• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian Di Indonesia"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

LUAS LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA

CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Claudia Andriani Pramono

(4)

ABSTRAK

CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia. Dibimbing oleh SAHARA.

Pemerintah Indonesia berencana melakukan swasembada pangan khusus komoditas beras, kedelai, dan jagung pada tahun 2019. Kebijakan pembangunan pertanian pada tahun 2015-2019 mencakup kebijakan swasembada, pengembangan produk berdaya saing, serta penguatan sistem dan kelembagaan. Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah untuk melakukan program swasembada pangan tersebut adalah penurunan luas lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia agar konversi lahan dapat dikendalikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode panel statis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia adalah panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian. Pemerintah sebaiknya terus berupaya untuk meningkatkan PDRB lapangan usaha pertanian dan menjaga agar peningkatan PDRB lapangan usaha non pertanian tidak berdampak pada penurunan luas lahan pertanian di Indonesia.

Kata kunci: konversi lahan, lahan pertanian, panel statis

ABSTRACT

CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO. Analysis of The Affecting Factors of Agricultural Land in Indonesia. Supervised by SAHARA.

The Government of Indonesia targets to achieve rice, corn, and soybeans self-sufficiency by 2019. The 2015-2019 Agricultural Development Policy includes food self-sufficiency, development of competitiveness product, and reinforcement of system and institutional. One of the Government’s challenges to execute food self-sufficiency is the decline of agricultural land area as a result of the land conversion in Indonesia. Therefore, the affecting factors of agricultural land in Indonesia should be analyzed in order to control the land conversion. This research uses panel data as the method. The result shows that the factors which affect the agricultural land of Indonesia are length of roads, Gross Regional Domestic Product (GRDP) of agricultural sector, and GRDP of non-agricultural sector. The government should strive to improve the GRDP of agricultural sector, and to prevent the impact of GRDP of non-agricultural sector improvement on the decline of agricultural land in Indonesia.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

LUAS LAHAN PERTANIAN DI INDONESIA

CLAUDIA ANDRIANI PRAMONO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah ekonomi regional, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, antara lain kepada:

1. Dr Sahara, SP MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini. 2. Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku dosen penguji utama yang telah

memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 3. Ranti Wiliasih, SP, MSi selaku dosen komisi pendidikan yang telah

memberi kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. 4. Para dosen, staff, dan seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi.

5. Orang tua penulis (Pramono DS dan Connie FM Palenewen) serta kakak-kakak (Dameria Nathassa dan Tantyana Damayanti Pramono) atas doa, motivasi, dan dukungan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-Teman satu bimbingan Ghina Khalida, Ika Fauziah, Mutiara Shinta, Rusy Laytifah, Sendy W, Vita Nayunda, dan Zahrina HK atas kerjasama, motivasi dan doa selama proses penyelesaian skripsi.

7. Sahabat-sahabat penulis (C Rosy Adhiba, Khairunnisa, Lita R Rahman, Masayu Faradiah, Maya Saroh, Pristi Panggabean, Putu Gayatri, R Ayu Anindhia, Rabbani K, Sami Lumekti, dan Widya Paramawidhita) serta teman-teman ESP 48 atas kebersamaan, semangat, bantuan dan motivasi selama menjalankan studi.

8. Kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 4

Landasan Teori 4

Penelitian Terdahulu 8

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis 11

METODE PENELITIAN 11 Jenis dan Sumber Data 11 Metode Analisis Data 12 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia 15 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia 20 KESIMPULAN DAN SARAN 23 Kesimpulan 23 Saran 23 DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(10)

DAFTAR TABEL

1 Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 2009-2013 1 2 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan

Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013 2

3 Hasil Estimasi Variabel yang Berpengaruh terhadap Luas

Lahan Pertanian di Indonesia Periode 2009-2013 20

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram Cincin Von Thunen 5

2 Kerangka Pemikiran Penelitian 11

3 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Indonesia (%) Periode 2009-2013 15

4 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Pulau Sumatera (%) Periode 2009-2013 16

5 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Pulau Jawa (%) Periode 2009-2013 17

6 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Kepulauan Nusa Tenggara (%) Periode 2009-2013 17 7 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Pulau Kalimantan (%) Periode 2009-2013 18

8 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Pulau Sulawesi (%) Periode 2009-2013 19

9 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun

di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua (%) Periode 2009-2013 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun (%)

di Indonesia Periode 2009-2013 28

2 Hasil Estimasi Fixed Effect Model dengan Pembobotan

Cross-Section 29

3 Hasil Uji Normalitas 29

4 Hasil Uji Multikolinearitas 30

5 Hasil Uji Hausman 30

6 Hasil Estimasi Random Effect Model 31

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan salah satu faktor produksi utama bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo 1992). Utomo juga berpendapat bahwa perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana dapat memberikan dampak buruk pada daya dukung lahan. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Salah satu contoh perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan tidak terencana adalah konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian.

Menurut Irawan (2008), konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian merupakan salah satu isu sentral pembangunan pertanian karena dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap produksi pangan disamping aspek sosial ekonomi lainnya dan masalah lingkungan. Berbagai peraturan telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, tetapi kebijakan tersebut terkesan tidak efektif yang ditunjukkan oleh luas lahan pertanian yang terus berkurang.

Berdasarkan Statistik Lahan Pertanian 2014, jumlah luas penggunaan lahan di Indonesia secara keseluruhan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.28 persen atau 112 046 hektar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan terbesar berdasarkan jenis lahan pada tahun 2013 adalah penurunan luas lahan sawah non irigasi, yaitu sebesar 11.37 persen atau 422 186 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012. Berbeda dengan jenis lahan lain yang rata-rata mengalami penurunan luas lahan pada tahun 2013, jenis lahan ladang atau huma justru mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu besar. Peningkatan luas ladang atau huma pada tahun 2013 sebesar 0.20 persen atau 10 865 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012.

Tabel 1 Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 2009-2013

No Jenis Lahan (ha) Tahun

(12)

2

lahan. Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, penurunan terbesar terjadi pada golongan penguasaan lahan <1000 m2 sebesar 5 041 451 rumah tangga dari tahun 2003 hingga tahun 2013. Secara keseluruhan dari rentang tahun tersebut, penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian yang menguasai berbagai golongan luas lahan tercatat sebanyak 5 096 715 rumah tangga.

Tabel 2 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai Tahun 2003 dan 2013

Golongan Luas Lahan (m2) Rumah Tangga Usaha Pertanian

2003 2013

<1000 9 380 300 4 338 849

1000-1999 3 602 348 3 550 180

2000-4999 6 816 943 6 733 362

5000-9999 4 782 812 4 555 073

10000-19999 3 661 529 3 725 849

20000-29999 1 678 356 1 623 428

≥30000 1 309 896 1 608 728

Jumlah 31 232 184 26 135 469

Sumber: BPS (2014)

Menurut Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 yang dikeluarkan oleh BPS (2014), pada tahun 2013 sektor pertanian Indonesia berada pada peringkat ke-2 jika dilihat dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor industri pengolahan menempati peringkat pertama. Jika dilihat dari periode waktu, kontribusi sektor pertanian Indonesia terus menurun. Pada tahun 2003 share

sektor sebesar 15.2 persen, sementara pada tahun 2013 share menurun menjadi 14.4 persen. Sektor jasa-jasa justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan terjadi transformasi ekonomi di Indonesia, yaitu kontribusi sektor-sektor primer menurun dan digantikan dengan peningkatan sektor sekunder dan tersier (BPS 2014).

