• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perubahan Tutupan/Penggunaan lahan

Hasil klasifikasi tutupan/penggunaan lahan pada citra landsat ETM tahun 2002 (Lampiran 1) dan 2013 (Lampiran 2) diperoleh 10 tipe tutupan/penggunaan

lahan (Lampiran 4) dan memiliki luas keseluruhan adalah 674 105 ha (Tabel 9). Tutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dan 2013 didominasi oleh tipe

lahan hutan. Secara spasial, distribusi masing-masing tutupan/penggunaan lahan yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur tahun 2002 dan 2013 dapat dilihat pada peta (Gambar 13 dan 14).

Tabel 9 Luas dan persentase tipe tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Luwu Timur tahun 2002 dan 2013

Tabel 9 menunjukkan bahwa tipe tutupan/penggunaan yang mengalami penurunan luasan terbesar yaitu hutan sedangkan tipe tutupan/ penggunaan yang mengalami peningkatan luasan cukup tinggi yaitu lahan terbangun/permukiman dan lahan terbuka. Berdasarkan data tutupan/penggunaan lahan dari hasil citra satelit dan data lokasi pertambangan yang di peroleh dari DESM Kabupaten Luwu Timur diketahui bahwa sebahagian besar dari lokasi tambang berada pada lahan hutan. Hal ini dipertegas oleh Sihombing (2013) menyatakan bahwa perubahan tutupan/penggunaan lahan hutan terjadi karena terdapat deposit energi dan mineral yang berlimpah di suatu wilayah sedangkan tipe lahan terbangun/permukiman mengalami peningkatan karena adanya kebutuhan masyarakat untuk bermukim.

Peningkatan terbesar dari tipe lahan terbuka dan lahan terbangun/ permukiman berasal dari tipe lahan hutan (Tabel 10, Lampiran 5). Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka Periode 2002-2013 yaitu ke arah timur tenggara atau di Kecamatan Towuti (Lampiran 7). Pada tahun 2002, Lahan terbuka berada di 4 kecamatan (Gambar 13), yaitu: Kecamatan Angkona, Towuti, Nuha dan Wasuponda. Tahun 2013, lahan terbuka berada di 5 kecamatan (Gambar 14) yaitu Kecamatan Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbangun/ permukiman Periode 2002-2013 yaitu ke arah selatan tenggara atau di Kecamatan Malili (Lampiran 8).

Tutupan/penggunaan lahan 2002 2013 Perubahan Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) Luas (ha)

Empang/tambak 189 0 15 707 2 15 518 Hutan 531 418 79 443 646 66 -87 772 Kebun 7 751 1 16 054 2 8 303 Terbangun/permukiman 6 373 1 16 485 2 10 112 Terbuka 1 879 0 17 255 3 15 376 Rawa/mangrove 389 0 4 260 1 3 871 Sawah 24 628 4 13 643 2 -10 985 Semak/Belukar 10 826 2 8 166 1 -2 660 Tegalan/Ladang 11 438 2 59 675 9 48 237 Tubuh Air 79 214 12 79 214 12 0.00 Jumlah 674 105 100 674 105 100

Gambar 13 Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 Kabupaten Luwu Timur 40

41

Gambar 14 Peta Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2013 Kabupaten Luwu Timur

40

.

Tabel 10 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2002-2013 di Kabupaten Luwu Timur Tutupan/Penggunaan

Lahan

Tahun 2002 Penurunan Luasan (ha)

ET1 HT2 KB3 LP4 LT5 RM6 SW7 SB8 TL9 TA10 Jumlah Ta hun 2013 P eningkata n Lua sa n ( ha ) ET1 - 15 251 - - - 96 - 92 96 - 15 535 HT2 - - - - - 12 - 12 KB3 - 878 - - 252 - 1 702 6 401 928 - 10 161 LP4 1 3 341 748 - - 260 2 152 1 098 2 513 - 10 112 LT5 - 14 116 - - - - 164 1 348 - - 15 628 RM6 - 4 226 - - - 4 226 SW7 14 2 439 1 023 - - - - 399 1 298 - 5 173 SB8 - - 87 - - - 6 591 - 6 678 TL9 2 47 533 - - - - 12 140 - - - 59 675 TA10 - - - - Jumlah 17 87 784 1 858 - 252 356 16 158 9 338 11 438 - 127 201 1

