• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan umum lokasi penelitian sebagian besar bersumber dari laporan: Studi Pengembangan Infrastruktur Kawasan Minapolitan Provinsi Sulawesi Utara di Gugus Pulau Nain (DPU Sulut 2009), dan ditunjang oleh sumber: Ulaen et al. (2006), Minahasa Utara dalam Angka (2010), Kecamatan Wori dalam Angka (2010), data kantor Desa Nain (2010), Dinas Kelautan dan Perikanan Minahasa Utara (2010), dan beberapa laporan penelitian, serta pengamatan langsung.

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Minahasa Utara

Kabupaten Minahasa Utara yang beribukota Airmadidi memiliki luas wilayah 955.32 km2, dan awalnya terdiri dari 8 kecamatan. Selanjutnya SK No. 03 DPRD Minut 2008 menetapkan Pembentukan Pemekaran Kecamatan Likupang Selatan dari Likupang Timur. Dengan demikian wilayah Kabupaten Minahasa Utara kini memiliki 10 kecamatan yang sebelumnya pemekaran Kecamatan Likupang menjadi Kecamatan Likupang Timur dan Likupang Barat.

Pembentukan wilayah Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan lewat UU RI No.33 Tahun 2003 yang memperjelas batas-batas Kabupaten Minahasa Utara: a) Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sulawesi;

b) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bitung Utara dan Kecamatan Bitung Barat Kota Bitung dan Laut Maluku;

c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kombi dan Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa; dan

d) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tombulu Minahasa; Kecamatan Tikala, Kecamatan Mapanget, dan Kecamatan Bunaken Kota Manado.

Alam dan cuaca daerah ini cocok untuk areal tanaman pertanian. Hampir di semua kecamatan berbagai tanaman pertanian tumbuh subur. Budidaya padi sawah yang diterapkan di sini umumnya sawah dengan irigasi semi teknis dan sederhana, di samping juga terdapat sawah tadah hujan. Penanaman dilakukan dua kali musim tanam dan kadang kala digilir dengan tanaman palawija. Tanaman pangan yang diusahakan oleh penduduk adalah padi, jagung, ubi-ubian dan tanaman hortikultura lainnya. Tanaman perkebunan baik perkebunan rakyat maupun perkebunan besar memegang peranan penting bagi perekonomian

Minahasa Utara. Komoditas perkebunan yang banyak diusahakan penduduk adalah kelapa, cengkeh, vanilli, kakao dan pala. Pola penanaman masih sederhana dan merupakan perkebunan rakyat yang dikelola secara turun-temurun. Tanaman kelapa misalnya, diusahakan penduduk sejak lama dan tumbuh subur di hampir semua kecamatan. Kelapa umumnya oleh penduduk dibuat kopra yang merupakan komoditas unggulan kabupaten. Kopra di sini sebagian besar merupakan produk industri rumahan, sementara pengolahan kelapa menjadi minyak dikerjakan oleh pabrik dalam skala kecil. Selain itu kelapa juga diolah menjadi tepung kelapa, nata de coco, arang tempurung, dan pemanfaatan batang kelapa. Pabrik-pabrik pengolah kelapa tersebut terdapat di Kecamatan Airmadidi, Dimembe, Kauditan, dan Kema. Semua komoditas ini sudah masuk ke pasar ekspor terutama ke Eropa dan India. Cengkeh, pala, dan vanilli juga banyak ditanam. Tanaman cengkeh terutama diusahakan di Kecamatan Airmadidi, Kauditan dan Kema. Terdapat 4.000 hektar areal potensial untuk tanaman ini.

Beberapa kecamatan di Minahasa Utara, seperti Wori, Likupang Barat, Likupang Timur, Kema, dan Kauditan berbatasan dengan laut sehingga memiliki potensi yang besar di bidang perikanan. Baik perikanan laut maupun darat, serta budidaya rumput laut, mutiara dan biota laut banyak diusahakan oleh penduduk setempat. Selain itu juga budidaya ikan air tawar yang pengembangannya dilakukan dalam karamba ataupun jaring apung dan kolam. Produk komoditas utama hasil laut di daerah ini adalah ikan tuna, ikan cakalang, kerang, rumput laut dan mutiara. Hasil laut ini telah diekspor ke Eropa, Amerika, dan Asia.