Berkaitan dengan hal tersebut, sektor pertanian Indonesia dikhawatirkan akan semakin terancam akibat berkurangnya luas penggunaan lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun. Pengurangan luas tersebut sudah berdampak dengan menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Penurunan luas lahan pertanian perlu diteliti karena dikhawatirkan berdampak pada ketersediaan pangan Indonesia di masa yang akan datang.

Perumusan Masalah

(13)

Hal tersebut menjadi perhatian serius bagi pemerintah mengingat peningkatan jumlah penduduk akan berbanding lurus dengan permintaan kebutuhan pokok terutama pangan. Oleh sebab itu, pemerintah harus mampu menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat. Beberapa komoditas penting yang termasuk makanan pokok masyarakat Indonesia antara lain beras, kedelai, dan jagung. Pemerintah Indonesia telah menargetkan akan mewujudkan swasembada ketiga komoditas tersebut paling lambat tahun 2019. Kebijakan pembangunan pertanian pada 2015-2019 mencakup kebijakan swasembada, pengembangan produk berdaya saing, serta penguatan sistem dan kelembagaan (republika.co.id 2014).

Faktanya, seperti yang sudah dipaparkan pada bagian latar belakang, luas lahan pertanian di Indonesia secara keseluruhan menurun dari tahun ke tahun. Penurunan terbesar berdasarkan jenis lahan pada tahun 2013 adalah penurunan luas lahan jenis sawah non irigasi, yaitu sebesar 11.37 persen atau 422 186 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012 (BPS 2014). Kebijakan swasembada pangan yang ditargetkan oleh Pemerintah Indonesia periode 2014-2019 tentu akan mengalami kendala apabila masalah penurunan luas lahan pertanian akibat konversi lahan tersebut tidak diselesaikan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, penelitian ini mengenai faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini:

1. Bagaimana perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun

2009 hingga tahun 2013.

2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia dan sebagai bahan masukan untuk membuat kebijakan yang sesuai.

2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.

(14)

4

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data panel, yaitu data yang diambil dari 33 provinsi dengan rentang waktu dari tahun 2009 sampai 2013. Definisi lahan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan sawah (irigasi dan non irigasi), lahan tegal atau kebun, lahan ladang atau huma, serta lahan yang sementara tidak diusahakan (BPS 2012). Lahan sawah merupakan lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang, saluran untuk menahan atau menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang darimana diperoleh atau status lahan tersebut.

Lahan tegal atau kebun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang ditanami tanaman semusim atau tahunan dan terpisah dengan halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah-pindah. Sebaliknya, lahan ladang atau huma adalah lahan kering yang biasanya ditanami tanaman semusim dan penggunaannya hanya semusim atau dua musim, kemudian akan ditinggalkan bila sudah tidak subur lagi. Sementara itu, lahan yang sementara tidak diusahakan adalah lahan yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara (lebih dari satu tahun tetapi kurang dari atau sama dengan dua tahun) tidak diusahakan (termasuk lahan sawah).

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Lokasi Von Thunen

Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen, tingkat sewa lahan yang paling mahal adalah lahan yang berada di pusat pasar, sementara tingkat sewa tersebut semakin rendah apabila lahan terletak jauh dari pasar (Priyarsono et al. 2007). Untuk memahami model Von Thunen ada beberapa asumsi dasar yang harus dimengerti, yaitu berikut ini:

1. Terdapat satu pusat kota yang berlokasi di titik P (pasar); semua komoditas pertanian diperdagangkan di pusat kota ini.

2. Seluruh lahan dimiliki oleh tuan tanah; tuan tanah akan menyewakan tanah kepada penyewa yang membayar sewa paling tinggi.

3. Semua petani memproduksi produk pertanian yang sejenis, dengan teknologi produksi yang sama dan perbandingan yang tetap antara input

lahan dengan input non lahan. Perbandingan yang tetap menunjukkan tidak adanya saling substitusi antara input lahan dengan input non lahan. 4. Kesuburan lahan dianggap merata di semua lokasi.

5. Terdapat kebebasan untuk ke luar masuk pasar pertanian sehingga laba yang diperoleh adalah laba normal (laba nol).

Analisis Von Thunen dimulai dengan formulasi keuntungan ( ) yang dapat ditulis sebagai berikut:

(15)

Keterangan: P = Pasar

Cincin 1 = Pusat industri/kerajinan

Cincin 2 = Pertanian intensif (produksi susu dan sayur-sayuran)

Cincin 3 = Wilayah hutan (untuk menghasilkan kayu bakar) Cincin 4 = Pertanian ekstensif (dengan

rotasi 6 atau 7 tahun) Cincin 5 = Wilayah peternakan

Cincin 6 = Daerah pembuangan sampah

P

dan sewa tanah (land-rent) yang keduanya dipengaruhi oleh jauh dekatnya jarak ke pasar (Sjafrizal 2012).

Asumsi laba yang diperoleh adalah laba normal (laba nol) menyebabkan keadaan menjadi:

sehingga:

dimana adalah bid-rent yang menunjukkan kemampuan pengelola lahan untuk membayar sewa tanah dari hasil pemanfaatan tanah bersangkutan. Persamaan bid-rent tersebut merupakan unsur penting dalam analisis Teori Lokasi Von Thunen. Pemilihan lokasi yang paling optimal untuk usaha pertanian pada komoditas tertentu akan ditentukan oleh perbandingan kemampuan pengelola lahan membayar sewa tanah dengan tingkat sewa tanah yang berlaku di pasaran.

Analisis diatas merupakan contoh kasus bilamana lahan hanya ditanami oleh satu jenis tanaman saja. Kenyataan umum menunjukkan bahwa pada suatu bidang lahan biasanya juga dapat ditanami oleh banyak jenis tanaman. Hasil tanaman akan dipasarkan pada suatu tempat bilamana pasar tertentu merupakan alternatif yang terbaik. Hal ini akan menimbulkan “batas dalam wilayah pasar (inner limit)”. Pada waktu bersamaan suatu tanaman akan dapat memilih lokasi lebih jauh dari pasar, bilamana nilai bid-rent ( ) lebih besar dari biaya karena pindah lokasi (opportunity cost) dan hal ini merupakan batas luar wilayah pasar (outer limit).

Berdasarkan hal ini, dapat dibuat pernyataan umum bahwa, keseimbangan antar wilayah (spatial equilibrium) pemilihan lokasi kegiatan pertanian adalah bilamana: (penentuan batas dalam) dan (penentuan batas luar). Lingkaran untuk masing-masing batas dalam (inner limit) disebut sebagai Von Thunen Ring atau Diagram Cincin Von Thunen, yang menunjukkan lokasi optimal untuk masing-masing jenis tanaman. Dengan demikian, terlihat bahwa cincin yang paling dekat dengan titik P (pasar) adalah lokasi optimal untuk tanaman yang mempunyai bid-rent yang paling tinggi dan lokasi yang semakin jauh dari titik P adalah lokasi optimal untuk jenis tanaman dengan bid-rent lebih rendah (Gambar 1).