Empang/Tambak (ET); 2Hutan (HT); 3Kebun; 4Lahan Terbangun/Permukiman (LP); 5Lahan Terbuka (LT); 6Rawa/Mangrove (RM);

7

Sawah (SW); 8Semak/Belukar (SB); 9Tegalan/Ladang (TL); 10Tubuh Air (TA)

Analisis Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil analisis prediksi perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2024 (Tabel 11 dan Gambar 15), tipe tutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luasan adalah kelas tutupan/penggunaan lahan terbangun/ pemukiman sebesar 23 173 ha dan lahan lahan terbuka yang bertambah sebesar 19 946 ha.

Tabel 11 Luas dan persentase tutupan/penggunaan lahan Kabupaten Luwu Timur tahun 2013 dan 2024

Hasil prediksi perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2024, tipe lahan terbuka berada di 10 kecamatan antara lain: Kecamatan Wotu, Tomoni, Tomoni Timur, Mangkutana, Kalaena, Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Tren perubahan lahan hutan ke lahan terbuka periode 2013-2024 yaitu ke arah timur tenggara terkonsentrasi di Kecamatan Towuti, Nuha, dan Wasuponda (Lampiran 9). Kontribusi peningkatan luasan terbesar dari tipe lahan terbuka berasal dari tipe lahan hutan sebesar 20 418 ha (Tabel 12 dan Lampiran 6). Sementara kontribusi peningkatan luasan terbesar dari tipe terbangun/pemukiman berasal dari tipe lahan tegalan sebesar 21 668 ha (Tabel 12 dan Lampiran 6). Tren perubahan lahan tegalan ke lahan terbangun/pemukiman periode 2013-2024 yaitu ke arah selatan barat daya yang terkonsentrasi di Kecamatan Wotu, Angkona, dan Tomoni Timur (Lampiran 10).

Perubahan tutupan/penggunaan lahan lahan berpengaruh terhadap degradasi lingkungan apabila tidak dikelola secara lestari baik secara ekologi. Sehingga diperlukan pengendalian yang tepat guna dalam pengembangan wilayah. Salah satu fenomena degradasi lingkungan akibat perubahan tutupan/penggunaan lahan adalah peningkatan laju aliran permukaan (runoff) dan proses sedimentasi. Menurut Nurroh (2014) bahwa laju aliran permukaan meningkat akibat meningkatnya lahan terbangun sedangkan sedimentasi terjadi akibat peningkatan

runoff diiringi oleh daerah budidaya yang tidak mengindahkan konservasi tanah dan air. Fenomena perubahan tutupan/penggunaan lahan lahan dalam skala besar dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir di daerah hilir.

Tutupan/penggunaan lahan 2013 2024 Perubahan Luas (ha) (%) Luas (ha) (%) Luas (ha)

Empang/tambak 15 707 2 15 397 2 -310 Hutan 443 646 66 422 900 63 -20 746 Kebun 16 054 2 20 961 3 4 907 Terbangun/permukiman 16 485 2 39 658 6 23 173 Terbuka 17 256 3 37 202 6 19 948 Rawa/mangrove 4 260 1 4 262 1 3 Sawah 13 643 2 20 088 3 6 445 Semak/Belukar 8 166 1 4 445 1 -3 721 Tegalan/Ladang 59 675 9 30 9084 5 -28 767 Tubuh Air 79 214 12 78 282 12 -932 Jumlah 674 105 100 674 105 100 43

Gambar 15 Peta Hasil Prediksi Tutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2024 Kabupaten Luwu Timur 44

Tabel 12 Matriks perubahan tutupan/penggunaan lahan tahun 2013-2024 di Kabupaten Luwu Timur Tutupan/Penggunaan

Lahan

Tahun 2013 Penurunan Luasan (ha)

