• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Akses dan Konsumsi Pangan pada Keluarga Penerima dan Bukan Penerima Program Desa Mandiri Pangan di Desa Ciparigi dan Desa Sukadana Kabupaten Ciamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Akses dan Konsumsi Pangan pada Keluarga Penerima dan Bukan Penerima Program Desa Mandiri Pangan di Desa Ciparigi dan Desa Sukadana Kabupaten Ciamis"

Copied!
238
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

FRIDA AGUSTIANI. The Analysis of Accesss and Food Consumption from The Participant and Non Participant Household of Desa Mandiri Pangan in Ciparigi and Sukadana Village Ciamis Regency. Under Direction of YAYUK FARIDA BALIWATI.

The main purpose of this research was to analyze access and food consumption from the participant and non participant householdof desa mandiri pangan in Ciparigi and Sukadana village, Ciamis regency. This research were also particularlytry toIdentify and analyze:1) The characteristics of participant and non participanthousehold of Desa Mandiri Pangan, 2) Food access (social and economic) component ofthe participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan,3)Food consumption from the participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan, and 4) Correlation between food access and food consumption from the participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan. This research was conductedusing the cross sectional design. Total sample sizeof 84 household, consisted 42 households of Desa Mandiri Pangan participant and 42 households of non participant.

The results show that household participant have higher access and food consumption (energy and protein consumption level) than non participant household. Independent test shows a significant difference (p<0,05)of food access between participant and non participant household. The test show no difference between food consumption (energy and protein level) of participant and non participant household (p>0,05).

Pearson correlation test for the total sample results show that there was no correlation (p>0,05) between food accesswith consumption level (energy and protein).Meanwhile,income with total expenditure approach (p<0,05) and food expenditure (p<0,01)have positive correlation with consumption level (energy and protein). Pearson correlation test for the participant household results show that food access has no correlation (p>0,05) with consumption level (energy and protein).Meanwhile,income with expenditure approach and food expenditure have positive correlation (p<0,05) with energy consumption level. Pearson correlation test for non participant household results show that food access has no correlation (p>0,05) with consumption level (energy and protein). Family member has negative correlation (p<0,05) with energy consumption level, while food expenditure approach has positive correlation (p<0,01) with consumption level (energy and protein).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan dan kerawanan pangan sampai saat ini masih menjadi masalah utama di Indonesia terutama di daerah perdesaan. Menurut BPS (2010) pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang atau 13,33% dari total penduduk Indonesiaberada dibawah garis kemiskinan, dengan persentase terbesar yakni 64,23% penduduk miskin tersebut berada di daerah perdesaandan sebagian besar bekerja pada sektor pertanian.Kemiskinan berkaitan erat dengan kerawanan pangan, sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengakses pangan. Masyarakat miskin cenderung berpendapatan rendah sehingga daya beli mereka pun menjadi rendah termasuk daya beli makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.Hal tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan permasalahan yang bersifat multidimensional, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus (Mulyono 2008).

Menurut BKP (2010) salah satu fokus pembangunan pertanian dalam penanganan masalah kerawanan pangan dan kemiskinan adalah meningkatkan ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan keluarga. Perwujudan tersebut dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu perdesaan yang merupakan daerah berbasis kegiatan pertanian dan memiliki persentase penduduk miskin terbanyak. Salah satu program prioritas Badan Ketahanan Pangan yang bergerak dalam meningkatkan ketahanan pangan di tingkat perdesaan adalah program desa mandiri pangan. Program Desa Mandiri Pangan yang sasarannya adalah keluarga miskin merupakan suatu program yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan yang dibangun dengan kemampuan masyarakat desa itu sendiri.

(3)

Kabupaten Ciamis memiliki satu hingga dua desa yang termasuk daerah rawan pangan. Desa Ciparigi merupakan desa penerima program mandiri pangan sejak tahun 2006 dan pada tahun 2010 Desa Ciparigi telah menjadi desa mandiri pangan.

Indikator dalam suatu program merupakan suatu alat pengukuran langsung berhasil atau tidaknya suatu program. Adapun indikator keberhasilan kemandirian program desa mandiri pangandalam pengembangan sistem ketahan pangan diantaranya meningkatkan penyediaan dan distribusi pangan, pengembangan usaha produktif, kemampuan keluarga dalam mengakses pangan, pelayanan masyarakat dalam akses permodalan, kesehatan, dan sarana usaha, serta peningkatan konsumsi pangan.Berbagai upaya tersebut diharapkan mampu mengurangi kemiskinan yang secara langsung akan meningkatkan akses keluarga dalam memperoleh pangan sehingga zat gizi yang dibutuhkan dapat tercukupi. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk menganalisis akses dan konsumsi panganpadakeluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui akses dan konsumsi pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan

2. Menganalisis akses pangan secara ekonomi dan sosialpada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan

3. Menganalisis konsumsi pangan padakeluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

(4)

Hipotesis

1. Akses pangan pada keluarga penerima lebih baik dibandingkan keluarga bukan penerima program.

2. Konsumsi pangan pada keluarga penerima lebih baik dibandingkan keluarga bukan penerima program.

3. Akses panganberhubungan dengankonsumsipanganpadakeluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Kegunaan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Program Desa Mandiri Pangan

Menurut BKP (2010) pembangunan ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional, oleh karena itu pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan melalui program–program yang mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 program prioritas, yakni: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP), (2) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP); dan (3) Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik (PPKB).

Program peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin masyarakat agar memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Berkaitan dengan tujuan dan sasaran program tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 kegiatan prioritas: (1) Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM); (2) Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan) dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP); dan (3) Diversifikasi Pangan.

Program desa mandiri pangan merupakan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di desa rawan pangan, dengan karakteristik kualitas sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Adapun konsep tujuan utama program desa mandiri pangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut merupakan penjabaran dari konsep livelihood.

Konsep Livelihood

Menurut Saragih et. al. (2007) secara etimologis, makna kata livelihood

itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), yang dimiliki oleh individu maupun keluarga. Adapun kerangka berfikir livelihood

(6)

lebih baik, meningkatnya kesejahteraan, serta keamanan pangan yang lebih baik.

