• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia

Perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dapat dilihat berdasarkan rata-rata tahunan pertumbuhan luas lahan tersebut dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Kepulauan Maluku (1.11 persen), Kepulauan Nusa Tenggara (0.82 persen), serta Pulau Papua (0.13 persen) merupakan pulau yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sebaliknya, pulau-pulau sisanya justru mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Sulawesi (-1.83 persen), Pulau Sumatera (-1.71 persen), Pulau Jawa (-0.14 persen), dan Pulau Kalimantan (-0.03 persen). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 3 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Indonesia (%) Periode Tahun 2009-2013

Provinsi yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 0.36 persen. Menurut Lusyantini, Kasubag Program Dinas Pertanian Sumatera Utara, sekitar 70 persen dari luas lahan pertanian Sumatera Utara didominasi oleh lahan pertanian bukan sawah (medan.tribunnews.com 2012). Sementara itu, provinsi yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Kep. Riau (-5.60

-2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 (%) Pulau

16

persen), disusul dengan Provinsi Riau (-2.41 persen) dan Provinsi Sumatera Selatan (-2.26 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau adalah penetapan daerah Batam, Bintan, dan Karimun di provinsi ini khusus sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (penataanruang.pu.go.id 2009). Penetapan tersebut menandakan bahwa lahan di provinsi ini diutamakan untuk penggunaan sektor-sektor non pertanian. Akibatnya adalah rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau menjadi rata-rata pertumbuhan paling rendah diantara provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera.

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 4 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sumatera (%) Periode 2009-2013

Provinsi DI Yogyakarta mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 0.46 persen. Salah satu faktor penyebab peningkatan tersebut adalah adanya upaya perlindungan pertanian pangan berkelanjutan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DIY sejak tahun 2006. Upaya tersebut berupa pemberian fasilitasi bantuan sertifikasi lahan pertanian produktif dan pemberian insentif bagi petani lahan sawah (berupa pupuk majemuk dan pupuk organik) disertai dengan kesepakatan tidak akan mengalihfungsikan ke non pertanian selama tiga tahun (tataruangindonesia.com 2012). Sebaliknya, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah terjadi di Provinsi DKI Jakarta (-2.91 persen). Provinsi dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah lainnya adalah Provinsi Banten (-0.71 persen). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, lahan pertanian produktif di provinsi ini sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan industri (pertanian.go.id 2014).

-6.00 -5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 (%) Provinsi

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 5 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Jawa (%) Periode 2009-2013

Pada Kepulauan Nusa Tenggara, peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1.32 persen. Menurut Tunggul Imam Panudju, Direktur Perluasan dan Pengolahan Lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah sukses mencetak lahan sawah baru sebanyak 4 700 hektar pada tahun 2012 (bisnis.tempo.co 2013). Pencetakan lahan sawah baru tersebut merupakan salah satu faktor peningkat rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini. Selain pencetakan lahan sawah baru, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga memiliki program NTB Bumi Sejuta Sapi pada periode 2009-2013. Program ini menggunakan pola padang penggembalaan atau sistem pertanian lar/so yang terpusat di Pulau Sumbawa (ntbprov.go.id 2014). Program ini juga mendorong peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Kepulauan Nusa Tenggara adalah Provinsi Bali (-1.15 persen). Hal ini dikarenakan konversi lahan pertanian ke lahan pemukiman dan sarana akomodasi wisata seperti vila (bali.bisnis.com 2014).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 6 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Nusa Tenggara (%) Periode 2009-2013

-3.50 -3.00 -2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 (%) Provinsi -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50

Bali Nusa Tenggara Barat

Nusa Tenggara Timur

(%)

18

Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Kalimantan berdasarkan Gambar 7 adalah Provinsi Kalimantan Tengah (9.27 persen). Salah satu faktor pemicu meningkatnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di provinsi ini adalah Program Mamangun dan Mahaga Lewu (PM2L) periode 2008-2013. Program ini bertujuan untuk mengembangkan desa-desa tertinggal dengan berorientasi pada sektor agrobisnis (merdeka.com 2008). Program revitalisasi pertanian ini mencakup optimalisasi lahan pertanian dengan menggarap kembali potensi lahan tidur menjadi areal pertanian tanaman pangan. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Pulau Kalimantan adalah Provinsi Kalimantan Timur (-6.95 persen). Hal tersebut dikarenakan terjadi konversi lahan ke lahan pemukiman dan tambang batu bara (kaltimpost.co.id 2015).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 7 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Kalimantan (%) Periode 2009-2013

Provinsi Sulawesi Barat (6.07 persen) merupakan provinsi dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Sulawesi. Salah satu faktor peningkat rata-rata pertumbuhan tersebut adalah keberhasilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dalam membuka lahan sawah baru pada lahan kering yang selama ini tidak produktif, seluas 3 050 hektar di Kabupaten Mamuju selama tahun 2012 (seputarsulawesi.com 2012). Sebaliknya, rata-rata pertumbuhan luas lahan di Pulau Sulawesi yang mengalami penurunan adalah Provinsi Sulawesi Tengah (-9.32 persen) dan Provinsi Sulawesi Utara (-1.21 persen). Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Sulawesi Tengah mengalami penurunan cukup tajam diakibatkan konversi lahan pertanian ke lahan perumahan dan industri (antarasulteng.com 2015).