ET1 HT2 KB3 LP4 LT5 RM6 SW7 SB8 TL9 TA10 Jumlah Ta hun 2024 P eningkata n Lua sa n ( ha ) ET1 - - - - - 21 4 - 56 82 164 HT2 - - - - 41 - - - 7 - 48 KB3 154 - - - 778 2 2 403 3 470.61 79 35 6 923 LP4 3 62 247 - 1 153 3 14 14.40 21 668 7 23 173 LT5 1 20 418 1 - - - 61 614.17 51 1 054 22 201 RM6 17 7 2 - 1 - 3 - 3 6 38 SW7 177 - 1 691 - 163 2 - 7.38 7 185 21 9 247 SB8 34 - 2 - 71 - 302 3 982.39 48 6 4 445 TL9 10 153 52 - 40 2 10 60.37 - 40 367 TA10 77 154 20 - 6 4 4 16.83 37 - 319 Jumlah 474 20 796 2 015 - 2 253 35 2 803 157.90 8 166.14 2,802.54 29 134 1 252 1,251.55 66 925 1

Empang/Tambak (ET); 2Hutan (HT); 3Kebun; 4Lahan Terbangun/Permukiman (LP); 5Lahan Terbuka (LT); 6Rawa/Mangrove (RM);

7

Sawah (SW); 8Semak/Belukar (SB); 8Tegalan/Ladang (TL); 10Tubuh Air (TA)

Analisis Dampak Pertambangan

Berdasarkan hasil akhir binary logististik regression (Lampiran 14 dan Tabel 13), menunjukkan bahwa variabel alokasi RTRW, lokasi tambang dan kelas lereng berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan semua tipe tutupan/ penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur.

Tabel 13 Hasil akhir binary logistic regression.

N=2020 Variabel Koefisien Wald p OR (IK 95%) Langkah 1 Alokasi RTRW untuk kawasan Lindung 0.753 41.226 0.000 2.124

Perusahaan Tambang 0.282 7.791 0.005 1.326 Lereng 8-15% 1.575 35.064 0.000 4.829 Lereng 15-25% 1.261 22.147 0.000 3.530 Lereng 25-40% 1.053 15.110 0.000 2.866 Lereng >40% 0.657 5.271 0.022 1.929 Konstanta -1.563 31.991 0.000 0.210

Persamaan yang dihasilkan:

Logit (Y) = -1.563 + 0.753 (Kawasan lindung ) + 0.282 (Perusahaan tambang) + 1.575 (Lereng 8-15%) + 1.261 (Lereng 15-25%) + 1.053 (Lereng 15-25%) + 0.657 (Lereng >40%)

Tabel 13 menunjukkan bahwa variabel lereng memiliki kekuatan hubungan yang terbesar sebesar 4.829 terhadap perubahan semua tipe tutupan/penggunaan lahan sementara variabel alokasi ruang untuk kawasan lindung sebesar 2.124 dan perusahaan tambang sebesar 1.326. Hal ini sejalan dengan pendapat dahlan (2009) bahwa kekuatan hubungan dapat dilihat dari nilai OR (Odds Rasio) dengan IK(Indeks Kepercayaan) 90%, kekuatan hubungan dari yang terbesar.

Variabel lereng mempunyai lima kelas kemiringan dari kelas datar hingga sangat curam. Berdasarkan hasil akhir binary logistic regression menunjukkan semakin datar lereng, maka semakin besar peluang terjadi perubahan tutupan/penggunaan lahan di Kabupaten Luwu Timur. Keadaan ini sudah sejalan dengan pendapat Bourne dalam Arkham (2014) bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perubahan tutupan/penggunaan lahan adalah bentuk lereng dimana semakin datar maka peluang untuk berubah semakin besar. Faktor lokasi tambang berpengaruh positif terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan seharusnya menjadi perhatian penting dalam penataan ruang karena aktivitas pertambangan memberikan dampak terhadap perubahan tutupan/penggunaan lahan seperti lahan hutan menjadi lahan terbuka. Hal ini sejalan dengan pendapat Tuni (2013) bahwa aktivitas pertambangan terbuka dapat menimbulkan dampak secara keruangan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tutupan/penggunaan lahan

