• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

5.1.1 Kondisi perairan potensi budidaya rumput laut

Rumput laut secara ekologis dapat memberikan manfaat lingkungan yakni dapat mengurangi atau mencegah berbagai aktivitas perikanan yang merusak lingkungan, seperti penangkapan ikan yang destruktif. Secara biologis, rumput laut merupakan produsen primer bahan organik dan oksigen di perairan. Walaupun demikian, rumput laut juga membutuhkan media hidup yang sesuai. Air laut merupakan medium rumput laut untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas air dan rumput laut yang dibudidaya seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Parameter air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii

No. Parameter Sesuai untuk rumput laut Sumber

1 Arus (cm/detik) 20 – 40 Mubarak (1982)

Sunaryat (2004)

2 Kecerahan (m) 0,6 – >5 Bird & Benson (1987)

Atmadja et al. (1996) Sulistijo (2002)

3 Kedalaman (m) 5 – 20 KKP (2004)

4 Substrat dasar Karang, pecahan karang, pasir Dawes (1998)

5 Salinitas (ppt) 28 – 37 Doty (1987)

Kadi & Atmadja (1988) Sulistijo (2002)

Anggadiredja et al. (2006)

6 Suhu (0C) 24–35 0C Mairh et al. (1986)

Puslitbangkan (1991) a. Arah dan kecepatan arus

Arah arus di lokasi penelitian pada bagian dalam sering berubah-ubah. Ini diduga karena pada bagian dalam adalah daerah rataan karang yang keadaan topografinya tidak seragam. Beberapa bagian di dasarnya berbentuk seperti parit. Sebaliknya, arah arus pada bagian luar umumnya seragam. Arah arus di lokasi penelitian pada bulan Maret 2007 seperti pada Gambar 13.

Gambar 13 Arah arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada bulan Maret 2007. Kecepatan arus permukaan ada yang tetap (seragam) dan ada juga yang sering berubah-ubah. Kecepatan arus yang terjadi pada perairan sekitar Gugus Pulau Nain umumnya lebih cepat di daerah bagian luar karang tepi, sedangkan pada bagian dalam karang (gobah) kecepatan arus umumnya lemah bahkan ada yang tidak terjadi arus. Kecepatan arus permukaan yang lemah, salah satunya disebabkan pada saat pengukuran baru selesai turun hujan dimana kecepatan angin sangat lemah, karena kecepatan angin juga berpengaruh pada proses pergerakan massa air permukaan. Kecepatan arus lokasi penelitian seperti pada Tabel 7.

Secara umum dapat dijelaskan bahwa kecepatan arus permukaan tidak selalu mengikuti pola pergerakan dari pasang surut yang terjadi, begitu juga dengan arahnya tidak mengikuti proses pergerakan massa air sesuai dengan adanya pasang-surut. Padahal umumnya arah arus yang terjadi di daerah pantai akan bergerak sejajar dengan garis pantai. Hal yang terjadi karena di daerah studi merupakan daerah pulau sehingga pola pergerakannya baik kecepatan maupun arahnya tidak seragam dan itu dapat berubah-ubah setiap saat. Begitu juga dengan keadaan massa air yang diam (stagnan) walaupun pada waktu tersebut sedang terjadi proses air pasang. Hal ini mengartikan bahwa proses pergerakan massa air di daerah studi, arus pantai/lokal (arus utama) juga sangat berpengaruh, dan kejadian seperti ini mengartikan sedang terjadi tabrakan dua tekanan massa air antara arus pasang dengan arus pantai.

