• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Taormina (2009 : 651) secara umum setiap karyawan memiliki berbagai kebutuhan pribadi dan mungkin budaya organisasi tempat mereka bekerja cocok atau tidak cocok dengan beberapa kebutuhan karyawan tertentu. Hal ini berarti orang akan lebih bahagia dalam organisasi di mana kebutuhan mereka terpuaskan daripada di organisasi di mana kebutuhan mereka tidak dapat terpuaskan. Berkenaan dengan hubungan antara kebutuhan individu dan konteks sosial yang lebih besar dari organisasi, sebuah pandangan psiko-sosial akan menekankan bahwa orang harus diintegrasikan atau disosialisasikan pada setiap budaya organisasi.

Taormina (2009 : 651) menjelaskan bahwa seharusnya terdapat hubungan antara karyawan dan organisasi, dengan tidak adanya hubungan ini mungkin akan terjadi ketidakteraturan dalam organisasi, dengan banyaknya karyawan yang merasa tidak yakin akan keberadaan mereka di perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan meningkatkan upaya organisasi dalam melakukan sosialisasi organisasi, maka karyawan akan semakin merasa menjadi bagian dari budaya organisasi. Untuk memperjelas hubungan antara kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi akan diuraikan konseptualisasi variabel-variabel tersebut.

commit to user

13

1. Kebutuhan Karyawan

Menurut Gibson et al., (2006 : 132) motivasi adalah sebuah dorongan pada karyawan yang memulai dan mengarahkan sebuah prilaku. Dan kebutuhan adalah sebuah rasa kurang puas yang dialami oleh seorang individu pada poin tertentu di waktu tertentu.

McClelland (dalam Ivancevich et al., 2006 :154) menyatakan bahwa ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan tesebut memotivasi dirinya untuk menggunakan prilaku yang dapat mendatangkan kepuasannya. McClelland membagi kebutuhan karyawan menjadi 3, yaitu :

a. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi mendorong seorang individu untuk menetapkan tujuan yang menantang, untuk bekerja keras demi mencapai tujuan tersebut, dan menggunakan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk mencapainya.

Berdasarkan hasil penelitian, McClelland mengembangkan serangkaian faktor diskriptif yang menggambarkan seseorang dengan kebutuhan yang tinggi akan prestasi, yaitu:

1. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah.

2. Cendrung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan cendrung mengambil risiko yang telah diperhitungkan.

3. Menginginkan umpan-balik atas kinerjanya.

b. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan afiliasi merefleksikan keinginan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang. Seseorang dengan

commit to user

14 kebutuhan afiliasi yang tinggi menempatkan kualitas dari hubungan pribadi sebagai hal yang paling penting, dan oleh karena itu hubungan sosial lebih didahulukan daripada penyelesaian tugas.

c. Seseorang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi, di lain pihak, mengkonsentrasikan diri dengan mempengaruhi orang lain dan memenangkan argumentasi. Menurut McClelland, kekuasaan memiliki dua orientasi. Kekuasaan dapat menjadi negatif pada orang yang berfokus pada dominasi dan kepatuhan. Atau kekuasaan dapat menjadi positif karena merefleksikan perilaku persuasif dan inspirasional.

Klasifikasi yang lain dikembangkan oleh Steers dan Braunstein (1976 : 254) yang membagi kebutuhan karyawan menjadi 4, yaitu:

1. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) mengacu pada keinginan untuk mencapai sesuatu dan untuk mencapai standar keunggulan, dengan tidak mengambil tugas yang terlalu sulit (untuk menghindari kegagalan).

2. Kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) adalah keinginan untuk memiliki hubungan pribadi yang hangat dan ramah.

3. Kebutuhan akan otonomi (n-Aut) adalah keinginan untuk melakukan sesuatu dengan cara sendiri dan memiliki kebebasan pribadi.

4. Kebutuhan untuk dominasi, juga disebut sebagai kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow) adalah keinginan untuk memegang kekuasaan, dan mempengaruhi dan mengontrol orang lain.

commit to user

15 Secara teori, kebutuhan ini tidak saling berhubungan secara eksklusif, melainkan setiap orang memiliki kebutuhan masing-masing, tetapi untuk derajat yang berbeda.