Data yang digunakan dalam melakukan regresi linear sederhana yaitu data tutupan/penggunaan lahan yang mengalami peningkatan cukup tinggi dan

penurunan luas terbesar. Berdasarkan hasil akhir regresi linier sederhana (Tabel 14), menunjukkan bahwa luas lokasi tambang berpengaruh positif dan

signifikan terhadap perubahan tipe tutupan/penggunaan lahan hutan di Kabupaten Luwu Timur.

. 46

48

Tabel 14 Nilai hasil regresi linear sederhana

Variabel dependen (W)

Variabel independen (U) Luas lokasi tambang r R2

Annova Coefficient F Sig B

(Constant) B t Sig

Lahan hutan menjadi lahan terbuka periode 2002-2013 (W1)

0,98 0.95 105.20 0.00 -521.43 0.09 10.25 0.01

Lahan hutan menjadi lahan terbangun/permukiman periode 2002-2013 (W2)

0.94 0.83 16.16 0.05 70.03 0.01 4.02 0.05

Lahan hutan menjadi lahan terbuka Periode 2013-2024 (W3)

0.98 0.97 321.65 0.00 184.82 0.11 17.93 0.00

Lahan hutan menjadi lahan terbangun/permukiman periode 2013-2024 (W4)

0.97 0.93 42.43 0.02 1.98 9.95 6.51 0.02

Persamaan yang dihasilkan dari hasil analisis regresi linear sederhana untuk setiap perubahan adalah

W1 = -521.43 + 0.09 U; W2 = 70.03 + 0.01 U;

W3 = 184.82 + 0.12 U; W4 = 1.98 + 9.95 U;

Dari tabel 14, variabel U mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel W artinya perubahan tutupan/penggunaan lahan hutan yang dikonversi menjadi lahan terbuka dan lahan terbangun/permukiman sebagai akibat dari tambang. Lahan terbuka dan lahan terbangun/permukiman untuk dikembalikan ke lahan hutan, kemungkinannya sangat kecil teralisasi karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Hal ini sejalan dengan pendapat Puspaningsih (2011) bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai hutan stabil dari pertama penanaman sampai terbentuknya hutan stabil dibutuhkan waktu 75 tahun.

Salah satu faktor pencemaran udara dan hujan asam adalah aktivitas pertambangan. Menurut Pohan (2002) bahwa aktifitas industri seperti pertambangan dapat menyebabkan pencemaran udara, bahan pencemar yang dihasilkan terutama adalah debu/serbuk dari kegiatan industri. Udara di daerah kegiatan industri, udaranya relatif sudah tidak bersih lagi. Pencemar yang terdapat di udara dapat masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernapasan. Dampak kesehatan yang paling umum dijumpai adalah ISNA (infeksi saluran napas atas), termasuk di antaranya, asma, bronkitis, dan gangguan pernapasan lainnya. Selain itu, tanaman yang tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran udara tinggi dapat terganggu pertumbuhannya dan rawan penyakit, antara lain klorosis, nekrosis, dan bintik hitam. Partikulat yang terdeposisi di permukaan tanaman dapat menghambat proses fotosintesis.

Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar pada kegiatan industri pertambangan nikel di Kabupaten Luwu timur, menyebabkan kadar gas belerang oksida (SOx) diudara meningkat. Reaksi antara gas SOx dengan uap air yang

terdapat diudara akan membentuk asam sulfat maupun asam sulfit. Apabila asam sulfat dan asam sulfit turun ke bumi bersama-sama dengan jatuhnya hujan, terjadilah Acid Rain atau hujan asam (Pohan 2002). Hutan yang gundul akibat jatuhnya hujan asam akan mengakibatkan lingkungan semakin parah.

