commit to user
i
ORGANISASI, DAN BUDAYA ORGANISASI.
(STUDI PADA KARYAWAN BANK BNI 46 CABANG SURAKARTA)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
ANDIKA BAMBANG TETUKA
F0206026
JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
iii
commit to user
iv
Motto
Dalam hidup kadang kita menemui persimpangan, yang harus kita lakukan adalah memilih salah satu jalan dan jangan memandang ke belakang lagi
Kita tidak perlu berlarut-larut dalam memandang kegagalan masa lalu, yang terpenting adalah bagaimana kita memperbaiki kesalahan dan bagaimana kita
mengejar mimpi kita
Dalam kehidupan yang terpenting adalah seberapa besar kita mencintai Allah bukan seberapa besar kita mencintai sesama manusia, karena Allah yang mampu
commit to user
v Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan kemudahan-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi yang berjudul “POLA HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN
KARYAWAN, SOSIALISASI ORGANISASI, DAN BUDAYA
ORGANISASI. (STUDI PADA KARYAWAN BANK BNI 46 CABANG
SURAKARTA)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itulah penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Sinto Sunaryo, SE, Msi selaku pembimbing skripsi atas saran dan
kesabarannya yang telah bersedia membimbing penulis. Hanya balasan dari
Allah-lah yang terbaik.
2. Drs. Bambang Sutopo, M.Com, Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dra. Endang Suhari, SE, Msi dan Reza Rahardian, SE, Msi selaku Ketua
Jurusan dan Sekretaris Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
vi Sebelas Maret Surakarta.
6. Ibu dan Bapak-ku. Terkadang orang tua lupa bagaimana saat mereka
menjadi anak dan terkadang anak tidak tahu apa yang diharapkan orang tua
mereka. Hanya balasan dari Allah-lah yang terbaik..
7. Sayangku Hana yang selalu mendukungku dalam susah maupun senang.
8. Teman seperjalanan : Nanda, Dyah, Tyas, Panji, Wawan, Dimas, Fajar,
Anis, Nur dan teman teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima
kasih kalian semua.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan demi keutuhan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Surakarta, 13 Januari 2011
commit to user
A. Latar Belakang Masalah ...
commit to user
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ...
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...
D. Sumber Data ...
E. Metode Pengumpulan Data...
F. Metode Analisis Data ...
1. Analisis Deskriptif ...
2. Uji Validitas ...
3. Uji Reliabilitas ...
4. Uji Hipotesis ...
BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Perusahaan ...
commit to user
ix
2. Tanggapan Responden ...
C. Uji Validitas ...
D. Uji Reliabilitas ...
E. Uji Hipotesis ...
1. Analisis Regresi Berganda Stepwise...
F. Pembahasan Hasil Penelitian ...
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………
B. Keterbatasan Penelitian...
C. Saran ………..
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
70
97
101
103
103
110
116
122
commit to user
x TABEL
1. IV.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...
2. IV.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur...
3. IV.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja ….
4. IV.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan...
5. IV.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat
Pendapatan...
6. IV.6 Distribusi Frekuensi Kebutuhan akan Berprestasi………....
7. IV.7Distribusi Frekuensi Kebutuhan akan Berafiliasi …………
8. IV.8 Distribusi Frekuensi Kebutuhan akan Otonomi ………
9. IV.9 Distribusi Frekuensi Kebutuhan akan Kekuasaan…………
10.IV.10 Distribusi Frekuensi Persepsi Terhadap Pelatihan………..
11.IV.11 Distribusi Frekuensi Persepsi Terhadap Pemahaman...
12.IV.12 Distribusi Frekuensi Persepsi Terhadap Dukungan Rekan
Kerja ………...
13.IV.13 Distribusi Frekuensi Persepsi Terhadap Prospek Masa Depan
………...
14.IV.14 Analisis Faktor Budaya Birokrasi ………..
15.IV.15 Analisis Faktor Budaya Inovatif ……….
16.IV.16 Analisis Faktor Budaya Suportif………...
17.IV.17 Uji Validitas ………...
commit to user
xi
19.IV.19 Uji Reliabilitas ……….
20.IV.20 Regresi Stepwise Pengaruh Kebutuhan Karyawan pada
Pelatihan ………...
21.IV.21 Regresi Stepwise Pengaruh Kebutuhan Karyawan pada
Pemahaman ………...
22.IV.22 Regresi Stepwise Pengaruh Kebutuhan Karyawan pada
Dukungan Rekan Kerja ………...
23.IV.23 Regresi Stepwise Pengaruh Kebutuhan Karyawan pada
Prospek Masa Depan …...
24.IV.24 Regresi Stepwise Dimensi Sosialisasi Organisasi pada
Budaya Birokrasi ………...
25.IV.25 Regresi Stepwise Dimensi Sosialisasi Organisasi pada
Budaya Inovatif ………...
26.IV.26 Regresi Stepwise Dimensi Sosialisasi Organisasi pada
Budaya Suportif ………...
102
103
104
105
106
107
108
commit to user
xii
GAMBAR
Halaman
1. II.1 Kerangka Pemikiran ……….. 27
commit to user ABSTRAK
ANDIKA BAMBANG TETUKA NIM : F0206026
POLA HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN KARYAWAN, SOSIALISASI ORGANISASI, DAN BUDAYA ORGANISASI.
(Studi pada Bank karyawan BNI 46 cabang Surakarta)
Penelitian ini membahas mengenai pola hubungan antara kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi. Berdasarkan pada beberapa penelitian-penelitian terdahulu maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut : (1) Apakah kebutuhan untuk berprestasi karyawan akan secara positif berhubungan dengan sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka?, (2) Apakah kebutuhan untuk berafiliasi karyawan akan secara positif berhubungan dengan sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka?, (3) Apakah kebutuhan akan otonomi karyawan akan secara positif berhubungan dengan sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka?, (4) Apakah kebutuhan akan kekuasaan karyawan akan secara positif berhubungan dengan sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka?, (5) Apakah persepsi karyawan tentang pelatihan dalam organisasi mereka akan berhubungan positif dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif?, (6) Apakah persepsi karyawan tentang pemahaman mereka mengenai organisasi akan berhubungan positif dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif?, (7) Apakah persepsi karyawan tentang dukungan rekan kerja akan berhubungan positif dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif?, (8) Apakah persepsi karyawan tentang prospek masa depan di organisasi mereka akan berhubungan positif dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif?.
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan Bank BNI 46 cabang Surakarta. seluruh karyawan karyawan Bank BNI 46 cabang Surakarta yang berjumlah 120 karyawan dijadikan sebagai sampel penelitian ini. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui kuesioner dan wawancara.
commit to user
Dari persamaan regresi stepwise dapat dilihat pada tabel IV.20, IV.21dimana β signifikan pada p<0,001, dan pada tabel IV.23 dimana β signifikan pada p<0,05. Maka dapat disimpulkan H1 didukung;dilihat pada nilai
β pada tabel IV.20, IV.21, IV.22, IV.23 tidak ada yang signifikan pada p<0,05.
Maka dapat disimpulkan H2 tidak didukung; dilihat pada nilai β pada tabel IV.21, IV.22, IV.23 signifikan pada p<0,001 tapi bernilai negatif. Maka dapat disimpulkan H3 tidak didukung; dilihat pada nilai β pada tabel IV.20, IV.21, IV.22, IV.23 tidak ada yang signifikan pada p<0,05. Maka dapat disimpulkan H4 tidak didukung; dilihat pada nilai β pada tabel IV.24, IV.25, IV.26 signifikan pada p<0,001. Maka dapat disimpulkan H5 didukung; dilihat pada nilai β pada tabel IV.24, IV.25, IV.26 tidak ada yang signifikan pada p<0,05. Maka dapat disimpulkan H6 tidak didukung; dilihat pada nilai β pada tabel IV.24, IV.25, IV.26 signifikan pada p<0,001. Maka dapat disimpulkan H7 didukung; dilihat pada nilai β padatabel IV.26 signifikan pada p<0,01. Maka dapat disimpulkan H8 didukung.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka diajukan saran-saran sebagai berikut : Disarankan untuk penelitian yang akan datang sebaiknya melakukan
pre-test untuk memperkecil kemungkinan indikator-indikator yang tidak valid,
Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pada bidang perbankan dengan populasi beberapa perusahaan, supaya dapat membandingkan hasil yang diperoleh.