2. Budaya Organisasi.

Menurut Gibson et al., (2006 : 31) budaya organisasi merupakan sesuatu yang dirasakan oleh karyawan dan sebuah persepsi yang menimbulkan sebuah pola kepercayaan, nilai, dan ekspektasi. Dan Schein (dalam Gibson et

al., 2006 : 31) menyatakan budaya organisasi sebagai sebuah pola dari asumsi

dasar yang ditemukan, diketahui, atau dikembangkan oleh sebuah kelompok yang dipelajari untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan adaptasi dengan lingkungan luar dan integrasi dalam kelompok tersebut. Pernyataan Schein ini memiliki inti bahwa budaya meliputi asumsi, adaptasi, persepsi, dan pembelajaran.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 :79) budaya organisasi merupakan suatu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Definisi ini menyoroti tiga karakteristik budaya organisasi yang penting. Pertama, budaya organisasi diberikan pada karyawan baru melalui proses sosialisasi. Kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku kita di tempat kerja. Ketiga, budaya organisasi berpengaruh terhadap pandangan ke luar dan kemampuan bertahan terhadap perubahan.

commit to user

16 Kreitner dan Kinicki (2005 :79) membagi fungsi budaya organisasi menjadi empat, yaitu :

a.Memberikan identitas organisasi kepada karyawan.

Sebagai contoh perusahaan yang inovatif yang memburu pengembangan produk baru. Salah satu cara mempromosikan inovasi adalah dengan mendukung riset dan pengembangan produk dan jasa baru. Identitas tersebut didukung dengan mengadakan penghargaan yang diberikan pada karyawan yang inovatif.

b.Memudahkan komitmen kolektif.

Budaya organisasi yang dapat membuat karyawannya nyaman dalam organisasi tersebut dapat meningkatkan komitmen kolektif karyawannya terhadap organisasi tersebut. Sehingga karyawan tersebut akan lebih loyal terhadap organisasi tersebut dan meningkatkan tingkat turn over karena karyawan tersebut puas dan bangga bekerja dalam organisasi tersebut.

c.Mempromosikan stabilitas sistem sosial.

Stabilitas sistem sosial mencerminkan taraf di mana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan yang diatur dengan efektif.

d.Membentuk prilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya. Fungsi budaya ini membantu para karyawan memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana perusahaan bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.

commit to user

17 Menurut Rivai (2005 : 430) fungsi budaya perusahaan adalah:

1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu perusahaan dengan perusahaan yang lain.

2. Budaya memberikan identitas bagi anggota perusahaan.

3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu.

4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.

5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.

Menurut Gibson et al., (2006 : 38) membagi budaya menjadi empat jenis, yaitu:

1. Budaya Birokrasi merupakan sebuah budaya yang menekankan pada peraturan, kebijakan, penentuan keputusan yang tersentralisasi.

2. Budaya Keluarga merupakan sebuah budaya yang menekankan pada lingkungan kerja yang bersifat kekeluargaan, mengikuti tradisi dan ritual, kerja tim, dan pengaruh sosial.

3. Budaya Entrepreneur merupakan sebuah budaya yang menekankan pada inovasi, kreatifitas, pengambilan resiko, dan secara agresif mencari kesempatan.

commit to user

18 4. Budaya Pasar merupakan sebuah budaya yang menekankan pada pertumbuhan penjualan, peningkatan market share, stabilitas keuangan, dan keuntungan.

Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk menilai dimensi budaya organisasi, beberapa instrumen telah dirancang untuk digunakan sebagai ukuran umum budaya organisasi. Wallach's (1983 : 32) membagi dimensi budaya organisasi menjadi tiga, yaitu: budaya birokrasi, inovatif, dan suportif.

a. Budaya birokrasi memiliki struktur hirarki dengan garis tanggung jawab yang jelas, dan diatur untuk beroperasi dalam cara yang teratur dan terkendali.

b. Budaya inovatif cenderung giat, berorientasi pada hasil, dan ditandai oleh kreativitas dan berani mengambil risiko, yang membuat mereka tertantang, tempat yang bertekanan dimana mereka bekerja.

c. Budaya suportif yang dicirikan oleh interaksi sosial yang harmonis dan adil dimana terdapat kepercayaan, kolaborasi, dan kebebasan pribadi.