Kondisi wilayah kabupaten ini merupakan area sentra dan titik simpul pusat pengembangan dan pertumbuhan antara Kota Manado dan Kota Bitung serta Kabupaten Minahasa. Kawasan ini juga termasuk dalam kawasan pengembangan Kapet Manado-Bitung. Segala potensi, andalan, dan unggulan yang dimiliki kabupaten ini, termasuk juga pengembangan kawasan industri di Kauditan, cukup menunjang untuk menjadikan kawasan Minahasa Utara sebagai daerah industri. Terlebih letak wilayahnya yang dekat sekitar 20 kilometer dari Pelabuhan Bitung dan sekitar satu kilometer dari Bandara Sam Ratulangi, Manado.

4.2 Keadaan Umum Gugus Pulau Nain

a) Pulau dan permukiman

Wilayah perairan Nain terdapat dua pulau yaitu Pulau Nain dan Nain Kecil serta beberapa pulau karang, juga batas tepi karangnya hanya berjarak 2 km dengan Pulau Mantehage. Kawasan ini berada di antara 1º35’41’’ – 1º35’16’’ LU

dan 124º50’50’’ – 124º49’22” BT. Pulau Nain adalah pulau ke sembilan dari 10 pulau di kawasan yang dekat Pulau Sulawesi bagian utara. Pulau Nain merupakan pulau terjauh dalam kawasan Taman Nasional Bunaken (TNB). Bisa ditempuh selama 1 jam 10 menit dengan speedboad bermesin 3 x 40 PK, atau selama 2–2,5 jam dengan perahu angkutan penumpang.

Pulau Nain memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan dengan pulau-pulau di sekitarnya. Daratannya dikelilingi hamparan karang dan laguna. Jarak dari pinggir pantai hingga pinggiran karang bervariasi antara 2 hingga 5 kilometer. Keadaan topografi pulau berbukit, mulai dari batas air pasang, didominasi oleh bebatuan. Satu-satunya dataran yang ada luasnya kurang dari 4 hektar dimanfaatkan sebagai pemukiman. Selebihnya, rumah-rumah didirikan di lereng bukit dan sebagian lagi merupakan rumah tiang yang didirikan berderet-deret di atas air laut. Dari satu rumah ke rumah lainnya dihubungkan dengan jembatan yang menggunakan bahan baku kayu, bambu atau papan. Pemukiman di atas air adalah pemukiman bagi Suku Bajo, suku yang dikenal bermukim dan melakukan berbagai aktivitas di atas air.

Berdasarkan survei di pemukiman Suku Bajo, diketahui bahwa aktivitas di kawasan rumah–rumah tiang tersebut bukan hanya bermukim, tetapi juga menambat perahu pada tiang–tiang rumah, menampung hasil perikanan, membersihkan ikan untuk dijadikan ikan asin dan penjemuran hasil–hasil perikanan (Gambar 11).

Ironisnya menurut informasi bahwa ada juga sebagian penduduk yang mendirikan rumah di atas air yang sebenarnya memiliki rumah di darat. Alasannya selain budaya dan aktivitas yang lebih banyak berhubungan dengan laut, disebabkan juga oleh proses perkawinan dimana keluarga yang baru karena ingin hidup mandiri maka mereka membangun rumah di atas air.

Sumber: foto koleksi pribadi

Gambar 11 Keadaan permukiman dan aktivitas penduduk Desa Nain.

b) Sosial budaya masyarakat

Mayoritas penduduk Desa Nain lebih memilih tinggal di rumah-rumah

gantung bertiang tancap di atas air yang disebut ‘tompal’. Selebihnya hanya berupa perbukitan yang tentu saja rawan untuk dijadikan sebagai tempat pemukiman. Jadi masyarakat yang tinggal di atasnya tidak sampai 250 KK. Tiang- tiang yang digunakan untuk menopang rumah umumnya digunakan kayu bakau dan kayu yang tahan terhadap air sehingga sering terlihat pemilik rumah rajin memeriksa tiang-tiang rumah, juga lantai dan jalan penghubung antar rumah.