Sumber: Saragih, et. al. (2007)

Gambar 1Kerangka kerja livelihood

(7)

Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur 50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia lebih dari sama dengan 65 tahun. Bekerja merupakan kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Usia dan pekerjaan seseorang merupakan salah satu aset livelihood yang akan digunakan untuk mempertahankan hidup dirinya atau keluarga. Program desa mandiri pangan sebagai suatu strategi livelihood

dengan fokus kegiatan dibidang ketahanan pangan bertujuan meningkatkan kesejahteraan terutama meningkatkan akses pangan keluarga sehingga kebutuhan pangan keluarga dapat tercukupi.

Tahapan Kemandirian Pangan

Menurut Badan Ketahanan Pangan (2010) pencapaian tujuan desa mandiri pangan dilakukan dalam kurun waktu empat tahun, meliputi tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan, dan tahap kemandirian. Tahap persiapan dilaksanakan dalam waktu satu tahun dengan kegiatan mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihan-pelatihan,dan pendampingan; penetapan desa pelaksana dan penyusunan data base RTM sasaran dan potensi desa. Indikator keberhasilan pada tahap persiapan meliputi:

(1) Ditetapkannya lokasi desa pelaksana Proksi Desa Mapan

(2) Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang Proksi Desa Mapan (3) Tersusunnya data base Desa Mandiri Pangan

(4) Terbentuknya Pokja di tiap tingkatan dan terbentuknya Tim Pangan Desa (5) Terbentuknya kelompok afinitas di lokasi sasaran

(6) Terpilihnya tenaga pendamping

(7)Terlaksananya pelatihan aparat tingkat propinsi, kabupaten, desa, pendamping dan masyarakat pelaksana Proksi Desa Mandiri Pangan

(8) Tersusunnya Rencana Pembangunan Wilayah Desa secara partisipatif (RPWD).

(8)

pemasaran hasil secara kolektif di desa, (6) terbentuknya lembaga pemasaran (pasar) di tingkat desa maupun wilayah yang lebih luas untuk menampung hasil-hasil produksi masyarakat, (7) tersedianya informasi pasar harga dan jenis komoditi pangan, (8) meningkatnya penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya wilayah, (9) tersedianya teknologi pengolahan dan produk pangan, (10) meningkatnya keterampilan masyarakat dalam mengolah pangan, (11) meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman.

Tahap pengembangan merupakan tahapan ketiga pelaksanaan proksi desa mapan yang ditunjukkan dengan adanya penguatan dan pengembangan dinamika dan usaha produktif kelompok afinitas, pengembangan fungsi kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usaha tani, dan lain-lain. Terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, peningkatan pola pikir masyarakat, serta peningkatan keterampilan dan pengetahuan masyarakat.

Tahap kemandirian merupakan tahapan keempat atau (tahun ke IV) dalam pelaksanaan Proksi Desa Mapan yang ditunjukkan oleh bekerjanya sistem ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan, kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang dan aman sampai tingkat rumah tangga.Tahun 2010 kegiatan Desa Mandiri Pangan memasuki tahap kemandirian, sehingga untuk menentukan capaian kemandirian desa sasaran yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran program perlu dilakukan evaluasi (BKP 2009b).

Metode Evaluasi Program

Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai secara berkala apa yang telah dihasilkan, untuk mengetahui apakah proyek berhasil mencapai tujuan-tujuan utamanya. Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang berguna untuk pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan perbaikan dapat segera diambil secara cepat dan tepat. Beberapa jenis evaluasi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Evaluasi Keluaran (Output)

(9)

miskin dan kelompok sasaran lainnya, setelah berjalannya program (tahunan). Dasar pengukuran dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh para konsultan program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik penangung jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen.

2. Evaluasi Dampak (Impact)

Evaluasi dampak dengan fokus utama pada dampak yang menggunakan metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif. Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional), dan studi kualitatif. Keseluruhan survei menggunakan teknik perbedaan ganda dengan melihat: kondisi sebelum dan sesudah, serta wilayah perlakuan dan wilayah kontrol (dengan dan tanpa intervensi program). Kajian Suryahadi (2007) dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program.

Ruang lingkup evaluasi dampak meliputi: perubahan tingkat hidup (livelihood) dan perubahan pola pikir (mindset) dengan Vectorial Project Analysis

(VPA) dilakukan periode tahunan atau setiap tahap pelaksanaan Desa Mandiri Pangan. Indikator kemajuan tingkat kehidupan (livelihood) dikelompokkan sebagai indikator yang bersifat fisik (tangible) atau indikator-indikator yang dapat diukur secara kuantitatif. Indikator tersebut akan menggambarkan kemajuan fisik status ketahanan pangan yang antara lain diukur melalui beberapa sub indikator yaitu: (1) Pendapatan, dan (2) Konsumsi pangan.

6.3. Studi Khusus/Tematik

Studi khusus atau tematik merupakan jenis evaluasi untuk mempertajam hasil pemantauan dan berbagai jenis evaluasi reguler di atas. Evaluasi tematik dilakukan saat dimulainya program sampai beberapa tahun kedepan setelah adanya program. Beberapa contohevaluasi tematik diantaranya:kaji cepat prasarana fisik untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang dibangun dengan standar PNPM Mandiri, pengkajian operasional dan perawatanuntuk mengevaluasi tata cara operasional dan perawatan infrastruktur, pengkajian dampak ekonomi dan tingkat pengembalian untuk mengukur dampak ekonomi program PNPM Mandiri, dan sebagainya.

Akses Pangan

(10)

menggambarkan konsumsi pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Menurut Rachmat et. al (2010) akses pangan tingkat keluarga diartikan sebagai kemampuan keluarga dalam memperoleh pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan keluarga, persediaan pangan keluarga, jual beli, dan tukar-menukar.

Akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Secara fisik akses pangan dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan/produksi pangan dan sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan untuk menjamin pasokan pangan tersedia dengan cukup dimana saja dan setiap waktu. Indikator fisik terdiri dari ketersediaan pangan pokok (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dan infrastuktur. Ketersediaan pangan pokok berupa rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan bersih pangan dan pokok (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dalam ton GKG, PK, dll). Indikator infrastruktur berupa persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat dan persentase desa yang tidak mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar lebih dari (minimum) 3 km. Persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, digunakan sebagai indikator yang mewakili akses/infastruktur jalan, karena semakin besar persentase akses desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, maka semakin buruk aksesnya terhadap pangan. Persentase desa yang tidak mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar minimum 3 km, karena pasar merupakan sarana untuk memperoleh segala macam kebutuhan manusia termasuk pangan, akses pasar dan jarak terdekat ke pasar akan mempengaruhi tingkat akses pangan. Kepemilikan pasar suatu desa akan mempengaruhi rumah tangga dalam mengakses pangan. Jarak terdekat ke pasar lebih dari 3 km akan mempengaruhi wkatu tempuh ke pasae yang akan mempengaruhi dalam mengakses pangan. Semakin sulit akses rumah tangga ke pasar semkin rendah akses pangannya.

(11)

pangannya. Indikator ekonomi dilihat dari daya beli pangan (ukuran kemampuan masyarakat rata-rata penduduk dalam membeli pangan) meliputi persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinann, persentase penduduk yang bekerja kuarang dari 36 jam per minggu, serta nilai product domestic regional bruto (PDRB) ekonomi kerakyatan per kapita.

Akses sosial antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial/kemanan dan lainnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kesempatan atau peluangnya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih baik pula. Konflik sosial yang menimbulkan situasi tidak aman di suatu wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah tersebut yang menghambat akses penduduk terhadap pangan. Indikator sosial mencakup persentase penduduk yang tidak tamat sekolah dasar (SD)

Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Beberapa contoh indikator akses fisik diantaranya: persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.Akses penghubung misalnya kendaraan beroda empat, merupakan sarana dalam mempermudah penyaluran pangan ke suatu daerah. Akses ekonomi dipengaruhi oleh persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan persentase penduduk yang bekerja kurang dari 36 jam dalam seminggu. Persentase keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan diartikan sebagai keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar diantaranya pangan, hal tersebut menyebabkan akses pangan seseorang menjadi rendah. Akses ekonomi dilihat dari pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan.

(12)

pendidikan juga mempengaruhi akses pangan melalui sumber daya tunai/cash

dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan pendapatan dalam jangka waktu yang panjang. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu.

Berbagai komponen yang mempengaruhi akses pangan tersebut digabungkan untuk mengetahui indeks akses pangan. Berdasarkan indeks tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya lebih dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008).

Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Badan Pusat Statistik tahun 2008 mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang, yang tidak mampu menyelenggarakan hidup sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Salah satu persoalan kemiskinan adalah kerentanan (Saldanha 1998).

Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima klasifikasi kemiskinan, yakni: a. Kemiskinan absolut digolongkan apabila hasil pendapatannya berada

dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.

b. Kemiskinan relatif digunakan untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan yang berguna untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu.

(13)

peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.

d. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yakni:

(1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif.

(2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang kritis SDA dan daerah terpencil).

(3) rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

e. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman dan bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Berdasarkan golongannya, Sajogyo (1977) mengklasifikasikan orang miskin dalam tiga golongan yakni: lapisan miskin, miskin sekali, dan paling miskin. Golongan lapisan miskin adalah golongan orang yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 Kg tetapi kurang dari 480 Kg. Golongan miskin sekali adalah golongan orang yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-360 Kg, sedangkan golongan paling miskin adalah golongan yang memiliki pengahasilan per kapita per tahun beras kurang dari 240 Kg. Cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis kemiskinan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah Rp 193652 (BPS 2010).

(14)

apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin atau sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka digolongkan tidak miskin dan tergolong tinggi.

Daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan fungsi dari akses pangan dimensi ekonomi. Suatu keluarga berdasarkan pekerjaannya memiliki satu atau lebih sumber pendapatan untuk membeli pangan dan kebutuhan lainnya. Anggota keluarga yang menjadi sumber keuangan utama biasanya ayah atau suami, tetapi ada pula pencari nafkah itu ibu atau istri. Suatu kondisi ditinjau dari akses ekonomi keluarga, apabila suami dan ibu memiliki pekerjaan maka akses ekonominya menjadi lebih baik (Hildawati 2008). Menurut Susanti (1999) pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Tingginya pendapatan tersebut diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan membeli bahan pangan.

Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.Berdasakan banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga, besarnya keluarga dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga kecil, sedang, dan banyak. Golongan keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat orang. Keluarga tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang, sedangkan golongan keluarga banyak adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang (BKKBN 1998).

(15)

yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga.

Pendidikan Ayah dan Ibu

Tingkat pendidikan orang tua yakni ayah dan ibu merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Pendidikan seseorang pun akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat) (BPS 2007). Pendidikan yang tergolong tinggi belum tentu menjadikan konsumsi makan suatu keluarga menjadi lebih baik, hal ini dikarenakan pendidikan ayah tidak mampu berdiri sendiri, melainkan akan berinteraksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seorang ibu tentang ilmu gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal, selain itu pengetahuan gizi dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar atau majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan siaran televisi atau pun penyuluhan kesehatan atau gizi (Khomsan 2002).

Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun apabila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga yang bersangkutan untuk dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengetahuan gizi ibu diperoleh dari pendidikan formal/informal menurut Susanto (1996) dalam Sihite (2010) merupakan salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial.

(16)

tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009).

Terdapat tiga kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu kurang, sedang, dan baik. Contoh yang mendapatkan total skor <60 persen dikategorikan kurang. Jika contoh mendapatkan total skor antara 60 sampai 80 persen maka termasuk kategori sedang dan jika contoh mendapatkan total skor >80 persen maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000).

Pengeluaran Keluarga

Menurut BPS (2010), data pengeluaran keluarga lebih menggambarkan pendapatan keluarga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Menurut Moho dan Wagner (1981) dalam Hildawati (2008), data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.

(17)

miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi akses pangan tinggi.

Pengeluaran Pangan

Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli pangan terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai pemenuhan kebutuhan minimum. Pengkategorian tersebut didasarkan melalui pendekatan seperti halnya pengeluaran total per kapita per bulan, dimana akses pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu sampai dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis yaitu Rp 115010.

Konsumsi Pangan

(18)

kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga.

