• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Wilayah Desa Ciparigi

Wilayah Desa Ciparigi menurut data umum dan geografis merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukadana, yang berbatasan dengan Kecamatan Cisaga dan Kecamatan Cijeungjing. Desa Ciparigi berbatasan pula dengan Desa Salakaria di sebelah utara, Desa Danasari di sebelah selatan, Desa Karanganyar di sebelah barat, dan Desa Bunter di sebelah timur. Luas Wilayah Desa Ciparigi adalah 843,361 Ha, dengan ketinggian wilayah Desa Ciparigi dari permukaan laut adalah 300 m. Memiliki curah hujan dengan hari terbanyak 99 hari dengan volume curah hujan per tahun 330 mm. Adapun jumlah dusun di Desa Ciaprigi adalah 6 dusun, yang terdiri dari 39 RT dan 12 RW dengan jumlah penduduk pada Mei 2011adalah1127 kepala keluarga. Sebaran penduduk Desa Ciaprigimenurut usia, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Ciparigi termasuk usia 15 tahun ke atas (BKP 2009a).

Desa Sukadana

Desa Sukadana merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukadana yang berbatasan dengan Desa Margajaya di sebelah utara, Desa Margaharja di sebelah timur, Desa Salakaria di sebelah selatan, dan Desa Cipaku di sebelah barat. Luas wilayah Desa Sukadana adalah 767.049 Ha, yang terdiri dari 8 dusun dengan 40 RT dan 19 RW dengan jumlah penduduk 1426 kepala keluarga pada Mei 2011. Ketinggian wilayah Desa Sukadana dari permukaan laut kurang lebih 500 m. Rata-rata curah hujan antra 2685 ml/thn. Sebaran penduduk berdasarkan usia menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berusia 71 tahun ke atas (KPH Ciamis 2011).

Karakteristik Penduduk Desa Ciparigi dan Sukadana Pendidikan

Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Ciparigi adalah tamat SD (44,0%). Terdapat pula 31,6% penduduk dengan pendidikan tamat SLTP; 17,7% penduduk yang tamat SLTA; dan sebagian kecil penduduk yakni: 3,5% merupakan lulusan S1; 2,1% lulusan D1-D3; dan 1,1% tidak tamat SD (BKP 2009a). Adapun tingkat pendidikan pada sebagian besar penduduk Desa Sukadana (53,0%) adalah tamatan SLTA; 22,0% penduduk dengan pendidikan tidak tamat SD; 11,0% penduduk dengan pendidikan tamat SD; 8,0% penduduk merupakan tamat

SLTP; dan sebagian kecil diantaranya merupakan lulusan D1-D3 (5,0%); dan 2,0% merupakan lulusan S1-S2 (KPH Ciamis 2011).

Gambar 3Bagan sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasakan tingkat pendidikan dalam persentase

Rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi apabila dibandingkan dengan rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana, diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi. Terdapat sebagian kecil penduduk Desa Sukadana yang memiliki tingkat pendidikan lulus S2, sedangkan di Desa Ciparigi tidak terdapat penduduk yang memiliki tingkat pendidikan S2. Penduduk yang tidak tamat SD lebih banyak terdapat di Desa Sukadana, dibandingkan di Desa Ciparigi.

Pekerjaan

Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Ciparigi (51,1%) bekerja sebagai buruh tani. Terdapat pula (24,1%) penduduk yang bekerja sebagai petani; (11,3%) penduduk bekerja sebagai buruh non tani; pedagang (9,4%); dan diantaranya yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS; dan sebagian kecil (0,8%) penduduk bekerja dibidang jasa. Tidak terdapat penduduk yang tidak memeiliki pekerjaan di Desa Ciparigi (BKP 2009a). Sebagian besar penduduk di Desa Sukadana (58,0%) bekerja sebagai buruh tani, dan terdapat pula (17,8%) yang bekerja dibidang jasa seperti tukang ojeg dan penjahit (KPH Ciamis 2011). Penduduk yang bekerja sebagai

