• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Tegal terletak di bagian barat laut Provinsi Jawa Tengah dengan koordinat 108º 57 6 – 109º 21 30 bujur timur dan 6º02 41 – 7º 15 30 lintang selatan. Pada sebelah utara, Kabupaten Tegal berbatasan dengan Kotamadya Tegal, kemudian pada bagian selatan dan barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes, dan bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Pemalang. Pusat pemerintahan Kabupaten Tegal terletak di Kota Slawi, yaitu terletak ± 16 km ke arah selatan dari Kota Tegal. Kabupaten Tegal memiliki luas 879.79 km² dengan jumlah penduduk 1 394 839 jiwa pada sensus penduduk tahun 2010. Secara administratif, Kabupaten Tegal terbagi atas 18 kecamatan, 6 kelurahan dan 281 desa. Wilayah Kabupaten Tegal terletak pada ketinggian antara 11 meter hingga 949 meter di atas permukaan laut. Keadaan iklim di Kabupaten Tegal jika dilihat dari suhu yaitu berkisar dari 26.6 ºC hingga 27.6 ºC, dengan kelembapan udara sekitar 74 – 96 persen. Kabupaten Tegal mengalami curah hujan yang berfluktuatif dengan curah hujan tertinggi yaitu mencapai 308 mm/tahun dan curah hujan terendah yaitu 152.80 mm/tahun.

Keadaan Umum Perikanan

Kabupaten Tegal memiliki area yang potensial dalam budidaya perikanan. Area berpotensi yang dimiliki Kabupaten Tegal pada tahun 2013 adalah seluas 443.947 ha, luasan tersebut meliputi areal kolam air tawar sebesar 5.927 ha dan tambak seluas 438.02 ha yang terdapat di 18 kecamatan. Produksi budidaya perikanan di Kabupaten Tegal cenderung meningkat, terutama pada budidaya kolam air tawar. Terlihat pada Tabel 1 bahwa produksi pada budidaya kolam air tawar cenderung meningkat, dengan produksi tertinggi sebesar 1 017 496 kg terjadi pada tahun 2013. Jumlah produksi tersebut meliputi beberapa produksi ikan antara lain ikan lele sebanyak 895 543 kg, ikan nila sebanyak 45 860 kg, ikan tawes sebanyak 1 000 kg, ikan gurame sebanyak 48 453 kg, ikan mas sebanyak 15 150 kg, ikan bawal sebanyak 10 890 kg dan ikan patin sebanyak 600 kg. Ikan lele merupakan komoditas yang paling tinggi produksinya, sehingga ikan lele menjadi komoditas utama pada budidaya kolam air tawar di Kabupaten Tegal. Terdapat 3 sentra pada budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Hal tersebut dapat terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata – rata produksi lele sangkuriang tiap kecamatan di Kabupaten Tegal tahun 2009 – 2013

No Kecamatan Luas Kolam

(m²/th) Produksi (kg/th) 1 Suradadi 2 206.20 7 367.00 2 Kramat 5 745.80 26 150.80 3 Tarub 11 820.20 47 585.40 4 Talang 904.60 18 651.80 5 Adiwerna 2 665.80 14 540.40 6 Pangkah 9 224.40 41 977.00 7 Dukuhwaru 895.40 2 626.60 8 Slawi 1 227.40 6 028.40 9 Balapulang 2 459.60 5 474.60 10 Bojong 4 758.30 6 210.00 11 Bumijawa 2 649.72 10 072.00 12 Lebaksiu 3 642.10 21 020.60 13 Margasari 3 104.00 12 545.00 14 Dukuhturi 2 253.00 13 396.20 15 Ked. Banteng 2 494.40 11 199.00 16 Pagerbarang 2 196.40 20 212.60 17 Warurejo 1 837.20 17 106.00 18 Jatinegara 253.60 1 500.20 Jumlah 60 338.12 283 663.60

Sumber : Buku Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal (diolah)

