• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Aceh besar terletak pada 5.2° - 5.8° Lintang Utara dan 95.0° - 95.8° Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang, dan Kota Banda Aceh. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS Aceh besar 2013).

Kecamatan Darul Imarah merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan ini mempunyai luas wilayah administratif 32.95 km2 yang dibagi menjadi 32 desa, 117 dusun dan 4 mukim. Jarak tempuh antara Kecamatan Darul Imarah ke Ibu Kota Kabupaten Aceh Besar adalah ± 60 km, dengan waktu tempuh ± 30 menit. Kecamatan Darul Imarah memiliki satu puskesmas yang berbatasan sebelah Utara dengan Kota Banda Aceh dan Kecamatan Pukan Bada, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Darul Kamal, sebelah Barat berbatasan dengan Puskesmas Lhoknga dan Pekan Bada, dan sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Ingin Jaya (Profil Kecamatan Darul Imarah 2013).

Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Darul Imarah pada tahun 2012 mencapai 51.524 jiwa. Jumlah laki-laki sebanyak 26.503 jiwa dan perempuan 25.021 jiwa. Sementara rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 10.422 jiwa atau mencapai kondisi ideal kepadatan rumah tangga. Tingkat pendidikan rata-rata penduduk usia >10 tahun di Kecamatan Darul Imarah tergolong sedang, karena sebagian besar berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan menyelesaikan pendidikan SD dan SLTP.

BBLR adalah berat bayi ketika lahir <2500 g. Pada tahun 2012 di Kecamatan Darul Imarah ditemukan 17 kasus BBLR. Sementara tingkat kesejahteraan balita di Kecamatan Darul Imarah belum dapat diidentifikasi dengan baik karena cakupan penimbangan rata-rata perbulan <80%. Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat ke posyandu maka menyebabkan penjaringan kasus gizi kurang dan gizi buruk menjadi sedikit.

Berdasarkan hasil survei Puskesmas tahun 2012 diketahui balita yang mengalami ISPA masuk dalam kategori sepuluh penyakit terbesar yang menduduki urutan pertama, dan kejadian diare juga masih tinggi. Hal tersebut disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tingkat rumah tangga belum teraplikasi sepenuhnya.

Distribusi vitamin A dosis tinggi untuk bayi dan balita cukup merata dan 100% sudah mendapatkan kapsul vitamin A. Cakupan vitamin A untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas setiap tahun sudah mencapai target. Cakupan ASI Ekslusif hanya sebanyak 30,6%. Rendahnya cakupan tersebut disebabkan oleh kegagalan pada tahap Inisiasi Menyusi Dini (IMD) dan pemberian prelaktal terlalu dini.

Karakteristik Anak

Contoh dalam penelitian ini adalah anak baduta berjumlah 102 orang yang tinggal di Kecamatan Darul Imarah. Karakteristik baduta yang diamati dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan berat badan lahir. Sebaran baduta menurut jenis kelamin, umur dan berat badan lahir dapat lihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran baduta menurut karakteristik Baduta

Karakteristik Baduta n % Jenis kelamin Laki-laki 44 43.1 Perempuan 58 56.9 Umur (bulan) 102 100 12-18 19-24 68 66.7 Total 34 33.3 ( X± SD) 102 100 Berat Lahir (g) 17.0 ± 3.6 ≤2500 15 14.7 ≥2500 87 85.3 Total 102 100 ( X± SD) 3105.9 ± 495.9

Tabel 9 menunjukkan sebagian besar contoh adalah berjenis kelamin perempuan (56.9%), berumur pada rentang usia 12-18 bulan (66.7%), memiliki

berat badan lahir ≥2500 g (85.3%). Rata-rata umur baduta adalah 17.0 bulan, dengan rata-rata berat lahir adalah 3105.9 g. Selanjutnya, terdapat sebesar 14.7%

bayi memiliki berat badan lahir ≤2500. Bayi yang memiliki berat badan lahir ≤ 2500 g sering disebut BBLR atau Bayi Berat Lahir Rendah atau (Soetjiningsing dan Ranuh 2013).