49

Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang

Kabupaten Luwu Timur sebagai wilayah pemerintah daerah kabupaten yang menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 11 ayat 2, dinyatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayahnya untuk mewujudkan ruang wilayah kabupaten yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Anonim 2007). Kewenangan yang diberikan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam melakukan pengaturan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Dalam melaksanakan perencanaan pembangunan daerah khususnya dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam, pemerintah Kabupaten Luwu Timur telah menyusun Rencana Tata Ruang sebagai dasar dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan kepentingan dan potensi yang dimiliki Kabupaten Luwu Timur.

Tata Ruang dalam pandangan pemerintah merupakan pengaturan ruang berdasarkan berbagai fungsi dan kepentingan tertentu atau pengaturan tempat bagi berbagai aktivitas manusia. Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak dengan adil, menghindari persengketaan serta untuk menjamin kelestarian lingkungan maka dibutuhkan suatu proses yaitu penataan ruang. Dalam penataan ruang, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak dan luas sebagai suatu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai pemanfaatan seperti kawasan pertambangan dengan pola ruang dan pola pemanfaatan ruang dalam RTRW.

Rencana pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Luwu Timur diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Timur (Anonim, 2011). Pola ruang Kabupaten Luwu Timur terdiri dari kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia. Kawasan lindung ditujukan untuk mewujudkan kelestaian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem antar wilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Wilayah kawasan pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah kawasan lindung.

Berdasarkan hasil overlay diperoleh informasi konsistensi dan inkonsistensi lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur (Tabel 15). Inkonsistensi terjadi karena lokasi perusahaan tambang berada pada kawasan lindung. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Luwu Timur Nomor 7 Tahun 2011 pasal 20 ayat 1 tentang RTRW Kabupaten Luwu Timur dan UU RI nomor 26 Tahun 2007 tentang Penaatan Ruang pasal 5 ayat 2 yang mengisyaratkan bahwa kawasan pertambangan masuk ke dalam pengembangan kawasan budidaya.

Gambar 16 Peta kesesuaian pemanfaatan ruang antara antara lokasi perusahaan tambang dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur

Tabel 15 Konsisten (√) dan inkonsistensi (×) antara lokasi perusahaan tambang

dengan RTRW Kabupaten Luwu Timur.

Ket : 1perusahaan tambang = (1) PT. Vale Indonesia, Tbk; (2) PT. Citra Lampia Mandiri; (3) PT. Panca Digital Solution; (4) PT. Prima Utama Lestari; (5) PT. Sumber Wahau Jaya; (6) PT.

Billy Indonesia; (7) PT. Anugrah Jaya Buana; (8) PT. Damar Utama; (9) PT. Citra Prawita Abadi; (10) PT. Tiga Samudra Perkasa; (11) PT. Patiwiri; (12) Sari Perma; (13) Aphasko.

2

Tubuh air yang dimaksudkan yaitu sungai.

Tabel 15 menunjukkan bahwa terdapat 2 perusahaan tambang yang konsistensi terhadap RTRW dengan total luas sebesar 48 280 ha atau 29.56% dan 11 perusahaan tambang yang inkonsistensi terhadap tata ruang dengan luasan sebesar 115 043 ha atau 70.44% (Tabel 16).

Tabel 16 Luas inkonsistensi lokasi perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur

Arahan pola ruang dan pola pemanfaatan ruang dalam RTRW

Kabupaten Luwu Timur

Perusahaaan tambang1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 A Kawasan budidaya

1 Hutan produksi terbatas √ √ √ √ √ √ √ √

2 Hutan produksi tetap √ √

3 Hutan produksi konversi √

4 Lahan basah √ √ √ √ √ 5 Lahan kering √ √ √ √ √ √ √ √ √ 6 Permukiman √ √ √ √ √ B Kawasan lindung 1 Hutan lindung × × × × × × × × × × 2 Cagar alam × 3 Konservasi perairan × 4 Tubuh Air 2 × × × × × × × × No Perusahaan tambang

Luas inkonsistensi lokasi perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur

Jumlah (ha) Hutan Lindung (ha) Cagar Alam (ha) Konservasi Perairan (ha) Tubuh Air (ha) 1 PT. Vale Indonesia, Tbk 81 210 2 568 0 1 241 85 019