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dalam persaingan dunia bisnis modern sekarang ini banyak terjadi turn
over karyawan potensial karena ketidakcocokan antara karyawan dengan
organisasi tempat mereka bekerja. Ketidakcocokan tersebut dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti lingkungan kerja yang tidak nyaman, perbedaan
tujuan yang ingin diraih, adanya masalah pribadi, dan sebagainya.
Menghadapi masalah tersebut, organisasi dituntut untuk dapat menyelaraskan
kebutuhan dan keinginan karyawan dengan organisasi sehingga mereka
menjadi nyaman dalam organisasi. Salah satu caranya adalah dengan
memperhatikan kebutuhan karyawan.
McClelland (dalam Ivancevich et al., (2006) menyatakan bahwa ketika
muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan tesebut
memotivasi dirinya untuk menggunakan perilaku yang dapat mendatangkan
kepuasannya. Berdasarkan hasil penelitian, McClelland (dalam Ivancevich et
al., (2006) mengembangkan serangkaian faktor diskriptif yang
menggambarkan seseorang dengan kebutuhan yang tinggi akan pencapaian.
Hal tersebut adalah: (a) Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan
masalah, (b) Cenderung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan
cenderung mengambil risiko yang telah diperhitungkan, (c) Menginginkan
commit to user
2 Menurut Lee (1997 : 93) pada dasarnya pengertian dari kebutuhan
terdiri dari tiga elemen, yaitu: (1) Hanya terjadi bila terjadi ketidakseimbangan
antar kebutuhan, (2) Mendorong untuk bertindak, (3) Merespon atau bertindak
dengan cara tertentu dalam kondisi tertentu.
Oleh karena itu, selama tidak terdapat halangan pada kepuasannya,
sebuah kebutuhan biasanya tidak akan menjadi elemen dominan pada sebuah
kepribadian, hanya kebutuhan yang tak terpuaskan yang akan memotivasi
seseorang untuk melakukan sesuatu dalam usaha untuk memperoleh
keseimbangan dan untuk mengurangi ketidaknyamanan.
Untuk membuat karyawan nyaman maka sebuah organisasi harus
memperhatikan kebutuhan karyawan. Menurut Steers dan Braunstein (1976)
kebutuhan karyawan dapat digolongkan menjadi kebutuhan akan berprestasi
mengacu pada keinginan untuk mencapai sesuatu dan untuk mencapai standar
keunggulan, kebutuhan akan berafiliasi adalah keinginan untuk memiliki
hubungan pribadi yang hangat dan ramah, kebutuhan akan otonomi adalah
keinginan untuk melakukan sesuatu dengan cara sendiri dan memiliki
kebebasan pribadi, dan kebutuhan akan kekuasaan adalah keinginan untuk
memegang kekuasaan, dan mempengaruhi dan mengontrol orang lain.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat mendorong karyawan merasa seimbang
dan nyaman dalam organisasi. Untuk menyeimbangkan kebutuhan karyawan
dengan organisasi diperlukan sebuah upaya organisasi yang disebut sosialisasi
organisasi. Dengan sosialisasi organisasi yang baik, perusahaan dapat
commit to user
3 Louis (1980 : 229) mendefinisikan sosialisasi organisasi sebagai
sebuah proses dimana seorang individu datang untuk menghargai nilai-nilai,
kemampuan, perilaku yang diharapkan, dan pengetahuan sosial yang penting
untuk mengasumsikan peran organisasi dan untuk berpartisipasi sebagai
anggota organisasi. Taormina (1997 : 32) menggolongkan dimensi sosialisasi
organisasi menjadi: (1) Pelatihan yang merupakan "tindakan, proses, atau
metode yang dilakukan untuk memperoleh semua jenis keterampilan
fungsional atau kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan
tertentu". (2) Pemahaman mengacu pada "sejauh mana seorang karyawan
sepenuhnya memahami dan dapat menerapkan pengetahuan tentang
pekerjaannya, organisasi, orang, dan budayanya. (3) Dukungan rekan kerja
mengacu pada "kelangsungan emosional, moral, atau instrumental yang
diberikan tanpa kompensasi yang berhubungan dengan uang oleh karyawan
lain dalam organisasi di mana mereka bekerja”. (4) Prospek masa depan
berkaitan dengan "sejauh mana seorang karyawan dapat merencanakan dan
memiliki sebuah karir yang baik dalam organisasi dirinya bekerja".
Dalam penerapan sosialisasi organisasi, karyawan yang memiliki
kebutuhan berprestasi akan memperhatikan dimensi sosialisasi organisasi yang
berupa pelatihan untuk meningkatkan kinerja mereka, sehingga karyawan akan
lebih mudah memperoleh prestasi yang diinginkannya. Karyawan yang
memiliki kebutuhan berafiliasi akan lebih cendrung mengarah ke dimensi
sosialisasi organisasi yang berupa dukungan rekan kerja karena dengan kondisi
commit to user
4 organisasi. Karyawan dengan kebutuhan otonomi akan lebih mengarah ke
dimensi sosialisasi organisasi yang berupa pemahaman, karena pemahaman
akan memberikan karyawan pengetahuan yang cukup sehingga saat karyawan
dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi mereka akan dapat menguasai
pekerjaan mereka dengan baik. Karyawan dengan kebutuhan akan kekuasaan
akan lebih memperhatikan dimensi sosialisasi organisasi yang berupa prospek
masa depan, karena dengan gaji yang besar atau penghargaan yang diperoleh
akan semakin menguatkan kekuasaan mereka dalam organisasi. Dengan
meningkatkan upaya organisasi dalam melakukan sosialisasi organisasi, maka
karyawan akan semakin merasa menjadi bagian dari budaya organisasi
(Taormina, 2009 : 653). Karyawan yang merasa terpenuhi kebutuhannya akan
loyal terhadap organisasi untuk mendukung organisasi dalam mencapai
tujuannya.
Feldman (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 :96) telah mengusulkan
model tiga tahap sosialisasi organisasi, yang meliputi:
Tahap I: Sosialisasi antisipasi yaitu proses belajar yang dilakukan sebelum
bergabung dengan organisasi, karyawan akan mengumpulkan semua
informasi untuk mengantisipasi semua hal yang berhubungan dengan
organisasi.
Tahap II: Pertemuan, yaitu nilai, keterampilan, dan tingkah laku mulai
berubah saat karyawan baru menemukan seperti apa sesungguhnya
commit to user
5 Tahap III: Perubahan dan pemahaman yang bertambah, yaitu karyawan
menguasai keterampilan, peran, dan menyesuaikan diri dengan nilai
dan norma kelompok kerja. Penugasan tugas yang penting dan
pemecahan konflik menandai mulainya tahap akhir dari proses
sosialisasi ini.
Lebih lanjut Taormina (2009 : 657) menjelaskan bahwa "Sosialisasi
organisasi dapat dianggap sebagai transmisi budaya." Dalam konteks tersebut,
sosialisasi organisasi merupakan proses dimana seseorang belajar tentang
budaya organisasi dimana mereka bekerja. McMillan dan Capehart (2005 :
492) menyatakan bahwa "Sosialisasi organisasi dapat membantu
meningkatkan keselarasan antara individu dan budaya organisasi."
