribadi mengenai dirinya (Dahlan, 1992).

Dimana hal ini dipandang sebagai salah satu keuntungan self disclosure. Seperti yang dikatakan oleh Devito (1986) bahwa self disclosure menyajikan kelima dimensi yang salah satunya adalah menambah nilai rasa keintiman (keeratan) dalam hubungan.

(21)

percaya pada lawan bicaranya (Myers, 1996). Hal ini terjadi karena ketika kita berbagi mengenai informasi yang bersifat pribadi yang berkaitan dengan diri kita kepada orang lain, mungkin saja orang ini akan menolak kita atau membocorkan rahasia kita kepada orang lain.

Menurut Derlega & Grzelak (dalam Taylor, 2000) lima alasan utama untuk pengungkapan diri adalah: 1) expression : kadang-kadang individu membicarakan perasaannya untuk pelampiasan. Mengekspresikan perasaan adalah salah satu alasan untuk penyingkapan diri, 2) self clarification : dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu mungkin mendapat self-awareness dan pemahaman yang lebih baik. Bicara kepada teman mengenai

masalah dapat membantu individu untuk mengklarifikasi pikirannya tentang situasi yang ada, 3) social validation :dengan melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan diri yang dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketepatan pandangannya, 4 ) social control : individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya, sama seperti arti dari kontrol sosial. Individu mungkin menekan topik, kepercayaan atau ide yang akan membentuk pesan yang baik pada pendengar. Dalam kasus yang ekstrim, individu mungkin dengan sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang lain, 5) relationship development : berbagi informasi dan kepercayaan adalah jalan yang penting. Berbagi informasi personal dan kepercayaan adalah jalan yang penting untuk memulai hubungan dan untuk meningkatkan level dari intimasi.

(22)

tersebut sebelumnya. Kemudian informasi tersebut haruslah informasi yang biasanya disimpan/dirahasiakan. Hal terakhir adalah informasi tersebut harus diceritakan kepada orang lain baik secara tertulis dan lisan.

Mengingat bahwa guru pembimbing dalam kehidupan perlu untuk pembentukan siswa, maka diangkat menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa SMP Negeri 31 Medan.

I. B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa SMP Negeri 31 Medan.

I. C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan Psikologi pada khususnya serta menambah sumber keperpustakaan dalam penelitian Psikologi Pendidikan, khususnya tentang hubungan antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa.

2. Manfaat Praktis

(23)

dapat lebih membukakan diri dengan guru bimbingan dan konselingnya terhadap masalah yang sedang dihadapinya.

I. D. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Memuat latar belakang masalah yang hendak dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan teori

Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori – teori yang dimuat adalah teori tentang persepsi, teori tentang bimbingan konseling dan teori self disclosure. Memuat juga mengenai hubungan antara persepsi siswa terhadap fungsi bimbingan dan konseling dengan self disclosure siswa SMP Negeri 31 Medan.

Bab III : Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Variabel yang digunakan adalah variabel persepsi siswa terhadap fungsi bimbingan dan konseling dan self disclosure. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah stratified random sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala persepsi dan skala self disclosure. Uji coba alat ukur meliputi uji daya item dan perhitungan reliabilitas. Untuk menguji hipotesa peneliti menggunakan analisis stastistik korelasi product moment. Bab IV : Analisis dan Interpretasi Data

(24)

sebagai hasil penelitian sesuai dengan landasan teori yang digunakan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 for windows.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Self Disclosure

II. A. 1. Pengertian Self Disclosure

Self disclosure adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan individu

terhadap situasi yang sedang dihadapinya serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau berguna untuk memahami tanggapan individu tersebut (Johson, dalam Supratiknya, 1995).

Konsep yang lebih jelas dikemukakan oleh DeVito, (1986), yang mengartikan self disclosure sebagai salah satu tipe komunikasi dimana, informasi tentang diri yang biasa dirahasiakan diberitahu kepada orang lain. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu informasi yang diutarakan tersebut haruslah informasi baru yang belum pernah didengar orang tersebut sebelumnya. Kemudian informasi tersebut haruslah informasi yang biasanya disimpan/dirahasiakan. Hal terakhir adalah informasi tersebut harus diceritakan kepada orang lain baik secara tertulis dan lisan.

Rogers (dalam Baron, 1994) mendefinisikan self disclosure sebagai suatu keuntungan yang potensial dari pengungkapan diri kita kepada orang lain. Menurut Morton (dalam Baron, dkk,. 1994) self disclosure adalah kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain.

(26)

informasi mengenai diri sendiri yang bersifat rahasia dan belum pernah diungkapkan kepada orang lain secara jujur.

II. A. 2. Dimensi Self Disclosure

Self disclosure berbeda bagi setiap individu dalam hal kelima dimensi di

bawah ini (Devito, 1986): 1. Amount

Kuantitas dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi dengan siapa individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan self-disclosing atau waktu yang diperlukan untuk mengutarakan statemen

self disclosure individu tersebut terhadap orang lain.

2. Valence

Valensi merupakan hal yang positif atau negatif dari penyingkapan diri. Individu dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau menjelek-jelekkan diri individu sendiri. Faktor nilai juga mempengaruhi sifat dasar dan tingkat dari pengungkapan diri.