6 5 4 3 2 1

(16)

6

Perkembangan dari teori Von Thunen adalah harga lahan yang tinggi di pusat kota dan akan semakin menurun apabila semakin jauh dari pusat kota. Harga lahan tinggi pada jalan-jalan utama (akses ke luar kota) dan akan semakin rendah apabila menjauh dari jalan utama. Semakin tinggi kelas jalan utama tersebut, maka semakin mahal sewa lahan di sekitarnya.

Teori Von Thunen secara tidak langsung menggambarkan kondisi lahan pertanian, khususnya lahan sawah produktif, yang berada di pusat kota atau dekat dengan jalan-jalan utama. Lahan tersebut sangat rentan mengalami penurunan luas. Pada akhirnya, terjadi konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian karena lahan tersebut bernilai jual sangat tinggi. Insentif yang tinggi dapat menjadi alasan kuat bagi para petani yang membutuhkan quick cash untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, konversi lahan pertanian di daerah kota terus menerus terjadi. Di Indonesia, hal tersebut terkenal dengan istilah “sawah terjepit” yang menggambarkan suatu kondisi sawah di sekitar perumahan, industri atau tata guna perkotaan lain (Arifin 2013).

Teori Pembangunan Lewis

Todaro (2006) mengemukakan bahwa jika suatu negara menghendaki pembangunan yang lancar dan berkesinambungan, maka negara itu harus memulainya dari daerah pedesaan pada umumnya, dan sektor pertanian pada khususnya. Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan sebagai unsur penunjang semata. Berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Barat, apa yang disebut sebagai pembangunan ekonomi identik dengan transformasi struktural yang cepat terhadap perekonomian, yakni dari perekonomian yang bertumpu pada kegiatan pertanian menjadi industri modern dan pelayanan masyarakat yang lebih kompleks.

Dengan demikian, peran utama pertanian hanya dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah demi berkembangnya sektor-sektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor unggulan” dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Model pembangunan “dua sektor” Lewis merupakan contoh yang baik dari teori pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan sektor industri secara cepat, pada saat sektor pertanian hanya dipandang sebagai pelengkap atau penunjang, yaitu sebagai sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah (Todaro 2006).

(17)

Berdasarkan teori pembangunan Lewis yang telah dipaparkan, berkurangnya luas lahan pertanian akibat konversi ke lahan non pertanian dapat diasumsikan sebagai dampak dari adanya transformasi struktur perekonomian negara. Transformasi tersebut terjadi dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian modern yang memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh.

Konversi Lahan Pertanian

Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2014), lahan pertanian adalah lahan yang terdiri dari lahan yang diusahakan dan sementara tidak diusahakan (lahan yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara (selama satu sampai dua tahun) tidak dikelola/diusahakan) untuk pertanian. Sementara lahan bukan pertanian adalah lahan yang mencakup rumah, bangunan dan halaman sekitarnya, hutan negara, rawa-rawa (yang tidak ditanami), lahan bukan pertanian lainnya (jalan, sungai, danau, lahan tandus, dll), termasuk lahan pertanian bukan sawah yang tidak ditanami apapun selama lebih dari dua tahun.

Menurut Azadi et al. (2010), konversi lahan adalah sebuah proses ketika lahan yang diperuntukkan untuk pertanian dirubah menjadi lahan untuk penggunaan urban. Konversi lahan, atau yang juga sering disebut konversi lahan, mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia (Utomo 1992). Kejadian perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lain sebenarnya merupakan kejadian biasa, tetapi dapat menjadi masalah jika mempunyai dampak negatif penting. Menurut Utomo, konversi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi ini bersifat permanen. Sebaliknya, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu maka konversi tersebut bersifat sementara karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Konversi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada konversi lahan sementara.

Manuwoto (1992) berpendapat bahwa secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi, dan kebijakan pembangunan makro. Secara keseluruhan, menurut Azadi et al. (2010), faktor penyebab konversi lahan pertanian dapat dibedakan menjadi dua. Faktor pertama adalah faktor eksternal, yang terdiri dari perkembangan industri atau industrialisasi, urbanisasi, perkembangan infrastruktur jalan, serta kebijakan pemerintah. Faktor kedua adalah faktor internal, yang terdiri dari produktivitas lahan dan intensitas teknologi pertanian.

Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian jika dibiarkan akan memberikan dampak negatif. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat I Lampung Sub Dinas Bina Usaha Tani (1992) mengemukakan masalah-masalah yang ditimbulkan konversi lahan pertanian, antara lain:

1. Konversi lahan sawah akan mengurangi dan mengganggu tata lokasi lahan yang diperuntukkan sebagai lahan sawah.

(18)

8

3. Adanya konversi lahan akan mengganggu program pemantapan dan peningkatan produksi tanaman pangan.

4. Konversi lahan sawah akan mengganggu dan menghambat program perluasan areal sawah sebagai kompensasi penambahan konversi lahan sawah atau lahan produktif di Jawa.

Irawan (2005) berpendapat bahwa konversi lahan pertanian terutama sawah akan berdampak pada ketahanan pangan negara, seperti yang dikemukakan Dinas Pertanian Lampung pada poin ke-3. Menurut Irawan, konversi lahan sawah secara langsung akan mengurangi kuantitas ketersediaan pangan akibat berkurangnya lahan pertanian yang dapat ditanami padi dan komoditas pangan lainnya. Secara tidak langsung konversi lahan sawah juga dapat mengurangi kuantitas ketersediaan pangan akibat terputusnya jaringan irigasi yang selanjutnya berdampak pada penurunan produktivitas usahatani. Konversi lahan sawah terutama sawah beririgasi juga dapat mengurangi stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun akibat berkurangnya kapasitas produksi pangan yang dapat dihasilkan pada musim kemarau. Selain itu, jika terjadi konversi lahan terutama lahan sawah irigasi yang memiliki daya serap tenaga kerja relatif tinggi akibat intensitas tanam yang tinggi, maka akan terjadi penurunan kesempatan kerja buruh tani yang selanjutnya berdampak pada penurunan pendapatan para buruh tani.

Berdasarkan hal tersebut, maka konversi lahan pertanian secara langsung akan mengurangi aksesibilitas ekonomik para buruh tani terhadap bahan pangan. Padahal, kelompok masyarakat miskin tersebut umumnya rentan terhadap kerawanan pangan. Disamping itu, daya beli pangan kelompok masyarakat lainnya juga akan berkurang akibat naiknya harga pangan yang dirangsang oleh penurunan produksi pangan yang disebabkan oleh konversi lahan.

Penelitian Terdahulu

Ilham et al. (2005) menganalisis perkembangan dan faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Penelitian ini mengelompokkan faktor-faktor yang menentukan konversi lahan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada. Faktor ekonomi merupakan faktor utama yang dibahas karena merupakan acuan penelitian. Dalam penelitiannya, Ilham et al. menggunakan variabel independen nilai tukar petani sebagai proksi daya saing produk pertanian khususnya padi; PDB sektor industri, transportasi dan perdagangan, hotel dan restoran sebagai proksi dari aktivitas industri, pembangunan prasarana jalan dan pembangunan sarana pasar dan turisme; serta jumlah penduduk sebagai proksi kebutuhan untuk pemukiman.

(19)

yaitu variabel pertumbuhan nilai tukar petani, menunjukkan hubungan negatif dengan rataan konversi lahan sawah.

Salah satu tujuan penelitian yang telah dilakukan oleh Ruswandi et al.