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam penelitian ini meliputi umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, besar keluarga, besar balita dan pendapatan perkapita rumah tangga. Tabel 10 menunjukkan rata-rata umur ayah 34.2 tahun dan umur ibu baduta 29.5 tahun. Persentase tertinggi umur ayah berada pada rentang ≥ 33 tahun (55.9%), sedangkan umur ibu berada pada rentang 25-28 tahun (36.3%).

Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari lama pendidikannya. Pendidikan merupakan modal dasar dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (Guhardja et al. 1992). Selain dari itu, pendidikan orangtua biasanya berkaitan dengan pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat dicermati tingkat pendidikan yang diraih ayah ataupun ibu baduta, diketahui

bahwa umumnya mereka sudah menempuh pendidikan 12 tahun (tamat SMU). Persentase tertinggi (69.6%) ayah berpendidikan Sekolah Menengah Atas/SMA diikuti pendidikan Sekolah Menengah Pertama/SMP dan Diploma/Perguruan Tinggi masing-masing sebesar 13.7%, sedangkan ibu berpendidikan SMA (46.1%), diikuti pendidikan Diploma/Perguruan Tinggi (33.3%). Sebaran karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga

Karakteristik Sosial Ekonomi RT n %

Umur ayah (tahun)

≤ 24 3 2.9 25-28 24 23.5 29-32 18 17.6 ≥33 57 55.9 Total 102 100.0 (x ± sd) 34.2 ± 6.0

Umur Ibu (tahun)

≤ 24 19 18.6 25-28 37 36.3 29-32 16 15.7 ≥33 30 29.4 Total 102 100.0 (x ± sd) 29.5 ± 5.4 Pendidikan Ayah <=SD 3 3 SMP 14 13.7 SMA 71 69.6 PT /Akademik 14 13.7 Total 102 100.0 (x ± sd) tahun 11.9 ± 2.3 Pendidikan Ibu <=SD 2 2 SMP 19 18.6 SMA 47 46.1 PT /Akademik 34 33.3 Total 102 100.0 (x ± sd) tahun 12.4 ± 2.9 Pekerjaan ayah Petani/buruh tani 7 6.9 Pedagang 9 8.8 PNS/polisi 27 26.5 Jasa 59 57.8

Tabel 10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (lanjutan)

Karakteristik Sosial Ekonomi RT n %

Pekerjaan Ibu IRT 78 76.5 PNS 17 16.7 Jasa 7 6.9 Total 102 100.0 Pendapatan Perkapita (Rp) Kuintil 1 (286666) 19 18.6 Kuintil 2 (500000) 32 31.4 Kuintil 3 (666667) 10 9.8 Kuintil 4 (1000000) 21 20.6 Kuintil 5 (3000000) 20 19.6 Total 102 100.0 (x ± sd) 721.873 ± 534.009

Besar Rumah Tangga

Kecil (≤4 orang) 69 67.6

Sedang (5-6 orang) 31 30.4

Besar (≥7 orang) 2 2.0

Total 102 100.0

(x ± sd) 4.2 ± 1.0

Jumlah Balita (orang)

<2 73 71.6

≥2 29 28.4

Total 102 100.0

(x ± sd) 1.3 ± 0.5

Jenis pekerjaan orangtua mencerminkan besarnya jumlah pendapatan yang diterima setiap bulan. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui sebagian besar (57,8%) ayah baduta bekerja di bidang jasa diikuti bekerja sebagai PNS (26,5%). Jenis pekerjaan dibidang jasa yang umum dilakukan oleh ayah adalah tenaga honorer, supir, buruh bangunan, dan sebagainya. Sementara sebagian besar (76,5%) ibu baduta menjadi ibu rumah tangga), dikuti bekerja sebagai PNS 16.7% dan hanya sebagian kecil (6.9%) ibu bekerja di bidang jasa.