3. Accuracy/Honesty

(27)

4. Intention

Seluas apa individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan, seberapa besar kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasi yang akan dikatakan pada orang lain.

5. Intimacy

Individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari hidupnya, hal-hal yang dirasa sebagai periperal atau impersonal atau hal yang hanya bohong.

II. A. 3. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Self Disclosure

Menurut Devito (1986) ada beberapa faktor yang mempengaruhi Self disclosure yaitu :

1. Menyingkapkan diri kepada orang lain

Secara umum Self Disclosure adalah hubungan timbal balik. Dyadic effect dalam pengungkapan diri menyatakan secara tidak langsung bahwa dalam proses ini terdapat efek spiral (saling berhubungan), dimana setiap pengungkapan diri individu diterima sebagai stimulus untuk penambahan pengungkapan diri dari yang lain.

(28)

2. Ukuran audiens

Pengungkapan diri, mungkin karena sejumlah ketakutan yang dirasakan oleh individu karena mengungkapkan cerita tentang diri sendiri, lebih sering terjadi dalam kelompok yang kecil daripada kelompok yang besar. Dengan pendengar lebih dari satu seperti monitoring sangatlah tidak mungkin karena respon yang nantinya bervariasi antara pendengar. Alasan lain adalah jika kelompoknya lebih besar dari dua, pengungkapan diri akan dianggap dipamerkan dan terjadinya pemberitaan publik. Tak lama kemudian akan dianggap hal yang umum karena sudah banyak orang yang tahu.

3. Topik

Topik mempengaruhi jumlah dan tipe pengungkapan diri. Menemukan bahwa pengungkapan diri mengenai uang, kepribadian dan fisik lebih jarang dibicarakan daripada berbicara tentang rasa dan minat, sikap dan opini, dan juga pekerjaan. Hal ini terjadi karena tiga topik pertama lebih sering dihubungkan dengan self-concept seseorang, dan berpotensi melukai orang tersebut.

4. Valensi

(29)

5. Seks

Banyak penelitian mengindikasikan secara umum, bahwa wanita lebih terbuka daripada pria tapi keduanya membuat disclosure (penyingkapan) negatif yang hampir sama dari segi jumlah dan tingkatannya.

6. Ras, kewarganegaraan, dan umur

Terdapat perbedaan ras dan kebangsaan dalam pengungkapan diri. Murid kulit hitam lebih jarang mengungkapkan diri mereka dibandingkan murid kulit putih. Murid di USA lebih sering disclose (mengungkapkan diri) daripada kelompok yang sama di Puerto Rrico, Jerman, Inggris dan di Timur Tengah. Juga terdapat perbedaan frekuensi pengungkapan diri dalam grup usia yang berbeda. Pengungkapan diri pada teman dengan gender berbeda meningkat dari usia 17-50 tahun dan menurun kembali. 7. Penerimaan hubungan (Receiver Relationship)

Seseorang yang menjadi tempat bagi individu untuk disclose mempengaruhi frekuensi dan kemungkinan dari pengungkapan diri. Individu cenderung disclosure pada individu yang hangat, penuh pemahaman, memberi dukungan dan mampu menerima individu apa adanya.

II. A. 4. Tujuan Self Disclosure

(30)

1. Expression

Kadang-kadang individu membicarakan perasaannya untuk pelampiasan. Mengekspresikan perasaan adalah salah satu alasan untuk penyingkapan diri.

2. Self Clarification

Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman dengan orang lain, individu mungkin mendapat self-awareness dan pemahaman yang lebih baik. Bicara kepada teman mengenai masalah dapat membantu individu untuk mengklarifikasi pikirannya tentang situasi yang ada.

3. Social Validation

Dengan melihat bagaimana reaksi pendengar pada pengungkapan diri yang dilakukan, individu mendapat informasi tentang kebenaran dan ketepatan pandangannya.

4. Social Control

Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya, sama seperti arti dari kontrol sosial. Individu mungkin menekan topik, kepercayaan atau ide yang akan membentuk pesan yang baik pada pendengar. Dalam kasus yang ekstrim, individu mungkin dengan sengaja berbohong untuk mengeksploitasi orang lain.

5. Relationship Development

(31)

terbuka kepada orang yang sepertinya menerima, memahami, bersahabat, dan mendukung kita.

II. A. 5. Resiko Self Disclosure

Valerian Derlega (dalam Taylor 2000) menyatakan ada beberapa resiko yang mungkin dialami individu saat mereka sedang mengungkapkan diri, antara lain:

1. Indefference.

Individu berbagi informasi dengan orang lain untuk memulai hubungan. Terkadang, hal itu dibalas oleh orang tersebut dan hubungan pun terjalin. Hal yang sebaliknya dapat terjadi bilamana individu menemui orang yang tidak membalas dan kelihatan tidak tertarik mengetahui tentang individu tersebut.

2. Rejection.

Informasi yang diungkapkan individu mungkin akan berakibat penolakan sosial.