Di Desa Nain terdapat sumber air yang dinamai ‘Aer Jere’ yakni dua buah sumur berair tawar yang letaknya berbatasan dengan garis pantai apabila air pasang. Sumber air tawar ini tidak pernah kering sepanjang tahun, walau di musim kemaraupun. Ini berbeda dengan beberapa pulau di sekitarnya. Aer jere harus ditimba menggunakan timba dari daun woka (Palem Serdang, Livistona rotundifolia). Mereka menyebut Aer Jere sebagai sumber air mujizat karena selain tidak pernah kering, juga dipercaya dapat mengabulkan permohonan bagi orang yang tidak dikaruniai keturunan.

Awalnya Pulau Nain bernama Pulau Bagu. Menurut salah satu tetua Kampung Bajo, Lato (2007) mengisahkan nama Nain mulai dipakai saat pemerintahan Belanda. Nain artinya pulau ke sembilan karena terletak di tengah

dari dua gugus pulau di kiri dan di kanan yang masing-masing gugus terdiri dari empat pulau. Gugus pulau di sebelah kanan adalah P. Manado Tua, Bunaken, Siladen, serta Mantehage, dan di kiri adalah P. Talise, Bangka, Gangga, dan Lehaga. Ada juga yang menyebut P. Nain dengan nama Pulau Naen atau Naeng.

Penduduk di Pulau Nain mayoritas dari suku Bajo. Suku Bajo di Pulau Nain, menurut kisah, berasal dari daerah Gowa Sulawesi Selatan. Mulanya mereka menetap di pesisir kampung Kima Bajo dan Talawaan Bajo. Di pesisir pantai Minahasa ini mereka mendirikan rumah yang disebut ‘daseng’. Setelah sekitar seabad mendiami Kampung Kima Bajo, mereka berpindah ke Pulau Nain.

Struktur letak pemukiman Desa Nain terdiri atas pemukiman di daratan datar, di lereng bukit dan di atas air. Pemukiman di Desa Tatampi (Tatampi Besar dan Tatampi Kecil) serta di Kampung Tarente adalah pemukiman di daerah daratan datar yang sempit di pinggir pantai. Tetapi berdasarkan survei Mei 2011 di Kampung Tatampi Kecil sudah ada pembangunan rumah tiang di atas air, bahkan ada yang berkonstruksi permanen dengan menimbun laut (Gambar 12).

Berdasarkan data Kecamatan Wori dalam angka 2008, wilayah administratif Desa Nain adalah 4,98 km2 atau 5,76% dari luas desa di Kecamatan Wori. Nain merupakan pulau yang paling padat penduduk di Wori. Permukiman Nain terdiri atas 6 jaga dengan jumlah penduduk 3.245 jiwa (Data desa 2010).

c) Mata pencaharian

Di Desa Nain terdapat 1.671 orang yang dikategorikan pada kelompok usia kerja. Kelompok usia kerja terdiri dari nelayan, pengrajin cendramata dan meubel, petani, nelayan, pedagang, tukang kayu, pembuat perahu, dan buruh. Pengrajin cendramata dan pedagang didominasi oleh kaum wanita (ibu-ibu).

Berdasarkan survei, 95% dari penduduk Desa Nain merupakan nelayan dengan dominasi pembudidaya rumput laut. Pada tahun 2010, terdapat 64 kelompok pembudidaya rumput laut. Selain itu terdapat 5 kelompok nelayan tangkap. Jumlah anggota setiap kelompok nelayan berkisar 7–10 orang. Mata pencaharian lainnya adalah usaha angkutan transportasi ke Manado. Selain itu beberapa warga juga memiliki usaha berupa warung yang menjual kebutuhan sehari – hari (DPU Sulut, 2009; DKP Minut, 2010; Pandelaki, 2011).