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui rata-rata pendapatan perkapita rumah tangga baduta adalah Rp 721.873 atau berada pada kuintil IV. Persentase terbesar (31.7%) pendapatan perkapita perbulan keluarga tersebar pada kuintil II atau pada kategori menengah ke bawah yang berkisar antara Rp 28666-500000. Hal tersebut di duga karena ayah dan ibu baduta memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. Hasil tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi bahwa pendidikan ayah (r:0.346; p:0.000), ibu (r:0.435; p:0.000), besar keluarga (r:0.307; p:0.002) berhubungan secara signifikan dengan

pendapatan perkapita. Menurut Guhardja et al. (1992), orang yang berpendidikan tinggi biasanya menggambarkan orang yang memiliki mutu sumberdaya manusia yang tinggi. Pada umumnya mereka juga mendapat upah dan gaji yang relatif tinggi dibandingkan dengan orang yang bermutu pendidikan rendah.

Besar keluarga dalam penelitian ini adalah terdiri dari orangtua, anak, dan kerabat yang menempati rumah yang sama dari sumber perolehan pangan yang sama. Besar keluarga dapat digunakan untuk memberikan gambaran terhadap jumlah pangan yang diterima anggota keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui rata-rata besar anggota keluarga baduta adalah 4 orang dan persentase

tertinggi (67.6%) berada pada kategori keluarga kecil (≤ 4 orang) (BKKBN 2003). Hanya terdapat sebagian kecil (2.0%) keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang atau kategori keluarga besar. Selanjutnya, rata-rata jumlah balita yang dimiliki keluarga baduta adalah satu orang.

Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dalam penelitian diperoleh dari kemampuan ibu dalam menjawab benar dari masing-masing pertanyaan. Ibu adalah orangtua yang lebih berperan dalam hal pengasuhan anak. Pengasuhan yang diterapkan ibu terhadap anak berbeda-beda antar keluarga. Menurut Khomsan et al. (2013), pengetahuan ibu merupakan landasan penting untuk mencukupi asupan gizi anak. Pengetahuan gizi yang dimplementasi dalam sikap dan praktik akan mendorong terbentuknya pola makan yang baik di dalam rumah tangga. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan khususnya berkaitan dengan anemia dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran baduta menurut kategori pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan

Kategori Pengetahuan Ibu tentang Gizi

dan Kesehatan n % Rendah (<60%) 59 57.8 Sedang (60-80%) 38 37.3 Tinggi (>80%) 5 4.9 Total 102 100.0 (x ± sd) skor 55.3 ± 16.0

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui rata-rata skor pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan adalah 55.3% atau berada pada kategori rendah. Persentase tertinggi (57.8%) ibu baduta memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan dengan kategori rendah diikuti kategori sedang (37.3%) dan hanya sebagian kecil (4.9%) dengan kategori tinggi. Besarnya persentase ibu memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan rendah diduga disebabkan oleh pendidikan orangtua rendah dan pendapatan rendah. Hasil tersebut diperkuat dari hasil uji korelasi menujukkan bahwa pendidikan ayah (r:0.256; p:0.009), pendidikan ibu (r:0.250; p:0.011), dan pendapatan (r:2.47; p:0.012) berhubungan secara signifikan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu.

Menurut Madanijah (2003), pengetahuan ibu dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga, juga dipengaruhi oleh oleh akses terhadap informasi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan meningkatkan wawasan ibu tentang gizi dan kesehatan anak. Umumnya, ibu dan ayah yang berpendidikan tinggi memungkinkan memperoleh pendapatan yang tinggi, sehingga memperbanyak jumlah media yang dibaca atau didengar dan frekuensi yang lebih sering yang akhirnya akan meningkatkan wawasan dan pengetahuan ibu. Butir pertanyaan mengenai pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran baduta menurut butir pertanyaan yang dijawab benar tentang pengetahuan gizi dan kesehatan ibu