Metode Recall

Menurut Arisman (2007) metode recall merupakan metode yang cukup baik diterapkan dalam survei terhadap kelompok masyarakat. Metode recall

merupakan metode yang digunakan dengan cara mencatat jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi pada beberapa waktu lalu, bisanya recall

dilakukan 24 jam. Ukuran keluarga dan jumlah pangan yang dikonsumsi ditanyakan kepada responden kemudian dikonversikan ke dalam satuan berat. Wawancara ini hendaknya dilakukan secara mendalam agar responden dapat memberikan jawaban mengenai jenis dan memperkirakan jumlah bahan pangan (Suhardjo et. al. 1988). Jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan bentuk ukuran keluarga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan di keluarga yang kemudian akan dikonversikan ke dalam bentuk gram. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan dan mudah (Kusharto & Sa’diyyah 2008).

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kemiskinan berkaitan erat dengan kerawanan pangan, sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengakses pangan. Masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dan cenderung berpendapatan rendah sehingga daya beli mereka pun menjadi rendah termasuk daya beli makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan menjadi rendah.Salah satu program prioritas Badan Ketahanan Pangan yang bergerak dalam meningkatkan ketahanan pangan di tingkat perdesaan dengan konsep merujuk pada livelihoodadalah program desa mandiri pangan. Meningkatnya akses pangan keluarga, berkembangnya usaha produktif, dan terlayaninya masyarakat terhadap akses permodalan merupakan suatu strategi peningkatan kesejahteraan keluarga sebagai indikator keberhasilankemandirian program. Indikator keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa program tersebut berupaya meningkatkan akses pangan keluarga, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pangan keluarga. Karakteristik keluarga diataranya usia ayah dan ibu serta pekerjaan ayah sebagai aset tingkat kesejahteraan keluarga berpengaruh dalam menentukan kesejahteraan keluarga.

Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan keluarga terdiri dari akses sosial dan ekonomi. Akses pangan secara ekonomi diukur berdasarkan pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan, sedangkanakses sosial keluarga diantaranya jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu merupakan komponen dalam mengukur akses pangan keluarga.

(20)

Keterangan:

: Hubungan yang dianalisis : Variabel yang dianalisis

: Hubungan yang tidak dianalisis : Variabel yang tidak dianalisis

Gambar 2Konsumsi dan akses pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan

Akses Pangan Keluarga

Konsumsi Pangan Akses pangan secara

ekonomi

-Pengeluaran keluarga - Pengeluaran pangan

Akses pangan secara sosial

- Jumlah anggota keluarga - Pendidikan ayah dan ibu - Pegetahuan gizi ibu Karakteristik keluarga

(21)

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan studi cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive yakni Desa Ciparigi dan Desa Sukadana. Desa Ciparigi, Kecamatan Sukadana merupakan desa yang dijadikan sebagai desa penerima program mandiri pangan yang telah memasuki tahap kemandirian, sedangkan Desa Sukadana, Kecamatan Sukadana sebagai desa bukan penerima program mandiri pangan. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan September 2011.

Teknik Penarikan Contoh

Teknik pengambilan contoh dipilih secara purposive. Populasi merupakan keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Contoh keluarga penerima program desa mandiri pangan merupakan keluarga yang menerima program desa mandiri pangan minimal empat tahun. Contoh keluarga bukan penerima program desa mandiri pangan adalah keluarga yang tinggal di suatu daerah yang tergolong memiliki karakteristik tempat tinggal yang hampir sama dengan keluarga penerima, dimana daerah tersebut memiliki persentase penduduk miskin tertinggi berdasarkan data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010 serta memenuhi kriteria inklusi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencocokan contoh sesuai dengan kondisi keluarga pada keluarga bukan penerima sebelum adanya program desa mandiri pangan (Suryahadi 2007dalam Bappenas 2007a). Kriteria inklusi untukkeluarga bukan penerima adalah: 1) Keluarga dengan status perkawinan menikah, 2) Pendidikan ayah setingkat SD, 3) Status kepemilikan rumah adalah miliki sendiri, 4) Dinding terluas terbuat dari bambu, 5) Lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, 6) Penerangan rumah memakai listrik PLN, 7) Sumur sebagai sumber air minum, dan 8) Keluarga tergolong miskin berdasarkan data kemiskinan (data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010).

(22)

n

=

N

1 + N(e)2

=

70

1 + 70 (0,1)2

= 41

n = jumlah contoh N = jumlah populasi

e = nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan yaitu persen kelonggaran penelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi (margin error/standar 0,1)

Jumlah total contoh pada penelitian ini adalah 82 kepala keluarga, dengan 41 kepala keluarga pada kelompok penerima dan 41 kepala keluarga pada kelompok bukan penerima. Jumlah contoh tersebut ditambahkan masing-masing lima kepala keluarga untuk menghindari data yang hilang, sehingga total contoh seluruhnya adalah 92 kepala keluarga. Setelah data dikumpulkan dan

dientry jumlah contoh dari masing-masing kelompok menjadi 42 kepala keluarga, sehingga total contoh keseluruhan adalah 84 kepala keluarga.

Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data

(23)

Tabel 1Jenis dan cara pengumpulan data

Kategori Variabel Jenis Data Cara Pengumpulan

Data

Data Primer

Data Keluarga Miskin Bukan Penerima Program Karakteristik Keluarga Peneriam Program Wawancara

Karakteristik Keluarga - Umur Ayah dan Ibu

- Pekerjaan Ayah

Wawancara

Akses Pangan secara Ekonomi

- Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan

- Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan

Wawancara

Akses Pangan secara Sosial

- Jumlah Anggota Keluarga

- Pendidikan Ayah - Pendidikan Ibu - Pengetahuan Gizi

Ibu

Wawancara

Konsumsi Pangan - Jumlah Pangan

- Jenis Pangan

Wawancara termasuk

recall 24 jam

Data Sekunder

- Profil desa - Letak desa - Data keluarga

penerima program - Data keluarga bukan

penerima

- Arsip desa - Arsip desa

- Arsip laporan hasil analisis DDRT dan SRT BKP 2006 - Arsip di kecamatan

Pengolahan dan Analisis Data

(24)

keluarga dengan rata-rata angka kecukupan gizi keluarga yang dianjurkan, dinyatakan dengan persen.