(2007) adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan pertanian di Bandung Utara. Penelitian ini menggunakan model regresi linear berganda untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi perubahan lahan pertanian ke non pertanian. Variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepadatan penduduk tahun 1992, peningkatan kepadatan penduduk, penurunan jumlah keluarga tani, kepadatan petani pemilik lahan tahun 1992, penurunan kepadatan petani pemilik lahan, kepadatan petani non pemilik lahan tahun 1992, peningkatan kepadatan petani non pemilik lahan, luas lahan guntai dari luas desa tahun 1992, peningkatan luas lahan guntai dari luas desa, jarak desa ke pusat kota kecamatan, serta peningkatan jumlah surat keterangan miskin.

Hasil penelitian menunjukkan variabel-variabel yang memengaruhi konversi lahan pertanian secara positif adalah kepadatan petani non pemilik tahun 1992, peningkatan kepadatan petani non pemilik, peningkatan luas lahan guntai dari luas desa, peningkatan jumlah surat keterangan miskin, serta jarak desa ke kota kecamatan. Variabel-variabel yang memengaruhi konversi lahan pertanian secara negatif adalah kepadatan penduduk tahun 1992, kepadatan petani pemilik tahun 1992, serta luas lahan guntai dalam desa tahun 1992.

Li et al. (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh dari perluasan kota dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya terhadap intensitas penggunaan lahan pertanian di Tiongkok. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika linear panel sederhana untuk menentukan faktor-faktor tersebut. Variabel-variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas daerah pertanian yang dikonversi untuk perluasan kota, luas lahan budidaya, variabel penjelas sosial ekonomi (PDB sektor industri, PDB per kapita, dan investasi pertanian per kapita), serta variabel penjelas biofisik (total panjang semua jalan raya, total jarak dari daerah ke ibukota provinsi, rasio lahan dengan kemiringan rata-rata kurang dari delapan derajat, ketinggian rata-rata daerah, rata-rata curah hujan tahunan, dan rata-rata suhu udara tahunan daerah).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peneliti menggunakan fixed effects model untuk menganalisis pengaruh variabel sosial ekonomi, sementara random effects model digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel biofisik. Hasil penelitian juga menunjukkan pada fixed effects model, variabel PDB sektor industri memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap Multi-Cropping Index

(MCI). Sementara variabel PDB per kapita memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap MCI. Dalam random effects model, variabel yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap MCI antara lain: luas daerah pertanian yang dikonversi untuk perluasan kota, total jarak dari daerah ke ibukota provinsi, dan ketinggian rata-rata daerah. Sementara variabel yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap MCI dalam model yang sama antara lain: total panjang semua jalan raya, rata-rata curah hujan tahunan, dan rata-rata suhu udara tahunan daerah.

(20)

10

jumlah industri besar dan sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model terbaik yang digunakan adalah fixed effects model. Variabel kepadatan penduduk berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa, mengindikasikan adanya trend pemilikan rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai investasi.

Hasil analisis regresi juga menunjukkan hal yang sama pada variabel jumlah industri besar dan sedang. Hal tersebut disebabkan Koridor Ekonomi Jawa merupakan sumber kegiatan ekonomi sehingga industri lebih berkembang di koridor ini. Perkembangan tersebut membutuhkan lahan lebih banyak dan menyebabkan pengurangan lahan pertanian di koridor ini. Variabel terakhir, yaitu variabel panjang jalan, berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa.

Penelitian yang dilakukan Effendi dan Asmara (2014) menjadi acuan bagi peneliti untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Penelitian ini menambahkan variabel persentase penduduk miskin sesuai dengan penelitian dari Ruswandi et al. (2007). Peneliti memodifikasi variabel jumlah industri besar dan sedang menjadi variabel PDRB lapangan usaha pertanian dan variabel PDRB lapangan usaha non pertanian. Penelitian ini juga menggunakan data dari tahun 2009 hingga 2013 sebagai pembaharuan data dari penelitian Effendi dan Asmara (2014).

Kerangka Pemikiran

Indonesia mengalami kenaikan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun ke tahun. BPS (2012) mencatat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2013 adalah 130 orang/km2, meningkat enam kali lipat dari tahun 2010. Selain itu, CIA Amerika (2014) menyatakan populasi Indonesia berada pada peringkat ke-5 dari 240 negara di dunia dengan jumlah populasi sebanyak 253 609 643 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan berbanding lurus dengan peningkatan permintaan pangan seperti beras, kedelai, dan jagung.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia periode 2014-2019 telah menargetkan akan mewujudkan swasembada pangan paling lambat empat tahun ke depan. Ironisnya, luas penggunaan lahan di Indonesia terbukti mengalami penurunan secara konsisten sepanjang tahun. BPS (2014) mencatat pada tahun 2013, luas lahan pertanian di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0.28 persen atau 112 046 hektar jika dibandingkan dengan tahun 2012. Berdasarkan Statistik Luas Lahan Pertanian tersebut, perwujudan program swasembada pangan dalam tempo lima tahun tentu akan diragukan mengingat lahan merupakan salah satu

input penting dalam pertanian.

(21)

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Kepadatan penduduk diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian.

2. Panjang jalan diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian. 3. Persentase penduduk miskin diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan

pertanian.

4. Produk Domestik Regional Bruto Lapangan Usaha Pertanian diduga berpengaruh positif terhadap luas lahan pertanian.

5. Produk Domestik Regional Bruto Lapangan Usaha Non Pertanian diduga berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersifat kuantitatif. Data diperoleh dari beberapa sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS) serta Kementerian Pertanian. Bentuk data yang digunakan berupa data panel, yaitu penggabungan data time series dan data cross section. Data time series merupakan data tahunan yang diambil dari tahun 2009 sampai 2013. Data cross section

diambil dari 33 provinsi di Indonesia. Data yang diperlukan dalam pemodelan antara lain: luas lahan pertanian, kepadatan penduduk, panjang jalan, persentase penduduk miskin, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian.

Peningkatan Jumlah Penduduk Indonesia

Peningkatan Permintaan Lahan untuk Kegiatan Perekonomian

Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Non Pertanian

Perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun

2009 hingga tahun 2013

Faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan

pertanian di Indonesia Rekomendasi Strategi dan Kebijakan

(22)

12

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri dari analisis deskriptif dan analisis regresi data panel statis. Analisis deskriptif yang digunakan untuk memberikan gambaran perkembangan luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013. Analisis regresi data panel statis digunakan untuk menjawab tujuan penelitian faktor-faktor apa saja yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan softwareMicrosoft Excel 2010 dan Eviews 6.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini merupakan gambaran perkembangan luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013.

Analisis Regresi Data Panel Statis

Data panel merupakan kombinasi dari data deret waktu dan kerat lintang; hasil observasi terhadap sekumpulan obyek pada sepanjang kurun waktu tertentu (Firdaus 2011). Pendekatan data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dari pendekatan kerat lintang maupun pendekatan deret waktu. Kombinasi data tersebut memberikan hasil estimasi yang lebih efisien karena jumlah observasi lebih banyak. Beberapa keuntungan penggunaan data panel menurut Baltagi (2005) antara lain:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini dalam mengestimasi dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu.

2. Memberikan data yang lebih informatif dan beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat bebas, dan lebih efisien.

3. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat dideteksi dalam data kerat lintang atau data deret waktu.

Dalam pendekatan data panel, terdapat tiga pendekatan metode antara lain: metode Pooled Least Square (PLS), Fixed Effects Model (FEM), dan Random Effects Model (REM).