Tabel 7 Rata-rata kecepatan arus di Perairan Gugus Pulau Nain pada tahun 2007 - 2008

Stasiun Posisi Geografis Kecepatan Arus (cm/detik)

1 01O46’33,2”LU 7,5 124O46’50,8”BT 2 01O46’28.0”LU 5,6 124O47’00,5”BT 3 01O46’28,2”LU 4,6 124O47’07,1”BT 4 01O46’20,8”LU 7,6 124O46’58,2”BT 5 01O46’13,0”LU 7 124O46’55,1”BT 6 01O45’42,1”LU 13,4 124O46’39,5”BT 7 01O45’42,9”LU 11 124O46’37,8”BT 8 01O45’44,6”LU 21,3 124O46’33,7”BT 9 01O45’52,6”LU 10,3 124O46’27,6”BT 10 01O45’23,2”LU 11,2 124O47’10,5”BT

Kecepatan dan arah arus dari hasil pengukuran memperlihatkan bahwa umumnya kecepatan arus pada bagian dalam karang lebih lemah jika dibandingan dengan kecepatan arus pada bagian luar karang. Hal ini disebabkan pada bagian dalam karang, pengaruh topografi atau tahanan dasar sangat berpengaruh bila dibandingkan dengan daerah luar karang. Di daerah luar karang, massa air lebih bebas bergerak karena berada pada daerah yang terbuka. Kemudian untuk arah arus secara umum bergerak keluar atau menjauhi bagian daratan/pulau, sehingga sering arahnya berubah-ubah setiap saat.

Arus sangat mempengaruhi kesuburan rumput laut karena melalui pergerakan air, nutrien-nutrien yang sangat dibutuhkan dapat tersuplai dan terdistribusi, kemudian diserap melalui thallus. Kecepatan arus yang baik untuk rumput laut antara 20–40 cm/detik. Kecepatan arus yang lebih dari 40 cm/detik dapat merusak konstruksi budidaya dan mematahkan percabangan rumput laut (Mubarak 1982; Sunaryat 2004).

Arus di lokasi penelitian walaupun lemah masih memberikan manfaat karena arahnya berubah-ubah. Terjadinya pergerakan air yang berubah-ubah memungkinkan rumput laut dapat tumbuh dengan baik karena nutrien-nutrien

yang terbawa arus dapat terdistribusi dengan baik, serta rumput laut dapat dibersihkan dari kotoran. Walaupun demikian, penataan berdasarkan kapasitas areal budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain harus dilakukan. Penataan dimaksudkan agar kecepatan arus tidak tereduksi oleh padatnya wadah budidaya dan pembangunan rumah tinggal di areal budidaya. Selain itu, penataan akan lebih mengefektifkan pekerjaan pembudidaya baik untuk waktu dan biaya, juga tenaga.

b. Kecerahan dan kedalaman perairan

Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Effendi (2003) menyatakan kecerahan air adalah ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual. Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut agar penetrasi cahaya matahari dapat diterima oleh rumput laut.

Rumput laut Eucheuma dapat tumbuh dengan baik pada kecerahan air laut yang lebih besar dari 5 meter (Bird & Benson 1987). Menurut Sulistijo (2002) dan Atmadja et al. (1996) kecerahan yang baik untuk kegiatan budidaya rumput laut berkisar 0,6–5 meter atau dapat lebih.

Dari hasil pengukuran, kecerahan di perairan Pulau Nain adalah 100%. Dikatakan 100% karena di perairan yang lebih dangkal yaitu pada rataan terumbu karang yang membatasi laut bagian luar, juga yang melingkar di sekeliling gobah, sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan pada saat air pasang tertinggi. Ini juga terjadi di dekat darat sekeliling Pulau Nain. Di bagian perairan dalam dan gobah, sinar matahari menembus lebih dari 20 meter, dimana kedalaman ini merupakan syarat pertumbuhan rumput laut. Kondisi kecerahan yang mengikuti kedalaman perairan dapat dilihat pada Gambar 14.

Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat terhadap penetrasi cahaya, stratifikasi suhu vertikal, densitas dan kandungan oksigen serta zat-zat hara. Kedalaman perairan di lokasi penelitian berkisar 4,2–12,7 meter. Kedalaman perairan di perairan Gugus Pulau Nain secara keseluruhan seperti Gambar 14.