26

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata – rata produksi tertinggi lele sangkuriang di Kabupaten Tegal terdapat pada Kecamatan Tarub, dengan rata – rata produksi sebesar 47 585.40 kg/tahun. Kecamatan Pangkah memiliki rata – rata produksi lele sangkuriang terbesar kedua yaitu sebesar 41 977.00 kg/tahun, dan terbesar ketiga terdapat pada Kecamatan Kramat dengan rata – rata produksi sebesar 26 150.80 kg/tahun. Begitu juga dengan luas kolam yang dimiliki oleh 3 kecamatan tersebut yang lebih luas dibanding dengan kecamatan lain, dengan luas masing – masing yaitu Kecamatan Tarub sebesar 11 820.20 m²/tahun; Kecamatan Pangkah sebesar 9 224.40 m²/tahun; Kecamatan Kramat 5 745.80 m²/tahun. Dari pertimbangan tersebut maka 3 kecamatan tersebut dapat dijadikan sentra budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Pada ketiga kecamatan ini dilakukan penelitian untuk mengetahui saluran tataniaga yang efisien pada masing – masing kecamatan, hal tersebut karena pada masing - masing kecamatan memiliki sistem pemasaran tersendiri. Pada setiap kecamatan ini juga memiliki tujuan yang berbeda di Kabupaten Tegal. Pada Kecamatan Tarub memasarkan komoditas di Pasar Pagongan, Kecamatan Pangkah memasarkan komoditas di Pasar Balamoa dan Kecamatan Kramat memasarkan komoditas di Pasar Suradadi.

Karakteristik Pembudidaya Responden

Pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 21 orang yang terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 10 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 6 orang. Karakteristik dari setiap pembudidaya berbeda – beda, hal tersebut dapat dilihat dari usia, tingkat pendidikan terakhir, lama pengalaman budidaya, dan luas kolam. Karakteristik ini dapat mempengaruhi pembudidaya dalam mengambil setiap keputusan.

Usia Pembudidaya Responden

Usia dapat mempengaruhi kemampuan dan prestasi kerja seseorang, baik dari segi fisik maupun mental. Pada penelitian ini usia responden yang didapat bervariasi mulai dari usia 32 hingga 65 tahun. Pembudidaya responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 kelompok usia, yaitu usia antara 25 hingga 34 tahun, usia antara 35 hingga 44 tahun, usia antara 45 hingga 54 tahun dan usia lebih dari 55 tahun. Jumlah pembudidaya responden yang masuk pada tiap kelompok usia tersbut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi usia pembudidaya responden

Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

25 – 34 3 14.29

35 – 44 11 52.38

45 – 54 4 19.05

≥ 55 3 14.29

Pada Tabel 6 menunjukan bahwa, jumlah pembudidaya terbanyak terdapat pada rentang usia 35 – 44 tahun yaitu terdapat 11 orang (52.38 persen). Pembudidaya responden lele sangkuriang di Kabupaten Tegal sebagian besar adalah pembudidaya dengan usia cukup produktif, sehingga mereka lebih bersemangat dalam hal memasarkan dari hasil panen kepada lembaga tataniaga berikutnya.

Tingkat Pendidikan Terakhir Pembudidaya Responden

Tingkat pendidikan terakhir dapat mempengaruhi pada pengambilan keputusan dalam suatu usaha budidaya. Semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir maka diharapkan akan semakin rasional dan lebih memperhitungkan atas dampak yang dihasilkan dari setiap pengambilan keputusan.

Tabel 7. Tingkat pendidikan terakhir pembudidaya responden

Tingkat pendidikan terakhir Jumlah (orang ) Persentase (%)

Tidak sekolah 1 4.76 SD 3 14.29 SLTP/sederajat 7 33.33 SLTA/sederajat 8 38.10 Sarjana 2 9.52 Total 21 100

Pada Tabel 7 menunjukan bahwa tingkat pendidikan terakhir terbanyak adalah SLTA / sederajat dengan jumlah 8 orang (38.10 persen). Sehingga hal ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pembudidaya lele sangkuriang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Hal ini dapat memberikan dampak yang baik dalam hal pemasaran karena pembudidaya lebih berpikiran terbuka dalam transfer informasi baik berupa informasi teknis budidaya maupun informasi pemasaran, karena pembudidaya rata - rata tidak buta huruf.