-8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur (%) Provinsi

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 8 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sulawesi (%) Periode 2009-2013

Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Kepulauan Maluku adalah Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 7.57 persen (Gambar 9). Salah satu faktor tingginya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini adalah keberhasilan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) pada tahun 2008-2009. Keberhasilan tersebut membuat Gapoktan PUAP perwakilan Provinsi Maluku Utara berhasil mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 (malut.litbang.pertanian.go.id 2009). PUAP merupakan program yang bertujuan untuk memberikan kepastian akses pembiayaan kepada petani anggota Gapoktan. Mudahnya pembiayaan tersebut merupakan salah satu insentif bagi petani agar tidak melakukan konversi pada lahan pertaniannya sendiri guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah di Pulau Papua adalah Provinsi Papua Barat (-1.32 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Papua Barat adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan perumahan maupun tempat usaha (cahayapapua.com 2015).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 9 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua (%) Periode 2009-2013

-12.00 -10.00 -8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat (%) Provinsi -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua

(%)

20

Secara keseluruhan, terdapat 18 provinsi di Indonesia yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sisanya, 15 provinsi di Indonesia, mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Model terbaik diperoleh pada pengolahan data panel fixed effect model dengan melakukan pembobotan cross section.

Tabel 3 Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia periode 2009-2013

Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Probabilitas

LNKPDTN -0.0127 0.0171 -0.7399 0.4607 LNPNJG -0.3545*** 0.0330 -10.7349 0.0000 PRSNMSKN -0.0004 0.0011 -0.4254 0.6712 LNPDRBP 0.0929** 0.0371 2.5001 0.0137 LNPDRBNP -0.0469*** 0.0138 -3.3913 0.0009 C 16.6127 0.3743 44.3806 0.0000 Weighted Statistics

R-squared 0.9994 Sum squared resid 0.5696

Prob(F-statistik) 0.0000 Durbin-Watson stat 1.7995 Unweighted Statistics

R-squared 0.9979 Durbin-Watson stat 1.2917

Sum squared resid 0.6253

Keterangan: ***signifikan pada taraf nyata 1%; **signifikan pada taraf nyata 5%

Model yang digunakan dalam luas lahan pertanian di Indonesia adalah sebagai berikut:

LNLUASit =16.6127 – 0.0127LNKPDTNit– 0.3545LNPNJGit– 0.0004MSKNit + 0.0929LNPDRBPit – 0.0469LNPDRBNPit+ εit

Berdasarkan Tabel 3, variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia yaitu panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian. Sedangkan kepadatan penduduk dan persentase penduduk miskin dari hasil estimasi menunjukkan tidak berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia (nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 5 persen).

Nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.0000, kurang dari taraf nyata 5 persen artinya variabel-variabel yang digunakan pada model berpengaruh nyata terhadap luas lahan pertanian di Indonesia dengan asumsi ceteris paribus. Nilai R-squared yang diperoleh pada model adalah 0.9994, menunjukkan bahwa secara keseluruhan model dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang didalam model sebesar 99.94 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Nilai R-squared yang tinggi dan hampir mendekati 100 persen

menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut adalah model yang layak digunakan.

Selain nilai R-squared yang besar, model yang layak untuk digunakan juga harus memenuhi syarat uji asumsi klasik agar model yang diperoleh bersifat

BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Salah satu uji asumsi klasik adalah uji multikolinearitas. Hasil estimasi menunjukkan nilai matriks korelasi antar variabel masih lebih kecil daripada nilai R-squared (0.9994). Artinya, model telah terbebas dari masalah multikolinearitas. Uji asumsi klasik lainnya adalah uji autokorelasi menggunakan nilai Durbin-Watson. Nilai tersebut mengindikasikan tidak terdapat pelanggaran autokorelasi pada model apabila dU<nilai DW<4-dU. Penelitian ini memiliki jumlah observasi sebanyak 165 dan jumlah variabel independen sebanyak 6 pada taraf nyata 1 persen, maka nilai dU sebesar 1.6960. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai Durbin-Watson sebesar 1.7995, berada pada rentang dU (1.6960) dan 4-dU (2.3040). Artinya, tidak terdapat masalah autokorelasi pada model.