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA D1 D2 D3 S1 S2 1,1 44,0 31,6 17,8 0,6 1,4 1,1 2,5 0,0 22,1 11,0 8,0 53,0 1,0 2,0 2,0 0,5 0,5 Ciparigi Sukadana

petani di Desa Sukadana hanya (8,5%), dan terdapat (6,6%) pedagang; dan sebagian kecil pekerjaan penduduk yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS/ABRI. Terdapat pula penduduk yang tidak bekerja yakni sebesar (6,0%).

Gambar 4Sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasarkan pekerjaan dalam persentase

Perbandingan pekerjaan penduduk antara Desa Ciparigi dan Desa Sukadana menunjukkan bahwa, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, jasa, dan penduduk yang tidak bekerja lebih banyak terdapat di Desa Sukadana dibandingkan dengan penduduk Desa Ciparigi. Penduduk yang bekerja sebagai petani, pedagang, buruh non tani, dan PNS/ABRI pada kedua desa, lebih banyak terdapat di Desa Ciparigi dibandingkan dengan Desa Sukadana.

Karakteristik Keluarga Usia Ayah dan Ibu

Berdasarkan WNPG (2004) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila seseorang tergolong berusia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada pada kisaran umur 50-64 tahun, sedangkan usia seseorang tergolongmanula apabila berusia lebih dan atau sama dengan 65 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (42,9%) usia ayah pada keseluruhan contoh tergolong dewasa lanjut, dan terdapat (34,5%) contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 24,2 51,1 9,5 11,3 0,8 3,1 0,0 8,5 58,0 6,6 0,0 17,8 3,1 6,1 Ciparigi Sukadana

Sebagian kecil (22,5%) contoh dengan usia ayah tergolong manula, dan tidak terdapat contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa awal. Adapun kisaran umur ayah pada keseluruhan contoh antara 31-80 tahun dengan rata-rata usia 30,4±11,7 tahun.

Tabel 3Sebaran contoh berdasarkan usia ayah

Usia Ayah Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n % Dewasa awal (19-29 th) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dewasa sedang (30-49 th) 18 42,9 11 26,2 29 34,5 Dewasa Lanjut (50-64 th) 18 42,9 18 42,9 36 42,9 Manula (>=65) 6 14,3 13 31,0 19 22,6 Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0 Rata-rata 50,4±11,0 57,4±11,5 30,4±11,7

Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) masing-masing tergolong usia dewasa sedang dan lanjut dan sebagian kecil (14,3%) tergolong manula. Rata-rata usia ayah pada kelompok penerima adalah 50,4±11,0 tahun. Usia ayah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (42,9%) tergolong dewasa lanjut, terdapat (31,0%)keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula. Sebagian kecil (26,2%) keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima adalah 57,4±11,5 tahun.

Persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima, sedangkan persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Persentase usia ayah yang tergolong dewasa lanjut antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah sama. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok penerima program. Hasil uji

independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program.

Tabel 4Sebaran contoh berdasarkan usia ibu

Usia Ibu Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n % Dewasa awal (19-29 th) 5 11,9 2 4,8 7 8,3 Dewasa sedang (30-49 th) 22 52,4 18 42,9 40 47,6 Dewasa Lanjut (50-64 th) 14 33,3 18 42,9 32 38,1 Manula (>=65) 1 2,4 4 9,5 5 6,0 Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0 Rata-rata 43,5±10,0 49,1±11,2 46,3±11,0

Tabel 4 menunjukkan bahwa, sebagian besar (47,6%) usia ibu pada keseluruhan contoh tergolong dewasa sedang, dan terdapat (38,1%) contohdengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (8,3%) contoh dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan hanya sebagian kecil (5,6%) contoh dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu adalah 46,3±10,9 tahun dengan kisaran umur antara 30-70 tahun.