Oleh karena itu, sosialisasi selalu dilihat sebagai alat untuk
menyelaraskan karyawan dengan budaya organisasi sehingga karyawan dapat
merasa menjadi bagian dari organisasi. Dengan demikian, tujuan dari setiap
proses sosialisasi organisasi adalah untuk memastikan bahwa individu menjadi
bagian dari konteks budaya yang lebih besar, apakah konteks tersebut adalah
grup, organisasi, atau masyarakat (Taormina, 2009 : 654). Dengan begitu
perusahaan harus dapat memfasilitasi sosialisasi yang baik untuk
karyawannya, sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri dan selaras dengan
budaya organisasi dimana mereka bekerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 :79) budaya merupakan suatu
wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan
commit to user
6 terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Menurut Rivai (2005:430)
fungsi budaya perusahaan adalah: (1) Budaya mempunyai suatu peran
menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas
antara suatu perusahaan dengan perusahaan yang lain. (2) Budaya
memberikan identitas bagi anggota perusahaan. (3) Budaya mempermudah
timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu. (4)
Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial. (5) Budaya sebagai
mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk
sikap dan perilaku karyawan.
Wallach (1983 : 32) membagi dimensi budaya organisasi menjadi tiga,
yaitu: (1) Budaya birokrasi, memiliki struktur hirarki dengan garis tanggung
jawab yang jelas, dan diatur untuk beroperasi dalam cara yang teratur dan
terkendali. (2) Budaya inovatif, cenderung giat, berorientasi pada hasil, dan
ditandai oleh kreativitas dan berani mengambil risiko, yang membuat mereka
tertantang, tempat yang bertekanan dimana mereka bekerja. (3) Budaya
suportif, yang dicirikan oleh interaksi sosial yang harmonis dan adil dimana
terdapat kepercayaan, kolaborasi, dan kebebasan pribadi.
Taormina (2009 : 669) melakukan penelitian mengenai hubungan
kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi. Hasil dari
penelitian tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan karyawan berhubungan
signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi. Penelitian ini juga
menemukan bahwa dimensi sosialisasi organisasi juga memiliki hubungan
commit to user
7 Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan
oleh Taormina (2009 : 650) dimana untuk lebih menyempurnakan analisis
digunakan beberapa literatur dari berbagai buku dan jurnal sebagai referensi.
Upaya organisasi dalam menyelaraskan hubungan antara karyawan
dengan budaya organisasi melalui sosialisasi organisasi merupakan hal yang
sangat penting. Tentunya tanpa mengesampingkan kebutuhan karyawan itu
sendiri. Dengan pemenuhan kebutuhan karyawan oleh organisasi maka
karyawan akan merasa diperhatikan oleh organisasi, sehingga karyawan akan
merasa menjadi bagian dari organisasi tersebut. Demikian pula halnya dengan
Bank BNI 46 cabang Surakarta. Dengan semakin beragamnya kebutuhan
karyawan, diharapkan melalui sosialisasi organisasi Bank BNI 46 cabang
Surakarta dapat memfasilitasi kebutuhan karyawannya. Pada akhirnya
sosialisasi organisasi tersebut akan dapat menyelaraskan hubungan antara
karyawan dengan budaya organisasi tempat mereka bekerja. Terlebih lagi
dalam era globalisasi saat ini dimana sektor perbankan di Indonesia menjadi
sangat diminati karena perkembangannya yang pesat, sehingga tidak menutup
kemungkinan Bank BNI menentukan dan mengembangkan budaya organisasi
yang terbaik untuk organisasi apakah itu birokrasi, suportif, ataupun inovatif
untuk mempertahankan eksistensinya di dalam persaingan bisnis. Untuk itu
diperlukan upaya organisasi dalam bentuk sosialisasi organisasi, sehingga
dapat tercapai keselarasan antara karyawan dengan budaya organisasi.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menarik untuk dikaji
commit to user
8
POLA HUBUNGAN ANTARA KEBUTUHAN KARYAWAN,
SOSIALISASI ORGANISASI, DAN BUDAYA ORGANISASI.
(Studi pada karyawan Bank BNI 46 cabang Surakarta)
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apakah kebutuhan untuk berprestasi karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di
organisasi mereka?
2.Apakah kebutuhan untuk berafiliasi karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di
organisasi mereka?
3.Apakah kebutuhan akan otonomi karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di
organisasi mereka?
4.Apakah kebutuhan akan kekuasaan karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan di
organisasi mereka?
5.Apakah persepsi karyawan tentang pelatihan dalam organisasi mereka
akan berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam dimensi
commit to user
9 6.Apakah persepsi karyawan tentang pemahaman mereka mengenai
organisasi akan berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam
dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif?
7.Apakah persepsi karyawan tentang dukungan rekan kerja akan
berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam dimensi birokrasi,
inovasi, dan supportif?
8.Apakah persepsi karyawan tentang prospek masa depan di organisasi
mereka akan berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam dimensi
birokrasi, inovasi, dan supportif?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.Untuk mengetahui pengaruh kebutuhan berprestasi karyawan dengan
sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan
rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka.
2.Untuk mengetahui pengaruh kebutuhan berafiliasi karyawan dengan
sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan
rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka.
3.Untuk mengetahui pengaruh kebutuhan akan otonomi karyawan dengan
sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan
rekan kerja, dan prospek masa depan di organisasi mereka.
4.Untuk mengetahui pengaruh kebutuhan akan kekuasaan karyawan dengan
sosialisasi organisasi dalam dimensi pelatihan, pemahaman, dukungan
commit to user
10 5.Untuk mengetahui pengaruh persepsi karyawan tentang pelatihan dalam
organisasi mereka dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi,
inovasi, dan supportif.
6.Untuk mengetahui pengaruh persepsi karyawan tentang pemahaman
mereka mengenai organisasi dengan budaya organisasi dalam dimensi
birokrasi, inovasi, dan supportif.
7.Untuk mengetahui pengaruh persepsi karyawan tentang dukungan rekan
kerja dengan budaya organisasi dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan
supportif.
8.Untuk mengetahui pengaruh persepsi karyawan tentang prospek masa
depan di organisasi mereka dengan budaya organisasi dalam dimensi
birokrasi, inovasi, dan supportif.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini bagi pihak – pihak yang terkait adalah sebagai
berikut :
1.Bagi instansi, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
kebijakan pengelolaan sumber daya manusia, terutama terkait dengan
upaya memfasilitasi kebutuhan karyawan dengan menggunakan
sosialisasi organisasi, yang pada akhirnya sosialisasi organisasi tersebut
dapat menyelaraskan antara karyawan dengan budaya organisasi tempat
mereka bekerja.
2.Bagi peneliti, hasil yang disajikan dari penelitian ini diharapkan mampu
commit to user
11 Manajemen Sumber Daya Manusia terutama mengenai kebutuhan
karyawan, sosialisasi organisasi dan budaya organisasi.
3.Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi yang
commit to user
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Taormina (2009 : 651) secara umum setiap karyawan
memiliki berbagai kebutuhan pribadi dan mungkin budaya organisasi tempat
mereka bekerja cocok atau tidak cocok dengan beberapa kebutuhan karyawan
tertentu. Hal ini berarti orang akan lebih bahagia dalam organisasi di mana
kebutuhan mereka terpuaskan daripada di organisasi di mana kebutuhan
mereka tidak dapat terpuaskan. Berkenaan dengan hubungan antara kebutuhan
individu dan konteks sosial yang lebih besar dari organisasi, sebuah
pandangan psiko-sosial akan menekankan bahwa orang harus diintegrasikan
atau disosialisasikan pada setiap budaya organisasi.