Pengalaman Budidaya

Pengalaman budidaya menjadi penting, karena dengan adanya pengalaman maka pembudidaya mengalami pembelajaran dari setiap hasil yang diperoleh, sehingga semakin lama pengalaman budidaya maka diharapakan hasil yang diperoleh semakin baik. Pengalaman budidaya pada pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berkisar antara 1 – 16 tahun, dan dengan pengalaman budidaya rata – rata selama 5 tahun .

Tabel 8. Pengalaman budidaya lele sangkuriang

Pengalaman budidaya (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

≤ 5 15 71.43

˃ 5 6 28.57

Total 21 100

Pada tabel 8 menunjukan bahwa pembudidaya sebanyak 15 orang atau 71.43 persen memiliki pengalaman di bawah atau sama dengan 5 tahun, dan sisanya pembudidaya sebanyak 6 orang atau 28.57 persen memiliki pengalaman

28

lebih lama dari 5 tahun. Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal merupakan pemain baru dalam usaha budidaya lele sangkuriang, sehingga diharapkan pembudidaya tersebut lebih giat lagi dalam mencari informasi baik mengenai teknis budidaya maupun pemasaran komoditas, yang berguna bagi kemajuan usaha budidaya lele sangkuriang. Begitu juga dengan pembudidaya dengan pengalaman lebih dari 5 tahun, diharapkan berkenan untuk bertukar ilmu dan informasi kepada pembudidaya baru, sehingga tercipta suasana dinamis antar pembudidaya dan dapat memajukan usaha budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal.

Luas Kolam Budidaya

Luas kolam berhubungan langsung dengan skala usaha, hal ini karena luas kolam merupakan salah satu parameter dalam menentukan skala usaha (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan R.I. nomor PER.05/MEN/2009). Parameter luas kolam dalam menentukan skala usaha terbagi menjadi 3 kategori, yaitu kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala mikro, kemudian kolam dengan luas antara 1 000 – 5 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala kecil, dan kolam dengan luas 5 000 – 10 000 m² termasuk dalam usaha pembudidayaan ikan skala menengah. Luas kolam yang dimiliki oleh pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal berkisar antara 24 m² hingga 7 000 m².

Tabel 9. Luas kolam budidaya lele sangkuriang

Luas kolam (m²) Jumlah (orang ) Persentase (%)

< 1 000 19 90.48

1 000 – 5 000 1 4.76

5 000- 10 000 1 4.76

Total 21 100

Pada Tabel 9 menunjukan bahwa kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² paling banyak yang dimiliki oleh pembudidaya yaitu dengan jumlah 19 orang (90.48 persen). Hanya 1 orang yang memiliki kolam dengan luas antara 1 000 – 5 000 m². Begitu juga dengan kolam dengan luas antara 5 000 – 10 000 m² hanya dimiliki oleh 1 orang. Pembudidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal kebanyakan memiliki kolam dengan luas kurang dari 1 000 m² atau dapat dikatakan bahwa memiliki usaha pembudidayaan ikan skala mikro. Pembudidaya dengan usaha skala mikro cenderung memiliki posisi tawar yang lemah, maka dari itu diharapkan pembudidaya lele sangkurang di Kabupaten Tegal tergabung dalam kelompok pembudidaya ikan agar dapat saling bertukar pengalaman dan informasi sehingga tercipta suatu posisi tawar yang kuat.