Metode Pemilihan Model 1. Uji Chow (Chow Test)

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah Fixed Effects Model (FEM) lebih baik jika dibandingkan dengan Pooled Least Square (PLS). Hipotesis dalam pengujian ini yaitu:

: model Pooled Least Square (PLS) : Fixed Effects Model (FEM)

Jika nilai statistik F lebih besar dari nilai F tabel pada signifikansi tertentu, maka hipotesis nol ( ) akan ditolak sehingga teknik regresi data panel yang dipilih adalah FEM.

2. Uji Hausman

(23)

: Random Effects Model (REM) : Fixed Effects Model (FEM)

Hipotesis nol ( ) ditolak jika nilai statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square. Hal ini berarti model yang tepat untuk regresi data panel adalah FEM.

Uji Kesesuaian Model 1. Kriteria Statistik

a. Uji-t

Uji-t adalah statistik uji yang digunakan untuk menunjukkan besarnya pengaruh masing-masing variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam dalam uji-t yaitu:

: = 0 : ≠ 0

Jika t-statistik > t-tabel maka tolak . Hal ini berarti variabel dependen berpengaruh nyata terhadap variabel independen dan bila t-statistik < t-tabel maka terima . Hal ini berarti variabel dependen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel independennya.

b. Uji Koefisien Determinasi ( )

Koefisien determinasi ( ) merupakan angka yang memberikan persentase variasi total dalam variabel tak bebas (Y) yang dijelaskan oleh variabel bebas (X). Koefisien determinasi ( ) digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabel independen dapat menerangkan variabel dependen. Nilai berkisar antara 0 hingga 1. Nilai mendekati 0 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas sangat terbatas, sedangkan nilai mendekati 1 berarti kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel tak bebas tidak terbatas dan model tersebut dikatakan semakin baik.

2. Kriteria Ekonometrika

a. Uji Heteroskedastisitas

Masalah heteroskedastisitas muncul jika ragam sisaan tidak sama atau var( )=E( )= untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Menurut Juanda (2009), akibat dari heteroskedastisitas adalah:

1. Dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias dan masih konsisten, namun standar errornya bias ke bawah. 2. Penduga OLS tidak efisien lagi.

Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, metode kuadrat terkecil terboboti (Weighted Least Squares atau WLS) dapat digunakan jika ragam sisaan atau var( )= diketahui. Jika ragam sisaan tidak diketahui, maka model dapat diboboti dengan ragam yang terbesar.

b. Uji Multikolinearitas

(24)

14

tidak dapat diduga dan diinterpretasikan. Beberapa cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas antara lain (Juanda 2009):

1. Uji koefisien korelasi sederhana antara peubah dalam model.

2. Melihat nilai koefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model regresi ganda dengan minimal tiga peubah bebas. Jika ada nilai koefisien sangat tinggi dan nyata, maka terjadi multikolinearitas. 3. Perhitungan akar ciri matriks (X’X). Aturan praktis yang biasa

digunakan untuk menandakan adanya multikolinearitas adalah jika K≥30 atau K≥(VIFmax)0.5.

Salah satu cara untuk mengatasi multikolinearitas adalah dengan menggabungkan data kerat lintang dengan data deret waktu.

c. Uji Autokorelasi

Autokorelasi muncul jika antar sisaan tidak bebas atau E(εi,εj) 0

untuk i j. Masalah autokorelasi sering terjadi dalam data deret waktu, tetapi dapat juga terjadi dalam data kerat lintang. Akibat dari autokorelasi adalah dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih tetap tidak bias, konsisten, tidak efisien lagi, serta mempunyai standar error lebih kecil dari nilai yang sebenarnya. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya autokorelasi adalah uji Durbin-Watson. Menurut Juanda (2009), beberapa cara untuk mengatasi autokorelasi adalah:

1. Menggunakan generalized differencing jika struktur autokorelasi diketahui.

2. Menerapkan prosedur Cochrane-Orcutt.

3. Menerapkan prosedur Hildreth-Lu. Perumusan Model Penelitian

Model yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Effendi dan Asmara (2014) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu LUAS dan variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu KPDTN, PNJG, MSKN, PDRBP, dan PDRBNP. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di 33 provinsi di Indonesia. Analisis tersebut menggunakan model dalam persamaan ini, yaitu:

LNLUASit = ɑ0 + ɑ1LNKPDTNit + ɑ2LNPNJGit + ɑ3MSKNit + ɑ4LNPDRBPit + ɑ5LNPDRBNPit+ εit

Keterangan:

LUASit =Luas lahan pertanian (sawah irigasi, sawah non irigasi,

tegal/kebun, ladang/huma, serta lahan yang sementara tidak diusahakan) di 33 provinsi tahun ke t (ha)

KPDTNit =Kepadatan penduduk di 33 provinsi tahun ke t (orang/km2)

PNJGit = Panjang jalan menurut tingkat kewenangan pemerintahan di 33

provinsi tahun ke t (km)

MSKNit =Persentase penduduk miskin di 33 provinsi tahun ke t

PDRBPit =PDRB lapangan usaha pertanian berdasarkan harga konstan 2000

di 33 provinsi tahun ke t (miliar rupiah)

PDRBNPit = PDRB lapangan usaha non pertanian (pertambangan dan

(25)

komunikasi; keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa) berdasarkan harga konstan 2000 di 33 provinsi tahun ke t

(miliar rupiah) ɑ0 = intercept

ɑ1-ɑ5 = parameter untuk setiap variabel tahun ke t

LN = logaritma natural εit = error/simpangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Indonesia

Perkembangan luas lahan pertanian di Indonesia dapat dilihat berdasarkan rata-rata tahunan pertumbuhan luas lahan tersebut dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Kepulauan Maluku (1.11 persen), Kepulauan Nusa Tenggara (0.82 persen), serta Pulau Papua (0.13 persen) merupakan pulau yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sebaliknya, pulau-pulau sisanya justru mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun. Pulau-pulau tersebut antara lain Pulau Sulawesi (-1.83 persen), Pulau Sumatera (-1.71 persen), Pulau Jawa (-0.14 persen), dan Pulau Kalimantan (-0.03 persen). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 3 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Indonesia (%) Periode Tahun 2009-2013

Provinsi yang mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 0.36 persen. Menurut Lusyantini, Kasubag Program Dinas Pertanian Sumatera Utara, sekitar 70 persen dari luas lahan pertanian Sumatera Utara didominasi oleh lahan pertanian bukan sawah (medan.tribunnews.com 2012). Sementara itu, provinsi yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Pulau Sumatera adalah Provinsi Kep. Riau (-5.60

-2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00 1.50

(%)

(26)

16

persen), disusul dengan Provinsi Riau (-2.41 persen) dan Provinsi Sumatera Selatan (-2.26 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau adalah penetapan daerah Batam, Bintan, dan Karimun di provinsi ini khusus sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (penataanruang.pu.go.id 2009). Penetapan tersebut menandakan bahwa lahan di provinsi ini diutamakan untuk penggunaan sektor-sektor non pertanian. Akibatnya adalah rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Kep. Riau menjadi rata-rata pertumbuhan paling rendah diantara provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera.