Taormina (2009 : 651) menjelaskan bahwa seharusnya terdapat
hubungan antara karyawan dan organisasi, dengan tidak adanya hubungan ini
mungkin akan terjadi ketidakteraturan dalam organisasi, dengan banyaknya
karyawan yang merasa tidak yakin akan keberadaan mereka di perusahaan
tempat mereka bekerja. Dengan meningkatkan upaya organisasi dalam
melakukan sosialisasi organisasi, maka karyawan akan semakin merasa
menjadi bagian dari budaya organisasi. Untuk memperjelas hubungan antara
kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi akan
commit to user
13
1. Kebutuhan Karyawan
Menurut Gibson et al., (2006 : 132) motivasi adalah sebuah dorongan
pada karyawan yang memulai dan mengarahkan sebuah prilaku. Dan
kebutuhan adalah sebuah rasa kurang puas yang dialami oleh seorang individu
pada poin tertentu di waktu tertentu.
McClelland (dalam Ivancevich et al., 2006 :154) menyatakan bahwa
ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan
tesebut memotivasi dirinya untuk menggunakan prilaku yang dapat
mendatangkan kepuasannya. McClelland membagi kebutuhan karyawan
menjadi 3, yaitu :
a. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi mendorong
seorang individu untuk menetapkan tujuan yang menantang, untuk bekerja
keras demi mencapai tujuan tersebut, dan menggunakan keterampilan dan
kemampuan yang diperlukan untuk mencapainya.
Berdasarkan hasil penelitian, McClelland mengembangkan
serangkaian faktor diskriptif yang menggambarkan seseorang dengan
kebutuhan yang tinggi akan prestasi, yaitu:
1. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah.
2. Cendrung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan cendrung
mengambil risiko yang telah diperhitungkan.
3. Menginginkan umpan-balik atas kinerjanya.
b. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan afiliasi merefleksikan keinginan
commit to user
14 kebutuhan afiliasi yang tinggi menempatkan kualitas dari hubungan
pribadi sebagai hal yang paling penting, dan oleh karena itu hubungan
sosial lebih didahulukan daripada penyelesaian tugas.
c. Seseorang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi, di lain pihak,
mengkonsentrasikan diri dengan mempengaruhi orang lain dan
memenangkan argumentasi. Menurut McClelland, kekuasaan memiliki dua
orientasi. Kekuasaan dapat menjadi negatif pada orang yang berfokus pada
dominasi dan kepatuhan. Atau kekuasaan dapat menjadi positif karena
merefleksikan perilaku persuasif dan inspirasional.
Klasifikasi yang lain dikembangkan oleh Steers dan Braunstein (1976
: 254) yang membagi kebutuhan karyawan menjadi 4, yaitu:
1. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) mengacu pada keinginan untuk
mencapai sesuatu dan untuk mencapai standar keunggulan, dengan
tidak mengambil tugas yang terlalu sulit (untuk menghindari
kegagalan).
2. Kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) adalah keinginan untuk memiliki
hubungan pribadi yang hangat dan ramah.
3. Kebutuhan akan otonomi (n-Aut) adalah keinginan untuk melakukan
sesuatu dengan cara sendiri dan memiliki kebebasan pribadi.
4. Kebutuhan untuk dominasi, juga disebut sebagai kebutuhan akan
kekuasaan (n-Pow) adalah keinginan untuk memegang kekuasaan, dan
commit to user
15 Secara teori, kebutuhan ini tidak saling berhubungan secara eksklusif,
melainkan setiap orang memiliki kebutuhan masing-masing, tetapi untuk
derajat yang berbeda.
2. Budaya Organisasi.
Menurut Gibson et al., (2006 : 31) budaya organisasi merupakan
sesuatu yang dirasakan oleh karyawan dan sebuah persepsi yang menimbulkan
sebuah pola kepercayaan, nilai, dan ekspektasi. Dan Schein (dalam Gibson et
al., 2006 : 31) menyatakan budaya organisasi sebagai sebuah pola dari asumsi
dasar yang ditemukan, diketahui, atau dikembangkan oleh sebuah kelompok
yang dipelajari untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan adaptasi
dengan lingkungan luar dan integrasi dalam kelompok tersebut. Pernyataan
Schein ini memiliki inti bahwa budaya meliputi asumsi, adaptasi, persepsi, dan
pembelajaran.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 :79) budaya organisasi merupakan
suatu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok
dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi
terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Definisi ini menyoroti tiga
karakteristik budaya organisasi yang penting. Pertama, budaya organisasi
diberikan pada karyawan baru melalui proses sosialisasi. Kedua, budaya
organisasi mempengaruhi perilaku kita di tempat kerja. Ketiga, budaya
organisasi berpengaruh terhadap pandangan ke luar dan kemampuan bertahan
commit to user
16 Kreitner dan Kinicki (2005 :79) membagi fungsi budaya organisasi
menjadi empat, yaitu :
a.Memberikan identitas organisasi kepada karyawan.
Sebagai contoh perusahaan yang inovatif yang memburu
pengembangan produk baru. Salah satu cara mempromosikan inovasi
adalah dengan mendukung riset dan pengembangan produk dan jasa
baru. Identitas tersebut didukung dengan mengadakan penghargaan yang
diberikan pada karyawan yang inovatif.
b.Memudahkan komitmen kolektif.
Budaya organisasi yang dapat membuat karyawannya nyaman
dalam organisasi tersebut dapat meningkatkan komitmen kolektif
karyawannya terhadap organisasi tersebut. Sehingga karyawan tersebut
akan lebih loyal terhadap organisasi tersebut dan meningkatkan tingkat
turn over karena karyawan tersebut puas dan bangga bekerja dalam
organisasi tersebut.
c.Mempromosikan stabilitas sistem sosial.
Stabilitas sistem sosial mencerminkan taraf di mana lingkungan
kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan yang
diatur dengan efektif.
d.Membentuk prilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya.
Fungsi budaya ini membantu para karyawan memahami mengapa
organisasi melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana
commit to user
17 Menurut Rivai (2005 : 430) fungsi budaya perusahaan adalah:
1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya
budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu perusahaan
dengan perusahaan yang lain.
2. Budaya memberikan identitas bagi anggota perusahaan.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari
pada kepentingan individu.
4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang
memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Menurut Gibson et al., (2006 : 38) membagi budaya menjadi empat
jenis, yaitu:
1. Budaya Birokrasi merupakan sebuah budaya yang menekankan
pada peraturan, kebijakan, penentuan keputusan yang
tersentralisasi.
2. Budaya Keluarga merupakan sebuah budaya yang menekankan
pada lingkungan kerja yang bersifat kekeluargaan, mengikuti
tradisi dan ritual, kerja tim, dan pengaruh sosial.
3. Budaya Entrepreneur merupakan sebuah budaya yang menekankan
pada inovasi, kreatifitas, pengambilan resiko, dan secara agresif
commit to user
18 4. Budaya Pasar merupakan sebuah budaya yang menekankan pada
pertumbuhan penjualan, peningkatan market share, stabilitas
keuangan, dan keuntungan.
Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk menilai dimensi budaya
organisasi, beberapa instrumen telah dirancang untuk digunakan sebagai
ukuran umum budaya organisasi. Wallach's (1983 : 32) membagi dimensi
budaya organisasi menjadi tiga, yaitu: budaya birokrasi, inovatif, dan suportif.
a. Budaya birokrasi memiliki struktur hirarki dengan garis tanggung
jawab yang jelas, dan diatur untuk beroperasi dalam cara yang
teratur dan terkendali.
b. Budaya inovatif cenderung giat, berorientasi pada hasil, dan
ditandai oleh kreativitas dan berani mengambil risiko, yang
membuat mereka tertantang, tempat yang bertekanan dimana
mereka bekerja.
c. Budaya suportif yang dicirikan oleh interaksi sosial yang harmonis
dan adil dimana terdapat kepercayaan, kolaborasi, dan kebebasan
pribadi.
