• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis I-O Konstribusi Sektor

3. Income multiplier/IM

Berdasarkan analisis multiplier effect terhadap pendapatan tipe I sektor- sektor perekonomian, diperoleh lima sektor yang memiliki nilai tertinggi, yaitu; bangunan/konstruksi, kehutanan, peternakan, industri non migas dan pengangkutan. Berdasarkan Gambar 33, sektor penggalian memiliki nilai IM sebesar 1,013 menempati urutan 17 dan sektor pertambangan tanpa migas memiliki nilai IM sebesar 1.03 menempati urutan 14. Hal ini berarti bahwa apabila permintaan akhir sektor penggalian dan subsektor pertambangan tanpa migas meningkat 1 milyar rupiah, maka dampak terhadap pendapatan wilayah akan meningkat 1.01 milyar rupiah untuk sektor penggalian dan 1.03 milyar rupiah untuk sektor pertambangan tanpa migas.

82 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.01 1.03 1.02 1.03 1.04 1.04 1.04 1.11 1.13 1.13 1.15 1.29 1.29 1.36 1.51 2.01 5.41 0.0 2.0 4.0 6.0 Pemerintahan Umum Swasta Air Bersih Restauran Hotel Penggalian Lembaga Keuangan Tanpa Bank Jasa Perusahaan Pertambangan Tanpa Migas

Listrik Usaha Sewa Bangunan Komunikasi Tanaman Bahan Makanan Perikanan Perkebunan Bank Perdagangan Pengangkutan Industri Non Migas Peternakan Kehutanan Bangunan/Konstruksi

Gambar 33 Nilai Income multiplier/IM

Berdasarkan seluruh indikator keterkaitan dan multiplier effect melalui analisis I-O diketahui bahwa sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas belum termasuk sektor strategis karena menurut Rustiadi et al. (2011) sektor strategis adalah sektor yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar serta mampu menciptakan angka pengganda (multiplier) yang besar dalam perekonomian. Indikator tersebut kontradiktif dengan besarnya potensi dan sumbangan sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas yang dimiliki terhadap PDRB.

Keterkaitan sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas dengan sektor-sektor lain relatif rendah terutama dikarenakan output sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas lebih banyak digunakan untuk memenuhi permintaan akhir dibandingkan transaksi antar sektor perekonomian dalam proses produksi. Dari output total sektor penggalian sebesar Rp. 8 981.08 juta dan sektor pertambangan tanpa migas sebesar Rp. 7 427 655.01 juta, permintaan antara sektor penggalian sebesar 100% (Rp. 8 981.08 juta) dan sektor pertambangan tanpa migas hanya sebesar 0.01% (Rp. 752.75 juta), sedangkan permintaan akhir

(final demand) mencapai 99.99% (Rp. 7 426 902.26 juta) untuk sektor pertambangan tanpa migas dan 100% (Rp. 8 981.08 juta) untuk sektor penggalian. Dilihat dari komposisi permintaan akhir (final demand) sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas. Pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi pemerintah, investasi (pembentukan modal tetap bruto) tidak memiliki permintaan akhir dari sektor penggalian dan sektor

83

pertambangan tanpa migas. Perubahan stok memiliki permintaan akhir dari sektor pertambangan tanpa migas mencapai 27.24% (Rp. 2 023 203.79 juta) sisanya adalah ekspor barang dan jasa 72.76% (Rp. 5 403 698.47 juta) sedangkan sektor penggalian tidak memiliki perubahan stok dan ekspor barang dan jasa.

Dari sisi keterkaitan ke depan (Lampiran 26), sektor pertambangan tanpa migas hanya terkait dengan 1 sektor, yaitu: sektor listrik, sektor penggalian hanya terkait dengan 2 sektor, yaitu: sektor penggalian dan bangunan/konstruksi. Dari sisi keterkaitan ke belakang (Lampiran 26), sektor pertambangan tanpa migas hanya terkait dengan 1 sektor, yaitu: sektor pemerintahan umum. Sektor penggalian terkait dengan 13 sektor, yaitu: kehutanan, penggalian, industri non migas, listrik, bangunan/konstruksi, perdagangan, pengangkutan, hotel, restauran, konsumsi, bank, usaha sewa bangunan dan pemerintahan umum.