Seperti kebutuhan karyawan, Wallach (1983 : 35) menekankan bahwa budaya organisasi tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Setiap organisasi memiliki berbagai elemen dari masing-masing budaya organisasi tersebut. Oleh karena itu, tidak realistis untuk mengkategorikan sebuah organisasi sepenuhnya hanya memiliki satu jenis budaya saja. Sebaliknya, setiap budaya organisasi dapat dinilai untuk derajat birokrasi, inovasi, dan suportifnya.

commit to user

19 3. Sosialisasi Organisasi.

Menurut Gibson et al., (2006 : 41) sosialisasi organisasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mengenalkan karyawan baru pada budaya organisasi tersebut. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 : 96) sosialisasi organisasi didefinisikan sebagai proses seseorang mempelajari nilai, norma, dan perilaku yang dituntut, yang memungkinkan ia untuk berpatisipasi sebagai anggota organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan mekanisme kunci yang digunakan oleh organisasi untuk menanamkan budaya organisasinya. Secara singkat, sosialisasi organisasi mengubah orang baru menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mempromosikan dan mendukung nilai dan keyakinan dasar organisasi.

Peneliti perilaku organisasi Feldman (dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 :96) telah mengusulkan model tiga tahap sosialisasi organisasi yang mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai proses penting ini. Ketiga tahap tersebut adalah:

1. Sosialisasi antisipasi, 2. Pertemuan, dan

3. Perubahan dan pemahaman yang bertambah.

Model Feldman juga merinci perilaku dan afeksi yang timbul yang dapat digunakan untuk menilai seberapa baik seorang individu bersosialisasi. Tahap 1: Sosialisasi Antisipasi

Proses belajar yang dilakukan sebelum bergabung dengan organisasi. Tahap ini dimulai sebelum individu benar-benar bergabung dengan organisasi.

commit to user

20 Informasi sosialisasi lebih dulu datang dari berbagai sumber. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:

1. Mengantisipasi kenyataan mengenai organisasi dan pekerjaan baru. 2. Mengantisipasi kebutuhan organisasi mengenai keterampilan dan

kemampuan seseorang.

3. Mengantisipasi sensitivitas organisasi terhadap kebutuhan dan nilai seseorang.

Tahap 2: Pertemuan

Nilai, keterampilan, dan tingkah laku mulai berubah saat karyawan baru menemukan seperti apa sesungguhnya organisasi tersebut. Tahap dua dimulai saat kontrak pekerjaan telah ditandatangani. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:

1. Mengatur gaya hidup versus konflik dalam kerja. 2. Mengatur konflik peran antar kelompok.

3. Mencari definisi dan kejelasan peran.

4. Menjadi familiar dengan dinamika tugas dalam kelompok. Tahap 3: Perubahan dan Pemahaman yang Bertambah.

Karyawan menguasai keterampilan, peran, dan menyesuaikan diri dengan nilai dan norma kelompok kerja. Penugasan tugas yang penting dan pemecahan konflik menandai mulainya tahap akhir dari proses sosialisasi ini. Mereka yang tidak mengalami transisi ke tahap 3 secara sukarela atau tidak sukarela akan terisolasi dari jaringan sosial di dalam organisasi. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:

commit to user

21 1. Persaingan peran disesuaikan dengan tugas yang sulit dikuasai.

2. Internalisasi norma dan nilai kelompok.

Setelah tiga tahap sosialisasi organisasi tersebut selesai dan karyawan sudah tersosialisasi maka akan timbul tingkah laku dan afeksi dari orang yang sudah tersosialisasi tersebut, antara lain:

a.Hasil Tingkah laku:

· Melaksanakan peran tugasnya · Tetap berada di organisasi

· Berinovasi dan bekerja sama secara spontan b.Hasil yang bersifat afeksi:

· Merasa puas secara umum

· Secara internal termotivasi untuk bekerja

· Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang

tinggi

Gibson et al., (2006 : 44) menyatakan ada beberapa karakteristik dari

sosialisasi yang efektif, yaitu: (1) perekrutan yang efektif, (2) program pemilihan dan penempatan yang efektif, (3) program orientasi yang efektif, (4) program pelatihan yang efektif, (5) menyediakan informasi evaluasi kinerja yang lengkap, (6) penugasan pekerjaan yang menantang pada karyawan.

Louis (1980 : 229) mendefinisikan sosialisasi organisasi sebagai sebuah proses dimana seorang individu datang untuk menghargai nilai-nilai, kemampuan, perilaku yang diharapkan, dan pengetahuan sosial yang penting

commit to user

22 untuk mengasumsikan peran organisasi dan untuk berpartisipasi sebagai anggota organisasi.