Seperti kebutuhan karyawan, Wallach (1983 : 35) menekankan bahwa
budaya organisasi tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Setiap organisasi
memiliki berbagai elemen dari masing-masing budaya organisasi tersebut.
Oleh karena itu, tidak realistis untuk mengkategorikan sebuah organisasi
sepenuhnya hanya memiliki satu jenis budaya saja. Sebaliknya, setiap budaya
commit to user
19 3. Sosialisasi Organisasi.
Menurut Gibson et al., (2006 : 41) sosialisasi organisasi merupakan
sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mengenalkan karyawan
baru pada budaya organisasi tersebut. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 :
96) sosialisasi organisasi didefinisikan sebagai proses seseorang mempelajari
nilai, norma, dan perilaku yang dituntut, yang memungkinkan ia untuk
berpatisipasi sebagai anggota organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan
mekanisme kunci yang digunakan oleh organisasi untuk menanamkan budaya
organisasinya. Secara singkat, sosialisasi organisasi mengubah orang baru
menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mempromosikan dan mendukung
nilai dan keyakinan dasar organisasi.
Peneliti perilaku organisasi Feldman (dalam Kreitner dan Kinicki,
2005 :96) telah mengusulkan model tiga tahap sosialisasi organisasi yang
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai proses penting ini.
Ketiga tahap tersebut adalah:
1. Sosialisasi antisipasi,
2. Pertemuan, dan
3. Perubahan dan pemahaman yang bertambah.
Model Feldman juga merinci perilaku dan afeksi yang timbul yang
dapat digunakan untuk menilai seberapa baik seorang individu bersosialisasi.
Tahap 1: Sosialisasi Antisipasi
Proses belajar yang dilakukan sebelum bergabung dengan organisasi.
commit to user
20 Informasi sosialisasi lebih dulu datang dari berbagai sumber. Dalam tahap ini
proses sosial yang timbul adalah:
1. Mengantisipasi kenyataan mengenai organisasi dan pekerjaan baru.
2. Mengantisipasi kebutuhan organisasi mengenai keterampilan dan
kemampuan seseorang.
3. Mengantisipasi sensitivitas organisasi terhadap kebutuhan dan nilai
seseorang.
Tahap 2: Pertemuan
Nilai, keterampilan, dan tingkah laku mulai berubah saat karyawan
baru menemukan seperti apa sesungguhnya organisasi tersebut. Tahap dua
dimulai saat kontrak pekerjaan telah ditandatangani. Dalam tahap ini proses
sosial yang timbul adalah:
1. Mengatur gaya hidup versus konflik dalam kerja.
2. Mengatur konflik peran antar kelompok.
3. Mencari definisi dan kejelasan peran.
4. Menjadi familiar dengan dinamika tugas dalam kelompok.
Tahap 3: Perubahan dan Pemahaman yang Bertambah.
Karyawan menguasai keterampilan, peran, dan menyesuaikan diri
dengan nilai dan norma kelompok kerja. Penugasan tugas yang penting dan
pemecahan konflik menandai mulainya tahap akhir dari proses sosialisasi ini.
Mereka yang tidak mengalami transisi ke tahap 3 secara sukarela atau tidak
sukarela akan terisolasi dari jaringan sosial di dalam organisasi. Dalam tahap
commit to user
21 1. Persaingan peran disesuaikan dengan tugas yang sulit dikuasai.
2. Internalisasi norma dan nilai kelompok.
Setelah tiga tahap sosialisasi organisasi tersebut selesai dan karyawan
sudah tersosialisasi maka akan timbul tingkah laku dan afeksi dari orang yang
sudah tersosialisasi tersebut, antara lain:
a.Hasil Tingkah laku:
· Melaksanakan peran tugasnya
· Tetap berada di organisasi
· Berinovasi dan bekerja sama secara spontan
b.Hasil yang bersifat afeksi:
· Merasa puas secara umum
· Secara internal termotivasi untuk bekerja
· Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang
tinggi
Gibson et al., (2006 : 44) menyatakan ada beberapa karakteristik dari
sosialisasi yang efektif, yaitu: (1) perekrutan yang efektif, (2) program
pemilihan dan penempatan yang efektif, (3) program orientasi yang efektif, (4)
program pelatihan yang efektif, (5) menyediakan informasi evaluasi kinerja
yang lengkap, (6) penugasan pekerjaan yang menantang pada karyawan.
Louis (1980 : 229) mendefinisikan sosialisasi organisasi sebagai
sebuah proses dimana seorang individu datang untuk menghargai nilai-nilai,
commit to user
22 untuk mengasumsikan peran organisasi dan untuk berpartisipasi sebagai
anggota organisasi.
Definisi ini, seperti halnya dengan hampir semua definisi konsep yang
lain, menekankan bahwa sosialisasi organisasi sebagai hal yang penting dalam
membantu karyawan berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat dan
budaya organisasi. Kebanyakan penelitian tentang sosialisasi organisasi
berfokus pada proses, tetapi pengkonsepan kembali yang dilakukan oleh Chao
et al. (1994) dan Taormina (1994) mengungkapkan hal yang berbeda dari
bidang sosialisasi organisasi. Dalam pendekatannya Taormina (1994 : 136)
membagi sosialisasi organisasi menjadi empat dimensi, yaitu: pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan. Model ini sangat
sederhana dan tiga dimensi mewakili enam poin yang diidentifikasi oleh Chao
et al. (1994), dan Taormina (1994) menambahkan domain keempat, yakni
prospek masa depan.
Berikut ini gambaran empat komponen dari sosialisasi organisasi yang
juga telah menerima dukungan konseptual dalam model teoretis yang
baru-baru ini dikembangkan.
a. Pelatihan.
Sesuai dengan definisi yang dikemukakan Taormina (1997 :
32), pelatihan adalah "tindakan, proses, atau metode yang dilakukan
untuk memperoleh semua jenis keterampilan fungsional atau
commit to user
23 dan berfokus pada sejauh mana karyawan memandang organisasi
sebagai penyedia keterampilan kerja yang memadai.
b. Pemahaman.
Hal ini mengacu pada "sejauh mana seorang karyawan
sepenuhnya memahami dan dapat menerapkan pengetahuan tentang
pekerjaannya, organisasi, orang, dan budayanya (Taormina, 1997 :
32). Jadi, pemahaman berkaitan dengan seberapa baik karyawan
memahami organisasi dan bagaimana organisasi beroperasi.
c. Dukungan Rekan Kerja.
Hal ini mengacu pada "kelangsungan emosional, moral, atau
instrumental yang diberikan tanpa kompensasi yang berhubungan
dengan uang oleh karyawan lain dalam organisasi di mana mereka
bekerja "(Taormina, 1997 : 33). Daerah ini juga sesuai dengan definisi
sosialisasi karena berfokus pada hubungan sosial karyawan di tempat
kerja dan mengacu pada sejauh mana seorang karyawan diterima oleh
karyawan lain.
d. Prospek Masa Depan.
Hal ini berkaitan dengan "sejauh mana seorang karyawan
dapat merencanakan dan memiliki sebuah karir yang baik dalam
organisasi dirinya bekerja" (Taormina, 1997 : 33). Dalam hal teori
sosialisasi organisasi, prospek masa depan merupakan salah satu
aspek yang baku dalam budaya organisasi, seperti penghargaan,
commit to user
24 organisasi dan diukur dari segi persepsi karyawan terhadap ada
tidaknya penghargaan tersebut dalam organisasi.