Karakteristik Pedagang Responden

Pedagang merupakan suatu pihak yang melakukan aktivitas jual beli dalam menyalurkan produk dari produsen hingga sampai ke konsumen. Dalam penelitian ini, pedagang terbagi menjadi 3 kategori yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan dan pedagang pengecer. Masing – masing

pedagang mempunyai aktivitas yang berbeda. Pedagang pengumpul desa melakukan aktivitas secara rutin dengan membeli produk langsung kepada produsen (pembudidaya) kemudian menjualnya kembali kepada pedagang pengumpul kecamatan atau pedagang pengecer. Pedagang pengumpul desa rutin datang kepada pembudidaya untuk membeli pasokan lele sangkuriang, dan biasanya mereka datang kepada pembudidaya lebih dari satu orang karena untuk mencukupi pasokan yang mereka jual setiap hari. Berbeda dengan pedagang pengumpul kecamatan, mereka melakukan aktivitas dengan membeli produk dari pedagang pengumpul desa atau terkadang membeli dari pembudidaya dengan volume yang besar dan menjualnya kepada pedagang pengecer atau ke konsumen akhir. Perbedaan juga terdapat pada wilayah pembelian, pedagang pengumpul desa memiliki cangkupan wilayah tingkat desa, sedangkan pedagang pengumpul kecamatan memiliki cangkupan wilayah tingkat kecamatan. Pedagang pengecer melakukan kegiatan dengan membeli produk dari pedagang pengumpul kecamatan atau pedagang pengumpul desa untuk menjual kepada konsumen akhir, biasanya mereka menyediakan produk dengan jumlah yang relatif sedikit. Pada penelitian ini terdapat 12 orang pedagang responden. Jumlah tersebut terbagi di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tarub terdapat 5 orang, Kecamatan Pangkah terdapat 4 orang dan Kecamatan Kramat terdapat 3 orang. Jenis pedagang menurut kategorinya pada tiap kecamatan juga berbeda jumlahnya, pada Kecamatan Tarub terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 2 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Pada Kecamatan Pangkah terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Sedangkan pada Kecamatan Tarub terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 1 orang pedagang pengumpul desa dan 1 orang pedagang pengecer. Masing – masing pedagang memiliki karakteristik berbeda yang akan mempengaruhi pedagang dalam mengambil sebuah keputusan. Perbedaan karakteristik ini meliputi usia, tingkat pendidikan terakhir, pengalaman berdagang, dan volume penjualan.

Usia Pedagang Responden

Pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal yang menjadi responden pada penelitian ini memiliki usia yang cukup bervariasi. Usia pedagang responden berkisar antara usia 32 hingga 54 tahun. Usia yang bervariasi tersebut dibagi menjadi 3 kelompok umur, yaitu kelompok umur 25 hingga 34 tahun, kelompok umur 35 hingga 44 tahun, dan kelompok umur 45 hingga 54 tahun. Jumlah pedagang responden yang terlibat pada tiap kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi usia pedagang responden

Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

25-34 1 8.33

35-44 7 59.33

45-54 4 33.33

Total 12 100

Pada Tabel 10 menunjukan bahwa usia pedagang responden terbanyak terdapat pada usia antara 35 – 44 tahun yaitu sebanyak 7 orang (59.33 persen).

30

Pada usia antara 25 – 34 tahun hanya terdapat 1 orang pedagang (8.33 persen), namun pedagang dengan usia antara 45 – 54 tahun terdapat 4 orang pedagang (33.33 persen). Kebanyakan pedagang respoden memiliki umur produktif, terutama pada umur antara 35 – 44 tahun. Dalam usia yang masih produktif tersebut akan menguntungkan, karena pedagang masih memiliki fisik prima sehingga akan memudahkan dalam melakukan aktivitas pemasaran dan pertukaran informasi mengenai pemasaran lele sangkuriang. Selain itu pada usia produktif tersebut, pedagang responden masih memiliki banyak kesempatan dalam hal usaha pemasaran lele sangkuriang.

Tingkat Pendidikan Terakhir

Tingkat pendidikan terakhir pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal pada umumnya sudah cukup tinggi. Dapat dilihat pada Tabel 11 yang menunjukan bahwa pada tingkatan SLTA / sederajat dan SLTP / sederajat masing – masing terdapat jumlah pedagang responden yang sama yaitu 4 orang (33.33 persen) Kemudian pada tingkat pendidikan SD terdapat 2 orang (20 persen), dan tingkat sarjana terdapat 1 orang (10 persen). Dengan banyaknya pedagang yang sudah berpendidikan maka akan memudahkan pedagang dalam hal pertukaran informasi mengenai pemasaran lele sangkuriang di Kabupaten Tegal.