Usia ibu pada kelompok penerima program sebagian besar (52,4%) tergolong dewasa sedang, terdapat (33,3%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (11,9%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan sebagian kecil (2,4%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program adalah 43,5±10,0 tahun. Usia ibu pada kelompok bukan penerima program masing-masing (42,9%) tergolong usia dewasa sedang dan lanjut, terdapat (9,5%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula dan sebagian kecil (4,8%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal. Adapun rata- rata usia ibu pada kelompok bukan penerima program adalah 49,1±11,2tahun.

Persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal dan sedang lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Hal tersebut berbeda pada persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut dan manula yang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program.

Pekerjaan Ayah

Sebagian besar (38,1%) pekerjaan ayah pada keseluruhan contoh adalah buruh tani, dan terdapat (28,6%) contoh dengan pekerjaan sebagai petani. Sebagian kecil yakni (1,2%) merupakan persentase contoh dengan pekerjaan ayah sebagai PNS dan tidak bekerja. Menurut Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan dibidang pertanian lebih banyak di wilayah pedesaan. Adapun sektor pertanian menurut Nurmanaf et. al. (2004), Rusastra et. al (2005), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan disektor pertanian

lebih didominasi oleh tenaga kerja berumur 25-45 tahun, sedangkan tenaga kerja muda lebih banyak bekerja diluar sektor pertanian. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini:

Tabel 5Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah

Jenis Pekerjaan Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n %

Tidak bekerja 0 0,0 1 2,4 1 1,2

Petani 16 38,1 8 19,1 24 28,6

Pedagang 6 14,3 6 14,3 12 14,3

Buruh tani 14 33,3 18 42,9 32 38,1

Buruh non tani 1 2,4 2 4,8 3 3,6

PNS/ABRI/Polisi 1 2,4 0 0,0 1 1,2

Jasa 2 4,8 4 9,5 6 7,1

Lainnya 2 4,8 3 7,1 5 6,0

Total 42 100,0 42 100,0 84 100

Berdasarkan Tebel 5 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (38,1%) ayah pada kelompok penerima bekerja sebagai petani, dan terdapat (33,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai buruh tani. Terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan masing-masing (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang jasa dan lainnya. Pekerjaan dibidang jasa seperti tukang ojeg, supir, penjahit, dan pembuat sumur sedangkan jenis pekerjaan lain diantaranya pemulung, ketua rukun warga, ketua rukun tetangga, dan juru tulis desa. Sebagian kecil (2,4%) masing-masing keluarga bekerja sebagai buruh non tani dan PNS. Tidak terdapat ayah dengan status pekerjaan tidak bekerja pada kelompok penerima program desa mandiri pangan.

Sebagian besar (42,9%) pekerjaan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah buruh tani. Terdapat sebanyak (19,1%) keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani, terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan sebanyak (9,5%) bekerja dibidang jasa, serta (7,1%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang lainnya. Terdapat (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah yang sebagai buruh non tani, dan terdapat pula sebagian kecil (2,4%) keluarga degan status pekerjaan ayah yang tidak bekerja.

Persentase keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani dan PNS lebih tinggi pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program, sedangkan persentase keluarga dengan pekerjaan ayah yang tidak bekerja, buruh tani, buruh non tani, jasa, dan lainnya lebih tinggi pada

kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara pekerjaan ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Akses Pangan

Akses pangan keluarga diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga untuk memperoleh pangan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun dalam mewujudkan hal tersebut akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil uji reliabelitas terhadap akses fisik menjadi sama karena karakteristik kewilayahaan di kedua desa hampir sama, sehingga akses fisik tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Keragaan akses pangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Semakin tinggi akses pangan suatu keluarga maka keluarga tersebut akan semakin mudah dalam nemperoleh pangan.