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 4 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sumatera (%) Periode 2009-2013

Provinsi DI Yogyakarta mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Jawa, yaitu sebesar 0.46 persen. Salah satu faktor penyebab peningkatan tersebut adalah adanya upaya perlindungan pertanian pangan berkelanjutan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DIY sejak tahun 2006. Upaya tersebut berupa pemberian fasilitasi bantuan sertifikasi lahan pertanian produktif dan pemberian insentif bagi petani lahan sawah (berupa pupuk majemuk dan pupuk organik) disertai dengan kesepakatan tidak akan mengalihfungsikan ke non pertanian selama tiga tahun (tataruangindonesia.com 2012). Sebaliknya, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah terjadi di Provinsi DKI Jakarta (-2.91 persen). Provinsi dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah lainnya adalah Provinsi Banten (-0.71 persen). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, lahan pertanian produktif di provinsi ini sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan industri (pertanian.go.id 2014).

-6.00 -5.00 -4.00 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00

(%)

(27)

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 5 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Jawa (%) Periode 2009-2013

Pada Kepulauan Nusa Tenggara, peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu sebesar 1.32 persen. Menurut Tunggul Imam Panudju, Direktur Perluasan dan Pengolahan Lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah sukses mencetak lahan sawah baru sebanyak 4 700 hektar pada tahun 2012 (bisnis.tempo.co 2013). Pencetakan lahan sawah baru tersebut merupakan salah satu faktor peningkat rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini. Selain pencetakan lahan sawah baru, Provinsi Nusa Tenggara Barat juga memiliki program NTB Bumi Sejuta Sapi pada periode 2009-2013. Program ini menggunakan pola padang penggembalaan atau sistem pertanian lar/so yang terpusat di Pulau Sumbawa (ntbprov.go.id 2014). Program ini juga mendorong peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Kepulauan Nusa Tenggara adalah Provinsi Bali (-1.15 persen). Hal ini dikarenakan konversi lahan pertanian ke lahan pemukiman dan sarana akomodasi wisata seperti vila (bali.bisnis.com 2014).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

(28)

18

Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Pulau Kalimantan berdasarkan Gambar 7 adalah Provinsi Kalimantan Tengah (9.27 persen). Salah satu faktor pemicu meningkatnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di provinsi ini adalah Program Mamangun dan Mahaga Lewu (PM2L) periode 2008-2013. Program ini bertujuan untuk mengembangkan desa-desa tertinggal dengan berorientasi pada sektor agrobisnis (merdeka.com 2008). Program revitalisasi pertanian ini mencakup optimalisasi lahan pertanian dengan menggarap kembali potensi lahan tidur menjadi areal pertanian tanaman pangan. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah di Pulau Kalimantan adalah Provinsi Kalimantan Timur (-6.95 persen). Hal tersebut dikarenakan terjadi konversi lahan ke lahan pemukiman dan tambang batu bara (kaltimpost.co.id 2015).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 7 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Kalimantan (%) Periode 2009-2013

(29)

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 8 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Sulawesi (%) Periode 2009-2013

Rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi di Kepulauan Maluku adalah Provinsi Maluku Utara, yaitu sebesar 7.57 persen (Gambar 9). Salah satu faktor tingginya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun di provinsi ini adalah keberhasilan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) pada tahun 2008-2009. Keberhasilan tersebut membuat Gapoktan PUAP perwakilan Provinsi Maluku Utara berhasil mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 (malut.litbang.pertanian.go.id 2009). PUAP merupakan program yang bertujuan untuk memberikan kepastian akses pembiayaan kepada petani anggota Gapoktan. Mudahnya pembiayaan tersebut merupakan salah satu insentif bagi petani agar tidak melakukan konversi pada lahan pertaniannya sendiri guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian paling rendah di Pulau Papua adalah Provinsi Papua Barat (-1.32 persen). Salah satu faktor rendahnya rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian di Provinsi Papua Barat adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke lahan perumahan maupun tempat usaha (cahayapapua.com 2015).

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 9 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua (%) Periode 2009-2013

(30)

20

Secara keseluruhan, terdapat 18 provinsi di Indonesia yang mengalami penurunan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun selama periode 2009-2013. Sisanya, 15 provinsi di Indonesia, mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tabel 3 menunjukkan hasil estimasi model faktor-faktor yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Model terbaik diperoleh pada pengolahan data panel fixed effect model dengan melakukan pembobotan cross section.

Tabel 3 Hasil estimasi variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia periode 2009-2013

Variabel Koefisien Std. Error t-statistik Probabilitas

LNKPDTN -0.0127 0.0171 -0.7399 0.4607

LNPNJG -0.3545*** 0.0330 -10.7349 0.0000

PRSNMSKN -0.0004 0.0011 -0.4254 0.6712

LNPDRBP 0.0929** 0.0371 2.5001 0.0137

LNPDRBNP -0.0469*** 0.0138 -3.3913 0.0009

C 16.6127 0.3743 44.3806 0.0000

Weighted Statistics

R-squared 0.9994 Sum squared resid 0.5696

Prob(F-statistik) 0.0000 Durbin-Watson stat 1.7995 Unweighted Statistics

R-squared 0.9979 Durbin-Watson stat 1.2917

Sum squared resid 0.6253

Keterangan: ***signifikan pada taraf nyata 1%; **signifikan pada taraf nyata 5%

Model yang digunakan dalam luas lahan pertanian di Indonesia adalah sebagai berikut:

LNLUASit =16.6127 – 0.0127LNKPDTNit– 0.3545LNPNJGit– 0.0004MSKNit +

0.0929LNPDRBPit – 0.0469LNPDRBNPit+ εit

Berdasarkan Tabel 3, variabel yang berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia yaitu panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, serta PDRB lapangan usaha non pertanian. Sedangkan kepadatan penduduk dan persentase penduduk miskin dari hasil estimasi menunjukkan tidak berpengaruh terhadap luas lahan pertanian di Indonesia (nilai probabilitasnya lebih dari taraf nyata 5 persen).

(31)

menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut adalah model yang layak digunakan.

Selain nilai R-squared yang besar, model yang layak untuk digunakan juga harus memenuhi syarat uji asumsi klasik agar model yang diperoleh bersifat

BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Salah satu uji asumsi klasik adalah uji multikolinearitas. Hasil estimasi menunjukkan nilai matriks korelasi antar variabel masih lebih kecil daripada nilai R-squared (0.9994). Artinya, model telah terbebas dari masalah multikolinearitas. Uji asumsi klasik lainnya adalah uji autokorelasi menggunakan nilai Durbin-Watson. Nilai tersebut mengindikasikan tidak terdapat pelanggaran autokorelasi pada model apabila dU<nilai DW<4-dU. Penelitian ini memiliki jumlah observasi sebanyak 165 dan jumlah variabel independen sebanyak 6 pada taraf nyata 1 persen, maka nilai dU sebesar 1.6960. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai Durbin-Watson sebesar 1.7995, berada pada rentang dU (1.6960) dan 4-dU (2.3040). Artinya, tidak terdapat masalah autokorelasi pada model.

Selain uji autokorelasi, perlu dilakukan uji heteroskedastisitas dengan membandingkan nilai sum squared resid. Berdasarkan Tabel 2, nilai sum squared resid weighted (0.5696) lebih kecil daripada nilai sum squared resid unweighted

(0.6253). Artinya, dapat disimpulkan model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Model estimasi dikatakan layak jika memiliki residual yang menyebar normal agar sifat BLUE terpenuhi. Hasil estimasi uji asumsi menunjukkan bahwa nilai probabilitas Jarque Bera sebesar 0.1118, lebih besar dari taraf nyata 5 persen. Artinya, model estimasi luas lahan pertanian di Indonesia memiliki residual yang menyebar normal. Berdasarkan hasil uji asumsi klasik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa estimasi model luas lahan pertanian di Indonesia bersifat BLUE.