Tabel 11. Tingkat pendidikan terakhir pedagang responden

Tingkat pendidikan terakhir Jumlah (orang ) Persentase (%)

SD 3 25.00 SLTP/ sederajat 4 33.33 SLTA/ sederajat 4 33.33 Sarjana 1 8.33 Total 12 100 Pengalaman Berdagang

Semakin lama pengalaman dalam berdagang, maka pedagang akan semakin mengetahui keputusan yang harus diambil untuk mencapai kemajuan usaha. Selain itu, pedagang dengan pengalaman berdagang yang lama akan memiliki koneksi yang kuat dengan pedagang lainnya sebagai rekan kerja, sehingga pedagang tidak bingung lagi untuk memasarkan komoditasnya. Pada penelitian ini didapat pedagang responden yang memiliki pengalaman berdagang antara 3 hingga 16 tahun, dengan rata – rata selama 6 tahun. Untuk memudahkan dalam pengelompokan, maka penulis mengelompokan pengalaman berdagang dengan lama berdagang dibawah atau sama dengan 6 tahun (rata – rata lama berdagang) dan lama berdagang diatas 6 tahun.

Tabel 12. Pengalaman berdagang pedagang responden

Pengalaman berdagang (tahun) Jumlah (orang) Persentase(%)

≤ 6 7 58.33

˃ 6 5 41.67

Pada tabel 12 menunjukan bahwa jumlah pedagang terbanyak adalah pedagang dengan pengalaman berdagang kurang atau sama dengan 6 tahun, yaitu sebanyak 7 orang (58.33 persen). Untuk pedagang yang memiliki pengalaman berdagang diatas 6 tahun terdapat 5 orang (41.67 persen). Hal ini menunjukan bahwa kebanyak pedagang lele sangkuriang di Kabupaten Tegal merupakan pedagang yang relatif baru dalam memulai membuka usaha.

Volume Penjualan

Volume penjualan merupakan sejumlah satuan ukuran (berat) yang tersedia untuk dijual oleh pedagang per hari. Besarnya volume antara pedagang satu dengan pedagang lainnya cenderung berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh klasifikasi pedagang yang mereka jalankan. Pada umumnya pedagang pengumpul kecamatan memiliki volume yang lebih besar dalam menjualkan produknya dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa maupun pedagang pengecer. Pada pengamatan dilapangan, pedagang membeli pasokan langsung dari pembudidaya sesuai dengan jumlah yang biasa mereka pasarkan. Pedagang tidak mau mengambil risiko mengenai komoditas yang tidak habis terjual semua apabila membeli pasokan melebihi dari volume penjualan biasanya. Pedagang membeli pasokan komoditas langsung dari pembudidaya dan kemudian menjual komoditas kembali keesokan harinya.

Tabel 13. Volume penjualan pedagang responden

Volume penjualan (kg) Jumlah (orang) Persentase (persentase)

10 – 49 5 41.67

50 – 99 4 33.33

≥ 100 3 25

Total 12 100

Menurut hasil pengamatan pada Tabel 13 menunjukan bahwa terdapat 5 orang pedagang (41.67 persen) yang memiliki volume penjualan antara 10 – 49 kg. Kemudian terdapat 4 orang pedagang (33.33 persen) yang volume penjualan antara 50 – 99 kg. Dan terdapat 3 orang pedagang (25 persen) yang menjual produk dengan berat lebih atau sama dengan 100 kg. Perbedaan volume penjualan juga memperngaruhi keputusan yang akan diambil oleh masing - masing pedagang. Semakin besar volume penjualan akan membutuhkan lebih banyak pertimbangan, pertimbangan tersebut meliputi persiapan penampungan sementara yang digunakan apabila komoditas lele sangkuriang tidak habis terjual dalam sehari, Hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko dalam pemasaran seperti kematian dan penyusutan pada lele sangkuriang.