Akses pangan secara sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu. Akses pangan berdasarkan dimensi akses sosial dikatergorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi.

Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.Berdasarkan jumlah anggota keluarga, suatu keluarga digolongkan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil (BKKBN 1998). Keluarga tergolong besar apabila jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan tujuh orang, apabila suatu keluarga berjumlah lima sampai enam orang, keluarga digolongkan menjadi keluarga sedang. Keluarga digolongkan sebagai keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Menurut Hildawati (2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982) bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan jumlah anggota keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarga tergolong besar, akses pangan tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarga tergolong sedang, dan akses pangan tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarga kecil (Hildawati 2008).

Tabel 6Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Penerima Program Bukan Penerima Total n % n % n % Keluarga Kecil: ≤ 4 40 95,2 39 92,9 79 94,1 Keluarga Sedang: 5-6 2 4,8 3 7,1 5 6,0 Keluarga Besar: ≥ 7 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0 Rata-Rata 3,1±1,0 2,8±1,0 3,0±1,0

Tabel 6menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, dapat diketahui bahwa sebagian besar (94,1%) keluarga dari keseluruhan contoh tergolong keluarga kecil dan sebagian kecil keluarga (6,0%) tergolong keluarga sedang. Tidak terdapat keluarga yang tergolong keluarga besar pada kedua kelompok. Rata-rata jumlah anggota keluarga pada keseluruhan contoh adalah 3,0±1,0 orang yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Adapun kisaran jumlah anggota keluarga antara 2-6 orang.

Berdasarkan Tabel 6dapat diketahui bahwa sebagian besar (95,4%) keluarga pada kelompok penerima program tergolong keluarga kecil, dan terdapat hanya sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok penerima adalah 3,1±1,0 orang. Begitupun halnya pada kelompok bukan penerima program, yang sebagian besar (92,9%) keluarga tergolong keluarga kecil dan terdapat hanya (7,1%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program adalah 2,8±1,0 orang. Persentase keluarga yang tergolong kecil pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima, namun persentase keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa, sebagian besar keluarga (94,1%) dari keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, dan (6,0%) tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar (95,0%) tergolong akses pangan tinggi, dan terdapat hanya (4,8%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok bukan penerima sebagian besar (92,9%) tergolong akses pangan tinggi dan sebagian kecil (7,1%) tergolong akses pangan sedang.

Tabel 7Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen jumlah anggota keluarga

Akses Pangan Penerima

Bukan Penerima Total n % n % n % Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Sedang 2 4,8 3 7,1 5 6,0 Tinggi 40 95,2 39 92,9 79 94,1 Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

Persentase keluarga dengan akses pangan tinggi, lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program, sedangkan persentase keluarga dengan akses pangan sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen jumlah anggota keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Pendidikan Ayah dan Ibu

Menurut BPS (2007) pendidikan dikelompokan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan ayah pada seluruh contoh sebagian besar (87,0%) adalah pendidikan sedang, sebanyak (9,2%) pendidikan ayah tergolong tinggi dan hanya (3,6%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah padakeseluruh contoh adalah 6,8±2,2 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun.

Tabel 8Sebaran contoh berdasarkan pendididkan ayah

Pendidkan Ayah Penerima

Bukan

Penerima Total

n % n % n %

Rendah: < SD (< 6 tahun) 1 2,4 2 4,8 3 3,6

Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) 35 83,3 38 90,5 73 86,9

Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) 6 14,3 2 4,8 8 9,5

Total 42 100,0 42 100,0 84 100

Rata-rata 7,4±2,3 6,3±1,97 6,8±2,2

Pendidikan ayah pada kelompok penerima didominasi oleh pendidikan sedang (83,3%) serta terdapat pula keluarga denganpendidikan ayah yang tergolong tinggi (14,3%) dan hanya terdapat (2,4%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah kelompok penerima program adalah 7,4±2,3 tahun. Sebagian besar pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima adalah pendidikan sedang (90,5%), dan hanya terdapat (4,8%)ayah dengan pendidikan rendah dan tinggi. Rata-rata lamanya pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ayah yang tergolong rendah dan sedang, lebih tinggi persentasenya pada kelompok bukan penerima program dibandingkan dengan kelompok penerima program. Persentase ayah yang berpendidikan tinggi, lebih tinggi terdapat pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program.

Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ayah dan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Berdasarkan

Tabel9 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (87,0%) keluarga pada keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (9,5%) keluarga dengan akses pangan tinggi dan sebagian kecil (3,6%) keluarga dengan akses pangan rendah.

Tabel 9Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pendidikan ayah

Akses Pangan Peneriama Bukan Penerima Total

n % n % n %

Rendah 1 2,4 2 4,8 3 3,6

Sedang 35 83,3 38 90,5 73 86,9

Tinggi 6 14,3 2 4,8 8 9,5

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

Keluarga pada kelompok penerima sebagian besar tergolong memiliki akses pangan sedang (83,3%) dan (14,3%) keluarga yang tergolong akses tinggi, akses pangan tersebut digolongkan berdasarkan komponen pendidikan ayah. Akses pangan keluarga berdasarkan pendidikan ayah, pada kelompok bukan penerima sebagian besar tergolong sedang (90,5%) dan hanya (4,8%) keluarga masing-masing tergolong akses pangan tinggi dan rendah. Persentase keluarga yang memiliki akses pangan tinggi lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan komponen pendidikan keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Menurut Kasryno (2000) dalam Departemen Pertanian (2010) tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah, hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Departemen Pertanian (2010) menambahkan bahwa tamatan SD merupakan ciri dominan tenaga kerja di bidang pertanian dan di wilayah pedesaan.

Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi keluarga, serta berpengaruh pula dalam memperoleh tambahan pendapatan dan pekerjaan. Menurut BPS (2007) pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat

SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan sebagian besar Ibu dari keseluruhan contoh adalah pendidikan sedang dengan (86,9%) terdapat (9,5%) pendidikan ibu yang tergolong tinggi, dan pendidikan ibu yang tergolong rendah hanya (3,6%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada seluruh contoh adalah 6,5±1,9 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun.

Tabel 10Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu

Pendidkan Ibu Peneriama

Bukan Penerima Total n % n % n % Rendah: < SD (< 6 tahun) 1 2,4 0 0,0 3 3,6 Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) 40 95,2 42 100,0 73 86,9 Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) 1 2,4 0 0,0 8 9,5 Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0 Rata-rata 6,7±1,8 6,3±2,0 6,5±2,0

Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa sebagian besar pendidikan ibu pada kelompok penerima adalah pendidikan sedang (95,2%), sedangkan pendidikan rendah dan tinggi persentasenya sama yaitu (2,4%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok penerima program adalah 6,7±1,8 tahun. Pendidikan ibu pada kelompok bukan penerima program seluruhnya tergolong berpendidikan sedang dengan rata-rata lamanya pendidikan adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ibu yang tergolong rendah dan tinggi lebih banyak terdapat pada kelompok penerima program, dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program. Persentase ibu yang berpendidikan sedang, lebih banyak terdapat pada kelompok bukan penerima program dibandingkan kelompok penerima program. Rata-rata lama pendidikan ayah lebih lama dibandingkan dengan ibu.

Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendididkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Akses pangan berdasarkan pendidkan ibu sebagian besar keluarga contoh tergolong sedang (87,9%), dan terdapat keluarga dengan akses pangan tinggi sebesar (9,5%), sedangkan sebagian kecil (3,6%) akses pangan yang tergolong rendah.

Berdasarkan pendidikan ibu, akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar tergolong sedang (95,3%), sedangkan sebagian kecilnya (2,4%) tergolong akses pangan rendah dan tinggi. Akses pangan keluarga pada

Dokumen terkait