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu n %

1. Usia pengenalan MP-ASI 63 61.8

2. Usia pengenalan makanan keluarga 67 65.7

3. Anemia pada anak terjadi ketika kadar Hb < 11 g/dL 5 4.9

4. Tanda-tanda anemia 76 74.5

5. Anemia adalah keadaan kekurangan asupan zat besi 48 47.0 6. Sumber zat besi yang baik terdapat pada pangan hewani 57 55.9 7. Bahan makanan nabati tinggi zat besi adalah sayuran hijau 70 68.6 8. Buah dan sayur merupakan sumber vitamin dan mineral 68 66.7 9. Zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan besi 48 47.0 10. Bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan besi 36 35.3

11. Cara pencegahan anemia pada baduta 74 72.5

12. Dampak dari anemia terhadap gangguan tumbuh kembang 55 53.9 13. Usia 2 tahun pertama adalah masa perkembangan otak pesat 79 77.4 14. Balita gizi buruk pada KMS terletak pada garis warna merah 68 66.7 15. Pengertian BBLR (berat bayi lahir rendah <2500gram) 30 29.4 Butir pertanyaan tentang tanda tanda anemia seperti wajah pucat, lemas, letih dan konsentrasi menurun secara umum sudah dapat dipahami dengan baik oleh ibu baduta (74.5%) (Tabel 12). Namun, ibu/pengasuh tidak mengetahui bahwa anemia dapat terjadi pada bayi dan anak-anak. Pengetahuan tentang tanda- tanda anemia penting diketahui oleh para ibu-ibu yang memiliki anak terutama baduta, karena dengan mengetahui tanda-tanda atau gejala tersebut maka ibu dapat mengantisipasinya dengan baik penyebab dari anemia seperti meningkatkan konsumsi sumber zat besi dan pola hidup sehat.

Secara umum, pengetahuan ibu tentang bahan pangan nabati tinggi zat besi adalah sayuran berwarna hijau seperti daun kelor, bayam, sawi sudah dapat dipahami dengan baik oleh ibu. Selain pangan hewani, sayuran berwarna hijau tua juga merupakan sumber zat besi yang baik. Selain itu, ibu juga memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang buah dan sayur merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik untuk kesehatan. Seperti vitamin C merupakan zat gizi yang berperan penting dalam proses penyerapan zat besi non heme yang dapat mengubah zat besi bentuk feri menjadi fero sehingga lebih mudah diserap oleh usus (Monte dan Giugliani 2004).

Butir pengetahuan tentang cara mencegah anemia seperti mengonsumsi makanan tinggi zat besi sudah cukup baik diketahui oleh ibu. Namun, ibu baduta belum cukup baik mengetahui tentang sumber zat besi yang baik adalah terdapat pada pangan sumber hewani seperti daging, unggas dan ikan. Chew et al. (2012) menyatakan cara pencegahan Anemia Gizi Besi (AGB) pada bayi dan anak yaitu dengan memastikan terpenuhinya asupan zat besi yang baik. Balita usia satu sampai tiga tahun perlu mendapatkan asupan zat besi sebanyak 7 mg/hari. Makanan sebaiknya diberikan mengandung daging merah, biji-bijian, sayur- sayuran berwarna hijau, dan buah-buahan dengan vitamin C tinggi untuk meningkatkan penyerapan zat besi.

Butir pertanyaan tentang masa usia dua tahun pertama kehidupan adalah masa perkembangan otak secara pesat juga cukup baik dipahami oleh ibu (77.4%). Pertumbuhan otak dimulai sejak janin dan pada usia dua tahun ukuran otak anak mencapai 80% dari ukuran otak dewasa (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Pengetahuan ini sangat penting juga diketahui sehingga pada masa usia 2 tahun pertama kehidupan anak-anak memperoleh pola asuh yang optimal.