Menurut Taormina (2009 : 653) sosialisasi organisasi melibatkan
tujuan fungsional untuk membantu karyawan selaras dengan organisasi yang
mempekerjakan mereka, dimensi sosialisasi organisasi yang berkaitan dengan
karakteristik tertentu baik dari karyawan (misalnya masing-masing
kebutuhan), dan organisasi (misalnya dimensi budaya mereka). Oleh karena
itu, harus ada hubungan antara:
1. kebutuhan karyawan dan domain sosialisasi,
2. domain sosialisasi dan domain budaya organisasi.
G. PENELITIAN TERDAHULU
1. Taormina (2009)
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang hubungan
antara kebutuhan karyawan dengan dimensi sosialisasi organisasi dan
hubungan antara dimensi sosialisasi organisasi dengan dimensi budaya
organisasi. Taormina (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan
kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi. Hasil
dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan karyawan memiliki
hubungan yang signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi.
Kebutuhan akan otonomi mempunyai hubungan yang kuat dengan
pelatihan, pemahaman, dan prospek masa depan. Selain itu kebutuhan
akan afiliasi juga memiliki hubungan yang kuat dengan dukungan rekan
commit to user
25 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi budaya
organisasi. Pelatihan dan dukungan rekan kerja memiliki hubungan dengan
budaya birokratis. Pelatihan juga mempunyai hubungan dengan budaya
inovatif. Pelatihan, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan
mempunyai hubungan dengan budaya suportif. Penelitian ini
menggunakan random sampling yang dilakukan di Cina pada pekerja tetap
dan kuesioner yang disebarkan sebanyak 400 kuesioner.
2. Taormina (2008)
Penelitian tentang hubungan sosialisasi organisasi dengan budaya
organisasi pernah dilakukan oleh Taormina (2008) yang mendapatkan
hasil bahwa keempat domain sosialisasi organisasi memiliki hubungan
yang signifikan dengan budaya birokratis, tapi prospek masa depan
berhubungan negatif terhadap budaya birokratis. Sampel yang digunakan
merupakan para pekerja dewasa di Cina yang bekerja di organisasi lokal
pada kota pelabuhan internasional di pesisir selatan Cina.
3. Greenhaus (1999)
Penelitian tentang sosialisasi organisasi yang efektif untuk
karyawan pernah dilakukan oleh Greenhaus (1999) yang mendapatkan
hasil bahwa rekan kerja, salah satu dimensi sosialisasi organisasi
berhubungan positif dengan kesuksesan pendatang baru untuk berfungsi
dalam kerja kelompok dan penerimaan akan budaya organisasi. Pelatihan
commit to user
26 merupakan 200 karyawan yang baru bekerja selama 3 bulan pada 200
perusahaan terbesar dunia.
4. Koberg dan Chusmir (1987)
Koberg dan Chusmir (1987) menemukan bahwa kebutuhan untuk
berprestasi (n-Ach), kebutuhan akan otonomi (n-Aut), kebutuhan akan
kekuasaan (n-Pow), kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) secara positif
memiliki hubungan dengan budaya inovatif. Kebutuhan untuk berprestasi
(n-Ach), kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow), kebutuhan untuk berafiliasi
(n-Aff) memiliki hubungan dengan budaya birokrasi. Dan kebutuhan akan
otonomi (n-Aut) berhubungan negatif dengan budaya suportif. Penelitian
ini dilakukan pada 165 manajer pada kota besar di sebelah barat Amerika.
5. O’Reilly et al. (1991)
O’Reilly et al. (1991) mengukur karakteristik individu, termasuk
prestasi, afiliasi, otonomi, dan kekuasaan, dan beberapa karakteristik
dimensi budaya organisasi, termasuk inovatif dan suportif. Mereka
menemukan kebutuhan akan otonomi dan kekuasaan berhubungan positif
dengan budaya inovatif, dan kebutuhan akan otonomi dan kekuasaan
berhubungan negatif dengan budaya suportif. Penelitian ini dilakukan pada
171 mahasiswa S2 pada universitas di bagian pesisir barat Amerika.
6. Jones (1986)
Dalam kaitan dengan domain sosialisasi organisasi, secara teoritis
aspek penting dari penyesuaian karyawan terhadap budaya organisasi
commit to user
27 karyawan seperti kepercayaan diri mungkin mempengaruhi proses
sosialisasi. Penelitian ini dilakukan pada 127 mahasiswa S2 pada
universitas di bagian barat Amerika.
H. KERANGKA PEMIKIRAN
Untuk memudahkan alur pemikiran dalam penelitian ini, hubungan
antar variabel-variabel yang diteliti akan digambarkan dalam sebuah kerangka
pemikiran.
Gambar 1
Sumber: Taormina (2009)
Kerangka Pemikiran
Dari kerangka pemikiran di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan
karyawan berpengaruh pada dimensi sosialisasi organisasi. Dimensi sosialisasi
akan berpengaruh pada dimensi budaya organisasi. Seperti penelitian yang
telah dilakukan oleh Taormina (2009) yang mendapatkan hasil bahwa
commit to user
28 sosialisasi organisasi. Karyawan dengan kebutuhan akan berprestasi akan
memanfaatkan pelatihan dalam organisasi karena pelatihan akan
meningkatkan kinerja mereka dan akan mempermudah karyawan memperoleh
prestasi yang diinginkan. Karyawan dengan kebutuhan akan berafiliasi akan
nyaman di dalam organisasi yang memiliki suasana dimana karyawannya
saling mendukung antara satu dengan yang lain. Karyawan dengan kebutuhan
akan otonomi akan menyukai pemahaman, karena pemahaman akan
meningkatkan pengetahuan mereka tentang pekerjaan yang diberikan pada
mereka sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan itu sendiri. Karyawan
dengan kebutuhan akan kekuasaan akan menyukai organisasi yang
menawarkan prospek masa depan yang baik seperti gaji yang besar dan
berbagai penghargaan yang akan meningkatkan kekuasaan mereka di atas
yang lain.
Dimensi sosialisasi organisasi memiliki hubungan yang signifikan
dengan dimensi budaya organisasi. Dimensi sosialisasi organisasi seperti
pelatihan diberikan kepada para karyawan sesuai dengan budaya organisasi
dimana mereka bekerja sehingga mereka dapat memiliki kinerja yang baik
sesuai dengan budaya organisasi mereka baik budaya birokrasi, inovatif,
maupun suportif. Pemahaman diberikan pada para karyawan agar mereka
dapat mengerti apa peran mereka dan bagaimana organisasi berjalan sehingga
karyawan dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi tempat mereka
bekerja baik budaya birokrasi, inovatif, maupun suportif. Rekan kerja dapat
commit to user
29 karena rekan kerja dapat menjelaskan dengan rinci budaya organisasi tempat
mereka berkerja baik budaya birokrasi, inovatif, maupun suportif. Prospek
masa depan seperti bonus dan penghargaan akan dapat membuat karyawan
termotivasi untuk bekerja sesuai dengan budaya organisasi mereka baik
budaya birokrasi, suportif, ataupun inovatif.
Dengan terpenuhinya kebutuhan karyawan dalam organisasi tersebut,
penyampaian sosialisasi organisasi yang tepat, dan karyawan yang dapat
selaras dengan budaya organisasi dimana dia bekerja maka pada akhirnya
akan meningkatkan kinerja karyawan dan membuat organisasi dapat mencapai
tujuannya.
I. HIPOTESIS
Hubungan antara Kebutuhan dengan Dimensi Sosialisasi Organisasi.
Jones (1983 : 466) berpendapat bahwa perbedaan individu, seperti
perbedaan dalam kebutuhan, dapat mempengaruhi reaksi orang terhadap peran
atau tugas-tugas yang diberikan pada mereka dalam organisasi.
Reichers (1987 : 282) berpendapat bahwa beberapa aspek karyawan
(misalnya kebutuhan mereka) dan aspek situasi (misalnya lingkungan
organisasi) dapat memfasilitasi interaksi mereka dan dapat meningkatkan laju
sosialisasi organisasi. Reichers (1987 : 283) juga menyatakan bahwa variabel
kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) dapat mempengaruhi sejauh mana
seseorang berinteraksi dengan orang lain di tempat kerja.