2 PT. Citra Lampia Mandiri 298 0 0 0 298

3 PT. Panca Digital Solution 281 0 0 0 281 4 PT. Prima Utama Lestari 1 099 0 4 5 1 108 5 PT. Sumber Wahau Jaya 6 088 0 0 49 6 137

6 PT. Damar Utama 2 453 0 0 33 2,486

7 PT. Citra Prawita Abadi 422 0 0 10 432

8 PT. Tiga Samudra Perkasa 19 267 0 0 2 19 269

9 PT. Patiwiri 3 0 0 0 3

10 Sari Perma 0 0 0 6 6

11 Aphasko 0 0 0 3 3

12 PT. Billy Indonesia 0 0 0 0 0

13 PT. Anugrah Jaya Buana 0 0 0 0 0

Jumlah 111 122 2 568 4 1 295 115 043

51

Analisis Konflik

Kehadiran perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur seperti perusahaan tambang nikel milik PT. Vale Indonesia, Tbk di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur menimbulkan konflik pada masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi yang ada di Kecamatan Nuha. Menurut informasi dan kronologisnya Suku To Kanrosi’e merupakan suku yang paling tua di wilayah Kecamatan Nuha. Tanah dan wilayah asal masyarakat adat Suku To Kanrosi’e adalah Witamorini atau sekitar wilayah rahampuhu yang sekarang di kenal dengan wilayah danau matano. Rahampuhu berasal dari dua suku kata yaitu raham dan puhu. raham adalah rumah dan puhu adalah awal (yang berarti rumah awal). Nenek moyang dari Suku To Kanrosi’e adalah Resarenda. Resarenda merupakan manusia yang langkah dan tidak seperti halnya manusia biasa dan melahirkan 3 orang anak perempuan hasil pernikahan dengan anak raja luwu. Anak dari resarenda terpencar ke 3 wilayah yaitu Lauwolu ke wilayah nusung batu (Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, Landikka ke wilayah Mekoka (Kabupaten Kendari Sulawesi Sulawesi Tenggara) dan Lebago di Sulawesi selatan (Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur). Karonsi`e juga berasal dari dua suku kata, yaitu Karo yang berarti tiang dan Si`e yang berarti Lumbung. Witamorini ditinggalkan secara praktis, pada tahun 1880. Bukti-bukti perpindahan dan kehidupan mereka hingga saat ini masih dapat disaksikan melalui situs-situs perkampungan dan kuburan leluhur mereka yang terdapat di beberapa areal yang dikuasai oleh PT. Vale Indonesia, Tbk. Secara berangsur, warga Suku To Kanrosi’e kemudian kembali ke tanah leluhur mereka. Keberadaan PT. Vale Indonesia, Tbk merupakan bentuk pengambil alihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi. Konflik antara masyarakat adat Suku To Kanrosi’e Kampoeng Dongi dengan PT. Vale Indonesia, Tbk memang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Berikut ini urutan kejadian konflik berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan (Lampiran 15, 16, dan 17), yaitu Martius Tomana selaku ketua Suku To Kanrosi’e dan ketua adat Desa Dongi wasuponda, Irene Mananta selaku ketua masyarakat adat Kampung Dongi Sorowako, Yunus Ambeta selaku tokoh adat Kampung Dongi Sorowako, Surhama selaku masyarakat adat Kampung Dongi Sorowako.

Urutan Kejadian Konflik Tahun 1901

Bijih nikel mula-mula ditemukan oleh seorang Belanda bernama Kruyt di pegunungan Verbeek, Sulawesi. Pegunungan Verbeek merupakan wilayah Suku To Kanrosi’e.

Tahun 1937

Ahli geologi Flat Elves melakukan studi endapan nikel di Kampung Dongi (Sorowako). Kampung Dongi merupakan wilayah Suku To Kanrosi’e.