RTKG =

RAKGi Aktual

RAKGi

x 100 %

RTKG = Rata-rata tingkat konsumsi gizi keluarga

RAKGi aktual = Rata-rata angka konsumsi zat i gizi i aktual keluarga RAKGi = Rata-rata angka kecukupan gizi i yang dianjurkan

Analisis terhadap akses pangan secara ekonomi didasarkan kepada pengeluaran total sebagai cerminan pendapatan yang sebenarnya dan pengeluaran pangan sebagai kemampuan dalam membeli pangan (Sajogyo dalam Hildawati 2008). Akses pangan secara sosial didasarkan pada jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu. Pengkategorian variabel penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, akses pangan secara sosial, akses pangan secara ekonomi, dan tingkat konsumsi energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2Pengkategorian variabel penelitian

No. Variabel Kategori Sumber

1. Usia ayah dan ibu (tahun)

Dewasa awal: 19-29 Dewasa sedang: 30-49 Dewasa lanjut: 50-64 Manula: >=65

WNPG (2000)

2. Besar Keluarga (orang)

Keluarga kecil: ≤ 4 Keluarga sedang: 5-6

Keluarga besar: ≥ 7 BKKBN (1998)

3. Pendidikan ayah dan ibu

Rendah: < SD (< 6 tahun) Sedang: tamat SD-SLTP (6-9

tahun)

Tinggi: > SLTP (> 9 tahun)

BPS (2007)

4. Pengetahun Gizi Ibu (%)

Rendah: < 60 Sedang: 60-80 Tinggi: > 80

Khomsan (2000)

5. Pengeluaran Total Rendah: <GK Sedang: GK-20%GK Tinggi: >20%GK

Romdiati dalam WNPG (2000)

6. Pengeluaran Pangan Rendah: <GK Sedang: GK-20%GK Tinggi: >20%GK

Romdiati dalam WNPG (2000)

7. Akses Pangan (%) Rendah: <0,36 Sedang: 0,36-0,68 Tinggi: >=0,68

Departemen Pertanian (2008)

8. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein (%)

Defisit tingkat berat : <70 Defisit tingkat sedang : 70-79 Defisit tingkat ringan : 80-89 Normal : 90-119

Lebih : >120

Depkes (1996)

(25)

secara ekonomi. Akses pangan secara sosial terdiri dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu komponen akses sosial, yang dikriteriakan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil. Akses sosial keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarganya dibagi menjadi tiga ketegori, yakni akses sosial tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarganya besar, akses sosial tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarganya tergolong sedang, sedangkan akses sosial tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarganya tergolong kecil. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2.

Pendidikan ayah dan ibu juga merupakan salah satu komponen akses sosial, yang dikriteriakan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Akses sosial keluarga berdasarkan pendidikan ayah dan ibu dibagi menjadi tiga ketegori, yakni akses sosial rendah apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong rendah, akses sosial tergolong sedang apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong sedang pula, sedangkan akses sosial tergolong tinggi apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong tinggi. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2.

(26)

pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2.

Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran keluarga digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Ciamis (BPS 2010). Akses pangan tergolong rendah apabila total pengeluaran keluarga kurang dari garis kemiskinan. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi akses pangan tinggi, begitu pun halnya dengan komponen akses pangan berdasarkan pengeluaran pangan per kapita per bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2.

Hasil skoring masing-masing komponen kemudian dirange antara 0-100. Akses pangan keseluruhan merupakan gabungan dari komponen-komponen dimensi akses pangan dalam range 0-100. Hasil gabungan range akses pangan tersebut ditransformasikan kedalam indeks. Adapun indeks akses pangan:

Indeks akses pangan = Total komponen-skor min Skor Maks-skor min

Akses pangan dikriteriakan berdasarkan indeks akses pangan, yakni akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya kurang dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008).

Definisi Operasional

(27)

Keluarga penerima program adalah keluarga yang telah mendapatkan program selama minimal empat tahun, tinggal di desa penerima program mandiri pangan, telah menikah, status rumah milik sendiri, pendidikan ayah setingkat SD, dinding terluas terbuat dari bambu, lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, penerangan rumah memakai listrik PLN, dan sumur sebagai sumber air minum.

Keluarga bukan penerima program adalah keluarga tergolong miskin yang tinggal di desa yang tidak mendapatkan program mandiri pangan, wilayahnya memiliki karakteristik yang sama dengan keluarga pada kelompok penerima, merupakan wilayah yang tergolong memiliki persentase penduduk miskin terbanyak, serta termasuk dalam kriteria inklusi, yaitu: 1) Keluarga dengan status perkawinan menikah, 2) Pendidikan ayah setingkat SD, 3) Status kepemilikan rumah adalah miliki sendiri, 4) Dinding terluas terbuat dari bambu, 5) Lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, 6) Penerangan rumah memakai listrik PLN, 7) Sumur sebagai sumber air minum, dan 8) Keluarga tergolong miskin berdasarkan data kemiskinan (data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010). Pekerjaan ayah adalah macam pekerjaan yang dilakukan atau ditugaskan kepada ayah contoh dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan.

Usia ayah dan ibu adalah angka yang menunjukkan lamanya hidup ayah dan ibu contoh yang dikelompokan menjadi tiga kelompok kedewasaan. Berdasarkan WNPG (2000) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila tergolong usia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur 50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia lebih sama dengan 65 tahun.

(28)

pengetahuan gizi ibu) yang kemudian dikategorikan berdasarkan indeks akses pangan. Indeks akses pangan dihitung dari pembagian antara skor hasil pengurangan total komponen dan nilai minimum dengan skor maksimum. Berdasarkan nilai indeks tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya kurang dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indeks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008). Akses pangan secara sosial adalah kemampuan keluarga contoh

dalammemperoleh pangan yang ditentukan oleh jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu.

Akses pangan secara ekonomi adalah kemampuan keluarga dalam membeli bahan pangan berdasarkan pendekatan pengeluaran per kapita per bulan yang dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah, sedang, dan tinggi apabila total pengeluaran keluarga tergolong rendah, sedang, dan tinggi.

Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga yang digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga kecil dengan jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat, sedang dengan jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang, dan banyak jika jumlah anggota keluarganya lebih dari atau sama dengan tujuh orang.