3. Loss of Control.

Kadang-kadang orang lain menggunakan informasi yang diberikan sebagai alat untuk menyakiti atau mengontrol perilaku individu.

4. Betrayal.

(32)

II. A. 6. Tahapan Self Disclosure

Self disclosure melibatkan konsekuensi positif dan negatif. Keputusan

untuk mengungkapkan diri bersifat individual dan didasarkan pada beberapa pertimbangan. Adapun tahapan dalam melakukan pengungkapan diri adalah sebagai berikut :

a. Pertimbangan akan motivasi melakukan pengungkapan diri

Setiap pengungkapan diri ditimbulkan oleh motivasi yang berbeda-beda pada setiap individu. Penggungkapan diri sebaiknya didorong oleh pertimbangan dan perhatian yang ada terhadap hubungan yang dijalani oleh individu, terhadap orang lain yang berada disekeliling individu dan terhadap diri sendiri. Pengungkapan diri sebaiknya berguna bagi semua orang yang terlibat.

b. Pertimbangan pantas atau tidaknya pengungkapan diri

(33)

semakin besar. Sebaliknya, individu akan menutup diri pada orang-orang tertentu karena merasa kurang percaya.

c. Pertimbangan akan respon yang terbuka dan jujur.

Pengungkapan diri sebaiknya dilakukan di lingkungan yang mendukung adanya respon yang jujur dan terbuka. Hindari pengungkapan diri jika pendengar berada sedang terburu-buru atau ketika mereka berada pada situasi yang tidak memungkinkan adanya respon yang jujur dan terbuka. d. Pertimbangan akan kejelasan dari pengungkapan diri

Tujuan dari pengungkapan diri adalah untuk menginformasikan bukan membuat orang lain kebingungan. Seringkali individu hanya mengungkapkan informasi yang tidak lengkap yang membingungkan pendengar. Sebaiknya individu mempertimbangkan informasi apa yang hendak diungkapkan, dan mempersiapkan diri pada konsekuensi untuk mengungkapkan diri lebih dalam lagi supaya pendengar dapat mengerti. e. Pertimbangan kemungkinan pengungkapan diri pendengar

Selama mengungkapkan diri, berikan pendengar kesempatan untuk mengungkapkan dirinya. Raven & Rubin (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyatakan bila individu menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi, pendengar akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya individu mengharapkan orang lain memperlakukannya sama seperti individu memperlakukan orang lain tersebut. Pengungkapan diri pendengar merupakan suatu tanda pengungkapan diri individu diterima atau sesuai.

(34)

Pengungkapan diri sebaiknya diikuti dengan pertimbangan konsekuensi yang terjadi dari pengungkapan diri tersebut. Pengungkapan diri tidak selalu menghasilkan konsekuensi yang positif seperti pemahaman dan penerimaan dari pendengar tetapi juga kemungkinan akan adanya konsekuensi negatif seperti penolakan dan ketegangan. Franke & Leary (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) menyebutkan, bahwa individu dengan orientasi seksual yang berbeda berkeinginan untuk mengungkapkan diri, tetapi mereka takut bahwa pengungkapan yang mereka lakukan akan menyebabkan kemarahan, penolakan dan atau diskriminasi.

Tahapan pengungkapan diri ini bukan merupakan suatu aturan kaku yang harus dilewati tahap demi tahap. Individu dapat mengungkapkan diri mengikuti tahap per tahap atau tidak secara berurutan.

II.B. Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling

II. B. 1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses ini dimulai dengan perhatian, yaitu proses pengamatan selektif. Persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Persepsi merupakan upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek – objek serta kejadian – kejadian (Chaplin, 1991).

(35)

mengumpulkan informasi dan membandingkannya dengan rangsangan yang dihadapi sekarang. Bagaimana individu memberi arti terhadap rangsang tergantung pada kepribadian dan aspirasi yang bersangkutan.

Kemudian ditambahkan Luthans (dalam Thoha 1993) bahwa persepsi lebih kompleks dan luas kalau dibandingkan dengan penginderaan. Dan juga merupakan suatu bentuk tingkah laku dalam mengartikan suatu perubahan yang lebih dari sekedar mendengar, melihat, dan merasakan. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang bersifat positif maupun negatif (Atkinson, dkk 1987).

Dari uraian di atas persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap individu di dalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, perasaan, penghayatan dan penciuman.

II. B. 2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Rahmat (1986) beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi individu, yaitu :

1. Perhatian, terdiri dari faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi; gerakan, intensitas stimuli, kebaruan dan pengulangan. Sedangkan faktor internal meliputi; faktor biologis dan sosiopsikologis.

2. Faktor fungsional (faktor personal), yang terdiri dari : a. Karakteristik individu

(36)

c. Kebudayaan d. Kerangka rujukan 3. Faktor – faktor struktural

Sifat stimuli fisik dan efek – efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi itu adalah perhatian, terdiri dari faktor eksternal dan internal, faktor fungsional (faktor personal), karakteristik individu, suasana emosional, kebudayaan, kerangka rujukan, serta faktor – faktor struktural yang berupa sifat stimuli fisik dan efek – efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.