Tahun 1950

Pada masa timbulnya pergolakan sosial di Sulawesi Selatan oleh gerakan DI/TII. Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di pimpin oleh Abdul Kahar Muzakkar maka Masyarakat Kampung Dongi mengungsi meninggalkan tanah leluhur Suku To Kanrosi’e.

52

Tahun 1966

PT. Tailor melakukan penambangan di wilayah bekas Kampung Dongi Suku To Kanrosi’e dengan penambangan manual. PT. Tailor memiliki 4 CV konraktor yaitu Betel, Bravo, Indemering dan CBA .

Tahun 1968

PT. Tailor berganti nama menjadi PT. Inco, Tbk. Tertanggal 25 Juli 1968, PT Inco didirikan berdasarkan ketentuan Hukum Indonesia dalam bidang Penanaman Modal Asing, No.1, tahun 1967.

Tahun 1969

Tertanggal 27 Juli 1969, Penandatanganan Kontrak Karya untuk jangka waktu 30 tahun sejak dimulainya produksi komersial tanggal 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008.

Tahun 1973

Tanggal 24 September 1973 PT Inco Tbk mengajukan Surat permohonan No.: RML. 33/ 973 ke pemerintah RI, intinya adalah permintaan penggunakan lahan di Sorowako Provinsi Sulawesi Selatan guna pembangunan pembangunan prasarana pertambangan dan pengolahan nikel. Pembangunan infrastruktur termasuk lahan yang akan dijadikan sebagai lapangan golf yang merupakan bekas Kampung Dongi Sorowako, atas surat permohonan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan kemudian memerintahkan Bupati Kabupaten Luwu untuk membentuk panitia ganti rugi lahan

Tahun 1975

Bupati Luwu membentuk tim infentarisasi dan pendataan lahan yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dari hasil infentarisasi lahan tersebut Bupati Luwu menetapkan biaya ganti rugi, dengan Total Rp 42.413.739,50,-

Dalam SK Bupati tersebut tercantum sebanyak 230 nama pemilik tanah, rumah dan tanaman yang menerima ganti rugi, namun sebagian besar pemilik menolak penetapan harga tersebut dengan alasan nilainya terlalu kecil, disamping itu ada dugaan manipulasi dalam infentarisasi nama pemilik serta hasil pengukuran luas tanah. Penolakan ini berujung pada pemberian kuasa oleh 137 pemilik tanah kepada pengacara Mustamin dg. Matutu. SH dan atas nama masyarakat meminta agar PT Inco memberikan tambahan nilai kompensasi.

Tahun 1976

Masyarakat adat Suku To Kanrosi’e kembali ke Kampung Dongi dan mendapati tanah mereka sudah menjadi lapangan golf dan kantor perusahaan, sebahagian lagi jadi area tambang, Situs kuburan tua leluhur Suku To Kanrosi’e sebahagian hilang karna aktifitas tambang. Saat mereka mau mengelola dan membangun kembali diatas lahan tersebut mereka di intimidasi oleh pemerintahan orde baru melalui polisi, selain mendapat tekanan dari pemerintah dan polisi, masyarakat Suku To Kanrosi’e juga mendapat tekanan dari masyarakat Sorowako itu sendiri dan mengklaim bahwa itu lahan mereka yang sudah diganti rugi.

Tahun 1977

Pada 31 Maret 1977 Presiden Soeharto berkunjung ke Sorowako dan meresmikan fasilitas penambangan dan pengolahan nikel. Pasca peresmian PT Inco memenuhi permintaan penambahan ganti rugi sebesar Rp. 33.363.000,00,-

53

persetujuan penambahan tersebut ditandatangani oleh Drs. A.B. Nusali Snr. Suvervisor Government Ralation PT Inco Tbk dan Drs. M. Daud Nompo Pj. Sekretaris Wilayah Daerah Tk I Sulawesi Selatan yang mengakomodir 201 nama- nama penerima sumbangan penambahan ganti rugi.