Variabel panjang jalan menunjukkan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, ketika terjadi penambahan panjang jalan maka akan mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian di Indonesia. Hal ini telah sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila panjang jalan meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan menurun sebesar 0.3545 persen dengan asumsi

ceteris paribus.

Pada penelitian ini, data panjang jalan yang dimaksud adalah data panjang jalan menurut tingkat kewenangan pemerintahan (jumlah dari data panjang jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota). Dalam konteks pembangunan pertanian dan ekonomi, jaringan jalan sangat dibutuhkan untuk memperlancar arus faktor produksi dan pemasaran hasil (Effendi dan Asmara 2014). Sebaliknya, studi yang dilakukan Daryanto et al. (2011) menunjukkan bahwa pembangunan sektor jalan dan jembatan di Indonesia berpotensi mempercepat perubahan wilayah berbasis pertanian menuju industrialisasi.

(32)

22

perkembangan infrastruktur agar memperlancar proses produksi. Dampaknya adalah semakin banyak penambahan panjang jalan guna memenuhi kebutuhan sektor industri yang memiliki mobilitas tinggi. Konsekuensi dari penambahan panjang jalan tersebut adalah pengurangan luas lahan pertanian, terutama lahan pertanian yang berada di daerah strategis dekat dengan akses ke luar kota.

Hasil estimasi juga sejalan dengan penelitian Effendi dan Asmara (2014) yang menyatakan variabel panjang jalan berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap luas lahan sawah di Koridor Ekonomi Jawa. Effendi dan Asmara mempertegas hasil penelitian mereka dengan mengutip dari Mawardi (2006), yang mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur di sektor perhubungan seperti jalan akan menjadi salah satu faktor penyebab yang mendorong penyempitan lahan pertanian.

Variabel PDRB lapangan usaha pertanian menunjukkan secara signifikan berpengaruh positif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, peningkatan PDRB lapangan usaha pertanian akan memberikan dampak pada meningkatnya luas lahan pertanian di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila PDRB lapangan usaha pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan meningkat sebesar 0.0929 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan penelitian Nuryati (1995) yang melakukan analisis dampak konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah di Jawa Barat.

Nuryati menggunakan analisis tabulasi guna melihat dampak konversi tersebut terhadap PDRB subsektor tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah dapat menyebabkan penurunan sumbangan sektor pertanian dalam PDRB. Hal ini dikarenakan penurunan luas lahan pertanian akan berdampak pada penurunan produksi sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB juga menurun. Dengan demikian, terdapat hubungan positif antara PDRB sektor pertanian dengan luas lahan pertanian.

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel PDRB lapangan usaha non pertanian memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap luas lahan pertanian di Indonesia. Artinya, apabila PDRB lapangan usaha non pertanian meningkat sebesar 1 persen maka luas lahan pertanian di Indonesia akan menurun sebesar 0.0469 persen dengan asumsi ceteris paribus. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil estimasi sesuai dengan teori perubahan struktural. Peningkatan perkembangan sektor industri akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit guna menunjang aktivitasnya. Seringkali, lahan yang digunakan untuk aktivitas sektor-sektor selain sektor-sektor pertanian merupakan lahan pertanian produktif. Akibatnya, luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkurang.

(33)

Kabupaten Demak memiliki pengaruh positif terhadap penambahan konversi lahan pertanian. Artinya, semakin banyak sektor industri maka semakin berkurang luas lahan pertanian di Kabupaten Demak.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Provinsi-provinsi yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling tinggi antara lain Provinsi Kalimantan Tengah (9.27 persen), Provinsi Maluku Utara (7.57 persen), dan Provinsi Sulawesi Barat (6.07 persen). Sebaliknya, provinsi-provinsi yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah antara lain Provinsi Sulawesi Tengah (-9.32 persen), Provinsi Kalimantan Timur (-6.95 persen), serta Provinsi Kep. Riau (-5.60 persen). Jika dilihat secara keseluruhan berdasarkan pulau, maka Pulau Sulawesi (-1.83 persen) adalah pulau dengan rata-rata pertumbuhan luas lahan pertanian per tahun paling rendah dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya.

2. Faktor-faktor yang memengaruhi luas lahan pertanian di Indonesia adalah panjang jalan, PDRB lapangan usaha pertanian, dan PDRB lapangan usaha non pertanian. Penambahan panjang jalan dan peningkatan PDRB lapangan usaha non pertanian akan menurunkan luas lahan pertanian di Indonesia. Sebaliknya, peningkatan PDRB lapangan usaha pertanian akan meningkatkan luas lahan. Sementara itu, kepadatan penduduk dan persentase penduduk miskin tidak berpengaruh signifikan terhadap luas lahan pertanian di Indonesia.

Saran

Atas kesimpulan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka saran yang dapat diberikan adalah:

1. Pemerintah sebaiknya bekerjasama dengan petani dalam upaya untuk meningkatkan PDRB lapangan usaha pertanian. Kerjasama tersebut dapat berbentuk pemberian insentif (seperti pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)) bagi petani untuk meningkatkan output pertaniannya. Petani diharapkan dapat berinisiatif mempertahankan atau bahkan memperluas lahan pertaniannya dengan peningkatan output pertanian tersebut.

(34)

24

konversi lahan pertanian. Hal tersebut dilakukan agar kegiatan lapangan usaha non pertanian tidak berdampak pada penurunan luas lahan pertanian.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Rp15 Miliar untuk Pemberdayaan Pertanian Desa Tertinggal Kalteng. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada:

http://www.merdeka.com/ekonomi/nasional/rp15-miliar-untuk-pemberdayaan-pertanian-desa-tertinggal-kalteng-2b6g68b.html.

Anonim. 2009. Batam, Bintan, Karimun Menuju Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas “Free Trade Zone”. [Internet]. [diunduh Mei 2015].

Tersedia pada:

http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=159. Anonim. 2012. Mamuju Cetak Sawah Baru 3.050 Hektare. [Internet]. [diunduh

Mei 2015]. Tersedia pada: http://seputarsulawesi.com/news-14588-mamuju-cetak-sawah-baru-3050-hektare.html.

Anonim. 2014. Peternakan. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.ntbprov.go.id/hal-peternakan.html.

Anonim. 2015. Save Pertanian di Kalimantan Timur. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/128190-save-pertanian-di-kalimantan-timur.html.

Arifin B. 2013. Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Bogor (ID): IPB Press.

Azadi H, P Ho, L Hasfiati. 2010. Agricultural land conversion drivers: a comparison between less developed, developing, and developed countries.

Land Degrad & Develop. 22(6):596-604.doi:10.1002/ldr.1037.

Bala ZT. 2015. Banyak Lahan Pertanian di Manokwari Beralih Fungsi. [Internet].

[diunduh Mei 2015]. Tersedia pada:

http://www.cahayapapua.com/banyak-lahan-pertanian-di-manokwari-beralih-fungsi/.

Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. Third Edition. New York (US): Mc GrawHill.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Analisis Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013. Jakarta (ID): BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Sensus Pertanian 2013. [Internet]. [diunduh September 2014]. Tersedia pada: http://st2013.bps.go.id.