II. B. 3. Pengertian Bimbingan Dan Konseling

Bimbingan dan Konseling merupakan serangkaian program layanan yang diberikan kepada siswa agar mereka mampu berkembang lebih baik. Bimbingan konseling diselenggarakan di sekolah – sekolah mulai dari tingkat dasar, bahkan pra sekolah sampai dengan tingkat tinggi. Menurut Hibana (2003) bimbingan adalah proses bantuan yang diberikan kepada seseorang agar ia mampu memahami diri, menyesuaikan diri dan mengembangkan diri, sehinggga mencapai kehidupan yang sukses dan bahagia.

(37)

wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan, sekolah, keluarga, dan masyarakat dan kehidupan pada umunya (Natawidjaja dalam Sukardi, 2000).

Sedangkan pengertian konseling menurut Latipun (2003) adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah tersebut. Jones (dalam Priyatno & Anti, 1999) mengatakan kemampuan memecahkan masalah tersebut harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah – masalahnya sendiri tanpa bantuan.

(38)

Jadi bimbingan dan koseling adalah suatu kegiatan integral, disamping sebagai komponen layanan dari bimbingan, konseling juga teknik yang menjadi saluran bagi pemberian layanan bimbingan.

II. B. 4. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Menurut Nurihsan & Sudianto (2005) fungsi bimbingan dan konseling yaitu :

a. Pemahaman, yaitu membantu siswa agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama).

b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh siswa.

c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif.

Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah.

(39)

f. Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, guru atau dosen untuk mengadapatasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa. g. Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa agar dapat

menyesuaiakan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

II. B. 5. Asas – asas Bimbingan dan Konseling

Pemenuhan asas – asas bimbingan dan konseling akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Menurut Nurihsan dan Sudianto (2005) asas – asas yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Kerahasiaan

Segala sesuatu yang dibicarakan siswa kepada guru pembimbing tidak boleh disampaikan kepada orang lain. Asas ini akan mendasari kepercayaan siswa kepada guru pembimbing.

b. Kesukarelaan

Pelaksanaan bimbingan dan konseling berlangsung atas dasar kesukarelaan dari kedua belah pihak.

c. Keterbukaan

(40)

d. Kekinian

Masalah yang ditangani oleh bimbingan dan konseling adalah masalah sekarang walaupun ada kaitannya dengan masalah yang lampau dan yang akan datang. Maka pembimbing sesegera mungkin menangani masalah siswa. e. Kemandirian

Bimbingan dan konseling membantu agar siswa dapat mandiri atau tidak bergantung, baik kepada pembimbing maupun orang lain.

f. Kegiatan

Bimbingan dan konseling harus dapat membantu membangkitkan siswa agar berusaha melakukan kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

g. Kedinamisan

Bimbingan dan konseling hendaknya dapat membantu terjadinya perubahan dan pembaharuan yang lebih pada diri siswa.

h. Keterpaduan

Bimbingan dan konseling hendaknya dapat memadukan berbagai aspek kepribadian siswa dan proses layanan yang dilakukan.

i. Kenormatifan

Usaha bimbingan dan konseling harus sesuai dengan norma yang berlaku, baik norma agama, adat, hukum, negara, ilmu, maupun kebiasaan sehari – hari.

j. Keahlian

(41)

k. Alih tangan

Bila usaha yang dilakukan telah optimal tetapi belum berhasil atau masalahnya di luar kewenangannya, maka penanganannya dapat diahlitangankan kepada pihak lain yang berwenang.

l. Tutwuri Handayani.

Bimbingan dan konseling hendaknya secara keseluruhan dapat memberikan rasa aman, mengembangkan keteladanan, memberi rangsangan dan dorongan serta kesempatan seluas – luasnya kepada siswa.

II. B. 6. Guru Bimbingan dan Konseling

Guru bukan hanya sekedar penyampaian pelajaran, bukan hanya sebagai penerap metode mengajar, melainkan guru adalah pribadinya, yaitu keseluruhan penampilan serta perwujudan dirinya dalam berinteraksi dengan siswa. Menurut Gagne (dalam Djiiwandono, 2002) menunjukkan bahwa tidak semua pengajaran adalah sama dan guru membutuhkan cara mengajar yang baik yang akan berpengaruh terhadap pengajaran. Seperti halnya siswa, guru juga berbeda dalam cara atau gaya mengajar, kepribadian, tertentu dan harapan – harapannya.

Menurut Nurihsan & Sudianto (2005) mengatakan bahwa guru bimbingan dan konseling adalah seorang sarjana pendidikan jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau seorang guru / tenaga pengajar yang sudah mengikuti penataran mengenai bimbingan dan konseling dengan memperoleh sertifikat khusus di bidang bimbingan dan konseling.

(42)

pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa.

Berdasarkan hal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa guru bimbingan dan konseling adalah seorang sarjana pendidikan jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan atau seorang guru / tenaga pengajar yang sudah mengikuti penataran mengenai bimbingan dan konseling dengan memperoleh sertifikat khusus di bidang bimbingan dan konseling untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa.