Definisi ini, seperti halnya dengan hampir semua definisi konsep yang lain, menekankan bahwa sosialisasi organisasi sebagai hal yang penting dalam membantu karyawan berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat dan budaya organisasi. Kebanyakan penelitian tentang sosialisasi organisasi berfokus pada proses, tetapi pengkonsepan kembali yang dilakukan oleh Chao et al. (1994) dan Taormina (1994) mengungkapkan hal yang berbeda dari bidang sosialisasi organisasi. Dalam pendekatannya Taormina (1994 : 136) membagi sosialisasi organisasi menjadi empat dimensi, yaitu: pelatihan, pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan. Model ini sangat sederhana dan tiga dimensi mewakili enam poin yang diidentifikasi oleh Chao et al. (1994), dan Taormina (1994) menambahkan domain keempat, yakni prospek masa depan.

Berikut ini gambaran empat komponen dari sosialisasi organisasi yang juga telah menerima dukungan konseptual dalam model teoretis yang baru-baru ini dikembangkan.

a. Pelatihan.

Sesuai dengan definisi yang dikemukakan Taormina (1997 : 32), pelatihan adalah "tindakan, proses, atau metode yang dilakukan untuk memperoleh semua jenis keterampilan fungsional atau kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu"

commit to user

23 dan berfokus pada sejauh mana karyawan memandang organisasi sebagai penyedia keterampilan kerja yang memadai.

b. Pemahaman.

Hal ini mengacu pada "sejauh mana seorang karyawan sepenuhnya memahami dan dapat menerapkan pengetahuan tentang pekerjaannya, organisasi, orang, dan budayanya (Taormina, 1997 : 32). Jadi, pemahaman berkaitan dengan seberapa baik karyawan memahami organisasi dan bagaimana organisasi beroperasi.

c. Dukungan Rekan Kerja.

Hal ini mengacu pada "kelangsungan emosional, moral, atau instrumental yang diberikan tanpa kompensasi yang berhubungan dengan uang oleh karyawan lain dalam organisasi di mana mereka bekerja "(Taormina, 1997 : 33). Daerah ini juga sesuai dengan definisi sosialisasi karena berfokus pada hubungan sosial karyawan di tempat kerja dan mengacu pada sejauh mana seorang karyawan diterima oleh karyawan lain.

d. Prospek Masa Depan.

Hal ini berkaitan dengan "sejauh mana seorang karyawan dapat merencanakan dan memiliki sebuah karir yang baik dalam organisasi dirinya bekerja" (Taormina, 1997 : 33). Dalam hal teori sosialisasi organisasi, prospek masa depan merupakan salah satu aspek yang baku dalam budaya organisasi, seperti penghargaan, bonus, dan peluang untuk kemajuan yang ditawarkan oleh sebuah

commit to user

24 organisasi dan diukur dari segi persepsi karyawan terhadap ada tidaknya penghargaan tersebut dalam organisasi.

Menurut Taormina (2009 : 653) sosialisasi organisasi melibatkan tujuan fungsional untuk membantu karyawan selaras dengan organisasi yang mempekerjakan mereka, dimensi sosialisasi organisasi yang berkaitan dengan karakteristik tertentu baik dari karyawan (misalnya masing-masing kebutuhan), dan organisasi (misalnya dimensi budaya mereka). Oleh karena itu, harus ada hubungan antara:

1. kebutuhan karyawan dan domain sosialisasi, 2. domain sosialisasi dan domain budaya organisasi.

G. PENELITIAN TERDAHULU

1. Taormina (2009)

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang hubungan antara kebutuhan karyawan dengan dimensi sosialisasi organisasi dan hubungan antara dimensi sosialisasi organisasi dengan dimensi budaya organisasi. Taormina (2009) melakukan penelitian mengenai hubungan kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan karyawan memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi sosialisasi organisasi. Kebutuhan akan otonomi mempunyai hubungan yang kuat dengan pelatihan, pemahaman, dan prospek masa depan. Selain itu kebutuhan akan afiliasi juga memiliki hubungan yang kuat dengan dukungan rekan kerja. Penelitian ini juga menemukan bahwa dimensi sosialisasi organisasi

commit to user

25 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi budaya organisasi. Pelatihan dan dukungan rekan kerja memiliki hubungan dengan budaya birokratis. Pelatihan juga mempunyai hubungan dengan budaya inovatif. Pelatihan, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan mempunyai hubungan dengan budaya suportif. Penelitian ini menggunakan random sampling yang dilakukan di Cina pada pekerja tetap dan kuesioner yang disebarkan sebanyak 400 kuesioner.