Pendidikan ayahdan ibu adalah jenjang formal yang telah ditempuh oleh ayah dan ibu contoh dalam mendapatkan pengetahuan berdasarkan kategori pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat hinggan tamatSLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat).

(29)

sebanyak terdiri dari 10 pertanyaan mengenai pengetahuan gizi secara umum, apabila jawaban benar akan mendapat skor 1 dan jika jawaban salah akan mendapat skor 0. Total skor pengetahuan gizi akan dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan Khomsan (2000) yaitu: kurang (persentase nilai <60%), sedang (persentase nilai 60-80%), dan tinggi (persentase nilai >80%). Pengeluaran total per kapita per bulan adalah banyaknya uang yang

dikeluarkan keluarga untuk keperluan pangan dan non pangan anggota keluarga selama satu bulan yang dikategorikan menjadi pengeluaran rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian tersebut berdasarkan garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis Rp 193652 (BPS 2010). Pengeluaran tergolong rendah apabila total pengeluaran keluarga per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin atau rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi akses pangan tinggi.

(30)

kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi pengeluaran tinggi. Konsumsi pangan contoh adalah Informasi pangan yang diukur berdasarkan

jumlah pangan baik tunggal maupun beragam yang dikonsumsi contoh dengan metode recall 1x24 jam. Kandungan energi dan protein yang dikonsumsi dilihat dari kandungan energi dan zat gizi pangan dalam DKBM. Rataan kandungan energi dan protein pangan dibandingkan dengan AKE dan AKP (per orang per hari) yang dianjurkan (WNPG 2004).

Tingkat konsumsi energi adalah persentase perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi keluarga (aktual) dengan angka rata-rata konsumsi energi keluarga yang dianjurkan. Rata-rata angka rata konsumsi energi keluarga yang dianjurkan dihitung dari rata-rata kebutuhan energi individu dalam setiap keluarga. Angka kebutuhan energi individu dihitung dengan membandingkan berat badan aktual dengan berat badan ideal berdasarkan jenis kelamin yang dikalikan dengan angka kebutuhan energi yang tercantum dalam AKE (WNPG 2004).

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Desa Ciparigi

Wilayah Desa Ciparigi menurut data umum dan geografis merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukadana, yang berbatasan dengan Kecamatan Cisaga dan Kecamatan Cijeungjing. Desa Ciparigi berbatasan pula dengan Desa Salakaria di sebelah utara, Desa Danasari di sebelah selatan, Desa Karanganyar di sebelah barat, dan Desa Bunter di sebelah timur. Luas Wilayah Desa Ciparigi adalah 843,361 Ha, dengan ketinggian wilayah Desa Ciparigi dari permukaan laut adalah 300 m. Memiliki curah hujan dengan hari terbanyak 99 hari dengan volume curah hujan per tahun 330 mm. Adapun jumlah dusun di Desa Ciaprigi adalah 6 dusun, yang terdiri dari 39 RT dan 12 RW dengan jumlah penduduk pada Mei 2011adalah1127 kepala keluarga. Sebaran penduduk Desa Ciaprigimenurut usia, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Ciparigi termasuk usia 15 tahun ke atas (BKP 2009a).

Desa Sukadana

Desa Sukadana merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukadana yang berbatasan dengan Desa Margajaya di sebelah utara, Desa Margaharja di sebelah timur, Desa Salakaria di sebelah selatan, dan Desa Cipaku di sebelah barat. Luas wilayah Desa Sukadana adalah 767.049 Ha, yang terdiri dari 8 dusun dengan 40 RT dan 19 RW dengan jumlah penduduk 1426 kepala keluarga pada Mei 2011. Ketinggian wilayah Desa Sukadana dari permukaan laut kurang lebih 500 m. Rata-rata curah hujan antra 2685 ml/thn. Sebaran penduduk berdasarkan usia menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berusia 71 tahun ke atas (KPH Ciamis 2011).

Karakteristik Penduduk Desa Ciparigi dan Sukadana Pendidikan

(32)
[image:32.595.113.502.142.357.2]

SLTP; dan sebagian kecil diantaranya merupakan lulusan D1-D3 (5,0%); dan 2,0% merupakan lulusan S1-S2 (KPH Ciamis 2011).

Gambar 3Bagan sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasakan tingkat pendidikan dalam persentase

Rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi apabila dibandingkan dengan rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana, diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi. Terdapat sebagian kecil penduduk Desa Sukadana yang memiliki tingkat pendidikan lulus S2, sedangkan di Desa Ciparigi tidak terdapat penduduk yang memiliki tingkat pendidikan S2. Penduduk yang tidak tamat SD lebih banyak terdapat di Desa Sukadana, dibandingkan di Desa Ciparigi.

Pekerjaan

Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Ciparigi (51,1%) bekerja sebagai buruh tani. Terdapat pula (24,1%) penduduk yang bekerja sebagai petani; (11,3%) penduduk bekerja sebagai buruh non tani; pedagang (9,4%); dan diantaranya yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS; dan sebagian kecil (0,8%) penduduk bekerja dibidang jasa. Tidak terdapat penduduk yang tidak memeiliki pekerjaan di Desa Ciparigi (BKP 2009a). Sebagian besar penduduk di Desa Sukadana (58,0%) bekerja sebagai buruh tani, dan terdapat pula (17,8%) yang bekerja dibidang jasa seperti tukang ojeg dan penjahit (KPH Ciamis 2011). Penduduk yang bekerja sebagai

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0

Tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SLTP

Tamat SLTA

D1 D2 D3 S1 S2

1,1

44,0

31,6

17,8

0,6 1,4 1,1 2,5 0,0

22,1

11,0 8,0

53,0

1,0 2,0 2,0 0,5 0,5

(33)
[image:33.595.109.509.122.461.2]

petani di Desa Sukadana hanya (8,5%), dan terdapat (6,6%) pedagang; dan sebagian kecil pekerjaan penduduk yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS/ABRI. Terdapat pula penduduk yang tidak bekerja yakni sebesar (6,0%).