Secara umum, perairan Gugus Pulau Nain memiliki kedalaman yang sesuai untuk budidaya rumput laut dengan menggunakan metode tali panjang. Menurut Ditjenkan Budidaya KKP RI (2004), bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma spp adalah 5–20 m dengan

menggunakan metode tali panjang. Hal ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari. Ebert et al. (1973) menerangkan bahwa beberapa alga merah ditemukan pada perairan yang dangkal, tetapi beberapa diantaranya tumbuh pada kedalaman yang lebih besar daripada alga lain.

Gambar 14 Sebaran kedalaman di Perairan Gugus Pulau Nain.

c. Keterlindungan

Keterlindungan adalah salah satu faktor utama resiko budidaya rumput laut, untuk itu dalam pemilihan lokasi, keterlindungan sangat dipertimbangkan. Hal ini untuk menghindari kerusakan sarana budidaya dan tumbuhan rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar.

Gugus Pulau Nain selain merupakan daerah semi terbuka dari pengaruh gelombang dan arus, juga merupakan daerah terbuka bagi pengaruh angin (Gambar 15). Di bagian barat dan utara sering terkena badai dan gelombang besar pada musim angin barat (November – Februari). Pengaruhnya dapat dilihat pada kondisi karang yang menurut Rachman (2010) bahwa persentase tutupan karang hidup di sisi ini rendah. Tetapi dengan adanya karang penghalang untuk meredam gelombang maka kondisi angin barat ini sangat disukai oleh pembudidaya rumput laut di Pulau Nain karena akan memberikan pertumbuhan yang paling baik.

Gambar 15 Sebaran keterlindungan di Perairan Gugus Pulau Nain.

Gelombang akibat angin dari Laut Sulawesi diredam oleh karang yang mengelilingi pulau, sehingga hanya terjadi arus yang berfungsi membawa zat hara dan membersihkan rumput laut. Menurut Sulistijo (2002), lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan ombak yang keras dan angin yang kuat, biasanya di bagian depan dari areal budidaya mempunyai karang penghalang yang dapat meredam kekuatan gelombang. Di bagian selatan Gugus Pulau Nain relatif terlindungi dari serangan ombak besar pada musim angin barat. Daerah ini terlindung oleh Pulau Mantehage sebagai penghalang.

d. Salinitas

Salinitas sangat berperan dalam budidaya rumput laut. Kisaran salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi terganggu. Salinitas dapat menimbulkan tekanan osmotik pada biota air laut. Salinitas yang mendukung pertumbuhan Eucheuma alvarezzi berkisar antara 29–34 ppt (Doty, 1987), sedangkan menurut Kadi & Atmadja (1988) bahwa kisaran salinitas yang dikehendaki jenis Eucheuma berkisar antara 34–37 ppt. Menurut Sulistijo (2002) bahwa batas nilai salinitas terendah yang masih dapat ditolerir untuk kehidupan rumput laut jenis Eucheuma sp. pada salinitas 28 ppt. Anggadiredja et al. (2006) menyatakan salinitas yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma berkisar 28 – 33 ppt.

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Kisaran salinitas di perairan Pulau Nain adalah 30–34 ppt. Saat pengukuran, salinitas di lokasi penelitian pada waktu yang hampir sama menunjukkan bahwa kisaran salinitas seragam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan di Gugus Pulau Nain memiliki sirkulasi air yang lambat dan dampak dari suhu sangat tinggi.

Eucheuma adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Fluktuasi salinitas selama penelitian masih pada taraf normal. Perbedaan salinitas pada saat pengukuran terjadi lebih diakibatkan karena pada saat itu baru terjadi hujan. Menurut Wyrtki (1961) in Bengen dan Retraubun (2006) fluktuasi nilai salinitas pada musim pancaroba bervariasi dipengaruhi oleh tinggi rendah curah hujan yang terjadi.