2. Taormina (2008)

Penelitian tentang hubungan sosialisasi organisasi dengan budaya organisasi pernah dilakukan oleh Taormina (2008) yang mendapatkan hasil bahwa keempat domain sosialisasi organisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan budaya birokratis, tapi prospek masa depan berhubungan negatif terhadap budaya birokratis. Sampel yang digunakan merupakan para pekerja dewasa di Cina yang bekerja di organisasi lokal pada kota pelabuhan internasional di pesisir selatan Cina.

3. Greenhaus (1999)

Penelitian tentang sosialisasi organisasi yang efektif untuk karyawan pernah dilakukan oleh Greenhaus (1999) yang mendapatkan hasil bahwa rekan kerja, salah satu dimensi sosialisasi organisasi berhubungan positif dengan kesuksesan pendatang baru untuk berfungsi dalam kerja kelompok dan penerimaan akan budaya organisasi. Pelatihan juga mempunyai hubungan dengan penerimaan budaya organisasi. Sampel

commit to user

26 merupakan 200 karyawan yang baru bekerja selama 3 bulan pada 200 perusahaan terbesar dunia.

4. Koberg dan Chusmir (1987)

Koberg dan Chusmir (1987) menemukan bahwa kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach), kebutuhan akan otonomi (n-Aut), kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow), kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) secara positif memiliki hubungan dengan budaya inovatif. Kebutuhan untuk berprestasi

(n-Ach), kebutuhan akan kekuasaan (n-Pow), kebutuhan untuk berafiliasi

(n-Aff) memiliki hubungan dengan budaya birokrasi. Dan kebutuhan akan

otonomi (n-Aut) berhubungan negatif dengan budaya suportif. Penelitian ini dilakukan pada 165 manajer pada kota besar di sebelah barat Amerika. 5. O’Reilly et al. (1991)

O’Reilly et al. (1991) mengukur karakteristik individu, termasuk prestasi, afiliasi, otonomi, dan kekuasaan, dan beberapa karakteristik dimensi budaya organisasi, termasuk inovatif dan suportif. Mereka menemukan kebutuhan akan otonomi dan kekuasaan berhubungan positif dengan budaya inovatif, dan kebutuhan akan otonomi dan kekuasaan berhubungan negatif dengan budaya suportif. Penelitian ini dilakukan pada 171 mahasiswa S2 pada universitas di bagian pesisir barat Amerika.

6. Jones (1986)

Dalam kaitan dengan domain sosialisasi organisasi, secara teoritis aspek penting dari penyesuaian karyawan terhadap budaya organisasi adalah kebutuhan karyawan. Jones (1986) menemukan bahwa karakteristik

commit to user

27 karyawan seperti kepercayaan diri mungkin mempengaruhi proses sosialisasi. Penelitian ini dilakukan pada 127 mahasiswa S2 pada universitas di bagian barat Amerika.

H. KERANGKA PEMIKIRAN

Untuk memudahkan alur pemikiran dalam penelitian ini, hubungan antar variabel-variabel yang diteliti akan digambarkan dalam sebuah kerangka pemikiran.

Gambar 1

Sumber: Taormina (2009) Kerangka Pemikiran

Dari kerangka pemikiran di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan karyawan berpengaruh pada dimensi sosialisasi organisasi. Dimensi sosialisasi akan berpengaruh pada dimensi budaya organisasi. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Taormina (2009) yang mendapatkan hasil bahwa kebutuhan karyawan memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi

Kebutuhan akan Berprestasi Kebutuhan akan Kekuasaan Kebutuhan akan Otonomi Sosialisasi Organisasi: Pelatihan Pemahaman

Dukungan Rekan Kerja

Budaya Organisasi Suportif Budaya Organisasi Inovatif Budaya organisasi Birokratis Kebutuhan akan Afiliasi

commit to user

28 sosialisasi organisasi. Karyawan dengan kebutuhan akan berprestasi akan memanfaatkan pelatihan dalam organisasi karena pelatihan akan meningkatkan kinerja mereka dan akan mempermudah karyawan memperoleh prestasi yang diinginkan. Karyawan dengan kebutuhan akan berafiliasi akan nyaman di dalam organisasi yang memiliki suasana dimana karyawannya saling mendukung antara satu dengan yang lain. Karyawan dengan kebutuhan akan otonomi akan menyukai pemahaman, karena pemahaman akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang pekerjaan yang diberikan pada mereka sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan itu sendiri. Karyawan dengan kebutuhan akan kekuasaan akan menyukai organisasi yang menawarkan prospek masa depan yang baik seperti gaji yang besar dan berbagai penghargaan yang akan meningkatkan kekuasaan mereka di atas yang lain.