Berdasarkan 15 butir pertanyaan pengetahuan gizi dan kesehatan yang ditanyakan pada ibu-ibu di lokasi penelitian, terdapat 7 butir pertanyaan yang belum dipahami dengan baik. Butir pertanyaan tersebut yaitu tentang batas kadar Hb terjadi anemia pada anak (butir no 3), penyebab terjadinya anemia (butir no 5), pangan hewani merupakan sumber zat besi yang lebih baik (butir no 6), zat gizi yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi (butir no 9), bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi (butir no 10), dampak anemia terhadap tumbuh kembang anak (butir no 12), dan pengertian BBLR (butir no.15). Proporsi ibu menjawab benar masing-masing butir pertanyaan tersebut adalah 4.9%, 47.1%, 55.9%, 47.1, 35.3%, 53.9% dan 29.4%.

Praktik Pola Asuh Makan

Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktivitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Salah satu faktor terpenting dalam pengasuhan fisik seseorang anak yaitu pola asuh makan. Kategori pola asuh makan baduta yang diterapkan ibu/pengasuh dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran baduta menurut kategori skor praktik pola asuh makan

Kategori Praktik Pola Asuh Makan n %

Rendah (<60%) 28 27.4

Sedang (60-80%) 71 69.6

Tinggi (>80%) 3 2.9

Total 102 100.0

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui rata-rata skor praktik pola asuh makan yang diterapkan ibu/pengasuh baduta adalah 64.0% atau berada pada kategori sedang. Persentase terbesar (69.6%) praktik pola asuh makan berada pada kategori sedang, diikuti ketegori rendah (27.4%), dan terkecil (2.9%) dengan kategori tinggi. Hasil tersebut menunjukkan belum cukup baik praktik pola asuh makan yang diterapkan ibu/pengasuh kepada anak. Hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh rendahnya pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan sehingga dapat mempengaruhi praktik pola asuh makan anak. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi menunjukkkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan berhubungan secara signifikan dengan praktik pola asuh makan (r:0.26; p:0.009). Menurut Khomsan et al. (2009), praktik yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama, oleh sebab itu, penting bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti sekolah, media cetak, maupun media elektronik.

Aspek praktik pola asuh makan yang dinilai dari ibu/pengasuh sesuai dengan panduan prinsip pemberian makanan untuk anak usia 2 tahun pertama kehidupan yang direkomendasikan WHO (2001) yaitu beberapa diantaranya; (1) penerapan praktik pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan; (2) penerapan MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) pada usia 6 bulan dan meneruskan ASI dan MP-ASI sesuai umur sampai usia 24 bulan; (3) penerapan responsive feeding

dengan prinsip-prinsip psiko sosial; (4) penerapan hiegine/sanitasi pemberian makan; dan (5) penerapan pemberian makan saat anak sakit. Butir praktik pola asuh makan berdasarkan riwayat ASI dalam penelitian ini meliputi riwayat pemberian kolostrum, pemberian ASI Ekslusif, dan status masih diberikan ASI.

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui hampir seluruh ibu (91.2%) memberikan kolostrum kepada anaknya. Namun, lebih dari separuh baduta (52.0%) tidak diberikan ASI secara Ekslusif, hanya sebesar 48.0% baduta yang diberikan ASI Eskslusif. Definisi ASI Ekslusif dalam penelitian ini adalah bayi yang hanya diberikan ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan (WHO 2002). Menurut Saragih (2007), faktor-faktor ibu gagal dalam memberikan ASI Ekslusif antara lain: (1) kebiasaan setempat, yaitu kebiasaan suatu daerah memberikan peranan kuat; (2) faktor kekhawatiran yaitu para ibu terlalu khawatir ASInya tidak cukup; (3) pemberian makanan prelaktal, yaitu kebiasaan memberikan makanan dan minuman seperti madu pada bayi sebelum ASI keluar; (4) faktor justifikasi ibu, seperti sebagian ibu mengambil keputusan memberikan makanan dini dengan alasan ASI Ekslusif sudah cukup tidak sampai 6 bulan; (5) faktor orangtua atau tetangga; (6) dukungan suami; dan (7) gencarnya promosi susu formula.