II. B. 7. Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling

Menurut Dahlan (1992), beberapa karakteristik guru bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut :

1. Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain dan mengkomunikasikan persepsinya. Orang yang memiliki tingkat empati tinggi akan menampakkan sifat bantuannnya yang nyata dan berarti dalam hubungannya dengan orang lain, sementara mereka yang rendah empatinya menunjukkan sifat yang secara nyata dan berarti merusak hubungan antarpribadi.

2. Respek

(43)

3. Keaslian (Genuiness)

Keaslian merupakan kemampuan guru menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam tanpa pura – pura, tidak bermain peranan dan tidak mempertahankan diri.

4. Kekongkretan

Kekongkretan menyatakan ekspresi yang khusus mengenai perasaaan dan pengalaman orang lain. Seorang guru yang memiliki kekongkretan tingggi selalu memelihara hubungan yang khusus dan selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, di mana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi.

5. Konfrontasi

Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan siswa dengan apa yang ia alami, atau antara yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang ia katakan sebelum itu.

6. Membuka diri (self-disclosure)

Membuka diri adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi guru untuk kebaikan siswa. Guru mengungkapkan diri sendiri dan membagikan dirinya kepada siswa dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti yang bersangkutan dengan masalah siswa.

7. Kesanggupan (Potency)

(44)

8. Kesiapan

Kesiapan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan antara siswa dan guru bimbingan dan konseling, pada waktu kini dan di sini. Tingkat kesiapan yang terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hubungan pribadi yang terjadi antara guru bimbingan dan konseling dengan siswa dalam situasi konseling.

9. Aktualisasi diri

Aktualisasi diri menunjukkan secara tidak langsung bahwa orang akan hidup dan memenuhi kebutuhannya secara langsung karena ia mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidup.

II. B. 8. Tugas Guru Bimbingan dan Konseling

Menurut Nurihsan dan Sudianto (2005) tugas guru bimbingan dan konseling yaitu :

1. Memasyarakatkan kegiatan bimbingan 2. Merencanakan program bimbingan

3. Melaksanakan persiapan kegiatan bimbingan

4. Melaksanakan layanan bimbingan terhadap sejumlah siswa yang menjadi tanggung jawabnya kurang mencukupi dibanding dengan jumlah siswa yang ada, seorang guru pembimbing dapat menangani lebih dari 50 orang siswa. Dengan menangani siswa 150 siswa secara intensif dan menyeluruh, berarti guru pembimbing telah menjalankan tugas wajib seorang guru, yaitu setara dengan 18 jam pelajaran seminggu.

(45)

6. Menilai proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan 7. Menganalisis hasil penilaian

8. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian 9. Mengadministrasikan kegiatan dan konseling.

10.Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan kepada koordinator guru pembimbing.

II. B. 9. Pengertian Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan

dan Konseling

Pada kenyataanya setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling, ada yang mempersepsikan bahwa guru bimbingan dan konseling itu menyenangkan, ada juga yang mempersepsikan bahwa guru bimbingan dan konseling itu tidak menyenangkan. Hal ini dapat saja terjadi, dimana dari defenisi persepsi yang telah dijelaskan oleh beberapa para ahli antara lain pendapat Chaplin (1991) yang mengatakan bahwa persepsi itu juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang.

(46)

II. C. Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru

Bimbingan Dan Konseling Dengan Self Disclosure pada Siswa SMP Negeri 31

Medan

Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap stimulus yang datang pada dirinya. Siswa SMP mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang guru bimbingan dan konseling mereka, dalam hal ini guru bimbingan dan konseling. Hal ini didukung oleh Rahmat (1996) yang mengatakan bahwa persepsi adalah pemahaman mengenai suatu objek maupun peristiwa yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Sehubungan dengan pengertian persepsi yang dikemukakan di atas bahwa berdasarkan pemahaman siswa mengenai karakteristik guru bimbingan dan konseling dimana ada yang terbuka kepada guru bimbingan dan konseling dan ada juga yang sebaliknya. Bagi siswa yang tidak terbuka kepada guru bimbingan dan konselingnya, maka membuat siswa sulit untuk mengungkapkan masalahnya. Hal ini dijelaskan Devito (1986) faktor – faktor yang mempengaruhi self disclosure adalah receiver relationship bahwa keterbukaan seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mempersepsikan orang atau objek tempat ia membuka diri.

II. D. Hipotesa Penelitian

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yaitu penelitian yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel. Pembahasan dalam metodelogi penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, dan metode analisis (Hadi, 2000).

III. A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel – variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel Bebas : Persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling

b. Variabel Tergantung : Self disclosure pada siswa

III. B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

Defenisi operasional dari variabel penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

(48)

terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dalam skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling maka semakin tinggi persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling, dan sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek maka semakin rendah pula persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling.

2. Self disclosure adalah bentuk komunikasi interpersonal yang didalamnya terdapat pengungkapan ide, perasaan, fantasi, informasi mengenai diri sendiri yang bersifat rahasia dan belum pernah diungkapkan kepada orang lain secara jujur. Data tentang self disclosure pada siswa ini diperoleh melalui skala self disclosure. Semakin tinggi skor yang dicapai subjek berarti semakin tinggi self disclosure yang dihadapinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai subjek berarti semakin rendah self disclosure yang dihadapinya.