Berdasarkan analisis I-O secara umum sektor industri non migas dan sektor bangunan/konstruksi termasuk ke dalam sektor yang strategis karena memiliki nilai DBL*j, DFL*i, DIBL, DIFL, IDP, IDK, IM, VM dan OM yang tinggi dari

sektor lainnya, sementara sektor penggalian dan sektor pertambangan tanpa migas belum termasuk kedalam sektor strategis.

Sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian yang merupakan bagian dari sektor primer (yang berbasis sumberdaya alam) akan berkelanjutan dan berdampak besar terhadap ekonomi wilayah apabila memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor industri non migas. Hal ini sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2011), roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik dengan adanya keterkaitan. Makin kuat keterkaitan antar sektor, makin kecil ketergantungan sektor tersebut pada impor, sekaligus memperkecil kebocoran wilayah yang mengalir ke wilayah lainnya, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayahnya sendiri. Analisis keterkaitan antar sektor pada dasarnya melihat dampak output dan kenyataan bahwa sektor-sektor dalam perekonomian tersebut saling mempengaruhi.

Upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian sebagai salah satu sektor strategis di Kabupaten Luwu Timur adalah meningkatkan keterkaitan dengan sektor lain pada sektor hilirnya. Sektor industri non migas yang merupakan sektor sekunder yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Dengan memiliki keterkaitan kedepan yang kuat terhadap sektor industri tanpa migas diharapkan sektor pertambangan tanpa migas dan sektor penggalian akan menjadi sektor strategis yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah Kabupaten Luwu Timur.

84

Sintesis

Kabupaten Luwu Timur memiliki sumber daya alam yang melimpah khususnnya deposit berbagai jenis bahan tambang yang harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan perekonomian daerah maupun nasional. Kegiatan penambangan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan sering menimbulkan konflik, baik diakibatkan tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan maupun konflik dengan masyarakat. Hal itu dapat terjadi apabila kegiatan penambangan tidak dikelola dengan baik dan benar.

Aktivitas penambangan di Kabupaten Luwu Timur menggunakan sistem tambang terbuka (open-pit mining atau side-hill quarry) yang berakibat pada perubahan tutupan/penggunaan lahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada periode 2002-2013 Luas tutupan lahan hutan mengalami penurunan seluas 87 772 ha, sedangkan luas lahan terbuka mengalami peningkatan sebesar 15 375 ha dan luas lahan terbangun/permukiman bertambah sebesar 10 112 ha. Pada tahun 2002, lahan terbuka di Kabupaten Luwu Timur berada diempat kecamatan yaitu Kecamatan Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Pada tahun 2013, lahan terbuka Kabupaten Luwu Timur berada dilima kecamatan yaitu Kecamatan Malili, Angkona, Towuti, Nuha, dan Wasuponda. Kawasan tambang di Kabupaten Luwu Timur banyak yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Dimana dari 13 perusahaan tambang, hanya 2 perusahaan yang konsisten dan 11 perusahaan tambang yang inkonsistensi terhadap tata ruang. Luas lahan terbuka dan lahan terbangun pada area-area tambang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang berpotensi besar pada timbulnya berbagai bentuk kerusakan lingkungan seperti hilangnya daerah resapan air, mengganggu kondisi air tanah, meningkatkan intensitas erosi, dan pencemaran udara.