Analisis Saluran dan Lembaga Tataniaga

Saluran tataniaga merupakan suatu alur proses kegiatan yang bertujuan untuk menyampaikan produk pertanian primer dari produsen (pembudidaya) hingga sampai ke tangan konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga – lembaga tataniaga. Lembaga – lembaga tataniaga ini saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain.

32

Komoditas lele sangkuriang di Kabupaten Tegal seluruhnya didistribusikan hanya di dalam daerah Kabupaten Tegal saja. Hal ini karena jumlah produksi lele sangkuriang di Kabupaten Tegal hanya mencukupi permintaan dalam daerah saja. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada 3 kecamatan di Kabupaten Tegal, yaitu Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah dan Kecamatan Kramat. Pada penelitian ini, analisis dilakukan pada masing – masing kecamatan sehingga didapat saluran tataniaga yang paling efisien pada tiap kecamatan, hal ini dilakukan karena masing – masing kecamatan memiliki sistem tataniaga yang berbeda, baik dari lembaga tataniaga maupun tujuan pasar pada saat pemasaran. Selain itu, menganalisis pada masing – masing kecamatan akan menghasilkan informasi yang lebih akurat dan sesuai dengan kondisi pada masing – masing kecamatan.

Kecamatan Tarub

Kecamatan Tarub merupakan salah satu sentra budidaya lele sangkuriang di Kabupaten Tegal. Menurut data, Kecamatan Tarub memiliki jumlah rata – rata produksi lele sangkuriang tertinggi dibanding dengan kecamatan lain di Kabupaten Tegal. Data yang terdapat pada Tabel 5 menyatakan bahwa Kecamatan Tarub memiliki rata – rata luas kolam sebesar 11 820.20 m²/th, yang mampu menghasilkan lele sangkuriang sebanyak 47 585.40 kg/th. Aktivitas pemasaran lele sangkuriang di Kecamatan Tarub ini dilakukan oleh beberapa lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Pembudidaya yang menjadi reponden pada kecamatan ini adalah 5 orang. Sedangkan untuk pedagang responden terdapat 1 orang pedagang pengumpul kecamatan, 2 orang pedagang pengumpul desa dan 2 orang pedagang pengecer. Masing – masing lembaga tataniaga ini memasarkan lele sangkuriang dalam jumlah yang berbeda. Pada pedagang pengumpul kecamatan biasanya per hari mampu menjual lele sangkuriang seberat 200 kilogram, kemudian pada pedagang pengumpul desa per hari menjual lele sangkuriang seberat 50 – 60 kilogram, dan pedagang pengecer per hari menjual seberat 30 kilogram. Pembudidaya biasanya tidak menjual komoditasnya langsung kepada konsumen akhir, hal ini karena jauhnya lokasi pembudidaya dari pusat perdagangan sehingga konsumen akhir enggan untuk membeli langsung kepada pembudidaya. Selain itu karena keterbatasan modal, pembudidaya tidak dapat menjual komoditas di pusat perdagangan. Maka dari itu peran lembaga tataniaga menjadi penting dalam hal mendistribusikan komoditas hingga konsumen akhir. Dalam mendistribusikan komoditas, lembaga - lembaga tataniaga ini memiliki beberapa saluran tataniaga. Adapun saluran tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Pedagang Pengumpul Desa Pembudidaya Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul Kecamatan Pedagang Pengumpul Kecamatan Konsumen Akhir Pedagang Pengecer Konsumen Akhir Pedagang Pengecer Konsumen Akhir Saluran I = 4215.5 kg (39.99 %) Saluran II = 5854.5 kg (55.54 %) Saluran III = 472 kg (4.48 %)

Gambar 3. Saluran tataniaga lele sangkuriang Kecamatan Tarub

Gambar 3 menunjukan beberapa saluran tataniaga lele sangkuriang yang terdapat di Kecamatan Tarub, antara lain :

 Saluran tataniaga I : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Pedagang pengumpul kecamatan → Pedagang

pengecer → Konsumen akhir.