III. C. Metode Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini, populasi yang akan digunakan adalah keseluruhan siswa – siswi SMP Negeri 31 Medan. Dalam sebuah penelitian, jika kita hanya meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau waktu dari populasi yang akan diteliti. Penelitian sampel dilakukan untuk memperoleh kemudahan – kemudahan dari segi pelaksanaan, biaya , waktu dan tenaga.

(49)

berlaku bagi populasi (Arikunto,1996). Menurut Hadi (2000) populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki. Survey sampel adalah suatu prosedur yang mana hanya sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan sifat – sifat serta ciri – ciri yang dikendalikan dari populasi. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk yang sedikitnya memiliki satu sifat yang sama sebagai karakteristik.

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Hal ini didasarkan atas pendapat Hadi (2000) yang mengemukakan bahwa purposive sampling ,yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri – ciri atau sifat – sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut-paut yang erat dengan ciri – ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 31 Medan yang duduk di kelas VII dan VIII.

III. D. Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala psikologi.

Metode skala psikologi adalah suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab subjek secara tertulis (Hadi, 2000).

(50)

1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri sendiri subjek yang tidak disadari.

2. Skala digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal.

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang sesungguhnya diungkap dari pertanyaan skala.

Kemudian Azwar (1999) menyatakan bahwa metode skala mempunyai kebaikan – kebaikan dengan alasan sebagai berikut :

1. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang tidak disadari.

2. Digunakan untuk dapat mengungkapkan suatu atribut tunggal.

3. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan.

Metode skala yang digunakan adalah metode rating yang dijumlahkan atau yang dikenal dengan model likert (Azwar, 1995). Metode ini dimodifikasi dengan menghilangkan pilihan jawaban tengah, yaitu netral (N).

Prosedur penskalaan dengan metode likert didasari oleh dua asumsi (Azwar, 1995), yaitu :

1. Setiap pertanyaan yang disepakati termasuk pertanyaan yang bersifat favorable (mendukung) atau unfavorable (tidak mendukung).

2. Jawaban dari individu yang mempunyai sikap posistif harus diberi bobot (nilai) yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan responden yang mempunyai sikap negatif.

(51)

III. D. 1. Skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan

konseling

(52)

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan

Konseling Sebelum Uji Coba

Aspek – aspek Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Empati 1, 10, 37, 55 19, 28, 46 7

Respek 2, 29, 47 11, 20, 38, 56 7

Keaslian 12, 21, 48, 57 3, 30, 39 7

Kekongkretan 13, 22, 40 4, 31, 49 6

Konfrontasi 5, 32, 41 14, 23, 50, 58 7

Membuka diri (self-disclosure) 6, 33, 51 15, 24, 42 6 Kesanggupan (potency) 16, 25, 52 7, 34, 43 6

Kesiapan 17, 26, 44, 59 8, 35, 53 7

Aktualisasi diri 9, 36, 45 18, 27, 54, 60 7

Jumlah 30 30 60

Model skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling menggunakan skala model Likert. Aitem terdiri dari pernyataan dengan 4 (empat) pilihan jawaban yaitu : sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable ( mendukung ) atau unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap

(53)

Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavourable yaitu SS = 1 (satu), S = 2 (dua), TS = 3 (tiga), dan STS = 4 (empat).

III. D. 2. Skala Self Disclosure Pada Siswa

Skala self disclosure diukur dengan menggunakan skala self disclosure. Skala self disclosure disusun berdasarkan lima dimensi yang dikemukakan oleh Devito (1986), yaitu amount, valence, accuracy/honesty, intention, intimacy. Dari setiap dimensi ini diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan. Secara lebih rinci penyebaran aitem pernyataan untuk skala self disclosure dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Self Disclosure Sebelum Uji Coba

Tahapan-tahapan

Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Amount 1,2,3,4,5,6,7 8,9,10,11,12,13,14 14 Valence 15,16,17,18,19,20 21,22,23,24,25,26 12 Accuracy /

Honesty

27,28,29,30,31,32,33 34,35,36,37,38,39 13

Intention 40,41,42,43,44,45 46,47,48,49,50,51,52 13

Intimacy 53,54,55,56 57,58,59,60 8

Jumlah 30 30 60

(54)

sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favourable ( mendukung ) atau unfavourable (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak 1 (satu) sampai 4 (empat). Bobot penilaian untuk pernyataan favourable yaitu : SS = 4 (empat), S = 3 (tiga), TS = 2 (dua), dan STS = 1 (satu). Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavourable yaitu SS = 1 (satu), S = 2 (dua), TS = 3 (tiga), dan STS = 4 (empat).

III. E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan koseling dan skala self disclosure pada siswa akan diuji validitas dan reliabilitas sebelum digunakan. Penjelasan mengenai validitas dan reliabilitas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Uji Validitas

Uji daya beda aitem selanjutnya dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem – aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes atau dengan kata lain memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2002).