Gambar 4Sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasarkan pekerjaan dalam persentase

Perbandingan pekerjaan penduduk antara Desa Ciparigi dan Desa Sukadana menunjukkan bahwa, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, jasa, dan penduduk yang tidak bekerja lebih banyak terdapat di Desa Sukadana dibandingkan dengan penduduk Desa Ciparigi. Penduduk yang bekerja sebagai petani, pedagang, buruh non tani, dan PNS/ABRI pada kedua desa, lebih banyak terdapat di Desa Ciparigi dibandingkan dengan Desa Sukadana.

Karakteristik Keluarga Usia Ayah dan Ibu

Berdasarkan WNPG (2004) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila seseorang tergolong berusia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada pada kisaran umur 50-64 tahun, sedangkan usia seseorang tergolongmanula apabila berusia lebih dan atau sama dengan 65 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (42,9%) usia ayah pada keseluruhan contoh tergolong dewasa lanjut, dan terdapat (34,5%) contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0

24,2

51,1

9,5 11,3

0,8 3,1 0,0

8,5

58,0

6,6

0,0

17,8

3,1 6,1

(34)

Sebagian kecil (22,5%) contoh dengan usia ayah tergolong manula, dan tidak terdapat contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa awal. Adapun kisaran umur ayah pada keseluruhan contoh antara 31-80 tahun dengan rata-rata usia 30,4±11,7 tahun.

Tabel 3Sebaran contoh berdasarkan usia ayah

Usia Ayah Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n %

Dewasa awal (19-29 th) 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Dewasa sedang (30-49 th) 18 42,9 11 26,2 29 34,5

Dewasa Lanjut (50-64 th) 18 42,9 18 42,9 36 42,9

Manula (>=65) 6 14,3 13 31,0 19 22,6

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

Rata-rata 50,4±11,0 57,4±11,5 30,4±11,7

Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) masing-masing tergolong usia dewasa sedang dan lanjut dan sebagian kecil (14,3%) tergolong manula. Rata-rata usia ayah pada kelompok penerima adalah 50,4±11,0 tahun. Usia ayah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (42,9%) tergolong dewasa lanjut, terdapat (31,0%)keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula. Sebagian kecil (26,2%) keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima adalah 57,4±11,5 tahun.

Persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima, sedangkan persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Persentase usia ayah yang tergolong dewasa lanjut antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah sama. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok penerima program. Hasil uji

independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program.

Tabel 4Sebaran contoh berdasarkan usia ibu

Usia Ibu Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n %

Dewasa awal (19-29 th) 5 11,9 2 4,8 7 8,3

Dewasa sedang (30-49 th) 22 52,4 18 42,9 40 47,6

Dewasa Lanjut (50-64 th) 14 33,3 18 42,9 32 38,1

Manula (>=65) 1 2,4 4 9,5 5 6,0

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

(35)

Tabel 4 menunjukkan bahwa, sebagian besar (47,6%) usia ibu pada keseluruhan contoh tergolong dewasa sedang, dan terdapat (38,1%) contohdengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (8,3%) contoh dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan hanya sebagian kecil (5,6%) contoh dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu adalah 46,3±10,9 tahun dengan kisaran umur antara 30-70 tahun.

Usia ibu pada kelompok penerima program sebagian besar (52,4%) tergolong dewasa sedang, terdapat (33,3%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (11,9%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan sebagian kecil (2,4%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program adalah 43,5±10,0 tahun. Usia ibu pada kelompok bukan penerima program masing-masing (42,9%) tergolong usia dewasa sedang dan lanjut, terdapat (9,5%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula dan sebagian kecil (4,8%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok bukan penerima program adalah 49,1±11,2tahun.

Persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal dan sedang lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Hal tersebut berbeda pada persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut dan manula yang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program.

Pekerjaan Ayah

(36)

lebih didominasi oleh tenaga kerja berumur 25-45 tahun, sedangkan tenaga kerja muda lebih banyak bekerja diluar sektor pertanian. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini:

Tabel 5Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah

Jenis Pekerjaan Penerima Bukan Penerima Total

n % n % n %

Tidak bekerja 0 0,0 1 2,4 1 1,2

Petani 16 38,1 8 19,1 24 28,6

Pedagang 6 14,3 6 14,3 12 14,3

Buruh tani 14 33,3 18 42,9 32 38,1

Buruh non tani 1 2,4 2 4,8 3 3,6

PNS/ABRI/Polisi 1 2,4 0 0,0 1 1,2

Jasa 2 4,8 4 9,5 6 7,1

Lainnya 2 4,8 3 7,1 5 6,0

Total 42 100,0 42 100,0 84 100

Berdasarkan Tebel 5 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (38,1%) ayah pada kelompok penerima bekerja sebagai petani, dan terdapat (33,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai buruh tani. Terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan masing-masing (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang jasa dan lainnya. Pekerjaan dibidang jasa seperti tukang ojeg, supir, penjahit, dan pembuat sumur sedangkan jenis pekerjaan lain diantaranya pemulung, ketua rukun warga, ketua rukun tetangga, dan juru tulis desa. Sebagian kecil (2,4%) masing-masing keluarga bekerja sebagai buruh non tani dan PNS. Tidak terdapat ayah dengan status pekerjaan tidak bekerja pada kelompok penerima program desa mandiri pangan.

Sebagian besar (42,9%) pekerjaan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah buruh tani. Terdapat sebanyak (19,1%) keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani, terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan sebanyak (9,5%) bekerja dibidang jasa, serta (7,1%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang lainnya. Terdapat (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah yang sebagai buruh non tani, dan terdapat pula sebagian kecil (2,4%) keluarga degan status pekerjaan ayah yang tidak bekerja.

(37)

kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara pekerjaan ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Akses Pangan

Akses pangan keluarga diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga untuk memperoleh pangan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun dalam mewujudkan hal tersebut akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil uji reliabelitas terhadap akses fisik menjadi sama karena karakteristik kewilayahaan di kedua desa hampir sama, sehingga akses fisik tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Keragaan akses pangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Semakin tinggi akses pangan suatu keluarga maka keluarga tersebut akan semakin mudah dalam nemperoleh pangan.