Berdasarkan hal tersebut, maka salinitas perairan Gugus Pulau Nain dapat dikatakan berada dalam batas yang layak untuk pertumbuhan rumput laut. Peta sebaran salinitas di perairan Gugus Pulau Nain seperti pada Gambar 16.

Gambar 16 Sebaran salinitas di Perairan Gugus Pulau Nain.

e. Substrat dasar

Substrat dasar perairan berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat dasar di lokasi penelitian terdiri dari pecahan karang dan pasir berkarang. Dasar

perairan yang sedikit berlumpur hanya di dekat permukiman dan sebagian kecil di padang lamun (Gambar 17).

Gambar 17 Sebaran substrat dasar di Perairan Gugus Pulau Nain.

Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Substrat dasar yang berlumpur di kedalaman yang rendah akan mudah terangkat saat adanya arus yang kuat dan gelombang sehingga dapat menyebabkan kekeruhan perairan (Gerung et al. 2008). Dawes (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan rumput laut akan baik apabila lokasi budidaya di perairan dangkal bersubstrat karang, pecahan karang, pasir atau campuran ketiganya.

Budidaya rumput laut di Gugus Pulau Nain tidak akan terlalu dipengaruhi oleh substrat dasar karena metode yang digunakan adalah tali panjang permukaan. Substrat dasar hanya mengindikasikan bahwa banyak terjadi pertumbuhan alga di lokasi tersebut yang tentunya layak juga untuk pertumbuhan rumput laut yang dibudidaya. Lee et al. (1999) dan Rorrer & Cheney (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan dan penyebaran rumput laut selain sangat tergantung pada faktor- faktor ekologis juga ditentukan oleh jenis substrat dasarnya. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda

keras lainnya. Karakteristik perairan pulau-pulau kecil, seperti di lokasi penelitian, menyebabkan perairan ini sangat terhindar dari dasar perairan yang berlumpur tetap. Selain tidak memiliki sungai, substrat lumpur hanya disebabkan oleh erosi dan limbah rumah tangga lokal sehingga substrat ini akan hanyut mengikuti arus.

f. Suhu perairan

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses metabolisme organisme di perairan. Suhu yang mendadak berubah atau terjadinya perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme atau dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, letak tempat terhadap garis edar matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Gambar 18 Sebaran suhu di Perairan Gugus Pulau Nain.

Pada rumput laut kenaikan suhu yang tinggi akan mengakibatkan thallus menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. Selama penelitian kisaran suhu di perairan Pulau Nain 29–31,5oC (Gambar 18). Eucheuma sp. dapat tumbuh dengan baik pada suhu 24–35 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4°C (Mairh et al. 1986 dan Puslitbangkan 1991). Suhu perairan yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada rumput laut, serta kerusakan enzim dan membran sel yang bersifat labil. Pada suhu rendah, membran protein dan lemak dapat

mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel, sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut (Luning 1990).

Dawes (1998) menyatakan suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi. Kisaran suhu perairan di Gugus Pulau Nain secara keseluruhan memiliki sebaran yang hampir sama. Fluktuasi harian suhu hanya sekitar 1oC, dengan demikian kegiatan budidaya rumput laut dapat berlangsung pada wilayah Gugus Pulau Nain.

g. Derajat keasaman (pH)

Setiap organisme perairan laut membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan hidupnya, tidak terkecuali rumput laut. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan ion-ion. Dari aktiviatas biologi dihasilkan gas CO2 yang merupakan hasil respirasi. Gas ini akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menjaga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1973). Hasil pengukuran pH di perairan Gugus Pulau Nain memperlihatkan bahwa nilai pH berada pada kisaran 8–8,3 atau nilai rata-rata 8,15 (Gambar 19). Menurut Bird & Benson (1987), kisaran pH yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma adalah 6–8.

Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan sedikit saja pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota

laut. Menurut Chapman (1962) in Amiluddin (2007) hampir semua alga dapat hidup pada kisaran pH 6,8–9,6, sehingga pH tidak menjadi masalah bagi pertumbuhannya. Nilai pH yang normal bagi suatu perairan payau adalah antara 7–9, sementara pH air laut antara 8,0–8,5. Di perairan payau pada umumnya kapasitas buffernya cukup baik (nilai alkalinitas tinggi) sehingga jarang pH turun hingga di bawah 6,5 ataupun naik melebihi 9.

Gambar 19 Sebaran pH di Perairan Gugus Pulau Nain.

h. Nitrat

Perairan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut harus mengandung cukup nutrien, baik makro maupun mikro. Kandungan fosfat dan nitrat di perairan sebaiknya berada pada rasio 1:3 agar rumput laut dapat bertumbuh dengan baik (Wardoyo 1978). Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0–0,1 mg/liter, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 0,1–0,5 mg/liter, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 0,5–5 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan nitrat di lokasi penelitian berkisar antara 3,5–5,8 mg/liter (Gambar 20). Menurut Herlina et al. (2009) pada konsentrasi nitrat 0,9 mg/l terjadi laju penyerapan tertinggi oleh rumput laut.

Kandungan nitrat perairan Pulau Nain digolongkan antara perairan mesotrofik dengan eutrofik (tingkat kesuburan sedang sampai tinggi). Kelarutan unsur hara nitrat yang layak dalam perairan dapat menghindarkan munculnya penyakit ice-ice pada rumput laut. Penyakit ice-ice merupakan kendala utama budidaya rumput laut. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau

seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk, maka nitrat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan konsentrasi kadar karaginan rumput laut (Iksan 2005).

Gambar 20 Sebaran nitrat di Perairan Gugus Pulau Nain

i. Fosfat

Kadar fosfat perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan rendah, yang memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0 – 0,02 mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang memiliki kadar fosfat total 0,021 – 0,05 mg/liter; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, yang memiliki kadar fosfat total 0,051 – 0,1 mg/liter (Effendi 2003). Kandungan fosfat di perairan Pulau Nain selama penelitian yang terdeteksi berkisar 0,02 – 0,72 mg/l (Gambar 21). Fosfat di perairan Pulau Nain termasuk ke dalam perairan dengan tingkat kesuburan sama dengan kandungan nitrat, yaitu antara tingkat kesuburan sedang sampai tinggi. Kondisi di perairan Pulau Nain ini tergolong layak untuk budi daya rumput laut.

Gambar 21 Sebaran fosfat di Perairan Gugus Pulau Nain.

5.1.2 Kondisi perairan sekitar permukiman penduduk

Permukiman penduduk seringkali dinyatakan sebagai penyumbang limbah domestik tertinggi. Limbah permukiman mengandung limbah domestik berupa sampah organik, anorganik, dan deterjen. Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri. Menurut UNEP (1993) bahwa limbah pada dasarnya dapat menjadi sumberdaya dan dapat juga menjadi pencemar. Limbah yang mengandung nutrien esensial yang diperlukan oleh alam dapat menjadi sumberdaya, limbah yang mempunyai efek netral terhadap alam dapat diklasifikasikan sebagai gangguan biasa, sedangkan limbah yang merusak lingkungan adalah pencemar.