Sumber: foto koleksi pribadi

Gambar 12 Pembangunan rumah di atas air di Kampung Tatampi Kecil.

d) Pendidikan dan kesehatan

Di Desa Nain terdapat tiga buah Taman Kanak-kanak yang menampung 72 anak-anak yang diasuh 6 orang guru; tiga Sekolah Dasar dengan jumlah murid 368 orang diasuh 18 orang guru; dan Sekolah Menengah Pertama dengan jumlah siswa 95 orang yang diasuh 5 orang guru. Lembaga pendidikan yang ada memiliki ruang belajar dan fasilitas ajar yang sangat terbatas. Survei yang dilakukan April 2010, terdapat juga fasilitas pendidikan lainnya yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan sementara dibangun bangunan Madrasah Aliyah (MA). Tingkat pendidikan penduduk dapat dilihat pada Tabel 5.

Pelayanan kesehatan di Desa Nain difasilitasi dengan adanya Puskesmas Pembantu yang ditangani oleh seorang bidan, dan secara terjadwal dikunjungi oleh dokter dengan fasilitas Puskesmas Terapung menggunakan sebuah speedboat. Selain itu terdapat tiga dukun beranak terlatih dan 12 kader kesehatan.

Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan

No Pendidikan Jumlah (jiwa)

1 2 3 4 5 Sarjana/Diploma SLTA/sederajat SLTP/sederajat SD/sederajat Tidak tamat SD/tidak sekolah

20 220 530 1.100

702

e) Sarana-prasarana

Di Desa Nain sudah terdapat fasilitas penerangan yang diperoleh dari PLN dengan jam operasi dari jam 6 sore hingga jam satu subuh. Dan setiap hari minggu maupun hari-hari raya ada jam operasi ekstra dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang. Sejumlah ibu rumah-tangga memanfaatkan energi listrik ini untuk pembuatan es dan air es sebatas kapasitas kulkas. Sebagian warga memanfaatkan energi ini untuk tayangan televisi kabel.

Sumur Aer Jere dari awalnya berjumlah dua maka penduduk membagi yang dapat digunakan untuk air minum dan untuk mencuci. Air sumur ini rasanya tawar walaupun jaraknya hanya beberapa meter dari laut. Sumber air lainnya

adalah “Air Anjing” dan sebuah sumur buatan. f) Transportasi

Di Pulau Nain terdapat fasilitas berupa dermaga beton masing-masing sepanjang kurang lebih 30 dan 40 meter untuk perahu motor yang mengangkut penumpang. Ada lima buah perahu motor yang berfungsi sebagai sarana angkutan penumpang atau dikenal dengan sebutan taksi laut. Setiap hari setidaknya 2 buah perahu secara rutin menjadi angkutan umum ke Manado dengan biaya Rp. 15.000/orang atau Rp. 25.000/orang pp jika menggunakan perahu yang sama. Taxi laut berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.30 WITA ke Manado, dan dari Manado kembali ke Nain disesuaikan dengan kondisi pasang surut air laut. Perjalanan pagi diupayakan sebelum air laut surut agar perahu tidak terperangkap

di “nyare” atau daerah karang yang dangkal. Perjalanan sore kembali ke Pulau Nain dilakukan agar saat perahu tiba di perairan Pulau Nain, air laut sudah cukup dalam sehingga perahu dapat mencapai dermaga. Selain kedua dermaga yang telah disebutkan sebelumnya terdapat pula puluhan tambatan perahu di area pemukiman Suku Bajo. Di setiap tambatan perahu ini terdapat tempat penimbangan ikan hasil tangkapan nelayan yang kemudian akan dibawa ke tempat pelelangan ikan di Manado.

Dalam sehari, dua kali pemberangkatan perahu penampung ikan ke Manado, yakni pada subuh dan sore hari. Saat ini telah ada juga satu dermaga baru yang dibangun oleh dinas perikanan yang dilengkapi dengan gudang rumput laut dan tempat jemur rumput laut dengan konstruksi permanen.

Dokumen terkait