(38)

Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.Berdasarkan jumlah anggota keluarga, suatu keluarga digolongkan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil (BKKBN 1998). Keluarga tergolong besar apabila jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan tujuh orang, apabila suatu keluarga berjumlah lima sampai enam orang, keluarga digolongkan menjadi keluarga sedang. Keluarga digolongkan sebagai keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Menurut Hildawati (2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982) bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan jumlah anggota keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarga tergolong besar, akses pangan tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarga tergolong sedang, dan akses pangan tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarga kecil (Hildawati 2008).

Tabel 6Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Penerima Program

Bukan

Penerima Total

n % n % n %

Keluarga Kecil: ≤ 4 40 95,2 39 92,9 79 94,1

Keluarga Sedang: 5-6 2 4,8 3 7,1 5 6,0

Keluarga Besar: ≥ 7 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

Rata-Rata 3,1±1,0 2,8±1,0 3,0±1,0

(39)

Berdasarkan Tabel 6dapat diketahui bahwa sebagian besar (95,4%) keluarga pada kelompok penerima program tergolong keluarga kecil, dan terdapat hanya sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok penerima adalah 3,1±1,0 orang. Begitupun halnya pada kelompok bukan penerima program, yang sebagian besar (92,9%) keluarga tergolong keluarga kecil dan terdapat hanya (7,1%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program adalah 2,8±1,0 orang. Persentase keluarga yang tergolong kecil pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima, namun persentase keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa, sebagian besar keluarga (94,1%) dari keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, dan (6,0%) tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar (95,0%) tergolong akses pangan tinggi, dan terdapat hanya (4,8%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok bukan penerima sebagian besar (92,9%) tergolong akses pangan tinggi dan sebagian kecil (7,1%) tergolong akses pangan sedang.

Tabel 7Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen jumlah anggota keluarga

Akses Pangan Penerima

Bukan

Penerima Total

n % n % n %

Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Sedang 2 4,8 3 7,1 5 6,0

Tinggi 40 95,2 39 92,9 79 94,1

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

(40)

Pendidikan Ayah dan Ibu

Menurut BPS (2007) pendidikan dikelompokan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan ayah pada seluruh contoh sebagian besar (87,0%) adalah pendidikan sedang, sebanyak (9,2%) pendidikan ayah tergolong tinggi dan hanya (3,6%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah padakeseluruh contoh adalah 6,8±2,2 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun.

Tabel 8Sebaran contoh berdasarkan pendididkan ayah

Pendidkan Ayah Penerima

Bukan

Penerima Total

n % n % n %

Rendah: < SD (< 6 tahun) 1 2,4 2 4,8 3 3,6

Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) 35 83,3 38 90,5 73 86,9

Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) 6 14,3 2 4,8 8 9,5

Total 42 100,0 42 100,0 84 100

Rata-rata 7,4±2,3 6,3±1,97 6,8±2,2

Pendidikan ayah pada kelompok penerima didominasi oleh pendidikan sedang (83,3%) serta terdapat pula keluarga denganpendidikan ayah yang tergolong tinggi (14,3%) dan hanya terdapat (2,4%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah kelompok penerima program adalah 7,4±2,3 tahun. Sebagian besar pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima adalah pendidikan sedang (90,5%), dan hanya terdapat (4,8%)ayah dengan pendidikan rendah dan tinggi. Rata-rata lamanya pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ayah yang tergolong rendah dan sedang, lebih tinggi persentasenya pada kelompok bukan penerima program dibandingkan dengan kelompok penerima program. Persentase ayah yang berpendidikan tinggi, lebih tinggi terdapat pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program.

(41)

Tabel9 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (87,0%) keluarga pada keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (9,5%) keluarga dengan akses pangan tinggi dan sebagian kecil (3,6%) keluarga dengan akses pangan rendah.

Tabel 9Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pendidikan ayah

Akses Pangan Peneriama Bukan Penerima Total

n % n % n %

Rendah 1 2,4 2 4,8 3 3,6

Sedang 35 83,3 38 90,5 73 86,9

Tinggi 6 14,3 2 4,8 8 9,5

Total 42 100,0 42 100,0 84 100,0

Keluarga pada kelompok penerima sebagian besar tergolong memiliki akses pangan sedang (83,3%) dan (14,3%) keluarga yang tergolong akses tinggi, akses pangan tersebut digolongkan berdasarkan komponen pendidikan ayah. Akses pangan keluarga berdasarkan pendidikan ayah, pada kelompok bukan penerima sebagian besar tergolong sedang (90,5%) dan hanya (4,8%) keluarga masing-masing tergolong akses pangan tinggi dan rendah. Persentase keluarga yang memiliki akses pangan tinggi lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan komponen pendidikan keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.

Menurut Kasryno (2000) dalam Departemen Pertanian (2010) tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah, hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Departemen Pertanian (2010) menambahkan bahwa tamatan SD merupakan ciri dominan tenaga kerja di bidang pertanian dan di wilayah pedesaan.

(42)

SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan sebagian besar Ibu d

Gambar

Gambar 1Kerangka kerja livelihood
Gambar 2Konsumsi dan akses pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima
Tabel 1Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 2Pengkategorian variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mangkurawang, Kelurahan Loa Ipuh, Kelurahan Timbau dan Desa Teluk Dalam. Uji bioassay dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Sistematika Hewan, Fakultas Matematika dan

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.Tingkat ketelitian posisi vertikal titik-titik pada jaring GPS sangat tergantung pada tingkat koneksitas

Digunakan sebagai alat pembatas atau untuk menutupi permukaan kendaraan agar tidak terkena cat pada saat proses

Contextual Teaching Learning (Pendekatan Kontekstual) ... Pendekatan Konvensional ... Koneksi dalam Matematika Menurut NCTM ... Instrumen Penelitian ... Proses Pengembangan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) dengan

Berangkat dari permasalahan yang ada pada teks iklan McDonald’s versi ”kelaparan tengah malam”, peneliti menangkap adanya permasalahan di dalam pelayanan kepada konsumen dalam

prediksi simulasi numerik dengan hasil uji empiris, maka diperoleh fakta yang sebenarnya, sehingga mekanisme yang diusulkan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada keruntuhan

Sesuai dengan jadwal Pemilihan Langsung Pekerjaan Jembatan Gantung Desa Kananta Kecamatan Soromandi Tahun Anggaran 2016 pada Satuan Kerja BPBD Kabupaten Bima, bersama ini