Pada saat dilakukan penelitian, sebagian besar (66.7%) baduta masih diberikan ASI, sisanya sebesar 33.3% baduta tidak diberikan ASI lagi. Pada baduta yang tidak lagi diberikan ASI, rata-rata disapih pada usia 2.5 bulan. Baduta lebih banyak disapih pada usai di bawah satu tahun dengan persentase terbesar (32.3%) baduta di sapih pada usia <4 bulan. Alasan ibu tidak lagi memberikan ASI kepada anaknya adalah karena faktor ASI tidak lagi keluar, ibu bekerja, dan anak sudah cukup mendapakan makanan tambahan sehingga ASI dianggap tidak dibutuhkan lagi oleh anak. Sebaran baduta menurut butir-butir praktik pola asuh makan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran baduta menurut butir praktik pola asuh makan

Pola Asuh Makan n %

Pemberian kolostrum 93 91.2

Pemberian ASI Ekslusif 49 48.0

Anak masih diberikan ASI 68 66.7

Kategori usia mulai disapih

<4 bulan 11 32.3

4-6 bulan 6 17.6

7-12 bulan 7 20.6

13-18 bulan 6 17.6

>18 bulan 4 11.8

Kesesuaian bentuk makanan utama (makanan keluarga)

Sesuai 89 87.2

Kadang-kadang 5 4.9

Tidak sesuai 8 7.8

Kesesuaian frekuensi pemberian makanan utama

Sesuai (3-4 kali) 76 74.5

Kadang-kadang 18 17.6

Tidak sesuai 8 7.8

Kesesuaian frekuensi pemberian makanan selingan

Sesuai (1-2 kali) 21 20.6

Kadang-kadang 78 76.5

Tidak sesuai 3 2.9

Pemberian lauk hewani setiap hari

Selalu (2-3 kali) 58 56.9

Kadang-kadang (<2 kali) 41 40.2

Tidak pernah 3 2.9

Pemberian lauk nabati setiap hari

Selalu (2-3 kali) 11 10.8

Kadang-kadang (<2 kali) 85 83.3

Tidak pernah 6 5.9

Pemberian sayuran setiap hari

Selalu (2-3 kali) 21 20.6

Kadang-kadang (<2 kali) 60 58.8

Tidak pernah 21 20.6

Pemberian buah-buahan setiap hari

Selalu 14 13.7

Kadang-kadang 82 80.4

Tabel 14 Sebaran baduta menurut butir praktik pola asuh makan (lanjutan)

Pola Asuh Makan n %

Ibu berperan penuh dalam pemberian makan anak

Selalu 59 57.8

Kadang-kadang 34 33.3

Tidak pernah/jarang 9 8.8

Mengarahkan pengasuh ketika tidak di rumah

Selalu 54 52.9

Kadang-kadang 46 45.1

Tidak pernah 2 2.0

Menetapkan teratur jadwal makan anak

Selalu 33 32.3

Kadang-kadang 52 51.0

Tidak pernah 17 16.7

Menvariasikan menu makan anak

Selalu 9 8.8

Kadang-kadang 87 85.3

Tidak pernah 6 5.9

Adanya kontak mata ketika menyuapi makan anak

Selalu 39 38.2

Kadang-kadang 58 56.9

Tidak pernah 5 4.9

Membujuk dan merayu ketika anak sulit makan

Selalu 43 42.1

Kadang-kadang 55 53.9

Tidak pernah 4 3.9

Memuji ketika anak menghabiskan makan

Selalu 20 19.6

Kadang-kadang 78 76.5

Tidak pernah 4 3.9

Membiasakan cuci tangan pakai sabun ketika menyuapi anak

Selalu 38 37.2

Kadang-kadang 54 52.9

Tidak pernah 10 9.8

Jenis makanan anak saat sakit

Hanya ASI 13 12.7

Makanan biasa 78 76.5

Makanan lunak 11 10.8

Menurut WHO (2002), anak yang sudah berusia 12 bulan secara umum sudah mampu mengonsumsi makanan yang sama seperti yang dikonsumsi oleh keluarga. Hal tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya kebutuhan makanan padat gizi dalam masa pertumbuhan pesat. Pada bayi sehat dianjurkan pemberian MP-ASI sebanyak 3-4 kali/hari, dan pemberian makanan selingan/camilan sebanyak 1-2 kali/hari. WHO mendefinisikan makanan selingan