Di samping persoalan konflik tata ruang (inkonsistensi tata ruang) dan kerusakan lingkungan, kehadiran perusahaan tambang di Kabupaten Luwu Timur juga telah menimbulkan konflik dengan masyarakat adat dan membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Kehadiran perusahaan tambang nikel milik PT. Vale Indonesia, Tbk di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur menimbulkan konflik terhadap masyarakat adat Suku To Kanrusi’e Kampung Dongi yang ada di Kecamatan Nuha. Sehingga menimbulkan efek seperti gerakan penolakan yang terus menerus terjadi yang dilakukan oleh masyarakat adat bersama lembaga aliansi masyarakat adat. Gerakan penolakan berakar dari rasa ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat adat yang ingin merebut kembali akses masyarakat adat terhadap harta warisan leluhurnya karena lahan tersebut dahulu merupakan lahan yang paling subur di Kecamatan Nuha. Adapun perusahaan tambang bersikeras untuk mempertahankan lahan tersebut karena merupakan lahan yang masuk dalam kontrak karya PT. Vale Indonesia, Tbk. Konflik yang berlangsung secara asimetrik (tidak impang), karena masyarakat adat memiliki posisi tawar (bergaining power) yang lebih lemah, dibandingkan dengan PT. Vale Indonesia, Tbk mempunyai posisi tawar yang lebih tinggikarena di mata pemerintah dipandang sebagai penghasil devisa daerah dan negara. Atas dasar pertimbangan ini, pemerintah pusat dan pemerintah Kabupaten Luwu Timur cenderung mendukung menggunakan lahan untuk kepentingan kegiatan penambangan. Kehadiran para imigran yang berasal dari berbagai daerah di

85

Indonesia maupun luar negeri telah membawa berbagai perubahan terhadap kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Perubahan pola perilaku nisasi sosial masyarakat di Kabupaten Luwu Timur yang menjadi pemicu kurang harmonisnya interaksi sosial antar individu dan kelompok yaitu meningkatnya biaya hidup yang tidak disertai peningkatan produktifitas secara signifikan, persaingan status sosial, dan tumbuhnya sifat komsumtif masyarakat tengah serta arus modernisasi yang berkembang di masyarakat.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kehadiran dan kegiatan penambangan di Kabupaten Luwu Timur telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Namun hal ini tidak berarti bahwa kegiatan pertambangan dilarang karena kehadiran perusahaan tambang memiliki dampak positif terhadap penghasilan Kabupaten Luwu Timur maupun negara dalam bentuk pajak, retribusi ataupun

royalty sebagaimana tercermin dari besarnya konstribusi sektor terhadap perekonomian (PDRB) Kabupaten Luwu Timur. Sektor pertambangan tanpa migas dalam PDRB memiliki output total di atas 1 milyar. Tingginya nilai output

total mengindikasikan tingginya tingkat transaksi dalam daerah, yang berarti tingkat permintaan domestik maupun ekspor juga tinggi. Akan tetapi, komposisi struktur output ekonomi wilayah Kabupaten Luwu Timur mengindikasikan tingginya kebocoran wilayah karena besaran persentase surplus usaha jauh melebihi upah dan gaji (selisih 34.61%). Manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat sangat rendah dibandingkan yang dinikmati oleh pengusaha atau pemilik modal. Sektor pertambangan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja dan memberi nafkah langsung pada kebanyakan masyarakat di Kabupaten Luwu Timur. Akibat sifatnya yang kurang terkait dengan sektor-sektor ekonomi wilayah yang lain. Sektor ini tidak banyak berdampak langsung maupun tidak langsung pada ekonomi sebagian besar masyarakat, sehingga tidak berdampak besar pada peningkatan pendapatan sebagian besar masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Upaya yang dapat dilakukan dalam mewujudkan sektor ini sebagai salah satu sektor strategis di Kabupaten Luwu Timur adalah meningkatkan keterkaitan dengan sektor industri tanpa migas. Sektor industri tanpa migas yang merupakan sektor sekunder yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Sektor pertambangan diharapkan memiliki keterkaitan yang kuat terhadap sektor industri tanpa migas sehingga sektor pertambangan menjadi sektor strategis yang bisa meningkatkan ekonomi wilayah dan ekonomi masyarakat Kabupaten Luwu Timur.

Perencanaan pengembangan wilayah Kabupaten Luwu Timur perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan dengan karakteristik wilayah. Hal ini berarti bahwa program-program pengembangan wilayah (regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan daerah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah Kabupaten Luwu Timur.

86

Dokumen terkait