 Saluran tataniaga II : Pembudidaya → Pedagang pengumpul kecamatan →

Pedagang pengecer → Konsumen akhir.

 Saluran tataniaga III : Pembudidaya → Pedagang pengumpul desa → Konsumen akhir.

Dari 3 saluran tataniaga yang terdapat di Kecamatan Tarub, saluran tataniaga I merupakan saluran yang terpanjang diantara saluran tataniaga lainnya karena melibat lembaga tataniaga terbanyak yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Berbeda dengan saluran tataniaga II yang melibatkan 4 lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Sedangkan saluran tataniaga III merupakan saluran tataniaga terpendek dengan hanya melibatkan 3 lembaga tataniaga yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa dan konsumen akhir. Pada Gambar 3 juga ditunjukan bahwa saluran I dapat mendistribusikan lele sangkuriang sebanyak 4 215.5 kilogram (39.99 persen), sedangkan saluran II mendistribusikan sebanyak 5 854.5 kilogram (55.54 persen) dan saluran III mendistribusikan sebanyak 472 kilogram (4.48 persen). Jumlah distribusi pada tiap saluran tataniaga ini merupakan jumlah komoditas yang dipanen dan kemudian disalurkan oleh pembudidaya responden atau dapat dikatakan sebagai market share tiap saluran tataniaga.

34

Saluran Tataniaga I

Saluran tataniaga I merupakan saluran yang terpanjang dalam tataniaga lele sangkuriang di Kecamatan Tarub, karena saluran ini melibatkan jumlah lembaga tataniaga terbanyak, yaitu pembudidaya, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Pedagang pengumpul desa merupakan pihak yang membeli produk langsung dari pembudidaya dan disalurkan kepada lembaga tataniaga berikutnya. Pedagang ini memiliki tugas untuk membeli produk dari beberapa pembudidaya pada suatu desa. Berbeda dengan pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan membeli produk dari beberapa pedagang pengumpul desa, namun dapat juga membeli produk dari pembudidaya langsung karena untuk mencukpi volume produk yang akan dijual. Pedagang pengumpul kecamatan juga memiliki jumlah penguasaan barang lebih besar daripada pedagang pengumpul desa dan memiliki wilayah pembelian produk pada tingkat kecamatan, sedangkan pedagang pengumpul desa hanya pada tingkat desa. Saluran tataniaga I memiliki market share sebesar 4 215.5 kilogram (39.99 persen), nilai ini cukup besar karena pembudidaya responden yang terdapat pada saluran tataniaga I memiliki usaha pembudidaya ikan skala kecil yang memiliki kolam dengan luas 3300 m².

Saluran Tataniaga I dimulai dari pembudidaya yang membudidayakan lele sangkuriang, setelah melakukan panen pembudidaya responden yang terlibat pada saluran tataniaga I menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul desa. Sebelum melakukan panen, pembudidaya memberi informasi kepada pedagang pengumpul desa mengenai lele sangkuriang yang siap panen. Kemudian pedagang pengumpul desa akan datang ke pembudidaya untuk membeli hasil panen dari pembudidaya. Pedagang pengumpul desa biasanya hanya membeli hasil panen sesuai dengan jumlah yang mereka jual sehari – hari atau dengan kata lain pedagang pengumpul desa tidak membeli semua hasil penen yang ada di kolam pembudidaya. Hal ini karena pedagang pengumpul desa tidak mau mengambil risiko bahwa komoditas yang mereka jual tidak langsung habis karena akan terjadi penyustan, jika membeli hasil panen terlalu banyak. Pembudidaya responden yang menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa tidak mengeluarkan biaya transportasi, hal ini karena pedagang pengumpul desa yang langsung datang kepada pembudidaya dan mengangkut hasil panen sendiri menggunakan motor yang telah diberi bak. Namun apabila pedagang pengumpul desa berhalangan

Dokumen terkait