Berkenaan dengan hubungan antara kebutuhan karyawan dan dimensi
commit to user
30 baik kualitas program sosialisasi organisasi maka akan lebih menguntungkan
jika tidak meninggalkan pemenuhan kebutuhan karyawan.
Hubungan antara Kebutuhan untuk Berprestasi (n-Ach) dan Dimensi
Sosialisasi Organisasi.
Smits et al. (1993 : 117) meneliti kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach)
pada para profesional dan mencatat bahwa orang dengan kebutuhan untuk
berprestasi (n-Ach) tinggi mungkin tidak mudah untuk disosialisasikan ke
dalam organisasi karena kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) dikaitkan
dengan keinginan untuk bekerja sendiri.
Menurut Taormina (2009 : 655) mengenai kaitannya dengan area
sosialisasi, kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) mengacu pada keinginan
karyawan untuk menjadi lebih sempurna, dan pelatihan akan membantu
karyawan berperforma lebih baik. Karyawan dengan kebutuhan untuk
berprestasi (n-Ach) tinggi harus menghargai pelatihan karena akan membantu
mereka meningkatkan kinerja mereka dan mencapai tujuan pribadi mereka.
Demikian pula dengan pemahaman, salah satu tujuan sosialisasi adalah untuk
meningkatkan efektivitas karyawan. Oleh karena itu, karyawan yang memiliki
kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) tinggi harus memperhatikan kegiatan
organisasi yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman mereka, karena
ini juga akan memberikan kontribusi untuk kebutuhan mereka untuk
meningkatkan kinerja dan pencapaian tujuan.
Menurut Taormina (2009 : 655) dukungan rekan kerja juga bisa terkait
commit to user
31 kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) tinggi akan memiliki peluang lebih besar
untuk mencapai tujuan mereka dengan bantuan karyawan lainnya. Jadi,
mereka harus menghargai dukungan yang diterima dari rekan kerja mereka.
Komponen sosialisasi keempat yaitu prospek masa depan juga terhubung
dengan kebutuhkan ini karena karyawan dengan kebutuhan untuk berprestasi
(n-Ach) tinggi ditandai oleh keinginan untuk mencapai tingkat keberhasilan
tinggi.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
kebutuhan karyawan berupa kebutuhan akan prestasi memiliki hubungan yang
signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi yang berupa pemahaman dan
dukungan rekan kerja, Oleh karena itu:
H1. Kebutuhan untuk berprestasi karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi
pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek
masa depan di organisasi mereka.
Hubungan antara Kebutuhan untuk Berafiliasi dan Dimensi Sosialisasi
Organisasi.
Kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) adalah keinginan untuk memiliki
hubungan antar individu yang ramah. Reichers (1987 : 282) mengusulkan
bahwa karyawan yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) tinggi
akan mencari interaksi di tempat kerja untuk memuaskan kebutuhan ini.
Reichers (1987 : 282) juga berpendapat bahwa kebutuhan untuk berafiliasi (
commit to user
32 kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) mencerminkan keinginan seseorang untuk
bergaul dengan orang lain, dan rekan kerja merupakan agen-agen sosialisasi.
Domain sosialisasi organisasi yang paling relevan dengan kebutuhan untuk
berafiliasi (n-Aff) adalah dukungan rekan kerja karena itu keramahan
lingkungan kerja sesuai kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff). Dengan demikian,
karyawan dengan kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) tinggi harus menghargai
dan bersosialisasi dengan baik ke dalam organisasi dimana rekan kerja
menawarkan dukungan interpersonal yang tinggi.
Menurut Taormina (2009 : 656) pelatihan juga dapat dihubungkan
dengan kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff). Karyawan dengan kebutuhan
untuk berafiliasi (n-Aff) tinggi akan menghargai upaya anggota lain yang
melatih mereka. Dan juga, pelatihan dapat meningkatkan efektivitas karyawan
jika karyawan bekerja dalam tim. Pemahaman juga bisa dihubungkan ke
kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) karena sosialisasi mencakup orientasi
informasi tentang organisasi dan orang-orangnya. Jadi, karyawan dengan
kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) tinggi akan menghargai pengetahuan ini,
yang dapat membantu mereka untuk mengetahui dan untuk bertemu dengan
banyak orang dalam organisasi.
Demikian pula, menurut Taormina (2009 : 656) prospek masa depan
dapat dihubungkan dengan kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) karena promosi
dan kemajuan dapat memperluas wawasan sosial karyawan, memberikan
kesempatan tambahan mereka untuk bertemu dan berinteraksi dengan lebih
commit to user
33 oleh suatu organisasi, semakin besar kemungkinan karyawan dengan
kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) tinggi akan menghargai tawaran seperti itu.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
kebutuhan karyawan berupa kebutuhan akan berafiliasi memiliki hubungan
yang signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi yang berupa pelatihan
dan dukungan rekan kerja, Oleh karena itu:
H2. Kebutuhan untuk berafiliasi karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi
pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa
depan di organisasi mereka.
Hubungan antara Kebutuhan akan Otonomi dan Dimensi Sosialisasi
Organisasi.
Orang dengan kebutuhan akan otonomi (n-Aut) tinggi termotivasi
untuk memiliki kebebasan pribadi di tempat kerja. Otonomi dipandang
sebagai karakteristik pribadi yang memungkinkan orang untuk berhasil
mengatasi hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan mereka (Bigliardi et
al., 2005 : 228).
Menurut Taormina (2009 : 656) tergantung pada sifat dari pekerjaan
yang ditugaskan pada seseorang, tingkat kebutuhan akan otonomi (n-Aut)
karyawan bisa juga berhubungan dengan seberapa baik dia beradaptasi dengan
pekerjaan. Misalnya, dalam pekerjaan yang memerlukan seseorang untuk
bekerja sendiri, karyawan dengan kebutuhan akan otonomi (n-Aut) yang tinggi
commit to user
34 kebutuhan akan otonomi (n-Aut) dan dimensi sosialisasi organisasi, pelatihan
dapat diterapkan untuk semua jenis pekerjaan. Jadi, pelatihan harus dihargai
oleh karyawan dengan kebutuhan akan otonomi (n-Aut) tinggi karena akan
membantu mereka melakukan pekerjaan yang mereka ingin lakukan,
melakukannya dengan cara mereka sendiri, dan melakukan pekerjaan dengan
lebih efektif.
Menurut Taormina (2009 : 656) karyawan dengan kebutuhan akan
otonomi (n-Aut) tinggi akan menghargai upaya organisasi untuk meningkatkan
pemahaman mereka akan organisasi, yang dapat membantu mereka
mendapatkan kebebasan pribadi. Bahkan dukungan rekan kerja dapat
membuat hubungan dengan kebutuhan akan otonomi (n-Aut), misalnya
karyawan dengan kebutuhan akan otonomi (n-Aut) tinggi akan menghargai
dukungan dari rekan kerja yang percaya pada mereka untuk menyelesaikan
pekerjaan secara independen. karyawan dengan kebutuhan akan otonomi (
n-Aut) tinggi juga harus menghargai organisasi dengan prospek masa depan
yang baik karena kemajuan, gaji tinggi, dan penghargaan lainnya sering
termasuk elemen otonomi yang besar.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
kebutuhan karyawan berupa kebutuhan akan otonomi memiliki hubungan
yang signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi yang berupa pelatihan,
pemahaman, dan prospek masa depan. Oleh karena itu:
H3. Kebutuhan akan otonomi karyawan akan secara positif
commit to user
35
pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek
masa depan di organisasi mereka.
Hubungan antara Kebutuhan akan Kekuasaan dan Dimensi Sosialisasi
Organisasi.