(55)

korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya item (Azwar, 2002). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur dalam penelitian ini yaitu skala self disclosure dan skala persepsi terhadap karakteristik guru bimbingan dan

konseling. Setiap butir item pada skala akan dikorelasikan dengan skor total skala. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p>0,05). Perhitungannya menggunakan software SPSS. versi 12.0 for windows.

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur digunakan untuk menguji konsistensi hasil pengukuran terhadap subjek. Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal, yaitu suatu bentuk tes yang hanya memerlukan satu kali pengenaan tes tunggal kepada sekelompok individu terhadap subjek. Teknik ini dipandang ekonomis dan praktis, digunakan pada aitem – aitem yang valid (Azwar, 2002). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan koefisien alpha dari Cronbach. Perhitungannya menggunakan software SPSS. versi 12.0 for windows.

III. F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini diujicoba pada 100 orang siswa kelas VII-4, VIII-3 dan VIII-1 di SMP Negeri 31 Medan pada tanggal 28 Maret 2008.

1.Skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling

(56)

yang diujicobakan, 29 aitem yang dinyatakan gugur, sehingga terdapat 31 aitem yang valid dan terdiri dari 14 aitem favourable dan 17 aitem unfavourable.

Distribusi aitem – aitem yang dinyatakan valid dan digunakan sebagai alat ukur penelitian tercantum dalam tabel 3 dan nomor yang ditulis adalah sebagaimana yang tercantum dalam skala uji coba.

Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling yang Valid

Aspek – aspek Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Empati 55 19, 46 3

Respek 47 20, 56 3

Keaslian 12, 48, 57 30, 39 5

Kekongkretan 40 49 2

Konfrontasi 5 58 2

Membuka diri (self-disclosure) 51 15, 24 3

Kesanggupan (potency) 25, 52 7, 34, 43 5

Kesiapan 17, 44 8, 53 4

Aktualisasi diri 36, 45 18, 54 4

Jumlah 14 17 31

(57)

Dari 31 aitem tersebut, seluruhnya digunakan untuk penelitian dan diberikan penomoran baru, yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Distribusi Penomoran Baru Aitem Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling

Aspek – aspek Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Empati 16 4, 12 3

Respek 21 15, 30 3

Keaslian 3, 19, 24 6, 25 5

Kekongkretan 31 14 2

Konfrontasi 11 8 2

Membuka diri (self-disclosure) 7 17, 26 3

Kesanggupan (potency) 10, 28 2, 18, 27 5

Kesiapan 1, 22 9, 29 4

Aktualisasi diri 5, 23 13, 20 4

Jumlah 14 17 31

2. Skala Self Disclosure pada siswa SMP

(58)

Distribusi aitem – aitem yang dinyatakan valid dan digunakan sebagai alat ukur penelitian tercantum dalam tabel 5 dan nomor yang ditulis adalah sebagaimana yang tercantum dalam skala uji coba.

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Self Disclosure yang Valid

Tahapan-tahapan

Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Amount 4, 5, 7 8, 10, 12, 14 7

Valence 15,17,18,19,20 23,24,25,26 9

Accuracy / Honesty

29,30,31,32 34,35,36,39 8

Intention 43,44,45 46,47,49,51,52 8

Intimacy 54,55,56 57,58,60 6

Jumlah 18 20 38

Hasil uji coba menunjukkan bahwa alat tes valid dan reliabel, dimana perolehan angka koefisien reliabilitas alpha dari skala self disclosure sebesar 0.869.

(59)

Tabel 6. Distribusi Penomoran Baru Aitem Skala Self Disclosure

Tahapan-tahapan

Nomor Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Amount 13, 25, 28 7, 16, 22, 30 7

Valence 4, 11, 32, 35, 37 1, 14, 21, 31 9 Accuracy /

Honesty

8, 18, 23, 29 2, 9, 12, 26 8

Intention 5, 15, 34 3, 17, 19, 24, 27 8

Intimacy 10, 33, 38 6, 20, 36 6

Jumlah 18 20 38

III. G. Prosedur Penelitian

III. G. 1. Tahap Persiapan

Hal – hal yang dilakukan pada tahap ini adalah membuat alat ukur dan setelah itu alat ukur diujicobakan. Sebelum pembuatan alat ukur, terlebih dahulu menentukan aspek – aspek dari alat ukur tersebut. Kemudian dari aspek – aspek tersebut dibuat pernyataan – pernyataan.

(60)

Sebelum peneliti melakukan uji coba alat ukur ini, terlebih dahulu peneliti meminta izin kepada Bapak Kepala SMP Negeri 31 Medan agar diperkenankan untuk melaksanakan uji coba alat ukur di sekolah tersebut. Setelah membaca surat pengantar dari Fakultas Psikologi USU, Bapak Kepala Sekolah tersebut langsung memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan uji coba.

Selanjutnya peneliti melakukan wawancara untuk menanyakan jumlah siswa kelas VII dan VIII kepada guru bimbingan dan konseling (BK) sekolah tersebut. Dari hasil wawancara diperoleh data mengenai jumlah siswa kelas VII dan VIII yang keseluruhannya berjumlah 397 orang yang terbagi kedalam 9 (sembilan) kelas, dengan perincian pada tabel 7 berikut ini.