Selain uji autokorelasi, perlu dilakukan uji heteroskedastisitas dengan membandingkan nilai sum squared resid. Berdasarkan Tabel 2, nilai sum squared resid weighted (0.5696) lebih kecil daripada nilai sum squared resid unweighted

(0.6253). Artinya, dapat disimpulkan model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Model estimasi dikatakan layak jika memiliki residual yang menyebar normal agar sifat BLUE terpenuhi. Hasil estimasi uji asumsi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Jarque Bera sebesar 0.1118, lebih besar dari taraf nyata 5 persen. Artinya, model estimasi luas lahan pertanian di Indonesia memiliki residual yang menyebar normal. Berdasarkan hasil uji asumsi klasik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa estimasi model luas lahan pertanian di Indonesia bersifat BLUE.

Variabel panjang jalan menunjukkan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, ketika terjadi penambahan panjang jalan maka akan mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian di Indonesia. Hal ini telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila panjang jalan meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan menurun sebesar 0.3545 persen dengan asumsi

ceteris paribus.

Pada penelitian ini, data panjang jalan yang dimaksud adalah data panjang jalan menurut tingkat kewenangan pemerintahan (jumlah dari data panjang jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota). Dalam konteks pembangunan pertanian dan ekonomi, jaringan jalan sangat dibutuhkan untuk memperlancar arus faktor produksi dan pemasaran hasil (Effendi dan Asmara 2014). Sebaliknya, studi yang dilakukan Daryanto et al. (2011) menunjukkan bahwa pembangunan sektor jalan dan jembatan di Indonesia berpotensi mempercepat perubahan wilayah berbasis pertanian menuju industrialisasi.

Hal ini sesuai dengan teori perubahan struktural. Berdasarkan teori perubahan struktural, transformasi terjadi dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern (lebih berorientasi pada sektor industri manufaktur dan sektor jasa-jasa). Indonesia sekarang tengah mengalami proses transformasi tersebut, dilihat dari distribusi persentase PDB yang didominasi oleh sektor industri pengolahan sebesar 25.54 persen (BPS 2014). Oleh sebab itu, perkembangan sektor industri harus diikuti dengan

22

perkembangan infrastruktur agar memperlancar proses produksi. Dampaknya adalah semakin banyak penambahan panjang jalan guna memenuhi kebutuhan sektor industri yang memiliki mobilitas tinggi. Konsekuensi dari penambahan panjang jalan tersebut adalah pengurangan luas lahan pertanian, terutama lahan pertanian yang berada di daerah strategis dekat dengan akses ke luar kota.

Hasil estimasi juga sejalan dengan penelitian Effendi dan Asmara (2014) yang menyatakan variabel panjang jalan berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Effendi dan Asmara mempertegas hasil penelitian mereka dengan mengutip dari Mawardi (2006), yang mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur di sektor perhubungan seperti jalan akan menjadi salah satu faktor penyebab yang mendorong penyempitan lahan pertanian.

Variabel PDRB lapangan usaha pertanian menunjukkan secara signifikan berpengaruh positif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, peningkatan PDRB lapangan usaha pertanian akan memberikan dampak pada meningkatnya luas lahan pertanian di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila PDRB lapangan usaha pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan meningkat sebesar 0.0929 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan penelitian Nuryati (1995) yang melakukan analisis dampak konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Jawa Barat.

Nuryati menggunakan analisis tabulasi guna melihat dampak konversi tersebut terhadap PDRB subsektor tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah dapat menyebabkan penurunan sumbangan sektor pertanian dalam PDRB. Hal ini dikarenakan penurunan luas lahan pertanian akan berdampak pada penurunan produksi sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB juga menurun. Dengan demikian, terdapat hubungan positif antara PDRB sektor pertanian dengan luas lahan pertanian.

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel PDRB lapangan usaha non pertanian memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, apabila PDRB lapangan usaha non pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan menurun sebesar 0.0469 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi sesuai dengan teori perubahan struktural. Peningkatan perkembangan sektor industri akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit guna menunjang aktivitasnya. Seringkali, lahan yang digunakan untuk aktivitas sektor-sektor selain sektor-sektor pertanian merupakan lahan pertanian produktif. Akibatnya, luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkurang.

Hasil estimasi juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Effendi dan Asmara (2014). Effendi dan Asmara menggunakan variabel jumlah industri besar dan sedang, yang ternyata berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Untuk mempertegas hasil penelitiannya, Effendi dan Asmara mengutip dari Mawardi (2006), yang juga menyebutkan bahwa perkembangan pesat sektor industri menyebabkan lahan pertanian mengalami tekanan berat. Pertumbuhan kesejahteraan sebagai hasil pembangunan telah mengambil cukup banyak lahan. Penelitian yang dilakukan Mustopa (2011) juga menunjukkan bahwa penambahan sektor industri di

Kabupaten Demak memiliki pengaruh positif terhadap penambahan konversi lahan pertanian. Artinya, semakin banyak sektor industri maka semakin berkurang luas lahan pertanian di Kabupaten Demak.

Dokumen terkait