Bauer et all. (1998 : 156) berpendapat bahwa orang dengan kebutuhan
akan kekuasaan (n-Pow) yang tinggi diperkirakan memiliki keinginan untuk
mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Dimensi sosialisasi organisasi
khususnya pelatihan bisa berhubungan dengan kebutuhan akan kekuasaan (
n-Pow) karena peningkatan kompetensi pelatihan dapat membuat karyawan
dengan kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow) tinggi akan dipromosikan ke
tingkat otoritas yang lebih tinggi. Pemahaman dapat memberikan karyawan
dengan kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow) tinggi dengan informasi yang
berguna tentang orang yang memiliki otoritas, struktur kekuasaan, dan
kekuasaan yang relevan lainnya.
Menurut Taormina (2009 : 657) meskipun mungkin telihat bertolak
belakang untuk mengharapkan dukungan rekan kerja dapat terkait dengan
kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow), kekuasaan tidak terdapat terjadi dalam
ruang hampa, yang sebaliknya kekuasaan hanya bias terjadi dalam konteks
sosial. Agar efektif, orang-orang yang berkuasa harus memiliki dukungan dari
karyawan lain. Hubungan yang ada antara kebutuhan karyawan dan dimensi
sosialisasi organisasi adalah antara kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow) dan
prospek masa depan. Organisasi dengan prospek masa depan yang berlimpah
commit to user
36 kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow) tinggi untuk mendapatkan posisi yang
lebih tinggi dari kekuasaan mereka sekarang. Oleh karena itu:
H4. Kebutuhan akan kekuasaan karyawan akan secara positif
berpengaruh pada sosialisasi organisasi dalam dimensi
pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek
masa depan di organisasi mereka.
Hubungan antara Dimensi Sosialisasi Organisasi dan Dimensi Budaya
Organisasi.
Hubungan konseptual antara sosialisasi organisasi dan budaya
organisasi didasarkan dari teori sosiologi, psikologi sosial biasanya mencakup
nilai-nilai budaya sebagai bagian dari definisi sosialisasi. Louis (1980 : 229)
memberikan dasar teoritis yang menghubungkan antara sosialisasi organisasi
dan budaya organisasi.
Lebih lanjut Taormina (2009 : 657) menjelaskan bahwa "Sosialisasi
organisasi dapat dianggap sebagai transmisi budaya", dimana sosialisasi
organisasi merupakan proses seseorang belajar tentang budaya organisasi
tempat mereka bekerja. McMillan-Capehart's (2005 : 492) menyatakan bahwa
"Sosialisasi organisasi dapat membantu meningkatkan keselarasan antara
individu dan budaya organisasi."
Oleh karena itu, sosialisasi selalu dilihat sebagai alat untuk
menyelaraskan karyawan dengan budaya organisasi sehingga karyawan dapat
merasa menjadi bagian dari organisasi. Dengan demikian, tujuan dari setiap
commit to user
37 bagian dari konteks budaya yang lebih besar, apakah konteks tersebut adalah
grup, organisasi, atau masyarakat (Taormina, 2009 : 669). Dengan begitu
perusahaan harus dapat memfasilitasi sosialisasi yang baik untuk
karyawannya, sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri dan selaras dengan
budaya organisasi dimana mereka bekerja.
Hubungan antara Pelatihan dan Dimensi Budaya Organisasi.
Dollard (1939 : 54) menyatakan bahwa budaya ditularkan melalui
proses pelatihan individu untuk melakukan kemampuan yang dibutuhkan
untuk menjadi anggota fungsional dalam organisasi, dengan demikian,
pelatihan dapat digunakan pada semua jenis budaya. Pelatihan sebagai sarana
untuk karyawan untuk memahami pekerjaan mereka, pelatihan berkaitan
dengan penyesuaian karyawan ke dalam organisasi mereka, misalnya dalam
kemampuan mereka untuk mengatasi masalah, kepuasan kerja, dan komitmen
organisasi. Taormina (2009: 658) menyatakan karyawan di seluruh organisasi
harus terlatih dalam beberapa keterampilan atau tugas agar secara efektif dapat
melakukan pekerjaan mereka, pelatihan harus dapat menyediakan hubungan
terhadap budaya dari semua jenis organisasi. Misalnya, seseorang mungkin
dilatih tugas dasar dalam budaya birokrasi, dibrainstorming dalam budaya
inovatif, atau membangun tim dalam budaya yang suportif.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
dimensi sosialisasi organisasi berupa pelatihan memiliki hubungan yang
signifikan dengan ketiga dimensi budaya organisasi, baik birokrasi, inovatif,
commit to user
38
H5. Persepsi karyawan tentang pelatihan dalam organisasi mereka
akan berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam
dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif.
Hubungan antara Pemahaman dan Dimensi Budaya Organisasi.
Menurut Bauer et al (1998 : 158) domain sosialisasi menekankan pada
unsur penting yang memungkinkan karyawan untuk belajar hal-hal sesuai
perannya dalam organisasi, bagaimana organisasi bekerja, siapa orang-orang
penting dalam organisasi, dan bagaimana untuk menyelesaikan pekerjaan.
Banyak teori telah menyarankan bahwa aspek pemahaman organisasi
membantu karyawan menyesuaikan diri dengan organisasi dan budaya
organisasi. Taormina (2009 : 658) menyatakan bahwa domain pemahaman
juga harus mempunyai hubungan antara sosialisasi organisasi dengan budaya
organisasi, dan, seperti pelatihan, pemahaman karyawan tentang bagaimana
fungsi organisasi diperlukan untuk bersosialisasi untuk semua jenis budaya
organisasi.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
dimensi sosialisasi organisasi berupa pemahaman memiliki hubungan yang
signifikan dengan dimensi budaya organisasi birokrasi. Oleh karena itu:
H6. Persepsi karyawan tentang pemahaman mereka mengenai
organisasi akan berpengaruh positif pada budaya organisasi
dalam dimensi birokrasi, inovasi, dan supportif.
Hubungan antara Dukungan Rekan Kerja dan Dimensi Budaya
commit to user
39 Sejauh anggota yang lain dari organisasi bertindak sebagai agen
sosialisasi (Bauer et al., 1998 : 159), dukungan rekan kerja juga memainkan
peran dalam menghubungkan sosialisasi organisasi kepada budaya organisasi.
Reichers (1987 : 280) menekankan pentingnya "orang dalam" sebagai agen
proaktif yang dapat membantu karyawan bersosialisasi lebih cepat dan efektif
karena “orang dalam” sudah akrab dengan budaya organisasi dan bisa
menjelaskan bagaimana sesuatu hal dapat dilakukan. ditemukan hubungan
positif antara agen dan kinerja karyawan, komitmen, dan kepuasan kerja. Jadi,
bila anggota lain organisasi memberikan dukungan, karyawan akan lebih
cenderung untuk beradaptasi dengan baik dengan budaya organisasi.
Hasil penelitian dari Taormina (2009 : 669) menyatakan bahwa
dimensi sosialisasi organisasi berupa dukungan rekan kerja memiliki
hubungan yang signifikan dengan dimensi budaya organisasi birokrasi dan
suportif. Oleh karena itu:
H7. Persepsi karyawan tentang dukungan rekan kerja akan
berpengaruh positif pada budaya organisasi dalam dimensi
birokrasi, inovasi, dan supportif.
Hubungan antara Prospek Masa Depan dan Dimensi Budaya Organisasi.
Menurut Taormina (2009 : 659) variabel ini menilai sejauh mana
karyawan melihat kemungkinan memiliki karir dalam organisasi mereka,
sebagaimana tercermin dalam peluang untuk memperoleh keuntungan seperti
kenaikan gaji dan promosi. Karena kebanyakan organisasi menggunakan