Tabel 7 Jumlah Siswa

Kelas VII dan VIII SMP Negeri 31 Medan T.A.2007/2008 KELAS

VII-1 VII-2 VII-3 VII-4 VIII-1 VIII-2 VIII-3 VIII-4 VIII-5

Jumlah Siswa

41 40 46 43 45 46 44 48 44 (Sumber : Data Siswa Kelas VII dan VIII SMP Negeri 31 Medan yang Terdaftar pada Semester Genap T.A.2007/2008)

(61)

– guru ada rapat. Kemudian peneliti membagikan kedua skala; skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dan skala self disclosure pada siswa, kepada siswa. Waktu yang digunakan untuk pengisian dua

skala tersebut kira – kira 1(satu) jam. Setelah pengisian skala di kelas VII-4 selesai, peneliti melanjutkan ke kelas VIII-1 dan yang terakhir ke kelas VIII-3.

Jumlah sampel yang dipergunakan dalam uji coba alat ukur untuk skala persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dan skala self disclosure pada siswa adalah 100 orang siswa.

Setelah diujicobakan, data yang diperoleh tersebut diolah untuk menentukan aitem – aitem mana saja yang valid dan dijadikan sebagai aitem dalam penelitian yang sebenarnya. Validitas alat ukur ditentukan dengan menggunakan koefisien korelasi product moment dan reliabilitas alat ukur ditentukan melalui teknik koefisien alpha dari Cronbach. Perhitungannya menggunakan software SPSS. versi 12.0 for windows.

III. G. 2. Tahap Pelaksanaan

Setelah alat ukur diujicobakan hingga disusun kembali skala yang telah valid, maka selanjutnya pada hari Rabu, tanggal 9 April 2008 dilakukan pengambilan data yang sebenarnya di SMP Negeri 31 Medan.

(62)

Berdasarkan informasi tersebut, selanjutnya peneliti menentukan kelas yang dijadikan sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri – ciri atau sifat – sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut-paut yang erat dengan ciri – ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000). Karakteristik sampel yang ditentukan peneliti yaitu siswa kelas VII dan kelas VIII.

Kemudian peneliti dan guru BK tersebut menentukan kelas mana yang akan dijadikan sampel. Kelas yang pertama yang dimasuki untuk pengambilan data adalah kelas VII-3 dan dilanjutkan ke kelas VIII-2.

Kedua skala penelitian tersebut diberikan kepada 92 orang siswa, dimana jumlah siswa laki – laki sebanyak 44 orang dan siswa perempuan sebanyak 48 orang. Adapun pelaksanaan pengambilan data tersebut menghabiskan waktu selama kurang lebih satu jam.

III. G. 3. Tahap Pengolahan Data

Setelah data diisi dan telah terkumpul seluruhnya, maka data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS versi 12.0 for windows.

III. H. Metode Analisis Data

Metode analisis data penelitian ini digunakan untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment dari Karl Pearson. Alasan digunakannya teknik korelasi product moment

(63)

antara dua variabel yaitu antara persepsi siswa terhadap karakteristik guru bimbingan dan konseling dengan self disclosure pada siswa.

Sebelum dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik product moment, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian, yaitu :

1. Uji normalitas, yaitu untuk mengetahui apakah distribusi data penelitian masing – masing variabel telah menyebar secara normal. Uji normalitas ini menggunakan teknik uji Kolmogorov-Smirnov Z.

2. Uji linieritas, yaitu mengetahui apakah data dari variabel X memiliki hubungan yang linier dengan variabel Y. Uji linieritas ini menggunakan teknik ini menggunakan teknik interactive graph yang menghasilkan diagram pencar (scatter plot).

Gambar

Tabel 1. Distribusi Aitem  Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Self Disclosure Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem  Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling yang Valid
Tabel 4. Distribusi Penomoran Baru Aitem  Skala Persepsi Siswa Terhadap Karakteristik Guru Bimbingan dan Konseling
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat proklamasi kemerdekaan, di Jalan Pegangsaan Timur tidak terjadi penyerangan Jepang terhadap para peserta upacara proklamasi, padahal pada saat tersebut tentara Jepang

Dalam rangka memenuhi amanat Undang-undang tersebut, maka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 2015 ini akan menyediakan beasiswa bagi dosen sebagaimana dimaksud di

Karakteritik kesiapan sarana prasarana dalam mendukung pembelajaran adalah a) mempunyai buku saku KTSP, b) menyiapkan alat peraga dan media pembelajaran IPS,

Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik khususnya dalam ranah kognitif dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry pada

Laporan proyek akhir berjudul Miniature Crain Otomatis Pemindah Peti Kemas Pada Truck oleh Edgar Yanuar Pratama NIM 071903102043 telah diuji dan disahkan oleh

Tabel 4.17 Metode 5W-1H untuk Menggembangkan Rencana Tindakan untuk Mengatasi Keretakan pada Cangkang Telur, Telur Busuk, Penyusutan Bobot Telur dan Bintik Darah pada

[r]

bahwa pengendalian lalu lintas kendaraan bermotor perseorangan dan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu memenuhi kriteria sebagai Retribusi Jasa