Hasil pengamatan di lokasi penelitian, bahan-bahan limbah yang berpotensi sebagai pencemar langsung masuk ke perairan P. Nain. Permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Pulau Nain merupakan isu yang penting untuk dipelajari. Hal ini mengingat besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perairannya serta luasnya dampak yang akan diakibatkan di kemudian hari. Salah satu cara adalah mengidentifikasi parameter- parameter yang menjadi indikator tercemar atau tidaknya perairan laut Gugus Pulau Nain. Nilai-nilai parameter kualitas air yang diukur akan dibandingkan dengan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai

Peraturan Pemerintah RI No. 82/2001 (Lampiran 1) dan baku mutu air untuk biota laut sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/2004(Lampiran 2).

a. Fosfat

Fosfat di perairan dapat bersumber dari air limbah rumah tangga berupa deterjen, residu pupuk, limbah industri, dan hancuran bahan organik. Fosfat juga bisa ditentukan oleh kotoran manusia dan hewan serta deterjen (Percella 1985; Chester 1990). Kandungan fosfat yang terdapat di perairan, umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l. Perairan yang kadar fosfat cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974; Kevern 1982).

Kandungan fosfat yang terdeteksi dalam penelitian ini rata-rata 0,001 mg/l

– 0,009 mg/l. Berdasarkan nilai baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 0,2 mg/l (PP. RI., No. 82 Tahun 2001) maka perairan dekat permukiman penduduk Desa Nain tidak tercemar. Tingkat kesuburan yang ditetapkan oleh Effendi (2003) menggolongkan kondisi perairan di dekat permukiman Desa Nain dalam tingkat kesuburan rendah.

Gambar 22 menunjukkan kandungan fosfat pada titik awal sampel (di bawah rumah penduduk) mengindikasikan bahwa sudah ada dampak dari kegiatan manusia berupa limbah MCK dan penyiangan ikan. Terlihat juga, semakin ke arah laut kandungan fosfat semakin menurun. Kandungan fosfat ini tidak akan berpengaruh pada usaha budidaya rumput laut yang rata-rata jaraknya 100 – 150 m dari garis pantai.

Gambar 22 Sebaran fosfat ke arah laut di depan Desa Nain.

0,009 0,002 0,001 -0,002 -5E-18 0,002 0,004 0,006 0,008 0,01 0,012 0 m 50 m 100 m 200 m Fo sf at (m g /l)

Barbieri & Simona (2003) menyatakan bahwa perairan yang tercemar limbah organik fosfat akan meningkatkan tegangan permukaan air dalam bentuk lapisan tipis, sehingga dapat menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam badan air. Dampak negatif lainnya adalah eutrofikasi yakni meningkatnya jumlah alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan. Alga tersebut akan diuraikan oleh bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar perairan, dapat mencapai ke tingkat yang sangat rendah untuk mendukung kehidupan organisme sehingga menyebabkan kematian ikan.

b. Nitrat

Nitrat (NO3) merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan

alga. Kadar nitrat pada perairan alami tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Apabila suatu perairan memiliki kadar nitrat sebesar 5 mg/l maka mengindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan kotoran hewan (Effendi 2003).

Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan dekat permukiman penduduk di Pulau Nain ada beberapa titik sampel yang nihil bahkan tidak terdeteksi, sedangkan yang tertinggi bernilai 0,08 mg/l (Gambar 23). Berdasarkan baku mutu kualitas air dan pengendalian pencemaran air pada kelas 1 yang mensyaratkan maksimal kandungan Nitrat 10 mg/l maka secara keseluruhan kandungan nitrat di sekitar permukiman penduduk belum mencemari perairan. Apabila dibandingkan dengan baku mutu untuk biota laut maka nitrat di Stasiun III, nilainya sama dengan ambang batas. Seperti sudah dijelaskan bahwa Stasiun III berada di permukiman yang tinggi aktivitas MCK dan pengolahan ikannya.

Gambar 23 Kandungan nitrat di depan permukiman penduduk Pulau Nain.

0,005 0,01 0,08 -0,025 0,015 0,055 0,095 0,135 I II III Nitr at (m g /l) Stasiun pengamatan

Menurut Lee et al. (1978) bahwa kisaran nitrat perairan berada antara 0,01 – 0,7 mg/1, sedangkan menurut Effendi (2003) bahwa kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Apabila kadar nitrat >0,2 mg/1 akan mengakibatkan eutrofikasi yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat.

Dokumen terkait