Tahun 1978

Dengan dipenuhinya permintaan masyarakat untuk penambahan ganti rugi, maka pasda tanggal 12 September 1978, Bupati Luwu Drs.A.Samad Suhaeb membuat Surat pernyataan yang intinya apabila ganti rugi dan kompensasi rakyat sorowako telah selesai di bayar sesuai jumlah yang disepakati maka kami menjamin bahwa tidak akan mendapat tuntutan atau gugatan apapun dari orang atau pihak lain mengenai tanah tersebut sehingga PT Inco memulai produksi komersial.

Tahun 1979

Menteri pertambangan dan Energi, up. Ispektur Jenderal Departemen Pertambangan tertanggal 9 Agustus 1979 membuat surat pernyataan yang intinya, pasca tuntasnya proses pembebasan lahan untuk pertambangan PT Inco sebagaimana Surat persetujuan Pemerintah Sul-Sel dan Pt Inco Tanggal 29 November 1977 dan berita acara pelepasan hak atas tanah No. AGR 16/7/50 1978 maka PT Inco sudah tidak lagi mempunyai kewajiban untuk menerima dan melayani setiap gugatan

Tahun 1999

Kerukunan Pertewawo Asli Karonsi’e Dongi (KRAPASKAD) Melayangkan surat permohonan kepada PT Inco yang intinya berkaitan dengan permohonan konvensasi atas masyarakat Suku To Kanrosi’e sebagai masyarakat asli Sorowako sebagaimana masyarakat asli Sorowako lainnya yang telah diberi konvensasi dan ganti rugi oleh PT Inco, Tbk.

Tahun 2000

Masyarakat Suku To Kanrosi’e kembali menetap di Kampung Dongi dengan jumlah 10 KK awalnya mereka membangun pemukiman/rumah diatas gunung dan membentuk kerukunan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi diketuai oleh Naomi Mananta.

Tahun 2001

Masyarakat Suku To Kanrosi’e yang membangun pemukiman di atas gunung kuretelawa (dahulu area persawahan suku kanrusi’e) lalu perlahan turun ke wilayah Ruruwano PT Inco. Wilayah Ruruwano merupakan wilayah Kampung Dongi dan dikenal sekarang wilayah Bumper (Bumi Perkemahan). Di wilayah Ruruwano, masyarakat Suku To Kanrosi’e membangun rumah dengan jumlah 4 Rumah yang terdiri atas 7 KK dan 15 jiwa hingga akhirnya berkembang menjadi 47 KK, 30 Rumah, 310 jiwa.

Tahun 2002

Pada Tgl 28 Juni 2002 masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi mengadakan pertemuan dengan Pemkab Luwu Utara di gedung pertemuan Tiando Lowo Wasuponda, dalam petemuan tersebut masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi menyampaikan permintaan agar lokasi pemukimannya tetap

54

berada didaerah ruruwano sebagai kampong nenek moyang Suku To Kanrosi’e dan juga meminta pembangunan dalam bentuk rumah adat seluas 9X12 M.

Tahun 2003

Maasyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi mengalami pergantian ketua, Ibu Naomi digantikan oleh Ibu Werima Mananta. Ibu Werima selaku ketua baru tetap melanjutkan perjuangan dan masyarakatat adat melanjutkan aktifitas diatas lahan tersebut.

Tanggal 6 Mei 2003 PT Inco mengirim surat permintaan penghentian kegiatan masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi di Daerah tambang aktif ke Pemerintah Wilayah Kecamatan Nuha (Camat). Pasca pengiriman surat tersebut masyarakat semakin meningkatkan aktifitasnya, maka diatas lahan tersebut, atasnama Polres dipasang papan larangan beraktifitas, namun masyarakat tetap bertahan dan menyatakan sikap bahwa apa pun yang terjadi tidak akan pernah beranjak dari lokasi tersebut. Pihak perusahaan PT. Inco bersama Polisi Daerah setempat mendatangi rumah-rumah masyarakat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi dan mencoba mengusir mereka. Alasannya tetap sama. Mereka berada di atas tanah milik Inco. Beberapa tokoh Masyarakat Adat Suku To Kanrosi’e Kampung Dongi ditangkap dan ditahan tanpa sidang selama 3 bulan,

Dokumen terkait