[BPS] Badan Pusat Statistik. [diunduh September 2014 – Maret 2015]. Tersedia pada: http://bps.go.id.

[CIA] Central Intelligence Agency. 2014. Country Comparison: Population. [Internet]. [diunduh November 2014]. Tersedia pada: https://www.cia.gov/.

Daryanto A, Napitupulu M, Tambunan M, Oktaviani R. 2011. Dampak infrastruktur jalan terhadap perekonomian Pulau Jawa-Bali dan Sumatera.

J Jal Jemb. 28(1):60-75.

(36)

26

Effendi PML, Alla A. 2014. Dampak pembangunan infrastruktur jalan dan variabel ekonomi lain terhadap luas lahan sawah di koridor ekonomi Jawa.

JAI. 2(1):21-32.

Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.

Bogor (ID): IPB Press.

Ilham N, Yusman S, Supena F. 2005. Perkembangan dan faktor-faktor yang memengaruhi konversi lahan sawah serta dampak ekonominya. SOCA. 5(2): 1-25.

Irawan B. 2005. Konversi lahan sawah: potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. FPAE. 23(1):1-18.

Irawan B. 2008. Meningkatkan efektifitas kebijakan konversi lahan. FPAE.

26(2):116-131.

Jaramaya R. 2014. Pemerintah Jokowi Percepat Program Swasembada Pangan. [Internet]. [diunduh November 2014]. Tersedia pada:

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/14/11/17/nf6auj-pemerintah-jokowi-percepat-program-swasembada-pangan.

Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2014. Lahan Pertanian, Setiap Tahun 273 Ha di Banten Menghilang. [Internet]. [diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id/ap_posts.

Kristianto F. 2014. Konversi lahan: Areal Pertanian Berkurang 400 Ha Per Tahun. [Internet]. [diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://bali.bisnis.com/read/20140629/16/45799/alih-fungsi-lahan-areal-pertanian-berkurang-400-ha-per-tahun.

Li J, Xiangzheng D, Karen CS. 2013. The impact of urban expansion on agricultural land use intensity in China. Land Use Pol. 35:33-39.doi:10.1016/j.landusepol.2013.04.011.

Manuwoto. 1992. Sinkronisasi kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, suatu upaya pencegahan konversi lahan. Di dalam: Utomo M, Rifai E, Thahar A, editor. Pembangunan dan Pengendalian Konversi lahan; 1991 Okt 5; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Univ Lampung. hlm 29-37.

Mawardi I. 2006. Kajian pembentukan kelembagaan untuk pengendalian konversi dan pengembangan lahan, peran dan fungsinya. J Tek Ling. 7(2):206-211. Mulyadi. 2012. Kaledoiskop Pertanian di Indonesia. [Internet]. [diunduh Mei

2015]. Tersedia pada:

http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/pertanian/1329142993/kaleid oskop-pertanian-di-indonesia.html.

Mustopa Z. 2011. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Demak. [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

(37)

Nuryati, L. 1995. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah (studi kasus Propinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta (ID): Univ Terbuka.

[Pusdatin Kementan] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian. 2014. Statistik Lahan Pertanian. Jakarta (ID): Pusdatin Kementerian Pertanian.

Rosalina. 2013. Target Cetak Sawah Baru Diturunkan. [Internet]. [diunduh Mei

2015]. Tersedia pada:

http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/01/07/090452664/Target-Cetak-Sawah-Baru-Diturunkan.

Ruswandi A, Ernan R, Kooswardhono M. 2007. Dampak konversi lahan pertanian terhadap kesejahteraan petani dan perkembangan wilayah: studi kasus di daerah Bandung Utara. J Agro Eko. 25(2):207-219.

Saleh Y, Syahbuddin H, Umanailo R. 2009. Gapoktan PUAP Berprestasi Maluku Utara: Debutan Baru Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Pilar Pembangunan Ekonomi Pertanian Perdesaan. [Internet]. [diunduh pada Mei 2015].

Tersedia pada:

http://malut.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&vi

ew=article&id=49:gapoktan-puap-berprestasi-maluku-utara-&catid=21:puap&Itemid=24.

Silalahi, IA. 2012. Luas Sawah di Sumut Semakin Sempit. [Internet]. [diunduh Mei 2015]. Tersedia pada: http://medan.tribunnews.com/2012/04/02/luas-sawah-di-sumut-semakin-sempit.

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta (ID): Rajagrafindo Persada.

Todaro MP, Stephen CS. 2006. Pembangunan Ekonomi. Munandar H, penerjemah; Barnadi B, Suryadi S, Wibi H, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Ed ke-9.

(38)

28

LAMPIRAN

Lampiran 1 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun (%) di Indonesia Periode 2009-2013

Provinsi Rata-rata Pertumbuhan (%) Pulau Sumatera

Aceh -1.82

Sumatera Utara 0.36

Sumatera Barat -1.97

Riau -2.41

Jambi -1.12

Sumatera Selatan -2.26

Bengkulu 0.07

Lampung -1.40

Kep. Bangka Belitung -0.39

Kep. Riau -5.60

Pulau Jawa

DKI Jakarta -2.91

Jawa Barat -0.54

Jawa Tengah 0.16

DI Yogyakarta 0.46

Jawa Timur 0.13

Banten -0.71

Kepulauan Nusa Tenggara

Bali -1.15

Nusa Tenggara Barat 1.32

Nusa Tenggara Timur 0.90

Pulau Kalimantan

Kalimantan Barat -1.24

Kalimantan Tengah 9.27

Kalimantan Selatan -2.72

Kalimantan Timur -6.95

Pulau Sulawesi

Sulawesi Utara -1.21

Sulawesi Tengah -9.32

Sulawesi Selatan 0.60

Sulawesi Tenggara 3.75

Gorontalo 0.66

Sulawesi Barat 6.07

Kepulauan Maluku & Pulau Papua

Maluku 0.06

Maluku Utara 7.57

Papua Barat -1.32

Papua 1.16

Gambar

Tabel 1 Luas Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 2009-2013
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 4 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau
Gambar 5 Rata-rata Pertumbuhan Luas Lahan Pertanian per Tahun di Pulau Jawa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik di kelas satu akan berada pada akhir tahap perkembangan praoperasional. Pada beberapa anak yang masuk lebih dini yaitu pada usia lima tahun kondisi

Action research provides a means of raising awareness about inclusive edu- cational practice at the local level to empower students, service receivers, stakeholders and professionals

[r]

M ahasisw a mampu menjelaskan dan memberi cont oh syarat - syarat umum asuransi kerugian yang t erdir i at as pembayar an premi, pert anggungan lain, perubahan

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pakan penguat diberikan setelah pemerahan, pembersihan kandang dan sapi dilakukan, pencucian ambing dan

Adalah, yang paling tepat jika perairan rawa dan kolam-kolam dangkal tersebut dibiarkan tetap sebagaimana mestinya; membudidayakan tanaman air merupakan suatu upa

Pemda Kabupaten Karimun yaitu: a). Memper- cepat pengukuhan RSUD Karimun sebagai Rumah Sakit Mampu PONEK 24 Jam, b). Membangun sis- tem informasi terintegrasi dalam bentuk jaringan

Berdasarkan penelitian yang telah disebutkan diatas, pada penelitian ini penulis menggunakan metode multi- classifier ensemble learning dengan kombinasi geterogen dari