adalah makanan yang dimakan antara waktu makan utama, biasanya makanan yang dapat dimakan, nyaman dan mudah disiapkan. Akan tetapi, jika asupan energi rendah pada setiap kali makan dan anak tidak lagi menyusu, maka konsumsi makanan camilan mungkin diperlukan lebih sering.

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui sebagian besar bentuk pemberian makanan utama baduta sudah sesuai dengan bentuk makanan keluarga dan frekuensi dalam sehari sebanyak 3-4 kali. Namun, pemberian makanan camilan 1- 2 kali sehari masih jarang diterapkan oleh ibu kepada baduta. Jenis makanan camilan yang sering diberikan adalah biskuit. Selanjutnya, lebih dari separuh (56.9%) baduta selalu diberikan lauk hewani setiap hari. Menurut penelitian Ahmad et al. (2012), lauk hewani pada baduta dalam MP-ASI sebagian besar selalu diberikan dengan porsi yang tidak sesuai. Pemberian jenis lauk nabati seperti tempe, tahu, atau kacang-kacangan, sayur-sayuran dan buah-buahan jarang diberikan kepada baduta.

Bentuk praktik pola asuh pemberian makan anak lainnya adalah

responsive feeding yang diterapkan ibu/pengasuh kepada anak meliputi peran orangtua dalam pemberian makan, pengawasan ketika anak makan, pengawasan makan anak ketika ibu sedang tidak bersama anak, penetapan jadwal makan anak, upaya dalam memvariasikan menu makan, dan upaya ketika anak tidak mau makan, serta respon ketika pemberian makan dan ketika anak menghabiskan makan (WHO 2002). Agar anak menjadi terdorong untuk makan maka ibu perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: (1) karakteristik anak, seperti apa yang lebih disukai anak, cara memberikan makan menggunakan tangan atau sendok, serta kemampuan mengunyah anak; (2) situasi yang disenangi anak, termasuk mengetahui kapan waktu makan anak, apakah anak memerlukan kudapan/cemilan, dan bagaimana nafsu makan anak; (3) situasi yang nyaman ketika waktu makan, mendampingi ketika sedang makan, memonitor ketika sedang diberikan oleh pengasuh lain, serta menghilangkan hal-hal yang menggangu ketika sedang makan (Engle et al. 1997).

Tabel 14 dapat diketahui lebih dari separuh ibu (57.84%) selalu berperan penuh dalam pemberian makan anak. Besarnya persentase ibu tidak bekerja dalam penelitian ini, sehingga ibu dapat berperan penuh dalam hal pemberian makanan anak. Ketika ibu sedang tidak di rumah, ibu lebih mempercayai anaknya diasuh oleh saudara terdekat seperti nenek terutama dalam hal pemberian makanan anak. Kebiasaan dalam menetapkan jadwal makan, memvariasikan menu makanan, terjalinnya kontak mata dengan anak ketika pemberian makan, membujuk ketika sulit makan, memuji ketika menghabiskan makan masih jarang diterapkan oleh ibu kepada anak.

Membiasakan cuci tangan pakai sabun ketika mengolah atau menyuapi makan anak merupakan salah satu contoh praktik hiegine/sanitasi pemberian makan anak dalam penelitian ini. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui lebih dari separuh (52.9%) ibu jarang menerapkan kebiasaan cuci tangan menggunakan sabun ketika akan mengolah atau memberikan makan baduta. Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran ibu-ibu dalam praktik hiegine/sanitasi

Dokumen terkait