Dimensi sosialisasi organisasi memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi budaya organisasi. Dimensi sosialisasi organisasi seperti pelatihan diberikan kepada para karyawan sesuai dengan budaya organisasi dimana mereka bekerja sehingga mereka dapat memiliki kinerja yang baik sesuai dengan budaya organisasi mereka baik budaya birokrasi, inovatif, maupun suportif. Pemahaman diberikan pada para karyawan agar mereka dapat mengerti apa peran mereka dan bagaimana organisasi berjalan sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi tempat mereka bekerja baik budaya birokrasi, inovatif, maupun suportif. Rekan kerja dapat membantu karyawan lain untuk lebih mudah menerima budaya organisasi

commit to user

29 karena rekan kerja dapat menjelaskan dengan rinci budaya organisasi tempat mereka berkerja baik budaya birokrasi, inovatif, maupun suportif. Prospek masa depan seperti bonus dan penghargaan akan dapat membuat karyawan termotivasi untuk bekerja sesuai dengan budaya organisasi mereka baik budaya birokrasi, suportif, ataupun inovatif.

Dengan terpenuhinya kebutuhan karyawan dalam organisasi tersebut, penyampaian sosialisasi organisasi yang tepat, dan karyawan yang dapat selaras dengan budaya organisasi dimana dia bekerja maka pada akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan dan membuat organisasi dapat mencapai tujuannya.

I. HIPOTESIS

Hubungan antara Kebutuhan dengan Dimensi Sosialisasi Organisasi. Jones (1983 : 466) berpendapat bahwa perbedaan individu, seperti perbedaan dalam kebutuhan, dapat mempengaruhi reaksi orang terhadap peran atau tugas-tugas yang diberikan pada mereka dalam organisasi.

Reichers (1987 : 282) berpendapat bahwa beberapa aspek karyawan (misalnya kebutuhan mereka) dan aspek situasi (misalnya lingkungan organisasi) dapat memfasilitasi interaksi mereka dan dapat meningkatkan laju sosialisasi organisasi. Reichers (1987 : 283) juga menyatakan bahwa variabel kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff) dapat mempengaruhi sejauh mana seseorang berinteraksi dengan orang lain di tempat kerja.

Berkenaan dengan hubungan antara kebutuhan karyawan dan dimensi sosialisasi organisasi, Steers dan Braunstein (1976 : 252) menyatakan semakin

commit to user

30 baik kualitas program sosialisasi organisasi maka akan lebih menguntungkan jika tidak meninggalkan pemenuhan kebutuhan karyawan.

Hubungan antara Kebutuhan untuk Berprestasi (n-Ach) dan Dimensi Sosialisasi Organisasi.

Smits et al. (1993 : 117) meneliti kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) pada para profesional dan mencatat bahwa orang dengan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) tinggi mungkin tidak mudah untuk disosialisasikan ke dalam organisasi karena kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) dikaitkan dengan keinginan untuk bekerja sendiri.

Menurut Taormina (2009 : 655) mengenai kaitannya dengan area sosialisasi, kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) mengacu pada keinginan karyawan untuk menjadi lebih sempurna, dan pelatihan akan membantu karyawan berperforma lebih baik. Karyawan dengan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) tinggi harus menghargai pelatihan karena akan membantu mereka meningkatkan kinerja mereka dan mencapai tujuan pribadi mereka. Demikian pula dengan pemahaman, salah satu tujuan sosialisasi adalah untuk meningkatkan efektivitas karyawan. Oleh karena itu, karyawan yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) tinggi harus memperhatikan kegiatan organisasi yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman mereka, karena ini juga akan memberikan kontribusi untuk kebutuhan mereka untuk meningkatkan kinerja dan pencapaian tujuan.

Dokumen terkait